'Pria ini benar-benar tahu banyak tentangku? Siapa dia sebenarnya?' Batin Yumna bertanya-tanya.
"Sudah kubilang 'kan? Seminggu tiba di Indonesia aku langsung ketemu bidadari yang bisa bikin jantungku berdebar? Dan aku rasa kamulah satu-satunya perempuan yang bisa bikin aku percaya diri," sahut Almeer menoleh dan tersenyum pada Yumna yang membelalakkan matanya. Lagi-lagi pria yang baru dikenalnya satu jam lalu itu tahu segala tentang dirinya. Yumna tak bisa berkata-kata lagi, bahkan tak berniat menggerutu dalam hati. Bibirnya terkatup rapat dan melangkah menuju sebuah ruangan yang terdapat 6 brangkar di dalamnya. Satu di paling pojok bernomor 2A terbaring seorang pria tua yang hampir seluruh rambutnya telah putih. Matanya terpejam dengan beberapa alat medis melekat di tubuh. Dia tampak tenang dan damai dalam lelapnya. Yumna menyentuh telapak tangan keriput yang tak terpasang jarum infus dengan lembut, sambil memanggilnya lirih, "Bapak?" Kelopak mata berkerut itu mulai terbuka dan seulas senyum tercetak di bibir pucatnya. Tangan Yumna dibalas dengan genggaman lemah. Menyadari ada seseorang yang sedang berdiri di sisi lain brangkar, dia menoleh. "Siapa dia, Na?" tanyanya. "Saya Almeer Baldwin, Pak!" jawab pria berjas hitam itu maju dan menjabat tangan Qais, ayah Yumna. Pria sepuh itu melirik pada Yumna yang menunduk dan tersipu. "Maaf, Pak Qais! Kedatangan saya kemari adalah ingin meminta putri Bapak untuk menjadi istri saya!" Jelas, tegas, dan penuh keyakinan tanpa basa-basi pria bule itu mengatakannya. "Apa?" "Pak Almeer?" desis Yumna bersamaan dengan pekikan ayahnya. Qais melepaskan tangan Yumna dan memegang dadanya. Napas sedikit tersengal tapi kemudian tersenyum menatap wajah Almeer yang terlihat teduh. "Apa yang membuatmu tertarik pada putri saya yang sudah tak muda lagi ini?" tanyanya membalas genggaman Almeer di tangan kirinya. "Tak ada alasan yang bisa saya katakan jika hati sudah berbicara, Pak!" jawabnya lugas sambil menyentuh dada. Nada bicara Almeer tak seperti sedang mengobral janji manis, Yumna sampai melongo dibuatnya. Tak berkedip menatap wajah tampan beralis tebal berhidung mancung di depannya. "Apakah Yumna melakukan kesalahan di Perusahaan Anda, Pak? Sehingga dia harus membayar semua kesalahannya dengan menjadi pemuas nafsu Anda?" balas Qais menatap tajam dengan penuh intimidasi. Seolah mengerti permainan yang sedang diperlihatkan di depannya. "Justru sayalah yang membuat kesalahan, Pak! Hampir saja salah satu karyawan melecehkan putri Bapak, itu karena kelalaian saya sebagai pimpinan. Karena itulah saya ingin memperbaikinya dengan menikahi Yumna!" Pandangan Qais berpindah pada putri semata wayangnya dengan sedikit berembun. "Kamu menyembunyikan dari Bapak, Na? Kamu diapakan?" tanya Qais hati-hati sambil menggenggam lagi tangan Yumna. Wanita berhijab itu menggeleng hingga sisi kerudungnya di pundak tergerai ke dada. Dia menatap sendu dan membungkuk memeluk ayahnya. Terisak di dada yang menonjolkan garis-garis tulang rusuk Qais. "Enggak Pak! Nana selamat berkat Pak Almeer, Beliau menyelamatkan Na sebelum lelaki itu menyentuh Na!" isaknya menjelaskan. "Lalu kenapa Anda malah ingin menikahi Yumna? Apakah Anda akan menjualnya lagi untuk bisnis Anda?" cecarnya pada pria yang menggeleng kuat itu. "Saya memiliki sebuah penyakit sejak lama. Penyakit di mana saya takut akan ketidaksempurnaan yang ada dalam diri saya. Termasuk kegagalan usaha saya. Merasa rendah dan kecil jika melakukan kesalahan. Kesalahan saya sekarang adalah tidak mampu mempekerjakan seseorang. Biasanya saya akan murka dan tak peduli dengan siapa pun. Akan memecat mereka semua. Tapi kali ini, dengan Yumna. Semuanya berbeda, gejala penyakit saya menghilang berada di dekat Yumna. Emosi saya luluh lantak dan teredam oleh ... sesuatu yang berada pada putri Bapak, cinta!" ungkap Almeer panjang lebar. Yumna menegakkan badannya dari menelungkup di dada sang ayah. Memindai wajah atasannya dengan seksama. Tak ada kebohongan di sana. Hanya sebuah kesedihan dan sedikit berembun sepasang netra kecoklatan itu. "Mungkin Anda tidak mengerti apa yang saya jelaskan. Yang terpenting adalah perasaan saya, hati saya telah menunjuk Yumna sebagai perempuan yang berbeda. Saya yakin dengan perasaan saya bahwa Yumna benar-benar belahan jiwa saya," lanjutnya dengan menatap tepat di manik mata Qais penuh keyakinan. "Na ... ijinkan Bapak menceritakan semua tentangmu padanya, ya?" Qais menelisik wajah putrinya yang tertunduk tajam. Guratan kecemasan dan ketakutan masih jelas terpancar dari sorot matanya. Anggukan samar sebagai penanda Yumna setuju dengan aibnya akan dibuka pada Almeer. Mungkin akan kembali menorehkan luka. "Jadi ... Yumna pernah melahirkan seorang bayi?" tanya pria yang sudah fasih berbahasa Indonesia itu sedikit terkejut. Dia telah mendengar semua penyebab trauma yang dialami karyawati kantornya hingga memutuskan tak mau menikah dengan siapa pun. Qais mengangguk, mengusap kepala Yumna yang telungkup di sisi tubuhnya. "Jika Anda tidak masalah dengan trauma dan aib Yumna di masa lalu. Ijinkan saya mengajukan satu syarat pada Anda, Pak!" Yumna langsung mengangkat kepala menggeleng kuat, menolak ucapan sang ayah. Dia belum mau mengubah keputusannya untuk tidak menikah. Bayangan buruk itu masih ada. "Dengar, ajak Pak Almeer ke makam Bunda. Dan shalatlah istiharah minta petunjuk pada Allah, Na! Kamu harus ada yang menjaga sebelum Bapak tiada. Jadi, jika kamu yakin dengan Pak Almeer, terima dia. Bapak percaya Beliau ini orang baik dan jujur. Dari awal Bapak sudah bisa merasakannya, Na! Yakinlah kamu pasti sembuh dari ketakutan itu jika kamu menjadi istri Pak Almeer, hem?" pungkas Qais panjang lebar sambil menepuk-nepuk lengan Yumna. "Pak Almeer, saya hanya berpesan satu hal. Pernikahan adalah janji yang dibuat langsung oleh Allah pada hamba-Nya. Ikatan suci yang jika dinodai kesuciannya maka Arsy Allah di langit akan berguncang. Jagalah janji dan ikatan bersama putri saya apapun kekurangannya." sambungnya menepuk sekali pundak pria yang mengangguk pasti, lalu meremasnya pelan. Almeer menoleh pada Yumna yang menggeleng dan sesenggukan. Sore itu, keduanya langsung menuju pemakaman umum di pinggiran kota, dekat dengan rumah lama Yumna. Perjalanan sekitar dua jam dengan mobil berkecepatan sedang. Sang CEO sendiri yang melajukan kendaraan sedan mewahnya membelah jalanan sepi. "Apa mahar yang kamu inginkan dariku, Na?" tanya Almeet melirik sekilas pada Yumna yang juga menoleh padanya, "boleh 'kan aku panggil kamu seperti Bapak memanggilmu? Nana? Terdengar lebih menggemaskan," kekehnya memecah keheningan di dalam kabin yang sunyi selama perjalanan. "Terserah Bapak saja!" balas Yumna datar memandang ke arah luar dari jendela sampingnya. "Kok masih panggil Bapak? Apa aku setua itu di matamu?" Pria di balik kemudi itu kembali menoleh pada perempuan yang entah mengapa terlihat semakin menggemaskan baginya. "Berhenti di sini, Pak!" Yumna tiba-tiba berteriak dan menggoyangkan lengan Almeer. "Sudah sampai?" Pemilik perusahaan di beberapa negara itu menghentikan kendaraannya di tengah jalan. Memperhatikan gerak gerik Yumna yang seperti gelisah, terus menggeleng lalu menggigiti kuku jarinya. "Hei! Nana? Tenanglah! Kamu lihat sesuatu?" Pria itu melepaskan seatbelt-nya lalu duduk menyerong menghadap Yumna. "Tidak, jangan! Padamkan apinya! Jangan!" isak Yumna mengangkat kaki ke atas jok dan memeluk lututnya. Menutup telinga dan menenggelamkan wajah di antara paha. Almeer membawa tubuh gemetaran Yumna ke dalam pelukan. Dadanya bergemuruh ikut merasakan sesak yang mungkin sedang dirasakan perempuan itu. "Tenang, sudah aman! Kamu bersamaku. Tenanglah!" kata Almeer lembut, penuh kasih sayang sambil mengelus kepala Yumna yang berada di dadanya. "Kembalikan bayiku! Dia anakku! Bayiku ...," racaunya perlahan lemah tak berontak dan tqk meronta lagi. Aroma tubuh atasannya itu seperti obat penenang, dekapannya seolah pelukan sang bunda, tutur katanya bagai nasehat seorang bapak untuk Yumna. Perlahan wajah ayu bersih belum berkeriput itu mendongak. Pandangan dua pasang netra bertemu, semakin dekat dan ....Perlahan wajah ayu bersih belum berkeriput itu mendongak. Pandangan dua pasang netra bertemu, semakin dekat dan Yumna mendorong tubuh Almeer kasar. Plak! Satu tamparan keras mendarat di rahang tegasnya.. Yumna mengangkat tangan, menatap telapak yang sedikit memerah dengan gemetaran dan berlinang air mata. "Andai tangan ini mampu melakukannya sejak dulu ...," Yumna berucap lirih. Almeer mengerjapkan mata memegang pipinya yang tak terasa sakit. Justru dalam bayangannya pukulan itu bagai sentuhan lembut tangan wanita yang begitu menggemaskan. "Hari itu, Bunda membawanya pergi ke panti asuhan ...," ucapnya mulai bercerita dengan menatap kosong. Perempuan dengan penutup kepala dan bayi baru lahir di gendongannya itu berlari cepat agar tak ada yang memergoki. Saat sampai di depan pintu gerbang Panti, dia meletakkan dengan menyertakan beberapa pakaian bayi dalam tas di dekatnya. Perempuan bernama Saroh itu menengok kanan dan kiri, memerhatikan sekitar yang masih sepi. Sedikit
"Yumna! Kamu mau ke mana? Berhenti!" teriaknya berlari mengejar dengan susah payah.Pria itu terseok-seok membawa tubuhnya sendiri, bahkan dia baru kali ini tahu rasanya melangkah dengan tempo yang cepat. Napasnya sudah tersengal dan menatap Yumna tak telihat lagi menyelinap di semak belukar. Langkahnya terhenti dan mengirup udara sebanyak-banyaknya. Mengedarkan pandang ke sekeliling, tak ada orang atau pun bangunan di sana.Persimpangan jalan di tengah hutan buatan yang memisahkan dua desa. Dia tak mengenal tempat ini dan jaringan ponsel pun tak tersedia. Almeer mengumpat kecil dan kembali memasukkan gawai ke saku celana. Berjalan ragu ke arah yang telah dilaluinya, di mana mobil berada."Yumna ... aku akan menunggumu, kembalilah!" gumamnya sebelum masuk ke dalam kendaraan lagi.Selang beberapa menit, ada seorang pria paruh baya melintas dengan memikul dua ikat kayu melewati mobilnya."Maaf, Pak! Permisi bertanya, apakah di depan ada jal
"Tunggu!" Terdengar bentakan keras dari arah pintu ruangan VVIP dan semua orang menoleh padanya."Gue duluan, minggir!""Saya disabilitas harus didahulukan, Nona!"Dua orang saling berebut di ambang pintu geser ruangan yang terbuat sari kaca transparan. Saling bersitatap dengan wajah tak mau mengalah. Sama-sama ingin memasuki ruangan VVIP yang ditempati Qais."Nevan?""Oleef?"Sepasang pria dan wanita yang baru saja khusuk melaksanakan akad nikah kompak memanggil. Sama-sama saling mengenali siapa dua orang yang berebut melewati pintu itu."Bunda, kenapa menerima pernikahan ini?""Daddy, are you sure? Menika–hi ... gadis muda i–ni?"Sepasang anak muda yang terlihat seumuran itu terperangah bergantian meneliti wajah orang tua masing-masing dalam keterkejutan."Kemarilah!" Almeer menarik keluar pemuda yang berjalan pin cang itu ke luar lagi.Setelah keduanya keluar dari ruang rawat, satu
Tak ada jawaban hingga suara seseorang mengalihkan perhatian semua orang."Dad ...." Suara itu terdengar bergetar, "I hate Mommy, i'm scared ...," lanjut pria yang terduduk lemah di sofa dengan tubuh menggigil ketakutan."It's oke, Nev! She is gone and will never be able to touch you again, hem?" Almeer mendekat dan merangkul putranya. Menenangkan dengan berkata bahwa perempuan itu sudah pergi dan tak akan pernah bisa menyentuhnya lagi.Yumna mengedikkan bahu menoleh pada Oleefia–anak gadisnya, meminta penjelasan apa yang dikatakan Almeer.Gadis manis dengan kulit sedikit gelap itu mendekat dan berbisik di telinga sang ibu. Perempuan yang baru saja resmi berstatus sebagai istri itu mengangguk dan menatap sendu pada dua pria beda usia di sofa.'Dia juga memiliki putra yang sakit sepertiku? Pantas saja dia seperti tahu menghadapiku saat di kantor siang tadi,' batin Yumna menyentuh dada.Degup jantungnya memacu cepat, tak biasa. Keringat dingin mulai keluar dari pori kulitnya. Pandangan
"Jangan! Jangan Kak, ini dosa! Kakak, jangaaan!" teriak gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu meronta di bawah kendali beberapa pemuda."Tidaaaak!" Napas Yumna terengah-engah bangun dari tidurnya memeluk lutut dengan berlinangan air mata.Sudah lebih dari dua puluh tahun mimpi buruk itu terus saja menghantui malam-malamnya. Dua tangan berbalut kaos rajut putih itu meremas rambutnya kuat-kuat. Berharap semua kenangan itu tercabut bersama rontoknya surai di kepala. Sekeras dan sebanyak apapun mahkota hitamnya tercabut dari akar, memori kelam tak kunjung hilang. Mahkota yang sesungguhnya telah terenggut tak 'kan bisa kembali utuh.Sore itu dia harus pulang terlambat karena mempersiapkan kegiatan kelulusan angkatannya. Keluar dari gerbang sekolah dengan bersenandung riang sembari berlarian kecil menuju rumahnya."Cantik? Kok baru pulang? Mau Abang anterin?" Salah seorang dari lima pemuda berpakaian layaknya preman jalanan menghentikan keceriaan Yumna.Gadis itu memutar ara
'Apa dia bukan manusia?' batin Yumna bertanya-tanya. Masih memperhatikan setiap langkah kaki atasannya itu dengan mengernyitkan dahi.'Mana mungkin ada manusia berjalan seperti itu? Apa dia robot?' batinnya terus bertanya keheranan."Kenapa memandangku seperti itu?" Sang atasan mengulas senyum tipis saat tahu Yumna memperhatikannya.Perempuan dengan wajah masih tampak muda meski usianya sudah kepala empat itu kembali menunduk malu kedapatan memperhatikan sang CEO. Tak berani menjawab lagi, pandangannya lurus pada sepasang flat shoes butut yang dia pakai.Sepatu yang menjadi salah satu saksi bisu kekejian enam orang pemuda sore itu. Antara ingin membuangnya sejauh mungkin agar kejadian nahas itu terlupakan. Tapi sepatu itu satu-satunya benda yang menjadi kenangan bersama sang ibu. Refleks dia menggeleng dan mengedipkan mata, mengalihkan objek pandang ke arah lain. Kembali fokusnya pada sang pemimpin perusahaan yang sudah mendekatkan bibir cangkir ke mulutnya."Hem ... luar biasa! Bagai
"KELUAR!!!" geramnya berteriak di depan pintu kamar mandi.Dua tangannya bertumpu pada dinding dan melakukan lompatan untuk menendang pintu kuat-kuat. BRAK!Penghalang ruangan berbentuk persegi itu tumbang. Menampakkan seorang pria bertubuh tambun sedang merapikan jas juga rambutnya. Seketika matanya terbelalak saat menyadari dari pantulan cermin siapa yang mendobrak pintu."Pa–Pak Almeer?!" Bastian berpikir itu adalah sepupunya yang biasa mengerjai saat dia bersenang-senang dengan seorang karyawati.Ya, dengan alasan tertentu, Direktur yang sudah saatnya pensiun itu sering bermain-main dengan para perempuan di kantornya. Dengan iming-iming sejumlah uang dan dinaikkan jabatan di perusahaan, rela melakukan hal kotor di sela pekerjaan."Menjijikkan! Mulai hari ini keluar dari perusahaan ini!" teriaknya menghantamkan satu pukulan ke wajah pria yang lebih pendek darinya itu.Fendy menahan lengan atasannya saat sudah terangkat akan kembali memberi pukulan pada Bastian."LEPAS!" sentak Alm
"Menikahlah denganku!" Tanpa ragu dan menatap penuh wajah ayu Yumna, pimpinan perusahaan internasional itu kembali mengatakan hal konyol."A–apa?" gumam Yumna semakin mengeratkan selimut di tubuh dengan menggigit bibir bawahnya."Seminggu lalu aku melihatmu menemani anak-anak di sekolah difable, terlihat sangat tulus. Aku kagum padamu sejak pandangan pertama, Yumna." ungkap Almeer tak mengalihkan pandangan dari perempuan yang tampak lebih tenang dari sebelumnya.Perempuan itu hanya mengerjapkan mata mendengar kalimat yang mengalun lembut di telinganya. Sekalipun dia tak pernah memperhatikan pria manapun kecuali ayahnya. Almeer, pria pertama yang memandang Yumna tanpa terpancar kabut ga-irah di matanya.Dua pasang netra itu bertemu beberapa detik bagai pedang yang tajam menghunus membunuh kewarasan pemiliknya.Almeer mulai bergerak duduk di tepi ranjang yang sama di mana Yumna beringsut mundur hingga terantuk headboard."Pa–Paak, ja–ngan!" desis Yumna menggeleng kuat dan mulai mengalir