"Jangan Pak! Aku akan memakai masker saja! Berniqab bagiku adalah sebuah beban berat yang harus kupertanggung jawabkan kelak di hadapan Allah. Aku belumlah sempurna imannya," ucapnya bertukar pandang dengan Almeer.
"Baiklah ... tapi dengan satu syarat ...." "Sya–rat?" tanya Yumna dengan suara bergetar. "Pertemukan aku dengan Ayah kamu, sekarang juga!" balas Almeer menatap serius. "Tap-" Tangan pria itu menyambar lengan Yumna dan menariknya cepat berjalan keluar ruangan di kantornya. Banyak pasang mata menatap Sang CEO yang tiba-tiba saja menggandeng perempuan dengan gamis mewah keluar dari lift khusus petinggi. Sopir pribadi Almeer mengangguk patuh saat diberi isyarat menyiapkan mobil. Tak sempat memperhatikan siapa perempuan bermasker yang beruntung digandeng atasannya yang terkenal dingin pada semua perempuan itu. "Biar saya bawa sendiri, Pak!" Almeer membukakan pintu kabin depan untuk Yumna yang mematung. "Masuklah! Hati-hati!" titahnya mengarahkan perempuan yang tiba-tiba saja seperti ponsel yang ngelag itu dengan sedikit mendorong pinggangnya. Tangan Almeer menyentuh tepi pintu agar kepala Yumna aman, tak terantuk saat masuk ke mobil. Dia juga membungkuk memasukkan ujung gamis yang menjuntai ke dalam mobil. Lalu menutup pintunya pelan. Pria dengan cara jalan kaku seperti robot itu melangkah memutar ke kabin pengemudi. "Maaf, Pak! Boleh saya bertanya sesuatu?" Yumna memberanikan diri membuka suara saat kendaraan berlogo seperti tiga jarum yang membentuk bintang itu melaju di jalan raya. "Katakan!" balas pria itu singkat, fokus mengemudi. "Apakah ... Bapak pernah kecelakaan?" Seketika Almeer menginjak pedal rem, saat mendengar kalimat tanya dari Yumna. Tangan kirinya masih sempat melindungi kepala perempuan di sampingnya dengan menyentuh kening agar tak terbentur dashboard. "Maaf ...," katanya kembali melajukan mobil dengan dada yang berdetak lebih cepat. "Saya yang harusnya minta maaf, telah lancang menanyakan hal pribadi Anda, Pak Nevan!" sahut Yumna menunduk dan mulai lagi memainkan jemari di pangkuan. Dia seperti menderita kecemasan jika terjadi hal-hal tertentu. Tapi di dekat Nevan, perasaan cemasnya menghilang berganti dengan rasa tak terkendali seperti salah tingkah dan malu-malu. Begitu juga dengan Almeer yang merasa percaya diri dan tidak merasa buruk di mata Yumna. Pasalnya setiap kali berada di dekat seorang perempuan, pemilik perusahaan real estate itu selalu insecure dan memilih bersikap dingin. Tapi tidak dengan berada di dekat perempuan yang identitasnya menunjukkan angka 40 pada usianya. Padahal wajah dan postur tubuh proporsionalnya masih seperti umur belasan tahun. "Aku mengalami kecelakaan dulu, ka-" "Sebaiknya jangan dilanjutkan jika memang itu rahasia Bapak. Lupakan saja pertanyaan bo-doh saya, maaf sekali lagi!" potong Yumna saat menyadari nada bicara atasannya berubah sedih, seperti memendam rasa kesedihan yang mendalam. "Hhhh ... baiklah! Di mana Rumah Sakit Ayah Kamu?" tanya Nevan mengalihkan pembicaraan dengan mengembuskan napas panjang. "Perempatan depan, belok kanan lalu lurus sekitar 500 meter, rumah sakit kelas bawah yang menerima pasien dengan jaminan kesehatan, Pak! Makanya saya melar-" "Kita pindahkan Pak Qais sekarang juga ke rumah sakit internasional! Aku akan mengurus semuanya!" pangkas Almeer membelokkan mobil membuat Yumna ikut meliuk tubuhnya menatap tak percaya pada sang atasan. "Apa Bapak bilang? Pindah? Ke rumah sakit internasional? Tapi apa alasannya?" "Itu akan menjadi pesangon gaji terakhir kamu bekerja di perusahaan sekaligus sebagai maharku menikahimu!" "Apa?" Yumna terbelalak menatap pria di sampingnya dengan tubuh menyerong. "Semua keinginanku harus dipenuhi, Yumna. Kalo tidak, kamu akan dalam masalah besar! Paham? Turuti saja permintaanku dan kita akan buat poin-poin penting perjanjian setelah ayah kamu dipindahkan!" tekan pria itu membuka pintu dan keluar mobil. Berjalan memutar dan kembali melakukan hal yang membuat jantung Yumna berdebar, merasa diistimewakan. Dia membukakan pintu di sampingnya dan melindungi kepala terbalut hijab warna peach dari tepian atap kendaraan mewahnya. Entah Almeer melakukan untuk mobilnya agar tak lecet atau karena Yumna, perempuan itu tetap tersanjung dengan sikap manisnya. "Lepaskan maskermu dan berikan padaku!" titahnya melepas paksa penutup mulut dan hidung yang dipakai Yumna. "Pak! Di meja resepsionis depan tersedia masker gratis untuk pe–ngun–jung," gerutu Yumna diabaikan pria itu yang sudah melangkah meninggalkannya ke arah lobi sambil membenahi masker. "Di mana ruangannya?" ketus pria yang berjalan aneh iti bertanya seolah sedang terburu-buru. "Ikuti saya, Pak!" Yumna mengangguk sopan membungkukkan badan mendahului sang boss yang berhasil disusulnya. "Samakan langkahku, Yumna!" seru Almeer tertatih, susah payah menyamakan langkah. "Maaf, Pak!" balasnya berhenti memperhatikan cara berjalan Almeer dan menggeleng samar. 'Apa dia sungguhan robot? Atau mungkin memakai kaki palsu? Dia cacat? Astaghfirullah! Apa yang kamu pikirkan, Yumna? Biar saja dia robot! Malah bagus jika dia memaksa menikahiku artinya menikah dengan robot? Astaghfirullah, jangan bermimpi terlalu tinggi, Yumna! Sadarlah!' Berulang kali Yumna mengerjapkan mata dan menggeleng samar hingga terakhir mengusap wajahnya dengan kasar. "Apa yang kamu pikirkan tentangku, hem? Aku berjalan seperti robot? Aku ini bukan manusia?" tebak pria itu tetap memandang lurus ke depan. Perempuan di sampingnya itu terkesiap dan menyipitkan mata memindai tubuh pria keturunan Baldwin itu dari atas hingga bawah. 'Dia bisa tahu apa yang kukatakan dalam hati?' "Ya! Aku mendengar keluhanmu, Yumna! Kamu mengira aku robot dan merasa bersyukur jika memang benar aku ini adalah robot, 'kan?" sahut Almeer seolah benar-benar mendengar apa isi hati perempuan yang melangkah ragu di sampingnya. "Ke mana sekarang? Rumah sakit ini tak ada lift? Kita harus menaiki tangga?" tanyanya saat sampai di ujung lorong dan hanya ada dua jalan, yaitu tangga dan jalan menuju taman belakang. "Ke arah sini, Pak! Maaf, Saya tidak sengaja membuat Anda memutar," kekeh Yumna menggaruk kepalanya dan membungkuk sungkan. "Siapa yang sering kamu jumpai di panti asuhan setiap sore itu? Apakah itu anakmu?" tanya sang CEO serius, memecah keheningan lorong sepi yang mereka lalui. Refleks Yumna menoleh dengan wajah penuh tanya. 'Pria ini benar-benar tahu banyak tentangku? Siapa dia sebenarnya?' Batin Yumna bertanya-tanya.'Pria ini benar-benar tahu banyak tentangku? Siapa dia sebenarnya?' Batin Yumna bertanya-tanya."Sudah kubilang 'kan? Seminggu tiba di Indonesia aku langsung ketemu bidadari yang bisa bikin jantungku berdebar? Dan aku rasa kamulah satu-satunya perempuan yang bisa bikin aku percaya diri," sahut Almeer menoleh dan tersenyum pada Yumna yang membelalakkan matanya.Lagi-lagi pria yang baru dikenalnya satu jam lalu itu tahu segala tentang dirinya. Yumna tak bisa berkata-kata lagi, bahkan tak berniat menggerutu dalam hati. Bibirnya terkatup rapat dan melangkah menuju sebuah ruangan yang terdapat 6 brangkar di dalamnya.Satu di paling pojok bernomor 2A terbaring seorang pria tua yang hampir seluruh rambutnya telah putih. Matanya terpejam dengan beberapa alat medis melekat di tubuh. Dia tampak tenang dan damai dalam lelapnya.Yumna menyentuh telapak tangan keriput yang tak terpasang jarum infus dengan lembut, sambil memanggilnya lirih, "Bapak?"Kelopak mata berkerut itu mulai terbuka dan seula
Perlahan wajah ayu bersih belum berkeriput itu mendongak. Pandangan dua pasang netra bertemu, semakin dekat dan Yumna mendorong tubuh Almeer kasar. Plak! Satu tamparan keras mendarat di rahang tegasnya.. Yumna mengangkat tangan, menatap telapak yang sedikit memerah dengan gemetaran dan berlinang air mata. "Andai tangan ini mampu melakukannya sejak dulu ...," Yumna berucap lirih. Almeer mengerjapkan mata memegang pipinya yang tak terasa sakit. Justru dalam bayangannya pukulan itu bagai sentuhan lembut tangan wanita yang begitu menggemaskan. "Hari itu, Bunda membawanya pergi ke panti asuhan ...," ucapnya mulai bercerita dengan menatap kosong. Perempuan dengan penutup kepala dan bayi baru lahir di gendongannya itu berlari cepat agar tak ada yang memergoki. Saat sampai di depan pintu gerbang Panti, dia meletakkan dengan menyertakan beberapa pakaian bayi dalam tas di dekatnya. Perempuan bernama Saroh itu menengok kanan dan kiri, memerhatikan sekitar yang masih sepi. Sedikit
"Yumna! Kamu mau ke mana? Berhenti!" teriaknya berlari mengejar dengan susah payah.Pria itu terseok-seok membawa tubuhnya sendiri, bahkan dia baru kali ini tahu rasanya melangkah dengan tempo yang cepat. Napasnya sudah tersengal dan menatap Yumna tak telihat lagi menyelinap di semak belukar. Langkahnya terhenti dan mengirup udara sebanyak-banyaknya. Mengedarkan pandang ke sekeliling, tak ada orang atau pun bangunan di sana.Persimpangan jalan di tengah hutan buatan yang memisahkan dua desa. Dia tak mengenal tempat ini dan jaringan ponsel pun tak tersedia. Almeer mengumpat kecil dan kembali memasukkan gawai ke saku celana. Berjalan ragu ke arah yang telah dilaluinya, di mana mobil berada."Yumna ... aku akan menunggumu, kembalilah!" gumamnya sebelum masuk ke dalam kendaraan lagi.Selang beberapa menit, ada seorang pria paruh baya melintas dengan memikul dua ikat kayu melewati mobilnya."Maaf, Pak! Permisi bertanya, apakah di depan ada jal
"Tunggu!" Terdengar bentakan keras dari arah pintu ruangan VVIP dan semua orang menoleh padanya."Gue duluan, minggir!""Saya disabilitas harus didahulukan, Nona!"Dua orang saling berebut di ambang pintu geser ruangan yang terbuat sari kaca transparan. Saling bersitatap dengan wajah tak mau mengalah. Sama-sama ingin memasuki ruangan VVIP yang ditempati Qais."Nevan?""Oleef?"Sepasang pria dan wanita yang baru saja khusuk melaksanakan akad nikah kompak memanggil. Sama-sama saling mengenali siapa dua orang yang berebut melewati pintu itu."Bunda, kenapa menerima pernikahan ini?""Daddy, are you sure? Menika–hi ... gadis muda i–ni?"Sepasang anak muda yang terlihat seumuran itu terperangah bergantian meneliti wajah orang tua masing-masing dalam keterkejutan."Kemarilah!" Almeer menarik keluar pemuda yang berjalan pin cang itu ke luar lagi.Setelah keduanya keluar dari ruang rawat, satu
Tak ada jawaban hingga suara seseorang mengalihkan perhatian semua orang."Dad ...." Suara itu terdengar bergetar, "I hate Mommy, i'm scared ...," lanjut pria yang terduduk lemah di sofa dengan tubuh menggigil ketakutan."It's oke, Nev! She is gone and will never be able to touch you again, hem?" Almeer mendekat dan merangkul putranya. Menenangkan dengan berkata bahwa perempuan itu sudah pergi dan tak akan pernah bisa menyentuhnya lagi.Yumna mengedikkan bahu menoleh pada Oleefia–anak gadisnya, meminta penjelasan apa yang dikatakan Almeer.Gadis manis dengan kulit sedikit gelap itu mendekat dan berbisik di telinga sang ibu. Perempuan yang baru saja resmi berstatus sebagai istri itu mengangguk dan menatap sendu pada dua pria beda usia di sofa.'Dia juga memiliki putra yang sakit sepertiku? Pantas saja dia seperti tahu menghadapiku saat di kantor siang tadi,' batin Yumna menyentuh dada.Degup jantungnya memacu cepat, tak biasa. Keringat dingin mulai keluar dari pori kulitnya. Pandangan
"Jangan! Jangan Kak, ini dosa! Kakak, jangaaan!" teriak gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu meronta di bawah kendali beberapa pemuda."Tidaaaak!" Napas Yumna terengah-engah bangun dari tidurnya memeluk lutut dengan berlinangan air mata.Sudah lebih dari dua puluh tahun mimpi buruk itu terus saja menghantui malam-malamnya. Dua tangan berbalut kaos rajut putih itu meremas rambutnya kuat-kuat. Berharap semua kenangan itu tercabut bersama rontoknya surai di kepala. Sekeras dan sebanyak apapun mahkota hitamnya tercabut dari akar, memori kelam tak kunjung hilang. Mahkota yang sesungguhnya telah terenggut tak 'kan bisa kembali utuh.Sore itu dia harus pulang terlambat karena mempersiapkan kegiatan kelulusan angkatannya. Keluar dari gerbang sekolah dengan bersenandung riang sembari berlarian kecil menuju rumahnya."Cantik? Kok baru pulang? Mau Abang anterin?" Salah seorang dari lima pemuda berpakaian layaknya preman jalanan menghentikan keceriaan Yumna.Gadis itu memutar ara
'Apa dia bukan manusia?' batin Yumna bertanya-tanya. Masih memperhatikan setiap langkah kaki atasannya itu dengan mengernyitkan dahi.'Mana mungkin ada manusia berjalan seperti itu? Apa dia robot?' batinnya terus bertanya keheranan."Kenapa memandangku seperti itu?" Sang atasan mengulas senyum tipis saat tahu Yumna memperhatikannya.Perempuan dengan wajah masih tampak muda meski usianya sudah kepala empat itu kembali menunduk malu kedapatan memperhatikan sang CEO. Tak berani menjawab lagi, pandangannya lurus pada sepasang flat shoes butut yang dia pakai.Sepatu yang menjadi salah satu saksi bisu kekejian enam orang pemuda sore itu. Antara ingin membuangnya sejauh mungkin agar kejadian nahas itu terlupakan. Tapi sepatu itu satu-satunya benda yang menjadi kenangan bersama sang ibu. Refleks dia menggeleng dan mengedipkan mata, mengalihkan objek pandang ke arah lain. Kembali fokusnya pada sang pemimpin perusahaan yang sudah mendekatkan bibir cangkir ke mulutnya."Hem ... luar biasa! Bagai
"KELUAR!!!" geramnya berteriak di depan pintu kamar mandi.Dua tangannya bertumpu pada dinding dan melakukan lompatan untuk menendang pintu kuat-kuat. BRAK!Penghalang ruangan berbentuk persegi itu tumbang. Menampakkan seorang pria bertubuh tambun sedang merapikan jas juga rambutnya. Seketika matanya terbelalak saat menyadari dari pantulan cermin siapa yang mendobrak pintu."Pa–Pak Almeer?!" Bastian berpikir itu adalah sepupunya yang biasa mengerjai saat dia bersenang-senang dengan seorang karyawati.Ya, dengan alasan tertentu, Direktur yang sudah saatnya pensiun itu sering bermain-main dengan para perempuan di kantornya. Dengan iming-iming sejumlah uang dan dinaikkan jabatan di perusahaan, rela melakukan hal kotor di sela pekerjaan."Menjijikkan! Mulai hari ini keluar dari perusahaan ini!" teriaknya menghantamkan satu pukulan ke wajah pria yang lebih pendek darinya itu.Fendy menahan lengan atasannya saat sudah terangkat akan kembali memberi pukulan pada Bastian."LEPAS!" sentak Alm