"Udah lama banget kita nggak me time begini ya, Mbak Lexa?"Kiran mengamati jalanan dengan mata berbinar. Nyaris sepuluh hari penuh dipingit di rumah, bisa menikmati udara segar begini rasanya sungguh menyenangkan. Menghadiri ulang tahun pernikahan Om Lando dan Tante Gadis ini adalah keluar rumah perdananya. Kedua orang tuanya menganggap lukanya sudah nyaris sembuh, makanya ia diperbolehkan menghadiri pesta ini.Kiran makin senang karena kedua orang mengizinkannya ikut dengan Alexa berkeliling kota. Saat ini ia tengah duduk di samping Alexa yang tengah menyetir. Rencananya mereka akan berkeliling-keliling kota Jakarta terlebih dahulu sebelum Alexa mengantarnya pulang ke rumah. Kedua orang tuanya masih berada di kediaman Om Orlando dan Tante Gadis. Para orang tua ingin bernostalgia mengenang masa lalu katanya. Makanya saat ini ia bisa bersenang-senang bersama Alexa. Setelah menikah dengan petani sukses Jenggala Buana Sagara, Alexa memang ikut dengan sang suami menetap di Desa Pelem. Sa
"Ini Om, hasil video saya. Tidak HDR memang karena pencahayaannya darurat. Tapi cukup jelas untuk melihat nomor polisi dan wajah orang-orang yang terekam di sana." Kiran menyerahkan ponselnya pada Demitrio. Saat ia tiba di rumah, Demitrio sudah lebih dulu menunggu di depan pintu gerbang. Demitrio mengerutkan dahi, sesaat setelah ponsel ada di tangannya. Ekspresinya sangat serius saat memandangi ponsel."Bagaimana Om? Sangat mencurigakan bukan? Untung saya tadi sempat merekamnya. Dengan begitu Om jadi punya bukti untuk menekan baik itu Pak Irman maupun Pak Harry." Kiran membusungkan dada. Bisa menyombong di hadapan Demitrio itu bangganya level benua."Bukan video mereka berdua yang saya amati. Tapi ini, si dokter Khairil tanpa Anwar mengirim pesan. Katanya apa kamu bersedia ditraktir makan malam?" Demitrio menjelingkan mata sedemikian rupa pada Kiran."Hah? Masa sih? 'Kan kemarin-kemarin sudah saya jawab tidak." Kiran menepuk keningnya. Dokter Khairil mengirim pesan di saat yang tida
"Kurang itu lebam-lebamnya, Ndan. Tambahin lagi. Biar si Kiran kayak habis ditabokin bokapnya beneran."Alexa memberi usul pada Pandan Wangi. Hari ini Kiran akan menyamar menjadi anak yang teraniya karena ayahnya menikah lagi. Rencananya Kiran akan berakting mencari pekerjaan menjadi ART paruh waktu di rumah Pak Irman. Sementara dirinya sendiri akan menyamar menjadi tukang ojek berjaket hijau. Dengan begitu ia bisa mengontrol Kiran selama bekerja, tanpa dicurigai."Kok temanya anak teraniaya sih? Bukannya lebih dramatis jalau berakting menjadi istri yang teraniaya?" Sembari menambahkan aksen bekas lebam di tulang pipi Kiran, Pandan Wangi memberi usul."Kagak bisa, Ndan. Soalnya si Marni ini pelakor. Mencari simpatinya dengan menjadi istri yang teraniaya, jelas tidak akan berhasil. Kalau anak yang terlantar, masih ada kemungkinan. Soalnya si Marni ini konon katanya anak yatim piatu yang tinggal dan dibesarkan di panti asuhan. Pada saat keluarga Pak Irman Sadikin mengunjungi panti asuha
"Kamu mulai bersih-bersih dari ruang tamu saja. Setelah itu lanjut ke dapur dan kamar utama. Karena hanya tiga ruangan itu yang sudah selesai di renovasi. Lagi pula calon suami saya akan singgah ke sini sekitar dua jam lagi. Beliau paling suka duduk menonton televisi di ruang tamu ditemani secangkir kopi. Jadi pastikan semua perabot di ruang tamu ini bersih dan rapi. Alat bersih-bersihnya ada di dapur." Marni mengarahkan Minah, pembantu baru paruh waktu ke ruang tamu."Ingat ya? Nanti saat calon suami saya datang, kamu segera sembunyi gudang lantai tiga. Karena hanya gudang yang tidak akan calon suami saya datangi. Kamu jangan keluar, sampai saya mengetuk pintu gudang. Mengerti, Minah?" Marni memperingati Minah sekali lagi."Mengerti, Nyonya." Kiran mengangguk takzim. Saat ini ia telah berganti nama menjadi Minah. Dengan begitu identitas aslinya tetap terlindungi."Saya mempekerjakan kamu karena kasihan. Jadi kamu jangan berbuat macam-macam dengan mencoba mencuri atau hal-hal krimina
Kiran berdiri di ujung jalan. Ia tengah menunggu Alexa yang berjanji akan menjemputnya pukul lima sore. Benak Kiran susah penuh dengan berita yang akan ia ceritakan pada Alexa. Sungguh, untuk pertama kalinya ia sangat antusias membongkar sebuah kasus. "Akhirnya." Kiran mendesah lega. Ia melihat motor Alexa dari kejauhan. Ia mengenali nomor platnya. Semakin motor mendekat, Kiran merasa ada yang salah. Alexa memang tinggi karena Om Axel itu keturunan Prancis. Tetapi rasanya tidak sejangkung dan sekekar ini. Istimewa jaket hijau khas ojek online yang dikenakan tampak ngatung di lengannya. Rasa-rasanya bukan Alexa yang mengendarai motor. Jangan-jangan..."Ayo, naik. Ngapain kamu terus memandangi saya? Rindu sekali ya karena sudah beberapa hari tidak saya marahi?"Nah kan, benar saja tebakannya. Om Demitlah yang menjemputnya. "Kok Om yang menjemput saya sih? Mbak Lexa ke mana?" Walau kesal, Alexa naik juga ke atas motor. "Alexa sedang disetrap Gala," sahut Demitrio singkat."Yah, kok ce
Demitrio membawa Kiran ke kafe Biru. Kafe Biru ini milik Ario Sentanu, teman SMAnya. Demitrio menyukai kafe ini karena pengaturan antar meja berjauhan satu sama lain. Dengan begitu pembicaraan tiap pengunjung menjadi lebih privat. "Hapus dulu riasan wajahmu di toilet, Ki. Jangan sampai orang mengira kalau saya baru saja menganiayamu." Demitrio memandu Kiran menuju toilet. "Saya sudah membersihkan wajah dengan tissue basah di ujung jalan tadi kok, Om," bantah Kiran. Ia memang sudah membersihkan wajah dengan berlembar-lembar tissue basah selama menunggu Alexa datang menjemputnya. "Tapi masih ada bagian yang belum bersih, Ki. Ini contohnya. Matamu masih mirip dengan film kolosal Pendekar Mata Satu." Demitrio mengusap mata kanan Kiran. "Masa sih?" Kiran meringis. Ia tengah membayangkan penampakannya ala aktor laga 90-an almarhum Advent Bangun. "Iya. Nih, lihat. Sisa bubuk pewarna matamu masih menempel di jari saya." Demitrio memperlihatkan residu berwarna abu-abu kehitaman di ujung
"Jadi si Rio benar-benar menangkap Ishana, Ki?"Kiran menjauhkan ponsel dari telinga. Suara Alexa yang berteriak di telinganya, membuat pendengarannya berdengung. Saat ini ia sudah berada di rumah. IPTU Rahman telah mengantarnya pulang sekitar dua jam yang lalu. "Iya, Mbak. Saya juga tidak menyangka kalau Om Demit bisa bertindak setegas itu," ujar Kiran sambil menghempaskan pinggulnya ke sofa. Setelahnya ia meraih remote dan menyalakan televisi. Jam-jam seperti ini adalah waktunya menonton berita-berita terupdate di televisi. Kelamaan di rumah, Kiran takut intuisinya sebagai seorang jurnalis akan tumpul. "Saya tadi antara senang, kasihan sama lucu juga melihat Mbak Is digelandang Om Demit ke kantor polisi." Kiran nyengir membayangkan saat Demitrio menangkap Ishana tadi."Senang sudah pastilah. Melihat musuh kita kalah itu, level kepuasaannya tidak terkatakan. Lucu juga okelah. Itu bagian dari kepuasan. Cuma kasihannya ini lho. Nggak pada tempatnya, Ki.""Kasihan karena Mbak Is itu d
Kiran menyapu lantai sambil memasang telinga baik-baik. Saat ini Marni tengah bertelepon ria dengan seseorang. Nada suaranya terdengar sangat antusias. "Tidak ada orang di sini kok, Bu. Ibu tidak perlu khawatir. Baiklah, sebentar saya ke kamar dulu." Marni membuka pintu kamar. Setelahnya ia melanjutkan pembicaraan dengan seseorang yang ia panggil dengan sebutan Ibu. Marni tidak sadar kalau pintu kamarnya tidak tertutup dengan sempurna. Sehingga Kiran bisa mendengarnya dengan cukup jelas dari balik pintu."Tenang, Bu. Saya bukan Rani ataupun Lisna yang gampang dikelabuhi oleh Pak Irman. Saya tidak senaif mereka."Berarti Marni tahu kalau Rani dan Lisna diperalat oleh Pak Irman.Kiran semakin merapatkan telinga ke pintu yang sedikit terbuka. "Pokoknya saya akan menjerat Pak Irman dengan segala daya dan pesona. Saya akan merebut semua yang seharusnya menjadi milik saya, dan Ibu harus membantu saya. Setelah puluhan tahun meninggalkan saya di panti asuhan, ini adalah saat yang tepat bagi