Kiran melambatkan laju mobil belum benar-benar berhenti. Suasana hiruk pikuk sudah terdengar dari ujung jalan menuju apartemen. Kiran sadar bahwa dalam suasana kacau seperti ini kecil kemungkinan ia bisa masuk ke lokasi kebakaran.
Saat ini saja Satpam sudah terlibat baku mulut dengan sejumlah orang yang memaksa masuk ke TKP. Mereka ingin melihat keadaan sanak saudara di dalam sana.
Kiran memutuskan untuk meninggalkan mobil di ujung jalan. Memindai ke sudut lainnya, Kiran lega. Ada mobil SNG alias Satellite News Gathering stasiun televisi tempatnya bekerja. Itu artinya Andika dan kru telah selamat sampai di TKP. Beberapa stasiun televisi lain juga parkir di sana.
Menyandang ransel yang berisi peralatan tempurnya, Kiran menyelinap dalam rombongan orang-orang yang memaksa masuk ke dalam perumahan. Kiran menunggu saat yang tepat untuk masuk ke TKP. Melihat keributan yang tidak kunjung berhenti, mustahil ia diberi izin masuk walaupun ia dari kalangan pers. Apalagi yang sedang bermasalah adalah seorang pejabat. Praktek di lapangan, orang-orang media seperti dirinyalah yang paling dihindari oleh para elit politik yang sedang bermasalah. Kalau untuk menaikkan pamor, lain lagi ceritanya. Medialah yang mereka cari-cari. Standar ganda adalah nama tengah mereka.
"Buka pintu gerbangnya, Pak! Buka! Kami ingin melihat keadaan sanak saudara kami di dalam sana!" Teriakan yang dibarengi amarah kembali membahana.
"Tidak bisa. Kalau kalian masuk, artinya kalian akan menghalangi jalan masuk untuk mobil Damkar, ambulance dan yang lainnya. Kalian ingin sanak saudara kalian selamat bukan? Saat ini ada beberapa petugas apartemen yang berupaya memadamkan api dengan APAR. Kalian tunggu saja pemadam kebakaran yang sebentar lagi datang!" Satpam penjaga pintu gerbang balas berteriak.
Baru saja diperingati Satpam, terdengar sirene mobil Damkar yang saling bersahutan. Satu, dua, tiga hingga delapan! Kiran menghitung ada delapan mobil Damkar. Berarti kebakaran di dalam sana cukup luas.
Di belakang mobil Damkar, menyusul mobil ambulance dan juga mobil polisi. Sirene dari tiga instrumen menakutkan itu terdengar nyaring di tengah malam buta.
Tepat ketika pintu gerbang dibuka lebar, Kiran berlari kencang di samping mobil Damkar yang juga melesat kencang. Di belakangnya orang-orang ikut berlari. Namun Satpam apartemen dengan cepat menahan mereka. Kiran yang lolos tidak memperhatikan lagi pertengkaran di belakangnya. Yang ia dengar hanya sirene ambulance dan mobil polisi yang menerobos kerumunan.
Kiran terus berlari mendekati lokasi. Seketika hembusan angin panas menerpa wajahnya. Refleks Kiran menutup wajah dengan kedua tangan. Wajahnya serasa ikut terpanggang.
Kiran memperhatikan unit Api tampak menjilat-jilat ganas di jendela unit Pak Irman Sadikin, sementara unit-unit yang lain mulai diselimuti asap tebal. Info Pak Jaswin akurat. Titik api memang berasal dari apartemen Pak Irman Sadikin. Saat ini para anggota Damkar sedang berupaya memadamkan api. Suasana tampak riuh sekaligus tegang.
"Ki, lo berdiri ke kiri dikit. Kita live report dari sini aja. Anglenya bagus. Apa asap yang membumbung dan petugas Damkar yang tengah bekerja."
Suara Andika, kameramennya.
"Cepetan siapin mic lo, Ki." Andika kembali berteriak.
Kiran mengacungkan jempol. Tanda bahwa ia mengerti maksud Andika. Ia kemudian melakukan kontak dengan kru di mobil SNR sebelum live.
Saat Andika mengarahkan kamera, Kiran pun mulai melaporkan berita.
"Selamat malam, pemirsa. Telah terjadi kebakaran di Apartemen Mutiara Hijau pada pukul dua lebih sepuluh menit dini hari. Titik api diduga berasal dari apartemen yang dihuni sementara oleh keluarga Pak Irman Sadikin."
Kiran pindah lokasi saat petugas Damkar memintanya menjauh. Ia bahkan nyaris tersungkur saat salah seorang petugas Damkar yang berkutat dengan fire hose atau selang air, menabraknya karena terburu-buru.
"Untuk mengetahui penyebab kebakaran, saya akan bertanya pada penghuni apartemen yang telah mengungsi untuk dimintai keterangan."
Kiran mendekati kerumunan yang ia duga adalah penghuni apartemen yang sudah keluar dari lokasi kebakaran. Baru saja, Kiran ingin mewawancari salah seorang saksi mata, terdengar jeritan ngeri dari orang-orang di depannya. Kiran refleks membalikkan tubuh. Ia ikut menjerit ngeri saat melihat bayangan sesosok tubuh melayang dari atas apartemen.
Memberi kode agar Andika mengikutinya, Kiran berlari ke arah sosok itu terjatuh. Kiran nyaris berhasil mendekati sosok yang tergeletak beberapa meter di hadapannya, sebelum seseorang menariknya kasar menjauhi lokasi.
"Mundur! Jangan mendekati TKP. Kalian orang-orang media selalu merusuh di saat yang tidak tepat!" Teriakan keras di sisi telinga Kiran membuat gendang telinganya sakit. Belum lagi cengkraman di pergelangan tangannya.
Eh tunggu-tunggu. Sepertinya ia familiar dengan suara ini. Jangan- jangan ini adalah--
"Om Demit!" Kiran mendecakkan lidah. Tebakannya benar. AKP Demitrio Atmanegara alias Om Demit lah yang membentaknya.
"Panggil saya, Rio. Bukan Demit. Jauhi TKP ini. Biarkan para petugas yang berwenang yang bekerja." Demitrio menarik pergelangan tangan Kiran kesal. Bandit kecil ini selalu saja mengganggu pekerjaannya.
"Om tidak berhak mengusir saya. Saya ini orang pers. Saya berhak mengabarkan berita pada dunia!" Kiran tidak mau kalah gertak. Ia berusaha melepaskan cengkraman tangan Demitrio. Masalahnya dia tidak berhasil. Boro-boro melepaskan, melonggarkannya saja ia tidak kuasa.
"Saya juga mempunyai hak untuk menjaga TKP agar tetap steril," hardik Demitrio keras.
"Kalau kamu berani-berani mendekat lagi, saya akan melemparkan kamu ke dalam kobaran api. Mau kamu?" tantang Demitrio kesal. Ia kemudian melepaskan cengkraman tangannya pada Kiran dengan sukarela. Petugas ambulance telah membawa sosok yang terjun bebas dari atas apartemen menuju mobil. Demitrio mengikuti petugas ambulance untuk mengecek keadaan sosok tersebut.
Kiran tidak mau menyerah. Ia penasaran dengan sosok orang yang terjun bebas itu. Di belakang Demitrio ia melihat sosok yang terbaring di atas brankar itu dinaikkan ke dalam mobil ambulance. Pintu ambulance kemudian ditutup, sebelum ambulance berlalu dengan sirene meraung-raung. Demitrio mengikuti dengan mobil polisi di belakang ambulance tersebut.
Kiran mendekati di mana mobil ambulance tadi di parkir. Sekilas ia sempat melihat sesuatu terjatuh dari tangan sosok tadi, saat di naikkan ke dalam mobil. Menggunakan senter kecil yang ia ambil dari ransel, Kiran menyinari lokasi. Ia menemukan sebuah kancing berbahan kain berwarna merah muda dan secarik kain dengan warna serupa.
"Ki, lo ngapain? Ayo kita meliput. Ntar kita dimarahin Pak Jaswin. Polisi tadi udah pergi 'kan? Kita wawancarai orang-orang di sini dulu mengenai penyebab kebakaran. Cepetan!"
Teriakan Andika menyadarkan Kiran. Ia segera mengantongi kancing dan juga secarik kain tersebut di saku celananya.
Kiran kemudian mewawancarai saksi mata yang mengatakan bahwa api mulai terlihat pada pukul dua kurang lima belas menit dini hari. Mengenai penyebab kebakaran, mereka tidak tahu pasti apa yang terjadi.
Selanjutnya Kiran dan Andika sibuk memotret kejadian di TKP. Mulai dari kesibukan para petugas DAMKAR yang berjuang memadamkan api, hingga mengevakuasi korban. Api mulai bisa dijinakkan sekitar dua jam kemudian.
Tugas hari ini tunai sudah. Namun ada sesuatu yang mengganjal di hati Kiran. Ia penasaran dengan sosok yang terjun bebas dari atas apartemen. Siapakah sosok itu? Pertanyaan lainnya mengapa ia menggenggam kancing dan secarik kain itu?
Kiran memotret sekali lagi sebelum menyimpan ponselnya. Ia sudah mendapatkan photo-photo momen-momen puncak yang paling disukai oleh Pak Jaswin. Seperti potret saat petugas pemadam kebakaran berupaya memadamkan api, hingga evakuasi para korban ke mobil ambulance.Sekarang yang harus ia lakukan adalah mencari sumber informasi lain untuk melengkapi tulisannya besok pagi. Liputan pertamanya tadi belum mendapatkan konsep 5W+1H. Sementara besok tadi pagi dia sudah harus menyerahkan tulisannya pada editor untuk tayang di media online maupun cetak. "Dik, lo di sini dulu ya? Gue pengen ke rumah sakit ngeliat korban-korban yang dievakuasi. Terutama korban yang terjun bebas tadi. Gue penasaran pengen tahu identitasnya. Ngeliat posisi jatuhnya tadi, gue menduga koran adalah salah satu penghuni apartemen Pak Irman Sadikin," ungkap Kiran semangat."Ngapain, Ki? Tadi gue denger dari kru di mobil SNG kalo Pak Jaswin udah menurunkan tim Mbak Mega di sana. Udah, kita di sini aja sampai Pak Jaswin mem
Ketika pandangan Kiran membentur dua gadis muda yang salah seorangnya mengenakan seragam khas babysitter, Kiran pun bergegas menghampiri. Dugaannya babysitter itu adalah pengasuh anak Pak Irman Sadikin. Sedangkan seorang gadis muda lagi yang berpiyama batik adalah suster Bu Yanti. Sedangkan seorang wanita paruh baya yang berdiri di antara mereka pastilah sang ART. Wajah ketiganya coreng moreng penuh jelaga. Keyakinan Kiran bertambah, saat melihat sang babysitter menggendong anak kecil yang terus menangis dan meronta-ronta saat akan dibaringkan ke bed periksa. Wajah anak balita itu juga penuh jelaga dan sesekali terbatuk di antara tangisnya."Aldy tiduran dulu di sini ya? Biar Pak Dokter gampang memeriksanya." Babysitter bersanggul cepol yang sudah acak-acak itu berusaha menenangkan anak asuhannya. "Pasti aku akan diamuk Pak Irman, karena tidak bisa menjaga Ibu. Bagaimana ini, bagaimana?" Gadis muda berpiyama batik menangis ketakutan. Kedua tangannya tidak bisa berhenti bergetar. "K
Kiran mengayun-ayun Aldy di lengannya. Memeluk sembari bergoyang ke kanan dan ke kiri. Meniru ibu-ibu yang sedang menidurkan anaknya. "Ini gerakan gue udah bener atau kagak sih? Kok lama-lama gue kayak lagi nari poco-poco." Kiran bingung sendiri. Rasanya ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun Aldy masih belum juga tertidur. Balita ini terus menangis sesengukkan sambil memeluknya."Cup... cup... cup... Aldy jangan nangis lagi ya? Apa yang sakit? Bilang sama, Kakak." Kiran menyeka kening Aldy yang lembab oleh keringat. Sebenarnya bukan Aldy saja yang berkeringat. Tetapi dirinya juga. Menggendong anak berusia tiga tahun yang berbadan gembul membuat lengan dan pinggangnya pegal-pegal."Mama... mama... nangis." Dengan napas tersengal Aldy mulai berbicara."Kenapa Mama nangis, Aldy?" Kiran menginterogasi Aldy hati-hati. Setahunya anak usia tiga tahun itu sudah mulai bisa diajak bicara dua arah. Rizki, putri Andika juga berusia tiga tahu. Rizki sudah sangat lancar berbicara. Rizki bahk
"Cukup, Mbak Lisna. Sekarang giliran Mbak Rani yang berbicara," tegas Demitrio.Kiran mengamati alibi semua orang dalam diam. Merasakan tidak ada gerakan lagi di buaiannya, Kiran memeriksa keadaan Aldy. Balita malang ini sudah tertidur rupanya. Syukurlah. Dengan sebelah tangan, Kiran menarik kursi di pojok ruangan. Ia membalikkan sandaran kursi, sebelum duduk dengan hati-hati agar Aldy tidak terbangun. Sandaran kursi terpaksa ia balik, agar ranselnya tidak mengganjal punggungnya. Setelah menempatkan Aldy dengan nyaman di pangkuannya, barulah Kiran kembali mengamati interogasi Demitrio. Rasa penasarannya meluap-luap. Ia bertekad untuk menguak keanehan tewasnya Bu Yanti ini."Di mana Anda saat Bu Yanti jatuh?" Demitrio bertanya pada Rani. "Seperti yang dikatakan Lisna, saya--""Saya ingin mendengar jawaban dari mulut Anda. Bukan Lisna," tegas Demitrio."Baik." Rani menelan ludah. Penyesalan masih memayungi wajah sendunya."Saya merasa sesak napas. Aldy dan Bu Yanti juga terus batuk-b
"Nanti malam kamu tidak ke mana-mana 'kan, Yo?" Gadis menyapa putra sulungnya. Pagi ini mereka sedang sarapan bersama. Mempunyai suami dan putra seorang polisi membuat ia sulit sekali mempunyai waktu luang membersamai keduanya. Profesi anak dan suaminya ini tidak mempunyai jam kerja yang tetap. Mereka harus siap siaga bekerja sewaktu-waktu. Ditambah dirinya yang juga berprofesi sebagai seorang dokter, membuat waktu mereka bertemu menjadi kian terbatas. Sarapan pagi adalah satu-satunya momen di mana mereka bertiga bisa saling bertukar cerita sebelum masing-masing beraktivitas. Demitrio saling pandang dengan sang ayah sebelum meletakkan peralatan makannya. Mulai lagi. Pasti ibunya kembali dalam misi mencarikan jodoh untuknya. "Kenapa memangnya, Bu?" Demitrio pura-pura tidak tahu. Peringatan melalui tatapan tajam sang ayah, membuatnya tidak berkutik. Ayahnya memintanya untuk tidak menolak permintaan sang ibu. "Bu Ambar dan Ishana mau berkunjung," ungkap Gadis gembira. Demitrio diam.
"Abang sama sekali menyangka. Kalau anak bawang sepertimu ini ternyata begini insting dasar dan nyalinya." Bang Barry mengacungkan jempolnya. "Ah kagak begitu-begitu amat juga kehebatan saya, Bang. Cuma kebetulan doang." Kiran nyengir. Bang Barry ini berusia jauh di atasnya. Namun sikapnya pada junior patut diacungi jempol. Bang Barry tidak pernah ngebossy apalagi menindas juniornya. Makanya Kiran nyaman berinteraksi dengannya. "Lo emang hebat, Bocah. Kagak usah ngerendah begitu. Terima aja pujian yang memang pantas lo terima." Andika mengacak-acak rambut Kiran. Kiran tersenyum kikuk. Ia risih dipuji-puji orang sekantor. Selain itu ia tidak enak dengan tim-tim dari divisi lain. Khususnya dengan Tim Mega dan Bang Arman. Keduanya tampak memasang muka masam di kubikel masing-masing. Wajar, karena pada saat peliputan di rumah sakit, Mega dan Bang Arman lah yang live report. Namun mereka berdua sama sekali tidak disinggung oleh Pak Herlambang. Pak Jaswin selaku Korlip juga tidak mengata
Kiran bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti alunan lagu di dalam mobil. Saat berkendara sendirian seperti ini, ia memang senang mendengarkan musik. Hari ini moodnya sedang bagus-bagusnya. Dipuji oleh Pak Jaswin sekaligus Pak Herlambang itu luar biasa langkanya. Andika tadi mengatakan bahwa ia telah menggunakan setahun keberuntungannya khusus untuk hari ini.Sekitar seratus meter di depan, tampak lampu lalu lintas berubah dari kuning ke merah. Itu artinya ia harus menghentikan laju kendaraan. Kiran menginjak pedal rem. Kiran merasa ada sesuatu yang salah, saat pedal rem yang ia injak langsung mencelos ke lantai mobil. Rem mobilnya blong!Kiran panik saat mobilnya meluncur melewati lampu lalu lintas dan langsung menuju empat jalur lalu lintas yang tengah ramai oleh kendaraan. Dalam waktu sepersekian detik, Kiran memutuskan untuk melakukan rem darurat dengan cara menarik rem tangan. Akibat melakukan rem tangan dalam keadaan mobil melaju kencang, ban mobilnya slip dan kehilangan traksi.Mobil
"Rem saya blong, Om. Makanya saya terpaksa mengerem darurat dengan rem tangan," tukas Kiran apa adanya.Demitrio melirik mobil Kiran yang tergeletak di ujung jalan. Ban depan mobilnya naik hingga ke trotoar. Kiran mengikuti tatapan Demitrio. Mengamati kerusakan mobilnya dan bergidik. Ia telah menabrak begitu keras hingga kerangkanya bengkok menjadi huruf U. Sisi penumpang mobilnya juga rusak parah. Tidak heran kalau kaca mobilnya sampai lepas. Jika bukan karena sabuk pengaman, mungkin ia juga sudah terlempar keluar."Mobilmu kapan terakhir kali diservis?" tanya Demitrio penasaran."Minggu lalu, Om. Saya rajin menservis kendaraan.""Oke, sebentar." Demitrio beranjak. Ia menghampiri mobil Kiran. Setelah melongok ke dalam mobil sebentar, Demitrio merebahkan diri di trotoar. Ia kemudian menyelipkan kepala serta bahunya ke bawah mobil, tepat di belakang ban depan. Kiran bergidik. Ia takut Demitrio terkena pecahan kaca. Apa sebenarnya yang sedang dicari oleh Demitrio?Sejurus kemudian Demit