Kiran mengayun-ayun Aldy di lengannya. Memeluk sembari bergoyang ke kanan dan ke kiri. Meniru ibu-ibu yang sedang menidurkan anaknya.
"Ini gerakan gue udah bener atau kagak sih? Kok lama-lama gue kayak lagi nari poco-poco." Kiran bingung sendiri. Rasanya ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun Aldy masih belum juga tertidur. Balita ini terus menangis sesengukkan sambil memeluknya.
"Cup... cup... cup... Aldy jangan nangis lagi ya? Apa yang sakit? Bilang sama, Kakak." Kiran menyeka kening Aldy yang lembab oleh keringat. Sebenarnya bukan Aldy saja yang berkeringat. Tetapi dirinya juga. Menggendong anak berusia tiga tahun yang berbadan gembul membuat lengan dan pinggangnya pegal-pegal.
"Mama... mama... nangis." Dengan napas tersengal Aldy mulai berbicara.
"Kenapa Mama nangis, Aldy?" Kiran menginterogasi Aldy hati-hati. Setahunya anak usia tiga tahun itu sudah mulai bisa diajak bicara dua arah. Rizki, putri Andika juga berusia tiga tahu. Rizki sudah sangat lancar berbicara. Rizki bahkan sudah bisa bercerita.
"Mama jatuh. Mama tolong." Sekonyong-konyong Aldy berteriak. Pelukannya pada Kiran menguat. Aldy pasti teringat peristiwa mengerikan yang baru dialaminya. Kiran mengusap-usap punggung Aldy. Berusaha menenangkan Aldy dengan bahasa bayi yang ia ciptakan sendiri.
"Tidak apa-apa, Aldy. Tenang saja. Ada Kakak di sini."
Sebenarnya Kiran ingin sekali mengorek cerita dari Aldy. Tapi Kiran tidak sampai hati menanyakannya sekarang. Aldy masih trauma. Sementara dirinya bukan orang yang kompeten dibidang psikologi anak. Tidak adil rasanya kalau ia memanfaatkan Aldy demi memuaskan rasa ingin tahunya. Namun ia akan menyampaikan rasa curiganya akan ketidakwajaran tewasnya Bu Yanti pada Demitrio. Kebenaran harus ditegakkan.
"Papa... papa..." Aldy kembali memanggil ayahnya.
Saatnya beraksi! Dengan Aldy mencari Pak Irman, ia jadi punya kesempatan untuk mendengar percakapan Demitrio dengan para saksi.
"Aldy mau sama papa ya? Ayo kita cari papa." Kiran menaikkan gendongan pada Aldy yang merosot. Ternyata menggendong anak secapek ini rasanya. Padahal ia menggendong Aldy paling hanya dua belas menit. Kiran merasa harus sungkem pada ibu-ibu yang mampu menggendong anak-anak mereka seharian.
Kiran menghampiri petugas UGD. Menanyakan di mana ruang pertemuan intern rumah sakit, tempat Demitrio dan Pak Irman berbicara. Kiran beralasan kalau Aldy mencari ayahnya. Setelah mendapat ancer-ancernya, Kiran meninggalkan ruang UGD dan berjalan cepat ke ruangan pertemuan.
Setiba di pintu ruangan yang tertutup kaca, Kiran mengetuk tiga kali. Saat terdengar jawaban masuk, Kiran mendorong pintu dengan bahunya. Ia di sambut oleh Demitrio yang memelototinya kesal.
"Papa... papa..." Aldy mengangkat kedua tangannya ke udara. Isyarat bahwa ia ingin digendong oleh ayahnya.
"Om De--Pak Rio, ini Aldy rewel. Ingin sama papa katanya." Kiran mencari alasan. Ia juga mengubah panggilannya pada Demitrio. Pada saat berhadapan dengan orang banyak, ia harus bersikap profesional.
"Aldy mau sama Papa ya? Sini, Nak. Papa gendong."" Pak Irman menghampiri Aldy.
Tidak bisa! Kalau Aldy ia serahkan pada Pak Irman, kehadirannya tidak akan dibutuhkan lagi di sini. Ia harus memutar otak agar bisa ikut mendengarkan cerita para saksi mata ini.
"Tidak apa-apa, Pak Irman. Aldy bersama saya saja. Asal Aldy melihat kehadiran Bapak di dekatnya, pasti ia anteng. Ya Aldy ya?" Kiran membujuk Aldy. Karena Aldy tidak meronta, Pak Irman pun setuju.
"Baiklah. Pak Rio, silakan lanjutkan interogasinya pada Lisna." Pak Irman kembali duduk di kursinya. Kiran tetap berdiri sambil menimang-nimang Aldy agar ia betah. Walau lengannya keram, ia tetap fokus pada tujuan awalnya. Yaitu menggali berita tentang tewasnya Bu Yanti.
"Lanjutkan Anda melanjutkan cerita, Mbak Lisna. Apa yang Anda alami pada saat peristiwa kebakaran itu terjadi." Demitrio memfokuskan pandangan pada sang suster.
"Seperti yang saya bilang tadi. Saya terbangun ketika merasa sesak napas dan mendengar suara alarm kebakaran. Bik Hasni yang tidur di samping saya juga terbangun. Panik, saya dan Bik Hasni segera berlari ke kamar ibu. Kami takut kalau ibu dan Rani tidak terbangun."
"Anda ini perawat Bu Yanti bukan?" tanya Demitrio.
"Benar, Pak Polisi." Lisna mengangguk. Membenarkan pertanyaan Demitrio.
"Lantas mengapa Anda tidak tidur bersama Bu Yanti?" imbuh Demitrio lagi.
"Bu Yanti selalu tidur dengan Aldy kalau Pak Irman tidak tidur di apartemen, Pak. Nah, Aldy itu suka rewel tengah malam kalau tidak ada babysitternya. Makanya Rani yang tidur bersama Bu Yanti," terang Lisna.
"Baik, lanjutkan." Demitrio mengangguk singkat.
"Sesampainya di kamar, saya melihat Rani sudah menggendong Aldy. Tapi Bu Yanti masih di tempat tidur. Saya dan Bik Hasni segera mendudukkan Bu Yanti ke kursi roda. Rencananya kami akan berjalan ke pintu darurat untuk menyelamatkam diri. Sayangnya listrik tiba-tiba saja padam. Dalam keadaan gelap gulita kami semua mulai batuk-batuk hebat karena asap. Bik Hasni berinisiatif mencari handuk di kabinet kamar mandi untuk menutup hidung kami dari asap. Sementara saya kembali ke kamar untuk mengambil ponsel, agar kami memiliki penerangan. Saya menitipkan Bu Yanti pada Rani untuk diawasi."
Lisna menarik napas berkali-kali saat menceritakan peristiwa yang baru saya dialaminya. Dadanya mendadak sesak saat mengingat kejadian setelahnya. Banyak sekali hal yang terjadi dalam waktu sepersekian detik itu.
"Kalian tidak punya senter?" Demitrio memotong cerita Lisna.
"Tidak, Pak Polisi." Kali ini Bik Hasni yang menjawab. Karena urusan kebutuhan rumah tangga adalah tanggungjawabnya.
"Kami baru pindah ke apartemen ini sekitar dua minggu lalu. Kami--"
"Bibik sangat teledor! Lihatlah hasil dari keteledoran Bibik. Ibu yang jadi korban!" Pak Irman menggebrak meja.
"Saya minta maaf, Pak. Saya salah karena terlalu menganggap sepele hal kecil seperti senter. Saya pikir dengan adanya tabung pemadam kebakaran, alat pendeteksi asap dan api, senter tidak diperlukan lagi. Saya benar-benar minta maaf." Bik Hasni sangat menyesali keteledorannya.
"Jangan main pikir saja! Hal-hal darurat itu tidak bisa cuma dipikir," amuk Pak Irman.
"Sudah, Pak Irman. Kita fokus pada masalah saja." Demitrio menghentikan perdebatan yang sia-sia.
"Mengapa tidak menggunakan penerangan dari ponsel Anda atau Bu Yanti saja?" Demitrio sekarang mencecar Rani.
"Saya menggendong Aldy dan harus menjaga Bu Yanti. Saya panik dan tidak sempat memikirkan di mana ponsel saya. Begitu juga dengan Bu Yanti," ucap Rani jujur.
"Baik, lanjutkan cerita Anda, Mbak Lisna." Interogasi beralih pada Lisna kembali.
"Setelah menemukan ponsel di kamar, saya menyalakan flashlight. Saat itulah saya mendengar suara teriakan yang berbarengan. Saat saya sampai di kamar, ternyata Bu Yanti terjatuh dari jendela. Yang tertinggal hanya kursi rodanya." Lisna terisak. Ada penyesalan di air mukanya.
"Di mana Mbak Rani dan Bik Hasni saat itu?"
"Saya melihat mereka berdua di kamar mandi, dengan handuk menutupi hidung dan mulut mereka masing-masing." Lisna mengingat-ingat kejadian beberapa jam lalu.
"Rani tidak menjaga Bu Yanti dengan baik. Padahal saya sudah berpesan padanya!" Lisna mendadak histeris.
"Cukup, Mbak Lisna. Sekarang giliran Mbak Rani yang berbicara," tegas Demitrio.Kiran mengamati alibi semua orang dalam diam. Merasakan tidak ada gerakan lagi di buaiannya, Kiran memeriksa keadaan Aldy. Balita malang ini sudah tertidur rupanya. Syukurlah. Dengan sebelah tangan, Kiran menarik kursi di pojok ruangan. Ia membalikkan sandaran kursi, sebelum duduk dengan hati-hati agar Aldy tidak terbangun. Sandaran kursi terpaksa ia balik, agar ranselnya tidak mengganjal punggungnya. Setelah menempatkan Aldy dengan nyaman di pangkuannya, barulah Kiran kembali mengamati interogasi Demitrio. Rasa penasarannya meluap-luap. Ia bertekad untuk menguak keanehan tewasnya Bu Yanti ini."Di mana Anda saat Bu Yanti jatuh?" Demitrio bertanya pada Rani. "Seperti yang dikatakan Lisna, saya--""Saya ingin mendengar jawaban dari mulut Anda. Bukan Lisna," tegas Demitrio."Baik." Rani menelan ludah. Penyesalan masih memayungi wajah sendunya."Saya merasa sesak napas. Aldy dan Bu Yanti juga terus batuk-b
"Nanti malam kamu tidak ke mana-mana 'kan, Yo?" Gadis menyapa putra sulungnya. Pagi ini mereka sedang sarapan bersama. Mempunyai suami dan putra seorang polisi membuat ia sulit sekali mempunyai waktu luang membersamai keduanya. Profesi anak dan suaminya ini tidak mempunyai jam kerja yang tetap. Mereka harus siap siaga bekerja sewaktu-waktu. Ditambah dirinya yang juga berprofesi sebagai seorang dokter, membuat waktu mereka bertemu menjadi kian terbatas. Sarapan pagi adalah satu-satunya momen di mana mereka bertiga bisa saling bertukar cerita sebelum masing-masing beraktivitas. Demitrio saling pandang dengan sang ayah sebelum meletakkan peralatan makannya. Mulai lagi. Pasti ibunya kembali dalam misi mencarikan jodoh untuknya. "Kenapa memangnya, Bu?" Demitrio pura-pura tidak tahu. Peringatan melalui tatapan tajam sang ayah, membuatnya tidak berkutik. Ayahnya memintanya untuk tidak menolak permintaan sang ibu. "Bu Ambar dan Ishana mau berkunjung," ungkap Gadis gembira. Demitrio diam.
"Abang sama sekali menyangka. Kalau anak bawang sepertimu ini ternyata begini insting dasar dan nyalinya." Bang Barry mengacungkan jempolnya. "Ah kagak begitu-begitu amat juga kehebatan saya, Bang. Cuma kebetulan doang." Kiran nyengir. Bang Barry ini berusia jauh di atasnya. Namun sikapnya pada junior patut diacungi jempol. Bang Barry tidak pernah ngebossy apalagi menindas juniornya. Makanya Kiran nyaman berinteraksi dengannya. "Lo emang hebat, Bocah. Kagak usah ngerendah begitu. Terima aja pujian yang memang pantas lo terima." Andika mengacak-acak rambut Kiran. Kiran tersenyum kikuk. Ia risih dipuji-puji orang sekantor. Selain itu ia tidak enak dengan tim-tim dari divisi lain. Khususnya dengan Tim Mega dan Bang Arman. Keduanya tampak memasang muka masam di kubikel masing-masing. Wajar, karena pada saat peliputan di rumah sakit, Mega dan Bang Arman lah yang live report. Namun mereka berdua sama sekali tidak disinggung oleh Pak Herlambang. Pak Jaswin selaku Korlip juga tidak mengata
Kiran bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti alunan lagu di dalam mobil. Saat berkendara sendirian seperti ini, ia memang senang mendengarkan musik. Hari ini moodnya sedang bagus-bagusnya. Dipuji oleh Pak Jaswin sekaligus Pak Herlambang itu luar biasa langkanya. Andika tadi mengatakan bahwa ia telah menggunakan setahun keberuntungannya khusus untuk hari ini.Sekitar seratus meter di depan, tampak lampu lalu lintas berubah dari kuning ke merah. Itu artinya ia harus menghentikan laju kendaraan. Kiran menginjak pedal rem. Kiran merasa ada sesuatu yang salah, saat pedal rem yang ia injak langsung mencelos ke lantai mobil. Rem mobilnya blong!Kiran panik saat mobilnya meluncur melewati lampu lalu lintas dan langsung menuju empat jalur lalu lintas yang tengah ramai oleh kendaraan. Dalam waktu sepersekian detik, Kiran memutuskan untuk melakukan rem darurat dengan cara menarik rem tangan. Akibat melakukan rem tangan dalam keadaan mobil melaju kencang, ban mobilnya slip dan kehilangan traksi.Mobil
"Rem saya blong, Om. Makanya saya terpaksa mengerem darurat dengan rem tangan," tukas Kiran apa adanya.Demitrio melirik mobil Kiran yang tergeletak di ujung jalan. Ban depan mobilnya naik hingga ke trotoar. Kiran mengikuti tatapan Demitrio. Mengamati kerusakan mobilnya dan bergidik. Ia telah menabrak begitu keras hingga kerangkanya bengkok menjadi huruf U. Sisi penumpang mobilnya juga rusak parah. Tidak heran kalau kaca mobilnya sampai lepas. Jika bukan karena sabuk pengaman, mungkin ia juga sudah terlempar keluar."Mobilmu kapan terakhir kali diservis?" tanya Demitrio penasaran."Minggu lalu, Om. Saya rajin menservis kendaraan.""Oke, sebentar." Demitrio beranjak. Ia menghampiri mobil Kiran. Setelah melongok ke dalam mobil sebentar, Demitrio merebahkan diri di trotoar. Ia kemudian menyelipkan kepala serta bahunya ke bawah mobil, tepat di belakang ban depan. Kiran bergidik. Ia takut Demitrio terkena pecahan kaca. Apa sebenarnya yang sedang dicari oleh Demitrio?Sejurus kemudian Demit
Demitrio berdecak saat merasakan ponsel di sakunya bergetar. Pasti ibunya yang menelepon. Demitrio memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul sembilan kurang sepuluh menit. Itu artinya janjinya untuk bertemu dengan Bu Ambar dan Ishana, sudah terlambat hampir dua jam lamanya."Ya, Bu?" Demitrio memasang head set karena sedang berkendara. Bersiap-siap mendengar omelan sang ibu. Ibunya telah melakukan panggilan sebanyak enam kali, tanpa ia sempat mengangkatnya. Ia sedang sibuk mengurus Kiran dan korban-korban kecelakaan lainnya pada saat ibunya menelepon."Kamu ini bagaimana sih, Yo? Janji jam tujuh malam. Ini sudah pukul sembilan, kamu belum sampai di rumah. Ibu jadi tidak enak dengan Bu Ambar dan Ishana.""Maaf, Bu. Ada kejadian darurat. Kiran kecelakan--""Hah, Kiran kecelakaan? Bagaimana keadaannya sekarang?""Kiran hanya menderita luka-luka kecil. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit bersama dengan korban-korban lainnya. Kecelakaan yang Kiran alami ini beruntun. Rio terlambat kar
Kiran membolak-balik tubuhnya di ranjang gelisah. Nyaris seminggu tidak melakukan aktivitas apapun dan hanya berbaring di rumah, membuatnya bosan tingkat dewa. Kiran beranjak dari ranjang.Tidak bisa! Ia akan gila kalau terus golek-golek di kamar. Toh luka-lukanya sudah mulai mengering. Memar-memarnya juga telah berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Artinya sudah hampir sembuh seperti sediakala. Ponselnya berdering. Kiran bergegas meraihnya dari nakas. Senyumnya merekah saat memindai Pak Jaswin lah yang meneleponnya."Ya, Pak. Saya siap bertugas!" Kiran menjawab semangat."Saya belum mengatakan apa-apa padamu. Mengapa kamu menjawab siap bertugas saja?"Ya, karena Bapak meneleponlah. Kalau tidak ada tugas, ngapain juga Bapak capek-capek menelepon saya?"Karena saya sekarang memang sudah siap bertugas, Pak." Kiran memberi jawaban yang lebih sopan. Bisa diiris kecil-kecil dirinya kalau berani berbicara sefrontal itu pada Pak Jaswin. "Kamu memang benar-benar anak muda yang bersemang
"Sudah berapa lama Anda menjadi babysitter Aldy?" Demitrio mulai menginterogasi Rani Permata Sari. Ia telah mendapatkan benang merah atas peristiwa tewasnya Irianti Sadikin atau yang kerap disapa Yanti. Kiran berperan penting dalam penyelidikannya kali ini. Karena atas informasi dan barang bukti dari Kiran lah, ia menginterogasi Rani untuk kedua kalinya siang ini."Sekitar tiga setengah tahun yang lalu, Pak," jawab Rani jujur."Tiga setengah tahun. Itu berarti dari sebelum Bu Yanti melahirkan Aldy. Benar tidak?" tanya Demitrio sambil lalu."Benar, Pak," Rani mengangguk mengiyakan."Dari sebelum Bu Yanti kecelakaan mengalami lalu lintas juga ya?" Demitrio mengetuk-ngetukan jemarinya pada meja kaca. Ia ingin memberi kesan santai pada Rani. Dengan demikian diharapkan Rani akan rileks dan kehilangan kewaspadaan."Benar, Pak." Rani kembali mengangguk."Siapa yang Anda asuh tiga tahun yang lalu di sana? Toh Aldy belum lahir sementara Bu Yanti juga masih sehat walafiat? Masa Anda mengasuh P