"Abang sama sekali menyangka. Kalau anak bawang sepertimu ini ternyata begini insting dasar dan nyalinya." Bang Barry mengacungkan jempolnya. "Ah kagak begitu-begitu amat juga kehebatan saya, Bang. Cuma kebetulan doang." Kiran nyengir. Bang Barry ini berusia jauh di atasnya. Namun sikapnya pada junior patut diacungi jempol. Bang Barry tidak pernah ngebossy apalagi menindas juniornya. Makanya Kiran nyaman berinteraksi dengannya. "Lo emang hebat, Bocah. Kagak usah ngerendah begitu. Terima aja pujian yang memang pantas lo terima." Andika mengacak-acak rambut Kiran. Kiran tersenyum kikuk. Ia risih dipuji-puji orang sekantor. Selain itu ia tidak enak dengan tim-tim dari divisi lain. Khususnya dengan Tim Mega dan Bang Arman. Keduanya tampak memasang muka masam di kubikel masing-masing. Wajar, karena pada saat peliputan di rumah sakit, Mega dan Bang Arman lah yang live report. Namun mereka berdua sama sekali tidak disinggung oleh Pak Herlambang. Pak Jaswin selaku Korlip juga tidak mengata
Kiran bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti alunan lagu di dalam mobil. Saat berkendara sendirian seperti ini, ia memang senang mendengarkan musik. Hari ini moodnya sedang bagus-bagusnya. Dipuji oleh Pak Jaswin sekaligus Pak Herlambang itu luar biasa langkanya. Andika tadi mengatakan bahwa ia telah menggunakan setahun keberuntungannya khusus untuk hari ini.Sekitar seratus meter di depan, tampak lampu lalu lintas berubah dari kuning ke merah. Itu artinya ia harus menghentikan laju kendaraan. Kiran menginjak pedal rem. Kiran merasa ada sesuatu yang salah, saat pedal rem yang ia injak langsung mencelos ke lantai mobil. Rem mobilnya blong!Kiran panik saat mobilnya meluncur melewati lampu lalu lintas dan langsung menuju empat jalur lalu lintas yang tengah ramai oleh kendaraan. Dalam waktu sepersekian detik, Kiran memutuskan untuk melakukan rem darurat dengan cara menarik rem tangan. Akibat melakukan rem tangan dalam keadaan mobil melaju kencang, ban mobilnya slip dan kehilangan traksi.Mobil
"Rem saya blong, Om. Makanya saya terpaksa mengerem darurat dengan rem tangan," tukas Kiran apa adanya.Demitrio melirik mobil Kiran yang tergeletak di ujung jalan. Ban depan mobilnya naik hingga ke trotoar. Kiran mengikuti tatapan Demitrio. Mengamati kerusakan mobilnya dan bergidik. Ia telah menabrak begitu keras hingga kerangkanya bengkok menjadi huruf U. Sisi penumpang mobilnya juga rusak parah. Tidak heran kalau kaca mobilnya sampai lepas. Jika bukan karena sabuk pengaman, mungkin ia juga sudah terlempar keluar."Mobilmu kapan terakhir kali diservis?" tanya Demitrio penasaran."Minggu lalu, Om. Saya rajin menservis kendaraan.""Oke, sebentar." Demitrio beranjak. Ia menghampiri mobil Kiran. Setelah melongok ke dalam mobil sebentar, Demitrio merebahkan diri di trotoar. Ia kemudian menyelipkan kepala serta bahunya ke bawah mobil, tepat di belakang ban depan. Kiran bergidik. Ia takut Demitrio terkena pecahan kaca. Apa sebenarnya yang sedang dicari oleh Demitrio?Sejurus kemudian Demit
Demitrio berdecak saat merasakan ponsel di sakunya bergetar. Pasti ibunya yang menelepon. Demitrio memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul sembilan kurang sepuluh menit. Itu artinya janjinya untuk bertemu dengan Bu Ambar dan Ishana, sudah terlambat hampir dua jam lamanya."Ya, Bu?" Demitrio memasang head set karena sedang berkendara. Bersiap-siap mendengar omelan sang ibu. Ibunya telah melakukan panggilan sebanyak enam kali, tanpa ia sempat mengangkatnya. Ia sedang sibuk mengurus Kiran dan korban-korban kecelakaan lainnya pada saat ibunya menelepon."Kamu ini bagaimana sih, Yo? Janji jam tujuh malam. Ini sudah pukul sembilan, kamu belum sampai di rumah. Ibu jadi tidak enak dengan Bu Ambar dan Ishana.""Maaf, Bu. Ada kejadian darurat. Kiran kecelakan--""Hah, Kiran kecelakaan? Bagaimana keadaannya sekarang?""Kiran hanya menderita luka-luka kecil. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit bersama dengan korban-korban lainnya. Kecelakaan yang Kiran alami ini beruntun. Rio terlambat kar
Kiran membolak-balik tubuhnya di ranjang gelisah. Nyaris seminggu tidak melakukan aktivitas apapun dan hanya berbaring di rumah, membuatnya bosan tingkat dewa. Kiran beranjak dari ranjang.Tidak bisa! Ia akan gila kalau terus golek-golek di kamar. Toh luka-lukanya sudah mulai mengering. Memar-memarnya juga telah berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Artinya sudah hampir sembuh seperti sediakala. Ponselnya berdering. Kiran bergegas meraihnya dari nakas. Senyumnya merekah saat memindai Pak Jaswin lah yang meneleponnya."Ya, Pak. Saya siap bertugas!" Kiran menjawab semangat."Saya belum mengatakan apa-apa padamu. Mengapa kamu menjawab siap bertugas saja?"Ya, karena Bapak meneleponlah. Kalau tidak ada tugas, ngapain juga Bapak capek-capek menelepon saya?"Karena saya sekarang memang sudah siap bertugas, Pak." Kiran memberi jawaban yang lebih sopan. Bisa diiris kecil-kecil dirinya kalau berani berbicara sefrontal itu pada Pak Jaswin. "Kamu memang benar-benar anak muda yang bersemang
"Sudah berapa lama Anda menjadi babysitter Aldy?" Demitrio mulai menginterogasi Rani Permata Sari. Ia telah mendapatkan benang merah atas peristiwa tewasnya Irianti Sadikin atau yang kerap disapa Yanti. Kiran berperan penting dalam penyelidikannya kali ini. Karena atas informasi dan barang bukti dari Kiran lah, ia menginterogasi Rani untuk kedua kalinya siang ini."Sekitar tiga setengah tahun yang lalu, Pak," jawab Rani jujur."Tiga setengah tahun. Itu berarti dari sebelum Bu Yanti melahirkan Aldy. Benar tidak?" tanya Demitrio sambil lalu."Benar, Pak," Rani mengangguk mengiyakan."Dari sebelum Bu Yanti kecelakaan mengalami lalu lintas juga ya?" Demitrio mengetuk-ngetukan jemarinya pada meja kaca. Ia ingin memberi kesan santai pada Rani. Dengan demikian diharapkan Rani akan rileks dan kehilangan kewaspadaan."Benar, Pak." Rani kembali mengangguk."Siapa yang Anda asuh tiga tahun yang lalu di sana? Toh Aldy belum lahir sementara Bu Yanti juga masih sehat walafiat? Masa Anda mengasuh P
"Jangan, Pak Polisi. Saya jangan distrum. Saya akan mengaku." Rani ikut berdiri dari kursi. Ia takut distrum seperti adegan di film-film. Rasanya pasti sangat menyakitkan."Bagus. Kalau begitu ceritakan saja yang sebenar-benarnya. Kalau Anda kooperatif, pemeriksaan akan lebih selesai." Demitrio kembali duduk di kursinya. Demikian juga dengan Rani. Setelah berdiam diri sejenak, Rani pun mulai berbicara."Bu Yanti itu manipulatif. Kalau di depan orang banyak, ia selalu bersikap lembut dan baik hati. Padahal sebenarnya galak dan menyebalkan. Saya benci padanya." Rani memulai ceritanya."Lantas Anda mulai membakar apartemen untuk membalas dendam pada Bu Yanti. Begitu?" Demitrio mengubah posisi duduknya. Ia telah mendapatkan motif Rani mencelakai majikannya."Tidak, Pak. Saya tidak seberani itu membakar apartemen." Rani menggeleng."Malam dini hari itu memang terjadi kebakaran. Kami semua tentu saja panik. Saat Bik Hasni mengambil handuk di kamar mandi dan Lisna meminta saya menjaga Bu Yan
"Mbak Mega dan Bang Arman pulang aja duluan. Saya nanti dijemput papa," usul Kiran pada kedua rekan kerjanya. Mega dan Bang Arman memang sudah bersiap-siap untuk pulang."Ngapain papa lo ke sini, Ki? Udah malem lagi ini." Mega memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul 19.31 WIB. "Bokapnya 'kan pengacara, Ga. Urusannya ya nggak jauh-jauh dari pengadilan dan kantor polisi." Arman menimpali pertanyaan Mega. "Sebentar, Mbak." Kiran pura-pura mengangkat telepon."Ya, Pa? Papa sudah mau sampai ya? Ya sudah, Kiran tunggu di sini ya?" Kiran menutup ponsel. "Ya udah kalo bokap lo mau dateng. Kami pulang dulu," pungkas Mega. Ia kemudian memberi kode pada Arman untuk melanjutkan perjalanan. Setelah Mega dan Bang Arman berlalu, Kiran kembali mengeluarkan ponselnya. Ia kemudian menekan sebuah nama dikontaknya. Panggilannya tidak langsung dijawab. Setelah menunggu sekian lama dan mengira panggilannya diabaikan, terdengar satu sapaan dingin."Hallo."Alhamdullilah."Om, saya ke tempat Om seka