"Jangan! Jangan Kak, ini dosa! Kakak, jangaaan!" teriak gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu meronta di bawah kendali beberapa pemuda.
"Tidaaaak!" Napas Yumna terengah-engah bangun dari tidurnya memeluk lutut dengan berlinangan air mata. Sudah lebih dari dua puluh tahun mimpi buruk itu terus saja menghantui malam-malamnya. Dua tangan berbalut kaos rajut putih itu meremas rambutnya kuat-kuat. Berharap semua kenangan itu tercabut bersama rontoknya surai di kepala. Sekeras dan sebanyak apapun mahkota hitamnya tercabut dari akar, memori kelam tak kunjung hilang. Mahkota yang sesungguhnya telah terenggut tak 'kan bisa kembali utuh. Sore itu dia harus pulang terlambat karena mempersiapkan kegiatan kelulusan angkatannya. Keluar dari gerbang sekolah dengan bersenandung riang sembari berlarian kecil menuju rumahnya. "Cantik? Kok baru pulang? Mau Abang anterin?" Salah seorang dari lima pemuda berpakaian layaknya preman jalanan menghentikan keceriaan Yumna. Gadis itu memutar arah dengan cepat dan mulai gemetaran. Wajah cemasnya tak bisa disembunyikan lagi. Langkahnya terhenti ketika seorang pemuda lain berdiri di hadapannya. "Maaf! Biarkan saya pulang, Kak! Bapak pasti khawatir menunggu saya di rumah," ucapnya memohon dengan suara bergetar. "Hai ... ini aku, Na! Tetangga depan rumah kamu! Yuk lah pulang sama aku! Nggak bakal digangguin mereka, kamu tenang aja!" kekeh pemuda itu merangkul bahu Yumna yang berangsur tenang setelah mendongak melihat wajah pemuda itu, Sony namanya. "Kak Sony? Syukurlah ... Kakak nggak takut kalo mereka ngeroyok kita? Mereka kayak lagi mabok lho, Kak ...," tanya Yumna lagi memastikan. "Iya ... mereka nggak bakal berani lawan aku! Ayo jalan! Nggak usah takut!" balasnya menggiring tubuh mungil gadis itu dengan mengalungkan lengan di bahu Yumna. Keduanya berjalan melewati lima pemuda yang berbisik-bisik dan sesekali tampak terbahak memandangi Yumna yang dirangkul Sony. Pemuda itu menoleh ke belakang dan mengedipkan mata pada sekumpulan pemuda tadi. Kelimanya berjalan sedikit sempoyongan di belakang Yumna dengan menjaga jarak sekitar 3 meter. "Mereka ikutin kita, Kak!" kata Yumna kembali dilanda ketakutan. "Tenaaang, nanti kita sembunyi di rumah tua di tikungan depan. Kamu kuat lari, 'kan? Hitungan ketiga, kita lari!" Sony mulai menghitung mundur dan menurunkan lengannya dari pundak Yumna. Berganti menggandeng tangannya. Saat hitungan terakhir keduanya berlari beriringan menuju tempat yang telah disepakati untuk bersembunyi. Rumah tak terpakai itu sudah rusak pintunya, banyak sarang laba-laba dan hewan lainnya yang menghuni. Pengap dan aroma jamur menyeruak memenuhi indera penciuman mana kala kedua muda mudi itu, terengah-engah masuk ke salah satu ruangan. Cahaya jingga di ufuk Barat mulai pudar, berganti kegelapan. "Kak, mereka tahu kita di sini?" bisik Yumna meringkuk di salah satu pojok ruangan temaram berjamur. "Ssstttt jangan katakan apapun!" balas pria berjaket kulit itu mulai kegerahan. Dia melepaskan pakaian tebalnya dan bersembunyi bersama di bawahnya. "Kamu ... masih harum, Na ...," bisiknya mengendus ceruk leher Yumna yang begitu dekat. "Ih! Kakak! Geli!" pekiknya menggeplak kepala Sony tak begitu keras. Pemuda itu terkekeh dan berdiri, tangannya melepaskan gesper di pinggang. Matanya menatap Yumna yang juga menatapnya keheranan. "Kakak mau apa?" tanya Yumna mulai curiga dan takut-takut. Tak ada jawaban dari Sony yang memetik jarinya seolah berisyarat memanggil seseorang. Dia terkekeh lagi tanpa mengalihkan pandangan pada gadis kecil yang sudah menggigil di pojokan. Gerakan menanggalkan semua kain yang melekat di kulitnya pun semakin beringas. Tawa terbahak-bahak kelima pemuda tadi sayup-sayup terdengar memasuki ruangan yang sama di rumah tua itu. "Apa yang kamu lakukan, Yumna? Pak Almeer tidak menyukai kopi dengan gula!" bentak seorang pria paruh baya yang memakai kacamata pada seorang Office Girl perusahaannya. Yumna tersentak, kembali sadar ke alam nyata dan hampir menumpahkan secangkir kopi di depannya. "Ma-af Pak! Saya-" ucap perempuan berhijab itu sambil menunduk tajam. "Cepat bawa ke ruangan saya! Tak perlu diganti!" sahut seorang bertubuh tinggi berdiri menjulang di ambang pintu pantry dapur khusus para petinggi perusahaan tempat Yumna bekerja. Perempuan yang di dadanya terkalung kartu identitas bernama Yumna Qaissara itu mengangguk sopan sedikit membungkuk. Pria yang tiba-tiba datang itu adalah Direktur Eksekutif tertinggi di Perusahaan tempatnya bekerja. Almeer Baldwin berusia 43 tahun, utusan Komisaris Besar induk Perusahaan yang ada di Inggris. Dia baru saja tiba seminggu lalu dari Negara The Black Country itu dan akan memimpin kantor real estate megah di Indonesia. Yumna mengikuti sang CEO dengan membawa nampan dan secangkir kopi pesanan di atasnya. Entah mengapa dia sangat tidak nyaman berada di dekat petinggi itu. Sebelumnya dia tak pernah gugup atau cemas dalam segala pekerjaan. Baru kali ini ada getaran tak biasa dengan sosok yang baru dikenal. "Letakkan di meja dan tunggu di sana! Ganti rugi gajimu 3 bulan jika kopi ini tak mampu membuatku tertarik!" ucap Almeer menunjuk ke pojok ruangannya dengan nada candaan diiringi kekehan. Seketika kepala Yumna mendongak dan menatap tak percaya dengan apa yang dikatakan atasannya itu. Bagaimana mungkin secangkir kopi harus diganti dengan 3 bulan bekerja? Tak masuk akal dan sungguh sangat kejam! "Tapi Pak!" protesnya menggeleng, mencoba mengiba. "Belum tentu aku tak suka 'kan? Kamu pikir aku akan sekejam itu?" kekeh pria berambut kecoklatan itu merasa lucu dengan ekspresi perempuan berhijab di depannya saat terkejut. "Siapa namamu?" tanyanya lagi meraih gagang cangkir dan duduk dengan manis di kursi kebesarannya sambil menyilangkan kaki. "Yumna Qaissara, dia sudah berumur, Sir! Sebaiknya cari yang lain! Sudah tak pantas lagi dengan Anda!" sahut pria berkacamata yang sedari tadi mengekor pada Tuannya, Fendy, asisten pribadi Almeer. "Saya tidak bertanya padamu!" gertaknya melayangkan tatapan tajam. Sang big boss meletakkan cangkirnya lagi ke meja dan beranjak mendekati Yumna yang gemetaran. Postur tubuh boss-nya itu menjulang tinggi apalagi tatapan menelisik seperti sedang menguliti dirinya. Perempuan itu mundur selangkah saat satu tangan Almeer meraih name card yang menggantung di dada Yumna. Dia meneguk saliva yang terasa lekat dengan tubuh mulai gemetaran. "Nama yang unik!" gumam sang CEO, "benarkah usiamu 40 tahun? Apa kamu menggunakan identitas ibumu?" lanjutnya dengan terus memindai wajah Yumna yang menunduk tajam. Pria itu berbalik badan perlahan, tampak kaku dan seperti robot. Yumna mengerjapkan mata dan memperhatikan langkah atasannya yang kembali ke kursi. Cara duduknya pun tak seperti orang pada umumnya. 'Apa dia bukan manusia? Kaku sekali?' batin Yumna bertanya-tanya.'Apa dia bukan manusia?' batin Yumna bertanya-tanya. Masih memperhatikan setiap langkah kaki atasannya itu dengan mengernyitkan dahi.'Mana mungkin ada manusia berjalan seperti itu? Apa dia robot?' batinnya terus bertanya keheranan."Kenapa memandangku seperti itu?" Sang atasan mengulas senyum tipis saat tahu Yumna memperhatikannya.Perempuan dengan wajah masih tampak muda meski usianya sudah kepala empat itu kembali menunduk malu kedapatan memperhatikan sang CEO. Tak berani menjawab lagi, pandangannya lurus pada sepasang flat shoes butut yang dia pakai.Sepatu yang menjadi salah satu saksi bisu kekejian enam orang pemuda sore itu. Antara ingin membuangnya sejauh mungkin agar kejadian nahas itu terlupakan. Tapi sepatu itu satu-satunya benda yang menjadi kenangan bersama sang ibu. Refleks dia menggeleng dan mengedipkan mata, mengalihkan objek pandang ke arah lain. Kembali fokusnya pada sang pemimpin perusahaan yang sudah mendekatkan bibir cangkir ke mulutnya."Hem ... luar biasa! Bagai
"KELUAR!!!" geramnya berteriak di depan pintu kamar mandi.Dua tangannya bertumpu pada dinding dan melakukan lompatan untuk menendang pintu kuat-kuat. BRAK!Penghalang ruangan berbentuk persegi itu tumbang. Menampakkan seorang pria bertubuh tambun sedang merapikan jas juga rambutnya. Seketika matanya terbelalak saat menyadari dari pantulan cermin siapa yang mendobrak pintu."Pa–Pak Almeer?!" Bastian berpikir itu adalah sepupunya yang biasa mengerjai saat dia bersenang-senang dengan seorang karyawati.Ya, dengan alasan tertentu, Direktur yang sudah saatnya pensiun itu sering bermain-main dengan para perempuan di kantornya. Dengan iming-iming sejumlah uang dan dinaikkan jabatan di perusahaan, rela melakukan hal kotor di sela pekerjaan."Menjijikkan! Mulai hari ini keluar dari perusahaan ini!" teriaknya menghantamkan satu pukulan ke wajah pria yang lebih pendek darinya itu.Fendy menahan lengan atasannya saat sudah terangkat akan kembali memberi pukulan pada Bastian."LEPAS!" sentak Alm
"Menikahlah denganku!" Tanpa ragu dan menatap penuh wajah ayu Yumna, pimpinan perusahaan internasional itu kembali mengatakan hal konyol."A–apa?" gumam Yumna semakin mengeratkan selimut di tubuh dengan menggigit bibir bawahnya."Seminggu lalu aku melihatmu menemani anak-anak di sekolah difable, terlihat sangat tulus. Aku kagum padamu sejak pandangan pertama, Yumna." ungkap Almeer tak mengalihkan pandangan dari perempuan yang tampak lebih tenang dari sebelumnya.Perempuan itu hanya mengerjapkan mata mendengar kalimat yang mengalun lembut di telinganya. Sekalipun dia tak pernah memperhatikan pria manapun kecuali ayahnya. Almeer, pria pertama yang memandang Yumna tanpa terpancar kabut ga-irah di matanya.Dua pasang netra itu bertemu beberapa detik bagai pedang yang tajam menghunus membunuh kewarasan pemiliknya.Almeer mulai bergerak duduk di tepi ranjang yang sama di mana Yumna beringsut mundur hingga terantuk headboard."Pa–Paak, ja–ngan!" desis Yumna menggeleng kuat dan mulai mengalir
"Jangan Pak! Aku akan memakai masker saja! Berniqab bagiku adalah sebuah beban berat yang harus kupertanggung jawabkan kelak di hadapan Allah. Aku belumlah sempurna imannya," ucapnya bertukar pandang dengan Almeer."Baiklah ... tapi dengan satu syarat ....""Sya–rat?" tanya Yumna dengan suara bergetar."Pertemukan aku dengan Ayah kamu, sekarang juga!" balas Almeer menatap serius."Tap-"Tangan pria itu menyambar lengan Yumna dan menariknya cepat berjalan keluar ruangan di kantornya. Banyak pasang mata menatap Sang CEO yang tiba-tiba saja menggandeng perempuan dengan gamis mewah keluar dari lift khusus petinggi.Sopir pribadi Almeer mengangguk patuh saat diberi isyarat menyiapkan mobil. Tak sempat memperhatikan siapa perempuan bermasker yang beruntung digandeng atasannya yang terkenal dingin pada semua perempuan itu."Biar saya bawa sendiri, Pak!" Almeer membukakan pintu kabin depan untuk Yumna yang mematung."Masuklah! Hati-hati!" titahnya mengarahkan perempuan yang tiba-tiba saja sep
'Pria ini benar-benar tahu banyak tentangku? Siapa dia sebenarnya?' Batin Yumna bertanya-tanya."Sudah kubilang 'kan? Seminggu tiba di Indonesia aku langsung ketemu bidadari yang bisa bikin jantungku berdebar? Dan aku rasa kamulah satu-satunya perempuan yang bisa bikin aku percaya diri," sahut Almeer menoleh dan tersenyum pada Yumna yang membelalakkan matanya.Lagi-lagi pria yang baru dikenalnya satu jam lalu itu tahu segala tentang dirinya. Yumna tak bisa berkata-kata lagi, bahkan tak berniat menggerutu dalam hati. Bibirnya terkatup rapat dan melangkah menuju sebuah ruangan yang terdapat 6 brangkar di dalamnya.Satu di paling pojok bernomor 2A terbaring seorang pria tua yang hampir seluruh rambutnya telah putih. Matanya terpejam dengan beberapa alat medis melekat di tubuh. Dia tampak tenang dan damai dalam lelapnya.Yumna menyentuh telapak tangan keriput yang tak terpasang jarum infus dengan lembut, sambil memanggilnya lirih, "Bapak?"Kelopak mata berkerut itu mulai terbuka dan seula
Perlahan wajah ayu bersih belum berkeriput itu mendongak. Pandangan dua pasang netra bertemu, semakin dekat dan Yumna mendorong tubuh Almeer kasar. Plak! Satu tamparan keras mendarat di rahang tegasnya.. Yumna mengangkat tangan, menatap telapak yang sedikit memerah dengan gemetaran dan berlinang air mata. "Andai tangan ini mampu melakukannya sejak dulu ...," Yumna berucap lirih. Almeer mengerjapkan mata memegang pipinya yang tak terasa sakit. Justru dalam bayangannya pukulan itu bagai sentuhan lembut tangan wanita yang begitu menggemaskan. "Hari itu, Bunda membawanya pergi ke panti asuhan ...," ucapnya mulai bercerita dengan menatap kosong. Perempuan dengan penutup kepala dan bayi baru lahir di gendongannya itu berlari cepat agar tak ada yang memergoki. Saat sampai di depan pintu gerbang Panti, dia meletakkan dengan menyertakan beberapa pakaian bayi dalam tas di dekatnya. Perempuan bernama Saroh itu menengok kanan dan kiri, memerhatikan sekitar yang masih sepi. Sedikit
"Yumna! Kamu mau ke mana? Berhenti!" teriaknya berlari mengejar dengan susah payah.Pria itu terseok-seok membawa tubuhnya sendiri, bahkan dia baru kali ini tahu rasanya melangkah dengan tempo yang cepat. Napasnya sudah tersengal dan menatap Yumna tak telihat lagi menyelinap di semak belukar. Langkahnya terhenti dan mengirup udara sebanyak-banyaknya. Mengedarkan pandang ke sekeliling, tak ada orang atau pun bangunan di sana.Persimpangan jalan di tengah hutan buatan yang memisahkan dua desa. Dia tak mengenal tempat ini dan jaringan ponsel pun tak tersedia. Almeer mengumpat kecil dan kembali memasukkan gawai ke saku celana. Berjalan ragu ke arah yang telah dilaluinya, di mana mobil berada."Yumna ... aku akan menunggumu, kembalilah!" gumamnya sebelum masuk ke dalam kendaraan lagi.Selang beberapa menit, ada seorang pria paruh baya melintas dengan memikul dua ikat kayu melewati mobilnya."Maaf, Pak! Permisi bertanya, apakah di depan ada jal
"Tunggu!" Terdengar bentakan keras dari arah pintu ruangan VVIP dan semua orang menoleh padanya."Gue duluan, minggir!""Saya disabilitas harus didahulukan, Nona!"Dua orang saling berebut di ambang pintu geser ruangan yang terbuat sari kaca transparan. Saling bersitatap dengan wajah tak mau mengalah. Sama-sama ingin memasuki ruangan VVIP yang ditempati Qais."Nevan?""Oleef?"Sepasang pria dan wanita yang baru saja khusuk melaksanakan akad nikah kompak memanggil. Sama-sama saling mengenali siapa dua orang yang berebut melewati pintu itu."Bunda, kenapa menerima pernikahan ini?""Daddy, are you sure? Menika–hi ... gadis muda i–ni?"Sepasang anak muda yang terlihat seumuran itu terperangah bergantian meneliti wajah orang tua masing-masing dalam keterkejutan."Kemarilah!" Almeer menarik keluar pemuda yang berjalan pin cang itu ke luar lagi.Setelah keduanya keluar dari ruang rawat, satu
Suara langkah kaki dan teriakan memecah kesunyian malam. Nevan masih terduduk di lantai gudang, tubuhnya disandarkan pada dinding tua yang dingin. Matanya sedikit terpejam, tapi pikirannya tetap waspada. Sony berdiri di depannya, pisau di tangan, siap menuntaskan dendam lamanya. “Gue udah cukup bersabar,” desis Sony sambil mengarahkan pisau ke leher Nevan. “Sekarang lo bakal bayar semua yang keluarga lo lakuin ke gue.” Nevan membuka matanya perlahan, menatap tajam ke arah Sony meski tubuhnya sudah lemah. “Anda pikir dengan membunuh saya semuanya akan berakhir? Anda salah besar!” Sony tertawa kecil, dingin dan penuh ejekan. “Gue nggak peduli soal menyelesaikan masalah. Gue cuma peduli lo menderita seperti yang gue rasain!” Namun, sebelum Sony sempat melakukan apapun, pintu gudang meledak terbuka dengan keras, membuat mereka berdua terkejut. Asap tipis memenuhi ruangan, diiringi langkah kaki cepat. Suara keras yang familiar menggem
Suara langkah kaki Sony semakin jauh, tapi ketegangannya masih terasa seperti tali yang mencekik. Nevan mengatur napas dengan susah payah, wajahnya basah oleh keringat dingin. Oleefia tetap berlutut di sampingnya, dengan tangan gemetar mencoba menekan luka di bahu Nevan menggunakan kain seadanya yang kini mulai berwarna merah pekat. “Lo nggak apa-apa, kan?” tanya Oleefia lirih, suaranya hampir bergetar. Nevan menoleh perlahan, menatapnya dengan sorot mata lelah tapi hangat. “Aku masih hidup, itu udah cukup.” Alden berdiri tidak jauh dari mereka, matanya tajam mengamati koridor tempat Sony baru saja pergi. “Kita nggak bisa santai. Dia pasti nggak akan tinggal diam. Kita harus keluar dari sini.” Oleefia menoleh tajam ke arah Alden. “Lo pikir Nevan bisa lari dalam kondisi kayak gini? Lo nggak lihat lukanya?” Alden mendesah, menekan rasa frustrasinya. “Kalau kita tetap di sini, kita semua bisa mati. Gue nggak mau ambil ris
Suasana ruang interogasi rumah mewah keluarga Baldwin berubah menjadi medan perang emosi. Pria berwajah bengis itu—Sony duduk di tengah ruangan, kedua tangannya terikat dengan kuat di kursi. Mata liciknya melirik ke sekeliling, mencoba mencari celah untuk menyelamatkan diri. Di seberang meja, Almeer berdiri tegak, rahangnya mengeras, sedangkan Alden sibuk memasang alat perekam suara di meja. Di sudut ruangan, Yumna berdiri dengan wajah pucat. Trauma yang selama ini menghantuinya kini terpapar jelas, membuat tubuhnya sedikit bergetar. Namun, Oleefia berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat. “Bunda, ada Olee di sini. Bunda nggak sendirian.” Suaranya pelan tapi penuh keyakinan, memberikan kekuatan pada Yumna. Nevan, dengan kaki palsunya, berdiri di dekat pintu. Tatapan matanya tajam, menyimpan kemarahan yang siap meledak kapan saja. “Kali ini dia nggak bakal lolos,” gumamnya pelan, nyaris seperti janji pada dirinya sendiri. “Kenapa
Oleefia merasakan dinginnya bilah pisau di lehernya. Tubuhnya kaku, napasnya tertahan. Pria bertopeng yang mencengkeramnya menyeringai, penuh kemenangan, sementara Alden dan Nevan berdiri beberapa langkah di depannya, wajah mereka penuh ketegangan. “Lepasin dia!” Alden berbicara dengan nada rendah tapi tegas. Matanya menatap tajam ke arah pria bertopeng itu. Pria itu tertawa kecil. “Oh, kamu pikir bisa memerintahku? Aku punya kendali di sini, bocah!” “Lo nggak tahu apa yang bakal lo hadapi kalau sentuh dia sedikit saja!” ancam Nevan, suaranya dipenuhi kemarahan yang sulit ditahan. Ia melangkah maju, tapi pria itu semakin menekan pisau ke leher Oleefia, membuat gadis itu memejamkan mata. “Jangan bergerak, atau dia akan kehilangan nyawanya!” ancamnya lagi. Alden mengangkat kedua tangannya perlahan, mencoba menenangkan situasi. “Oke, oke. Kita nggak akan bergerak. Tapi lo lepaskan dia dulu. Kita bisa selesaikan ini tanpa ada yang t
Malam di rumah keluarga Baldwin terasa hening, tetapi ada ketegangan yang menggantung di udara. Oleefia berbaring di tempat tidurnya, mencoba mengusir pikiran tentang pesan misterius yang diterimanya. Namun, bayangan ancaman itu terus berputar di kepalanya. Ia bangkit dan berjalan ke balkon lagi, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya. Angin lembut menyapu wajahnya, tetapi ada sesuatu yang aneh. Mata Oleefia menangkap bayangan di sudut halaman. Ia memperhatikan dengan seksama, tetapi tidak ada apa-apa di sana. “Mungkin cuma imajinasi gue,” gumamnya sambil berbalik ke dalam. Namun, sebelum ia melangkah pergi, suara lembut tapi menyeramkan terdengar dari kejauhan. “Jangan terlalu percaya diri, Oleefia.” Oleefia membeku. Suara itu jelas-jelas menyebut namanya. Ia menoleh lagi ke luar, tetapi tidak ada apa pun selain kegelapan. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel di atas meja, mencoba menghubungi Alden.Di ruan
Sisa suara langkah di koridor terdengar semakin jelas. Alden menguatkan dirinya, berdiri dengan tubuh menahan rasa sakit di bagian dada yang masih berdenyut akibat dorongan pria bertopeng sebelumnya. Di sebelahnya, Oleefia memegang erat pipa besi yang mulai dingin di tangannya. “Semua aman!” Suara berat milik seorang pria paruh baya memecah kesunyian. Alden mengenali suara itu dengan baik—ayahnya. Pria bertopeng menoleh ke arah suara, namun sebelum ia sempat melarikan diri, tembakan peringatan melesat ke dinding di sampingnya. “Jatuhkan senjatamu!” perintah Ayah Alden tegas, berdiri gagah dengan pistol teracung. Di belakangnya, beberapa petugas terlihat menyusuri ruangan sempit itu. Pria bertopeng itu mendecak marah. Dengan tatapan penuh kebencian, dia membuang pisaunya ke lantai, mengangkat kedua tangan. “Kalian pikir sudah menang?” ejeknya. “Aku nggak butuh menang darimu,” sahut Ayah Alden dingin. “Kami cuma butuh ke
Koridor itu terasa lebih sempit ketika suara itu menggelegar, memerintahkan semua orang untuk berhenti bergerak. Langkah kaki berat semakin mendekat, diiringi suara sepatu yang menginjak pecahan kaca dan genangan darah yang mulai membeku. Oleefia menggenggam pipa besinya erat-erat, matanya mengawasi pria bertopeng yang tampak ragu untuk melangkah. “Lo pikir bisa kabur?” Alden mengejek dengan nada penuh tantangan. Tapi di balik sikap santainya, dia bersiap dengan napas tertahan. Pria bertopeng itu berbalik, melirik tajam ke arah Alden, Nevan, dan Oleefia. Dia tahu pilihan yang tersisa hanya dua, melawan atau menyerah. Tetapi, daripada mengambil keputusan cepat, pria itu melemparkan sesuatu ke lantai—sebuah granat asap kecil. “Hati-hati! Dia kabur!” teriak Alden, menarik Oleefia ke belakang untuk melindunginya. Asap mulai menyelimuti ruangan. Nevan, yang masih merayap di dindinh karena terluka, mencoba tetap waspada meski pandangan
Ketegangan di belakang rumah terus memuncak. Nevan menggertakkan giginya, mencoba mengumpulkan sisa tenaga yang tersisa untuk melawan pria besar yang kini bangkit lagi, linggis di tangannya terangkat tinggi. Oleefia dan Alden berdiri berdampingan, napas mereka memburu, bersiap menghadapi pria kedua yang semakin mendekat. “Gue bilang kalian nyerah sekarang, atau gue pastikan kalian nggak akan keluar dari sini hidup-hidup!” ancam si pria besar, suaranya bergema di ruang sempit itu. “Omong kosong!” sahut Alden sambil melirik ke arah Oleefia, memastikan dia baik-baik saja. Tiba-tiba, Nevan menerjang pria besar itu lagi, kali ini langsung meraih pergelangan tangan yang memegang linggis. Mereka bergumul dengan kasar, membuat Oleefia dan Alden semakin cemas. “Nevan! Jangan paksa diri lo!” teriak Oleefia, hampir maju untuk membantu. Tapi Alden menahannya. “Olee, lo jaga jarak dulu! Gue bantu Nevan. Lo cari sesuatu buat pertaha
Pria besar dengan linggis itu menyeringai licik, melangkah maju dengan langkah mantap. Nevan berdiri tegak di depannya, sementara Oleefia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan adrenalin yang tiba-tiba meledak di tubuhnya. “Lo siapa? Dan ngapain lo di sini?” suara Oleefia penuh tantangan, meski tangannya sedikit bergetar. Pria itu terkekeh. “Gue cuma pesuruh, Cantik! Tapi kalau kalian nyerah sekarang, gue jamin nggak ada yang perlu terluka.” Nevan maju selangkah, melindungi Oleefia. “Kita nggak akan nyerah gitu aja! Jadi kalau nggak mau mati konyol, pergi sekarang!” Linggis di tangan pria itu terangkat, berkilauan di bawah sinar lampu darurat yang temaram. “Sayang banget, gue nggak bisa ngabulin itu.” Tanpa peringatan, dia mengayunkan linggisnya ke arah Nevan. Nevan melompat mundur, hampir kehilangan keseimbangan, tapi dengan sigap dia menarik Oleefia menjauh dari jangkauan pria itu. “Lari, Olee! Car