"Yumna! Kamu mau ke mana? Berhenti!" teriaknya berlari mengejar dengan susah payah.
Pria itu terseok-seok membawa tubuhnya sendiri, bahkan dia baru kali ini tahu rasanya melangkah dengan tempo yang cepat. Napasnya sudah tersengal dan menatap Yumna tak telihat lagi menyelinap di semak belukar. Langkahnya terhenti dan mengirup udara sebanyak-banyaknya. Mengedarkan pandang ke sekeliling, tak ada orang atau pun bangunan di sana.Persimpangan jalan di tengah hutan buatan yang memisahkan dua desa. Dia tak mengenal tempat ini dan jaringan ponsel pun tak tersedia. Almeer mengumpat kecil dan kembali memasukkan gawai ke saku celana. Berjalan ragu ke arah yang telah dilaluinya, di mana mobil berada."Yumna ... aku akan menunggumu, kembalilah!" gumamnya sebelum masuk ke dalam kendaraan lagi.Selang beberapa menit, ada seorang pria paruh baya melintas dengan memikul dua ikat kayu melewati mobilnya."Maaf, Pak! Permisi bertanya, apakah di depan ada jal"Tunggu!" Terdengar bentakan keras dari arah pintu ruangan VVIP dan semua orang menoleh padanya."Gue duluan, minggir!""Saya disabilitas harus didahulukan, Nona!"Dua orang saling berebut di ambang pintu geser ruangan yang terbuat sari kaca transparan. Saling bersitatap dengan wajah tak mau mengalah. Sama-sama ingin memasuki ruangan VVIP yang ditempati Qais."Nevan?""Oleef?"Sepasang pria dan wanita yang baru saja khusuk melaksanakan akad nikah kompak memanggil. Sama-sama saling mengenali siapa dua orang yang berebut melewati pintu itu."Bunda, kenapa menerima pernikahan ini?""Daddy, are you sure? Menika–hi ... gadis muda i–ni?"Sepasang anak muda yang terlihat seumuran itu terperangah bergantian meneliti wajah orang tua masing-masing dalam keterkejutan."Kemarilah!" Almeer menarik keluar pemuda yang berjalan pin cang itu ke luar lagi.Setelah keduanya keluar dari ruang rawat, satu
Tak ada jawaban hingga suara seseorang mengalihkan perhatian semua orang."Dad ...." Suara itu terdengar bergetar, "I hate Mommy, i'm scared ...," lanjut pria yang terduduk lemah di sofa dengan tubuh menggigil ketakutan."It's oke, Nev! She is gone and will never be able to touch you again, hem?" Almeer mendekat dan merangkul putranya. Menenangkan dengan berkata bahwa perempuan itu sudah pergi dan tak akan pernah bisa menyentuhnya lagi.Yumna mengedikkan bahu menoleh pada Oleefia–anak gadisnya, meminta penjelasan apa yang dikatakan Almeer.Gadis manis dengan kulit sedikit gelap itu mendekat dan berbisik di telinga sang ibu. Perempuan yang baru saja resmi berstatus sebagai istri itu mengangguk dan menatap sendu pada dua pria beda usia di sofa.'Dia juga memiliki putra yang sakit sepertiku? Pantas saja dia seperti tahu menghadapiku saat di kantor siang tadi,' batin Yumna menyentuh dada.Degup jantungnya memacu cepat, tak biasa. Keringat dingin mulai keluar dari pori kulitnya. Pandangan
'Aku mengingatnya, Almeer. Aku ingat semuanya! Sekarang apa rencanamu terhadapku?' gumam Yumna menatap kepergian sang suami keluar ruang rawat Qais. "Son, cepat! Ada orang di luar bawa lampu dan kamera!" "Ssshhh ... aaah! Si-a-lan LO!" Sambil meringis dia beranjak menjauhi gadis berseragam putih yang sedikit terkoyak. Tangannya cepat menarik kembali celana ke pinggang dan memakai gespernya. Kelima teman yang semula ada di belakangnya sudah tak ada satu pun. "Wooy! Kal–" "Ssstttt!" Salah satu temannya menarik tangan Sony ke arah jendela dan melimpat dengan cepat. Rintihan tangis Yumna semakin menjadi saat ikatan di kaki dan tangannya dilepaskan. Celana dan rok yang telah dilepas paksa oleh Sony .... "Bunda? Bunda melamun?" Suara Oleefia mengejutkan Yumna yang tengah mengingat masa kelamnya. Perempuan itu menggeleng dengan senyuman tipis, "kapan kamu sampai, Nak?" tanyanya basa-basi sambil mengusap kepala Oleefia yang mencium punggung tangan sang ibu. "Apa yang Bunda pi
"Ayah dicari polisi lagi, dan kali ini mungkin ...," kalimatnya terhenti saat seseorang membuka pintu dan mengucapkan salam."Pa–""Mas. Jangan lagi panggil saya Pak! Maaf, berkas saya tertinggal," potong Almeer memasuki ruangan kamar penunggu pasien melewati Yumna yang hendak menyapanya.Pria dengan langkah kaki berbeda dengan manusia kebanyakan itu mengambil sesuatu di dalam tas jinjing. Sekilas mengecup kening Yumna dan tersenyum pada Qais."Saya akan secepatnya kembali ke sini dan kita akan pulang ke rumah bersama-sama. Dokter sudah mengijinkan Bapak untuk menjalani rawat jalan. Nanti Fendy akan urus semuanya. Sampai nanti, Assalamualaikum!" katanya cepat hampir tanpa jeda sambil berlalu pergi keluar lagi.Pemuda yang sedari masuknya Almeer ke dalam ruang rapat itu membuka mulutnya lebar keheranan."Ssh–siapa dia?" cicit pemuda itu tak berkedip, berbisik pada Olee yang tak jauh darinya."Daddy Almeer Baldwin. Suami Bunda menikah baru seminggu lalu," terang Olee dengan berbisik jug
Olee melirik sekilas dan tersenyum tipis, sangat tipis hingga tak ada yang menyadari. Hanya dia yang tahu apa yang dilakukan sahabat terlamanya itu.'Ada yang aneh dari Alden sejak kemarin. Apa yang disembunyikannya?' batin Olee mengalihkan pandangan saat Alden meliriknya."Bunda, Olee ke kampus dulu bentar. Mau urus berkas buat besok KKN." Olee berdiri dan meraih tangan Yumna, lalu dicium punggung tangannya.Begitu sore tiba, Yumna sudah merapikan semua pakaian dan barang yang harus dibawa pulang. Infus di tangan Qais juga sudah dilepas. Olee pun sudah kembali ke ruangan itu, tak lupa Alden juga ikut bersamanya lagi."Sudah siap semua? Tolong Olee nanti yang bawa mobil Daddy, ya? Bisa 'kan?"Sore ini setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Almeer langsung menuju rumah sakit. Padahal sudah menyiapkan mobil khusus yang nyaman untuk mertuanya itu, tapi dia masih tetap mengendarai kendaraan mewahnya sendiri dari kantor bersama Fendy."Jangan Om! Sayang mobilnya, Oleef suka ugal-ugalan
Semua mata mengarah ke sumber suara laki-laki yang semakin menghilang tak terdengar lagi. Almeer berlari dengan terpincang-pincang, berusaha semampunya untuk menyelamatkan seseorang yang hampir tumbang di ujung tangga. Suara langkah terburu-buru terdengar menggema di lorong rumah megah itu. Almeer yang panik hampir tersandung karpet mahal yang terhampar di lantai foyer. Ia memanggil nama putranya dengan nada cemas. "Nevan!" serunya serak, menghentikan langkah di anak tangga pertama. Yumna yang masih berdiri di dekat pintu menghela napas dengan dada berdebar. Matanya mengikuti langkah suaminya yang kini mulai menaiki tangga dengan gerakan kaku, terpincang-pincang. Ia tak sempat berpikir panjang sebelum mengikuti di belakangnya. "Bunda! Jangan, biar aku yang lihat!" Oleefia memegang lengan Yumna, menahan langkahnya. "Biar Daddy yang urus Nevan. Nanti Bunda malah tambah capek." Namun, Yumna hanya menggeleng lemah. Wajahnya pucat, pikirannya melayang pada anak laki-laki yang
Langit mulai berubah jingga saat Yumna duduk di ruang keluarga, berusaha menenangkan dirinya. Qais telah diantar ke kamar untuk beristirahat oleh seorang perawat khusus yang disediakan Almeer. Meski segalanya tampak tenang, bayang-bayang kehadiran Sonya terus mengganggu pikirannya. Oleefia berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman. Tangannya bersedekap, matanya menatap kosong ke arah luar. Sesekali ia mendesah keras, berusaha menghalau kekesalan. "Olee, kamu baik-baik saja?" tanya Alden yang duduk di sofa, tak jauh darinya. "Baik? Hah! Apa menurutmu aku bisa baik-baik saja setelah semua itu? Perempuan itu sudah melampaui batas, Alden. Dia menyakiti semua orang di rumah ini, terutama Nevan. Aku benar-benar ingin—" Oleefia menghentikan kata-katanya. Matanya menyipit, penuh kemarahan yang terpendam. "Aku tahu, aku juga merasa kesal. Tapi kamu tahu kan, ini bukan cara kita. Jangan biarkan emosimu mengaburkan pikiranmu.
Hening menyelimuti ruang tamu. Semua orang terdiam menatap foto-foto di atas meja. Gambar-gambar itu seolah membawa kembali luka lama yang Yumna berusaha lupakan. Almeer masih berdiri kaku, tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan emosi yang hampir meledak. "Apa maksudnya ini? Siapa yang mengirimnya, Almeer?" tanya Yumna dengan suara bergetar. Almeer tidak langsung menjawab. Pandangannya tetap tertuju pada foto-foto itu, lalu dia mengambil salah satu dan memperhatikannya lebih saksama. "Ini bukan sekadar ancaman. Ini sebuah pesan... dari masa lalu." "Apa maksud Daddy? Pesan dari siapa?" Nevan mendekat, wajahnya cemas. "Orang yang bertanggung jawab atas semua penderitaan ibumu dulu. Dia mencoba mengusik kita lagi," jawab Almeer, suaranya dingin. "Dia?" Oleefia menduga, matanya menyipit penuh kebencian. Almeer mengangguk pelan. "Aku yakin ini ulahnya. Tapi dia tidak bekerja sendirian."
Suara langkah kaki dan teriakan memecah kesunyian malam. Nevan masih terduduk di lantai gudang, tubuhnya disandarkan pada dinding tua yang dingin. Matanya sedikit terpejam, tapi pikirannya tetap waspada. Sony berdiri di depannya, pisau di tangan, siap menuntaskan dendam lamanya. “Gue udah cukup bersabar,” desis Sony sambil mengarahkan pisau ke leher Nevan. “Sekarang lo bakal bayar semua yang keluarga lo lakuin ke gue.” Nevan membuka matanya perlahan, menatap tajam ke arah Sony meski tubuhnya sudah lemah. “Anda pikir dengan membunuh saya semuanya akan berakhir? Anda salah besar!” Sony tertawa kecil, dingin dan penuh ejekan. “Gue nggak peduli soal menyelesaikan masalah. Gue cuma peduli lo menderita seperti yang gue rasain!” Namun, sebelum Sony sempat melakukan apapun, pintu gudang meledak terbuka dengan keras, membuat mereka berdua terkejut. Asap tipis memenuhi ruangan, diiringi langkah kaki cepat. Suara keras yang familiar menggem
Suara langkah kaki Sony semakin jauh, tapi ketegangannya masih terasa seperti tali yang mencekik. Nevan mengatur napas dengan susah payah, wajahnya basah oleh keringat dingin. Oleefia tetap berlutut di sampingnya, dengan tangan gemetar mencoba menekan luka di bahu Nevan menggunakan kain seadanya yang kini mulai berwarna merah pekat. “Lo nggak apa-apa, kan?” tanya Oleefia lirih, suaranya hampir bergetar. Nevan menoleh perlahan, menatapnya dengan sorot mata lelah tapi hangat. “Aku masih hidup, itu udah cukup.” Alden berdiri tidak jauh dari mereka, matanya tajam mengamati koridor tempat Sony baru saja pergi. “Kita nggak bisa santai. Dia pasti nggak akan tinggal diam. Kita harus keluar dari sini.” Oleefia menoleh tajam ke arah Alden. “Lo pikir Nevan bisa lari dalam kondisi kayak gini? Lo nggak lihat lukanya?” Alden mendesah, menekan rasa frustrasinya. “Kalau kita tetap di sini, kita semua bisa mati. Gue nggak mau ambil ris
Suasana ruang interogasi rumah mewah keluarga Baldwin berubah menjadi medan perang emosi. Pria berwajah bengis itu—Sony duduk di tengah ruangan, kedua tangannya terikat dengan kuat di kursi. Mata liciknya melirik ke sekeliling, mencoba mencari celah untuk menyelamatkan diri. Di seberang meja, Almeer berdiri tegak, rahangnya mengeras, sedangkan Alden sibuk memasang alat perekam suara di meja. Di sudut ruangan, Yumna berdiri dengan wajah pucat. Trauma yang selama ini menghantuinya kini terpapar jelas, membuat tubuhnya sedikit bergetar. Namun, Oleefia berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat. “Bunda, ada Olee di sini. Bunda nggak sendirian.” Suaranya pelan tapi penuh keyakinan, memberikan kekuatan pada Yumna. Nevan, dengan kaki palsunya, berdiri di dekat pintu. Tatapan matanya tajam, menyimpan kemarahan yang siap meledak kapan saja. “Kali ini dia nggak bakal lolos,” gumamnya pelan, nyaris seperti janji pada dirinya sendiri. “Kenapa
Oleefia merasakan dinginnya bilah pisau di lehernya. Tubuhnya kaku, napasnya tertahan. Pria bertopeng yang mencengkeramnya menyeringai, penuh kemenangan, sementara Alden dan Nevan berdiri beberapa langkah di depannya, wajah mereka penuh ketegangan. “Lepasin dia!” Alden berbicara dengan nada rendah tapi tegas. Matanya menatap tajam ke arah pria bertopeng itu. Pria itu tertawa kecil. “Oh, kamu pikir bisa memerintahku? Aku punya kendali di sini, bocah!” “Lo nggak tahu apa yang bakal lo hadapi kalau sentuh dia sedikit saja!” ancam Nevan, suaranya dipenuhi kemarahan yang sulit ditahan. Ia melangkah maju, tapi pria itu semakin menekan pisau ke leher Oleefia, membuat gadis itu memejamkan mata. “Jangan bergerak, atau dia akan kehilangan nyawanya!” ancamnya lagi. Alden mengangkat kedua tangannya perlahan, mencoba menenangkan situasi. “Oke, oke. Kita nggak akan bergerak. Tapi lo lepaskan dia dulu. Kita bisa selesaikan ini tanpa ada yang t
Malam di rumah keluarga Baldwin terasa hening, tetapi ada ketegangan yang menggantung di udara. Oleefia berbaring di tempat tidurnya, mencoba mengusir pikiran tentang pesan misterius yang diterimanya. Namun, bayangan ancaman itu terus berputar di kepalanya. Ia bangkit dan berjalan ke balkon lagi, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya. Angin lembut menyapu wajahnya, tetapi ada sesuatu yang aneh. Mata Oleefia menangkap bayangan di sudut halaman. Ia memperhatikan dengan seksama, tetapi tidak ada apa-apa di sana. “Mungkin cuma imajinasi gue,” gumamnya sambil berbalik ke dalam. Namun, sebelum ia melangkah pergi, suara lembut tapi menyeramkan terdengar dari kejauhan. “Jangan terlalu percaya diri, Oleefia.” Oleefia membeku. Suara itu jelas-jelas menyebut namanya. Ia menoleh lagi ke luar, tetapi tidak ada apa pun selain kegelapan. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel di atas meja, mencoba menghubungi Alden.Di ruan
Sisa suara langkah di koridor terdengar semakin jelas. Alden menguatkan dirinya, berdiri dengan tubuh menahan rasa sakit di bagian dada yang masih berdenyut akibat dorongan pria bertopeng sebelumnya. Di sebelahnya, Oleefia memegang erat pipa besi yang mulai dingin di tangannya. “Semua aman!” Suara berat milik seorang pria paruh baya memecah kesunyian. Alden mengenali suara itu dengan baik—ayahnya. Pria bertopeng menoleh ke arah suara, namun sebelum ia sempat melarikan diri, tembakan peringatan melesat ke dinding di sampingnya. “Jatuhkan senjatamu!” perintah Ayah Alden tegas, berdiri gagah dengan pistol teracung. Di belakangnya, beberapa petugas terlihat menyusuri ruangan sempit itu. Pria bertopeng itu mendecak marah. Dengan tatapan penuh kebencian, dia membuang pisaunya ke lantai, mengangkat kedua tangan. “Kalian pikir sudah menang?” ejeknya. “Aku nggak butuh menang darimu,” sahut Ayah Alden dingin. “Kami cuma butuh ke
Koridor itu terasa lebih sempit ketika suara itu menggelegar, memerintahkan semua orang untuk berhenti bergerak. Langkah kaki berat semakin mendekat, diiringi suara sepatu yang menginjak pecahan kaca dan genangan darah yang mulai membeku. Oleefia menggenggam pipa besinya erat-erat, matanya mengawasi pria bertopeng yang tampak ragu untuk melangkah. “Lo pikir bisa kabur?” Alden mengejek dengan nada penuh tantangan. Tapi di balik sikap santainya, dia bersiap dengan napas tertahan. Pria bertopeng itu berbalik, melirik tajam ke arah Alden, Nevan, dan Oleefia. Dia tahu pilihan yang tersisa hanya dua, melawan atau menyerah. Tetapi, daripada mengambil keputusan cepat, pria itu melemparkan sesuatu ke lantai—sebuah granat asap kecil. “Hati-hati! Dia kabur!” teriak Alden, menarik Oleefia ke belakang untuk melindunginya. Asap mulai menyelimuti ruangan. Nevan, yang masih merayap di dindinh karena terluka, mencoba tetap waspada meski pandangan
Ketegangan di belakang rumah terus memuncak. Nevan menggertakkan giginya, mencoba mengumpulkan sisa tenaga yang tersisa untuk melawan pria besar yang kini bangkit lagi, linggis di tangannya terangkat tinggi. Oleefia dan Alden berdiri berdampingan, napas mereka memburu, bersiap menghadapi pria kedua yang semakin mendekat. “Gue bilang kalian nyerah sekarang, atau gue pastikan kalian nggak akan keluar dari sini hidup-hidup!” ancam si pria besar, suaranya bergema di ruang sempit itu. “Omong kosong!” sahut Alden sambil melirik ke arah Oleefia, memastikan dia baik-baik saja. Tiba-tiba, Nevan menerjang pria besar itu lagi, kali ini langsung meraih pergelangan tangan yang memegang linggis. Mereka bergumul dengan kasar, membuat Oleefia dan Alden semakin cemas. “Nevan! Jangan paksa diri lo!” teriak Oleefia, hampir maju untuk membantu. Tapi Alden menahannya. “Olee, lo jaga jarak dulu! Gue bantu Nevan. Lo cari sesuatu buat pertaha
Pria besar dengan linggis itu menyeringai licik, melangkah maju dengan langkah mantap. Nevan berdiri tegak di depannya, sementara Oleefia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan adrenalin yang tiba-tiba meledak di tubuhnya. “Lo siapa? Dan ngapain lo di sini?” suara Oleefia penuh tantangan, meski tangannya sedikit bergetar. Pria itu terkekeh. “Gue cuma pesuruh, Cantik! Tapi kalau kalian nyerah sekarang, gue jamin nggak ada yang perlu terluka.” Nevan maju selangkah, melindungi Oleefia. “Kita nggak akan nyerah gitu aja! Jadi kalau nggak mau mati konyol, pergi sekarang!” Linggis di tangan pria itu terangkat, berkilauan di bawah sinar lampu darurat yang temaram. “Sayang banget, gue nggak bisa ngabulin itu.” Tanpa peringatan, dia mengayunkan linggisnya ke arah Nevan. Nevan melompat mundur, hampir kehilangan keseimbangan, tapi dengan sigap dia menarik Oleefia menjauh dari jangkauan pria itu. “Lari, Olee! Car