Langit mulai berubah jingga saat Yumna duduk di ruang keluarga, berusaha menenangkan dirinya. Qais telah diantar ke kamar untuk beristirahat oleh seorang perawat khusus yang disediakan Almeer. Meski segalanya tampak tenang, bayang-bayang kehadiran Sonya terus mengganggu pikirannya. Oleefia berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman. Tangannya bersedekap, matanya menatap kosong ke arah luar. Sesekali ia mendesah keras, berusaha menghalau kekesalan. "Olee, kamu baik-baik saja?" tanya Alden yang duduk di sofa, tak jauh darinya. "Baik? Hah! Apa menurutmu aku bisa baik-baik saja setelah semua itu? Perempuan itu sudah melampaui batas, Alden. Dia menyakiti semua orang di rumah ini, terutama Nevan. Aku benar-benar ingin—" Oleefia menghentikan kata-katanya. Matanya menyipit, penuh kemarahan yang terpendam. "Aku tahu, aku juga merasa kesal. Tapi kamu tahu kan, ini bukan cara kita. Jangan biarkan emosimu mengaburkan pikiranmu.
Hening menyelimuti ruang tamu. Semua orang terdiam menatap foto-foto di atas meja. Gambar-gambar itu seolah membawa kembali luka lama yang Yumna berusaha lupakan. Almeer masih berdiri kaku, tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan emosi yang hampir meledak. "Apa maksudnya ini? Siapa yang mengirimnya, Almeer?" tanya Yumna dengan suara bergetar. Almeer tidak langsung menjawab. Pandangannya tetap tertuju pada foto-foto itu, lalu dia mengambil salah satu dan memperhatikannya lebih saksama. "Ini bukan sekadar ancaman. Ini sebuah pesan... dari masa lalu." "Apa maksud Daddy? Pesan dari siapa?" Nevan mendekat, wajahnya cemas. "Orang yang bertanggung jawab atas semua penderitaan ibumu dulu. Dia mencoba mengusik kita lagi," jawab Almeer, suaranya dingin. "Dia?" Oleefia menduga, matanya menyipit penuh kebencian. Almeer mengangguk pelan. "Aku yakin ini ulahnya. Tapi dia tidak bekerja sendirian."
Oleefia menahan napas, tubuhnya menempel erat pada dinding kayu yang mulai lapuk. Pria itu berhenti beberapa langkah dari tempatnya bersembunyi, senter yang dipegangnya mengarah ke semak-semak di sisi kanan. "Kamu dengar itu?" tanyanya kepada temannya yang berdiri di pintu gudang. "Dengar apa?" balas temannya dengan nada malas. "Paling tikus lagi. Nggak usah paranoid!" Pria itu mendengus, tapi akhirnya kembali ke posisinya di depan pintu. Oleefia menarik napas lega, meskipun detak jantungnya masih terasa menghantam dada. Namun, suara teriakan dari dalam gudang tadi tidak bisa dia abaikan. Dia menoleh ke arah pintu yang kini kembali dijaga oleh dua pria bersenjata. Ada sesuatu yang jelas terjadi di dalam sana, sesuatu yang mungkin berhubungan dengan ancaman pada keluarganya. Oleefia tahu ini berbahaya. Dia bisa saja tertangkap atau bahkan terluka jika nekat masuk, tapi rasa ingin tahunya terlalu besar. Dia tidak akan membia
Bayangan yang MengintaiSuara sirene menggema, memecah ketegangan malam yang begitu pekat. Oleefia menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit di lengannya yang tergores akibat terjatuh dari motor. Di depannya, lampu sorot mobil pick-up semakin mendekat, seperti pemangsa yang menemukan mangsanya. Dia melirik ke arah belakang, memastikan motor yang tergeletak miring masih cukup jauh dari jangkauan orang-orang Sony. Dengan napas terengah-engah, Oleefia mencoba berdiri, tapi kakinya sedikit terpincang. “Dasar gadis bodoh! Mau lari ke mana kamu sekarang?” teriak pria di mobil, menghentikan kendaraannya dengan suara rem yang memekik tajam. Oleefia melirik kanan-kiri, otaknya bekerja cepat. Di sisi kanan ada semak belukar yang tebal, sedangkan di kiri hanya hamparan tanah kosong yang terlalu terbuka untuk bersembunyi. “Hei! Jangan bergerak kalau kamu masih mau hidup!” Pria itu melangkah keluar, membawa tongkat kayu panjang. Di belak
Alden menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras, pesan itu terpampang jelas. Kalimat pendek, tetapi menyimpan ancaman yang nyata. Sekilas, tangannya sedikit gemetar sebelum dia menggenggam ponsel lebih erat. “Siapa itu?” Oleefia bertanya, mencoba membaca ekspresi pemuda di depan kemudi itu. Alden tidak menjawab. Matanya kembali ke arah jalanan gelap di sekitar mereka. Dia merasakan udara malam seakan lebih dingin, menusuk kulit. Ancaman itu jelas bukan gertakan kosong. “Alden! Gue nanya siapa itu?” Oleefia menaikkan suaranya sedikit, meski masih terdengar lemah dan meringis.Dia menarik napas dalam, menatap gadis itu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Bukan urusan lo, Olee. Kita harus keluar dari sini dulu.” “Jawab gue dulu! Lo nggak bisa ngelakuin ini sendirian! Kalau itu ada hubungannya sama keselamatannkeluarga gue, gue berhak tahu!” gadis berkepang kuda itu memaksa, matanya tajam meski tubuhnya masih sedikit gem
Lorong gelap rumah keluarga Baldwin dipenuhi ketegangan. Cahaya redup dari lampu gantung di ujung lorong memantulkan bayangan seorang pria berdiri dengan senjata di tangannya. Oleefia dan Nevan berdiri kaku, dada mereka naik-turun menahan napas. “Siapa kamu sebenarnya?” Nevan akhirnya bersuara, matanya menyipit menatap asisten pribadi ayahnya. Pria seumuran dirinya itu tidak menjawab, hanya menyeringai kecil. “Mengejutkan, ya? Saya tidak mengira kalian akan secepat ini menyadari semuanya. Tapi yah, sudah terlambat.” “Apa maumu?” suara Oleefia terdengar tegas meski tubuhnya sedikit gemetar. Fendy melangkah perlahan ke arah mereka, senjatanya terayun di samping tubuhnya. “Saya hanya menjalankan tugas, Nona Oleefia. Dan tugas itu … memastikan keluarga ini hancur. Mulai dari kalian.” Nevan menggertakkan giginya, otaknya berpacu mencari cara untuk melindungi Oleefia. Dia tahu dengan kondisi fisiknya, dia tidak akan bisa mel
Suasana di dalam rumah Baldwin berubah menjadi mencekam. Kata-kata terakhir Fendy masih menggantung di udara, menyisakan kekhawatiran yang semakin nyata. Almeer memandang layar ponsel Fendy dengan tatapan tajam. “Dia benar-benar menuju ke sini, dan dia nggak sendirian.” “Berapa orang?” Alden bertanya, nadanya tegas meski napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan tadi. “Lima orang dalam dua mobil. Dia pasti membawa orang-orangnya,” jawab Almeer dengan nada rendah. Dia menatap Yumna yang berdiri di sudut ruangan dengan tubuh gemetar. “Na, kamu dan Bapak pergi ke ruang bawah tanah. Ini belum aman buat kalian,” katanya sambil mendekat dan menggenggam tangan istrinya. Yumna menggeleng cepat. “Nggak bisa. Aku nggak bisa meninggalkan kalian semua.**” Nevan menghampiri mereka, kali ini dengan wajah serius. “Bunda, tolong dengar Daddy. Ini bukan waktu buat berdebat. Nevan bakal jaga semuanya di sini. Kalian h
Pria besar dengan linggis itu menyeringai licik, melangkah maju dengan langkah mantap. Nevan berdiri tegak di depannya, sementara Oleefia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan adrenalin yang tiba-tiba meledak di tubuhnya. “Lo siapa? Dan ngapain lo di sini?” suara Oleefia penuh tantangan, meski tangannya sedikit bergetar. Pria itu terkekeh. “Gue cuma pesuruh, Cantik! Tapi kalau kalian nyerah sekarang, gue jamin nggak ada yang perlu terluka.” Nevan maju selangkah, melindungi Oleefia. “Kita nggak akan nyerah gitu aja! Jadi kalau nggak mau mati konyol, pergi sekarang!” Linggis di tangan pria itu terangkat, berkilauan di bawah sinar lampu darurat yang temaram. “Sayang banget, gue nggak bisa ngabulin itu.” Tanpa peringatan, dia mengayunkan linggisnya ke arah Nevan. Nevan melompat mundur, hampir kehilangan keseimbangan, tapi dengan sigap dia menarik Oleefia menjauh dari jangkauan pria itu. “Lari, Olee! Car
Suara langkah kaki dan teriakan memecah kesunyian malam. Nevan masih terduduk di lantai gudang, tubuhnya disandarkan pada dinding tua yang dingin. Matanya sedikit terpejam, tapi pikirannya tetap waspada. Sony berdiri di depannya, pisau di tangan, siap menuntaskan dendam lamanya. “Gue udah cukup bersabar,” desis Sony sambil mengarahkan pisau ke leher Nevan. “Sekarang lo bakal bayar semua yang keluarga lo lakuin ke gue.” Nevan membuka matanya perlahan, menatap tajam ke arah Sony meski tubuhnya sudah lemah. “Anda pikir dengan membunuh saya semuanya akan berakhir? Anda salah besar!” Sony tertawa kecil, dingin dan penuh ejekan. “Gue nggak peduli soal menyelesaikan masalah. Gue cuma peduli lo menderita seperti yang gue rasain!” Namun, sebelum Sony sempat melakukan apapun, pintu gudang meledak terbuka dengan keras, membuat mereka berdua terkejut. Asap tipis memenuhi ruangan, diiringi langkah kaki cepat. Suara keras yang familiar menggem
Suara langkah kaki Sony semakin jauh, tapi ketegangannya masih terasa seperti tali yang mencekik. Nevan mengatur napas dengan susah payah, wajahnya basah oleh keringat dingin. Oleefia tetap berlutut di sampingnya, dengan tangan gemetar mencoba menekan luka di bahu Nevan menggunakan kain seadanya yang kini mulai berwarna merah pekat. “Lo nggak apa-apa, kan?” tanya Oleefia lirih, suaranya hampir bergetar. Nevan menoleh perlahan, menatapnya dengan sorot mata lelah tapi hangat. “Aku masih hidup, itu udah cukup.” Alden berdiri tidak jauh dari mereka, matanya tajam mengamati koridor tempat Sony baru saja pergi. “Kita nggak bisa santai. Dia pasti nggak akan tinggal diam. Kita harus keluar dari sini.” Oleefia menoleh tajam ke arah Alden. “Lo pikir Nevan bisa lari dalam kondisi kayak gini? Lo nggak lihat lukanya?” Alden mendesah, menekan rasa frustrasinya. “Kalau kita tetap di sini, kita semua bisa mati. Gue nggak mau ambil ris
Suasana ruang interogasi rumah mewah keluarga Baldwin berubah menjadi medan perang emosi. Pria berwajah bengis itu—Sony duduk di tengah ruangan, kedua tangannya terikat dengan kuat di kursi. Mata liciknya melirik ke sekeliling, mencoba mencari celah untuk menyelamatkan diri. Di seberang meja, Almeer berdiri tegak, rahangnya mengeras, sedangkan Alden sibuk memasang alat perekam suara di meja. Di sudut ruangan, Yumna berdiri dengan wajah pucat. Trauma yang selama ini menghantuinya kini terpapar jelas, membuat tubuhnya sedikit bergetar. Namun, Oleefia berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat. “Bunda, ada Olee di sini. Bunda nggak sendirian.” Suaranya pelan tapi penuh keyakinan, memberikan kekuatan pada Yumna. Nevan, dengan kaki palsunya, berdiri di dekat pintu. Tatapan matanya tajam, menyimpan kemarahan yang siap meledak kapan saja. “Kali ini dia nggak bakal lolos,” gumamnya pelan, nyaris seperti janji pada dirinya sendiri. “Kenapa
Oleefia merasakan dinginnya bilah pisau di lehernya. Tubuhnya kaku, napasnya tertahan. Pria bertopeng yang mencengkeramnya menyeringai, penuh kemenangan, sementara Alden dan Nevan berdiri beberapa langkah di depannya, wajah mereka penuh ketegangan. “Lepasin dia!” Alden berbicara dengan nada rendah tapi tegas. Matanya menatap tajam ke arah pria bertopeng itu. Pria itu tertawa kecil. “Oh, kamu pikir bisa memerintahku? Aku punya kendali di sini, bocah!” “Lo nggak tahu apa yang bakal lo hadapi kalau sentuh dia sedikit saja!” ancam Nevan, suaranya dipenuhi kemarahan yang sulit ditahan. Ia melangkah maju, tapi pria itu semakin menekan pisau ke leher Oleefia, membuat gadis itu memejamkan mata. “Jangan bergerak, atau dia akan kehilangan nyawanya!” ancamnya lagi. Alden mengangkat kedua tangannya perlahan, mencoba menenangkan situasi. “Oke, oke. Kita nggak akan bergerak. Tapi lo lepaskan dia dulu. Kita bisa selesaikan ini tanpa ada yang t
Malam di rumah keluarga Baldwin terasa hening, tetapi ada ketegangan yang menggantung di udara. Oleefia berbaring di tempat tidurnya, mencoba mengusir pikiran tentang pesan misterius yang diterimanya. Namun, bayangan ancaman itu terus berputar di kepalanya. Ia bangkit dan berjalan ke balkon lagi, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya. Angin lembut menyapu wajahnya, tetapi ada sesuatu yang aneh. Mata Oleefia menangkap bayangan di sudut halaman. Ia memperhatikan dengan seksama, tetapi tidak ada apa-apa di sana. “Mungkin cuma imajinasi gue,” gumamnya sambil berbalik ke dalam. Namun, sebelum ia melangkah pergi, suara lembut tapi menyeramkan terdengar dari kejauhan. “Jangan terlalu percaya diri, Oleefia.” Oleefia membeku. Suara itu jelas-jelas menyebut namanya. Ia menoleh lagi ke luar, tetapi tidak ada apa pun selain kegelapan. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel di atas meja, mencoba menghubungi Alden.Di ruan
Sisa suara langkah di koridor terdengar semakin jelas. Alden menguatkan dirinya, berdiri dengan tubuh menahan rasa sakit di bagian dada yang masih berdenyut akibat dorongan pria bertopeng sebelumnya. Di sebelahnya, Oleefia memegang erat pipa besi yang mulai dingin di tangannya. “Semua aman!” Suara berat milik seorang pria paruh baya memecah kesunyian. Alden mengenali suara itu dengan baik—ayahnya. Pria bertopeng menoleh ke arah suara, namun sebelum ia sempat melarikan diri, tembakan peringatan melesat ke dinding di sampingnya. “Jatuhkan senjatamu!” perintah Ayah Alden tegas, berdiri gagah dengan pistol teracung. Di belakangnya, beberapa petugas terlihat menyusuri ruangan sempit itu. Pria bertopeng itu mendecak marah. Dengan tatapan penuh kebencian, dia membuang pisaunya ke lantai, mengangkat kedua tangan. “Kalian pikir sudah menang?” ejeknya. “Aku nggak butuh menang darimu,” sahut Ayah Alden dingin. “Kami cuma butuh ke
Koridor itu terasa lebih sempit ketika suara itu menggelegar, memerintahkan semua orang untuk berhenti bergerak. Langkah kaki berat semakin mendekat, diiringi suara sepatu yang menginjak pecahan kaca dan genangan darah yang mulai membeku. Oleefia menggenggam pipa besinya erat-erat, matanya mengawasi pria bertopeng yang tampak ragu untuk melangkah. “Lo pikir bisa kabur?” Alden mengejek dengan nada penuh tantangan. Tapi di balik sikap santainya, dia bersiap dengan napas tertahan. Pria bertopeng itu berbalik, melirik tajam ke arah Alden, Nevan, dan Oleefia. Dia tahu pilihan yang tersisa hanya dua, melawan atau menyerah. Tetapi, daripada mengambil keputusan cepat, pria itu melemparkan sesuatu ke lantai—sebuah granat asap kecil. “Hati-hati! Dia kabur!” teriak Alden, menarik Oleefia ke belakang untuk melindunginya. Asap mulai menyelimuti ruangan. Nevan, yang masih merayap di dindinh karena terluka, mencoba tetap waspada meski pandangan
Ketegangan di belakang rumah terus memuncak. Nevan menggertakkan giginya, mencoba mengumpulkan sisa tenaga yang tersisa untuk melawan pria besar yang kini bangkit lagi, linggis di tangannya terangkat tinggi. Oleefia dan Alden berdiri berdampingan, napas mereka memburu, bersiap menghadapi pria kedua yang semakin mendekat. “Gue bilang kalian nyerah sekarang, atau gue pastikan kalian nggak akan keluar dari sini hidup-hidup!” ancam si pria besar, suaranya bergema di ruang sempit itu. “Omong kosong!” sahut Alden sambil melirik ke arah Oleefia, memastikan dia baik-baik saja. Tiba-tiba, Nevan menerjang pria besar itu lagi, kali ini langsung meraih pergelangan tangan yang memegang linggis. Mereka bergumul dengan kasar, membuat Oleefia dan Alden semakin cemas. “Nevan! Jangan paksa diri lo!” teriak Oleefia, hampir maju untuk membantu. Tapi Alden menahannya. “Olee, lo jaga jarak dulu! Gue bantu Nevan. Lo cari sesuatu buat pertaha
Pria besar dengan linggis itu menyeringai licik, melangkah maju dengan langkah mantap. Nevan berdiri tegak di depannya, sementara Oleefia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan adrenalin yang tiba-tiba meledak di tubuhnya. “Lo siapa? Dan ngapain lo di sini?” suara Oleefia penuh tantangan, meski tangannya sedikit bergetar. Pria itu terkekeh. “Gue cuma pesuruh, Cantik! Tapi kalau kalian nyerah sekarang, gue jamin nggak ada yang perlu terluka.” Nevan maju selangkah, melindungi Oleefia. “Kita nggak akan nyerah gitu aja! Jadi kalau nggak mau mati konyol, pergi sekarang!” Linggis di tangan pria itu terangkat, berkilauan di bawah sinar lampu darurat yang temaram. “Sayang banget, gue nggak bisa ngabulin itu.” Tanpa peringatan, dia mengayunkan linggisnya ke arah Nevan. Nevan melompat mundur, hampir kehilangan keseimbangan, tapi dengan sigap dia menarik Oleefia menjauh dari jangkauan pria itu. “Lari, Olee! Car