"Menikahlah denganku!" Tanpa ragu dan menatap penuh wajah ayu Yumna, pimpinan perusahaan internasional itu kembali mengatakan hal konyol.
"A–apa?" gumam Yumna semakin mengeratkan selimut di tubuh dengan menggigit bibir bawahnya. "Seminggu lalu aku melihatmu menemani anak-anak di sekolah difable, terlihat sangat tulus. Aku kagum padamu sejak pandangan pertama, Yumna." ungkap Almeer tak mengalihkan pandangan dari perempuan yang tampak lebih tenang dari sebelumnya. Perempuan itu hanya mengerjapkan mata mendengar kalimat yang mengalun lembut di telinganya. Sekalipun dia tak pernah memperhatikan pria manapun kecuali ayahnya. Almeer, pria pertama yang memandang Yumna tanpa terpancar kabut ga-irah di matanya. Dua pasang netra itu bertemu beberapa detik bagai pedang yang tajam menghunus membunuh kewarasan pemiliknya. Almeer mulai bergerak duduk di tepi ranjang yang sama di mana Yumna beringsut mundur hingga terantuk headboard. "Pa–Paak, ja–ngan!" desis Yumna menggeleng kuat dan mulai mengalirkan bulir bening lagi dari matanya. Pria itu menggeleng dan malah terkekeh, "obati lukamu! Mulai sekarang jangan gigiti bibirmu seperti itu di depan laki-laki. Itu akan meningkatkan has-rat seorang laki-laki dewasa terhadap wanita!" Sang atasan beranjak dan meletakkan kotak obat di atas kasur dan keluar dari ruang rahasia. 'Laki-laki meningkat has–ratnya? Dia juga laki-laki 'kan? Tapi ....' Yumna memegang dadanya yang tak lagi berdetak kencang. Perasaannya sedikit tenang dan seperti berada di dekat sang ayah. Nyaman dan merasa terlindungi. "Menikah? Dengan Pak Almeer?" cicitnya menatap tempat persegi bertuliskan P3K. Tangannya me-raba bibir kemudian meringis. Amis dan anyir bercampur perih terasa di dua sudutnya. Air mata kembali mengaliri kulit pipi yang belum menampakkan keriput meski sudah hampir paruh baya. 'Apapun yang kita lakukan nggak akan bisa menjadikan putri kita menikahi enam ba-ji-ngan itu, Bund ....' 'Lalu kita harus menerima ini? Yumna hamil tanpa suami dan baru lulus SMA, Pak! Bagaimana kita menyembunyikan dia dari tetangga?' 'Pasung dia hingga bayinya lahir, dan bawa ke Panti Asuhan setelahnya!' 'Tapi bagaimana kalo ada yang bertanya tentang Yumna? Dia sudah mendapat beasiswa ke Universitas di kota, Pak!' Semua percakapan ayah Yumna dan mendiang ibunya terngiang kembali di kepala. Saat itu dia memutuskan menjauh dari masyarakat dan hidup menyendiri di sebuah pinggiran perdesaan. Ada sebuah hutan kecil yang sengaja ditanami pohon untuk rantingnya digunakan sebagai bahan bakar memasak. Gadis belia yang direnggut kesuciannya oleh enam preman sekaligus dalam satu waktu itu menjalani masa kehamilannya sendirian. Setiap seminggu sekali Bundanya mengirim beras dan bahan makanan lain untuk persediaan Yumna. "Bunda ... perut Nana sakiiiit!" rintihnya meringis menahan nyeri di perut seperti dorongan ingin keluar dari janin di dalamnya. "Ya Allah, bagaimana ini, Na?! Kalo sakit tarik napas dalam-dalam lalu keluarkan perlahan dari mulut, ya? Terus seperti itu sampai Bunda kembali!" "Bund ... jangan pergi! Te-mani Nana, Bundaaa!" jeritnya mengatur napas dengan mengejan kuat-kuat. Oweeek oweeek oweeek ... Bayi dengan ukuran kecil dan masih terbungkus selaput tipis itu keluar dari sela dua kaki Yumna yang langsung terbaring di atas tanah. "Astaghfirullah! Na, Yumna bangun, Nak!" Bunda mengguncang tubuh putrinya agar tetap sadar. "Minuuum, Bund ... Nana ha-us!" lirihnya tersengal dengan mata masih terpejam. "Jangan katakan apapun pada Bapak, kalo Nana sudah melahirkan, Bund! Nana akan rawat anak ini di sini. Ya Bund?" pinta Yumna memeluk bayi yang memiliki fisik tak sempurna itu masih dalam posisi tergeletak di atas daun kering. Perempuan yang usianya masih belum genap 17 tahun itu beringsut hendak duduk. Dia dikejutkan dengan sesuatu yang aneh di tubuh sang anak. "Bund ...," lirihnya memanggil ibunya yang terisak dengan wajah penuh air mata. "Kita bawa saja ke panti asuhan, suatu saat kita akan mengambilnya lagi, hem? Tentunya setelah kamu menikah nanti," ucap Bunda memberi penguatan pada putrinya yang baru saja menjadi ibu. "Belum ganti baju juga?" Sapaan Almeer yang kembali masuk mengejutkan Yumna yang melamun. Mengingat Bundanya yang menginginkan dia menikah suatu saat nanti. Tapi .... "Kok malah bengong? Kamu nggak mau ganti dulu sebelum aku antarkan ke rumah sakit tempat ayah kamu dirawat?" Almeer lagi-lagi mengagetkan Yumna yang refleks menggeleng dan menunduk. "Pak Almeer tidak boleh menemui Bapak, dia sakit jantung. Nggak boleh diberi kabar yang membuatnya cemas." terangnya dengan memainkan jemari di balik selimut. "Tenang, gantilah bajumu! Aku tunggu 5 menit!" titah pria keturunan Inggris itu seenaknya sendiri lalu melangkah keluar dengan berbalik kaku. Beberapa menit dilalui Yumna di dekat boss-nya, hatinya benar-benar dibuat nyaman. Rasa takutnya menghilang walau masih tersisa sedikit ragu. Tapi perempuan itu merasakan hal berbeda dari lawan jenis yang biasa dekat atau mendekatinya selama ini. "Allah ... lindungi hamba dari segala bentuk takdir buruk yang akan menimpaku dan juga Bapak, Ya Allah ...." gumamnya meminta pertolongan Yang Maha Kuasa. Lima menit yang dijanjikan ditepati oleh Yumna, perempuan yang sekarang telah mengenakan gamis panjang berwarna peach berpadu dengan hijab senada berjalan menunduk malu-malu keluar dari ruang rahasia. "Apakah aku baru saja menyelamatkan seorang bidadari?" celetuk Almeer menatap tak berkedip sosok yang berdiri di depan lemari bukunya. Mendengar penuturan Nevan, perempuan itu semakin tak berani menampakkan wajahnya. Hawa panas seperti menjalar di permukaan kulitnya. Mungkin jika dilihat dari cermin, pipinya sudah semerah tomat. Hatinya juga kalang kabut bagaikan seekor kodok di tanah gersang disirami dengan hujan. Bernyanyi riang gembira, mungkin kata yang tepat untuk mendiskripsikan perasaan Yumna. "Pakai ini! Kamu tak akan dikenali sebagai Yumna saat keluar dari sini!" Almeer mendekat dan menyerahkan selembar kain penutup wajah. Yumna menatap kain lebar dengan dua tali panjang diujungnya itu lalu mendongak penuh tanya. "Anda memintaku memakai cadar?" Tanpa menjawab apapun, pria yang usianya terpaut 3 tahun lebih darinya itu mengikis jarak. Membentangkan kain setinggi hidung lalu melingkarkan di kepala. Almeer memakaikan cadar berwarna hitam itu menutup seluruh wajah hingga hanya mata hazel Yumna yang terlihat. "Kamu akan lebih aman dan terjaga dari para pria hidung belang di luar sana, Yumna! Mulai sekarang aku berjanji akan melindungimu, apapun yang terjadi!" katanya mengikatkan tali di belakang kepala perempuan yang menahan napas hampir tak berjarak dengan dada sang CEO. Gerakan mengangguk Yumna yang entah siapa yang memerintahkan otak untuk merespon demikian, membuat perempuan itu merutuki dirinya sendiri dalam hati. "Apa yang kamu lakukan, Yumna! Menutup wajah dalam Islam bukan sekadar gaya atau tren berbusana! Segala tindak tanduk terutama hati haruslah lebih ditutup dari fisik yang tak terlihat. Ini nggak main-main, Na! Tolak! Ayo lepaskan cadar ini! Setelah memakainya itu artinya kamu harus semakin taqwa dan takut pada Allah!" Perang batin di dalam hati Yumna bergemuruh, dadanya naik turun dan tenggorokannya tercekat. Tangannya kali ini berani menahan lengan Almeer yang berada di dua sisi telinganya. "Jangan Pak! Aku akan memakai masker saja! Berniqab bagiku adalah sebuah beban berat yang harus kupertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Keimananku belumlah sempurna, Pak," ucapnya bertukar pandang dengan pria yang kadang dipanggil Sir kadang Pak oleh Yumna. "Baiklah ... tapi dengan satu syarat ....""Jangan Pak! Aku akan memakai masker saja! Berniqab bagiku adalah sebuah beban berat yang harus kupertanggung jawabkan kelak di hadapan Allah. Aku belumlah sempurna imannya," ucapnya bertukar pandang dengan Almeer."Baiklah ... tapi dengan satu syarat ....""Sya–rat?" tanya Yumna dengan suara bergetar."Pertemukan aku dengan Ayah kamu, sekarang juga!" balas Almeer menatap serius."Tap-"Tangan pria itu menyambar lengan Yumna dan menariknya cepat berjalan keluar ruangan di kantornya. Banyak pasang mata menatap Sang CEO yang tiba-tiba saja menggandeng perempuan dengan gamis mewah keluar dari lift khusus petinggi.Sopir pribadi Almeer mengangguk patuh saat diberi isyarat menyiapkan mobil. Tak sempat memperhatikan siapa perempuan bermasker yang beruntung digandeng atasannya yang terkenal dingin pada semua perempuan itu."Biar saya bawa sendiri, Pak!" Almeer membukakan pintu kabin depan untuk Yumna yang mematung."Masuklah! Hati-hati!" titahnya mengarahkan perempuan yang tiba-tiba saja sep
'Pria ini benar-benar tahu banyak tentangku? Siapa dia sebenarnya?' Batin Yumna bertanya-tanya."Sudah kubilang 'kan? Seminggu tiba di Indonesia aku langsung ketemu bidadari yang bisa bikin jantungku berdebar? Dan aku rasa kamulah satu-satunya perempuan yang bisa bikin aku percaya diri," sahut Almeer menoleh dan tersenyum pada Yumna yang membelalakkan matanya.Lagi-lagi pria yang baru dikenalnya satu jam lalu itu tahu segala tentang dirinya. Yumna tak bisa berkata-kata lagi, bahkan tak berniat menggerutu dalam hati. Bibirnya terkatup rapat dan melangkah menuju sebuah ruangan yang terdapat 6 brangkar di dalamnya.Satu di paling pojok bernomor 2A terbaring seorang pria tua yang hampir seluruh rambutnya telah putih. Matanya terpejam dengan beberapa alat medis melekat di tubuh. Dia tampak tenang dan damai dalam lelapnya.Yumna menyentuh telapak tangan keriput yang tak terpasang jarum infus dengan lembut, sambil memanggilnya lirih, "Bapak?"Kelopak mata berkerut itu mulai terbuka dan seula
Perlahan wajah ayu bersih belum berkeriput itu mendongak. Pandangan dua pasang netra bertemu, semakin dekat dan Yumna mendorong tubuh Almeer kasar. Plak! Satu tamparan keras mendarat di rahang tegasnya.. Yumna mengangkat tangan, menatap telapak yang sedikit memerah dengan gemetaran dan berlinang air mata. "Andai tangan ini mampu melakukannya sejak dulu ...," Yumna berucap lirih. Almeer mengerjapkan mata memegang pipinya yang tak terasa sakit. Justru dalam bayangannya pukulan itu bagai sentuhan lembut tangan wanita yang begitu menggemaskan. "Hari itu, Bunda membawanya pergi ke panti asuhan ...," ucapnya mulai bercerita dengan menatap kosong. Perempuan dengan penutup kepala dan bayi baru lahir di gendongannya itu berlari cepat agar tak ada yang memergoki. Saat sampai di depan pintu gerbang Panti, dia meletakkan dengan menyertakan beberapa pakaian bayi dalam tas di dekatnya. Perempuan bernama Saroh itu menengok kanan dan kiri, memerhatikan sekitar yang masih sepi. Sedikit
"Yumna! Kamu mau ke mana? Berhenti!" teriaknya berlari mengejar dengan susah payah.Pria itu terseok-seok membawa tubuhnya sendiri, bahkan dia baru kali ini tahu rasanya melangkah dengan tempo yang cepat. Napasnya sudah tersengal dan menatap Yumna tak telihat lagi menyelinap di semak belukar. Langkahnya terhenti dan mengirup udara sebanyak-banyaknya. Mengedarkan pandang ke sekeliling, tak ada orang atau pun bangunan di sana.Persimpangan jalan di tengah hutan buatan yang memisahkan dua desa. Dia tak mengenal tempat ini dan jaringan ponsel pun tak tersedia. Almeer mengumpat kecil dan kembali memasukkan gawai ke saku celana. Berjalan ragu ke arah yang telah dilaluinya, di mana mobil berada."Yumna ... aku akan menunggumu, kembalilah!" gumamnya sebelum masuk ke dalam kendaraan lagi.Selang beberapa menit, ada seorang pria paruh baya melintas dengan memikul dua ikat kayu melewati mobilnya."Maaf, Pak! Permisi bertanya, apakah di depan ada jal
"Tunggu!" Terdengar bentakan keras dari arah pintu ruangan VVIP dan semua orang menoleh padanya."Gue duluan, minggir!""Saya disabilitas harus didahulukan, Nona!"Dua orang saling berebut di ambang pintu geser ruangan yang terbuat sari kaca transparan. Saling bersitatap dengan wajah tak mau mengalah. Sama-sama ingin memasuki ruangan VVIP yang ditempati Qais."Nevan?""Oleef?"Sepasang pria dan wanita yang baru saja khusuk melaksanakan akad nikah kompak memanggil. Sama-sama saling mengenali siapa dua orang yang berebut melewati pintu itu."Bunda, kenapa menerima pernikahan ini?""Daddy, are you sure? Menika–hi ... gadis muda i–ni?"Sepasang anak muda yang terlihat seumuran itu terperangah bergantian meneliti wajah orang tua masing-masing dalam keterkejutan."Kemarilah!" Almeer menarik keluar pemuda yang berjalan pin cang itu ke luar lagi.Setelah keduanya keluar dari ruang rawat, satu
Tak ada jawaban hingga suara seseorang mengalihkan perhatian semua orang."Dad ...." Suara itu terdengar bergetar, "I hate Mommy, i'm scared ...," lanjut pria yang terduduk lemah di sofa dengan tubuh menggigil ketakutan."It's oke, Nev! She is gone and will never be able to touch you again, hem?" Almeer mendekat dan merangkul putranya. Menenangkan dengan berkata bahwa perempuan itu sudah pergi dan tak akan pernah bisa menyentuhnya lagi.Yumna mengedikkan bahu menoleh pada Oleefia–anak gadisnya, meminta penjelasan apa yang dikatakan Almeer.Gadis manis dengan kulit sedikit gelap itu mendekat dan berbisik di telinga sang ibu. Perempuan yang baru saja resmi berstatus sebagai istri itu mengangguk dan menatap sendu pada dua pria beda usia di sofa.'Dia juga memiliki putra yang sakit sepertiku? Pantas saja dia seperti tahu menghadapiku saat di kantor siang tadi,' batin Yumna menyentuh dada.Degup jantungnya memacu cepat, tak biasa. Keringat dingin mulai keluar dari pori kulitnya. Pandangan
'Aku mengingatnya, Almeer. Aku ingat semuanya! Sekarang apa rencanamu terhadapku?' gumam Yumna menatap kepergian sang suami keluar ruang rawat Qais. "Son, cepat! Ada orang di luar bawa lampu dan kamera!" "Ssshhh ... aaah! Si-a-lan LO!" Sambil meringis dia beranjak menjauhi gadis berseragam putih yang sedikit terkoyak. Tangannya cepat menarik kembali celana ke pinggang dan memakai gespernya. Kelima teman yang semula ada di belakangnya sudah tak ada satu pun. "Wooy! Kal–" "Ssstttt!" Salah satu temannya menarik tangan Sony ke arah jendela dan melimpat dengan cepat. Rintihan tangis Yumna semakin menjadi saat ikatan di kaki dan tangannya dilepaskan. Celana dan rok yang telah dilepas paksa oleh Sony .... "Bunda? Bunda melamun?" Suara Oleefia mengejutkan Yumna yang tengah mengingat masa kelamnya. Perempuan itu menggeleng dengan senyuman tipis, "kapan kamu sampai, Nak?" tanyanya basa-basi sambil mengusap kepala Oleefia yang mencium punggung tangan sang ibu. "Apa yang Bunda pi
"Ayah dicari polisi lagi, dan kali ini mungkin ...," kalimatnya terhenti saat seseorang membuka pintu dan mengucapkan salam."Pa–""Mas. Jangan lagi panggil saya Pak! Maaf, berkas saya tertinggal," potong Almeer memasuki ruangan kamar penunggu pasien melewati Yumna yang hendak menyapanya.Pria dengan langkah kaki berbeda dengan manusia kebanyakan itu mengambil sesuatu di dalam tas jinjing. Sekilas mengecup kening Yumna dan tersenyum pada Qais."Saya akan secepatnya kembali ke sini dan kita akan pulang ke rumah bersama-sama. Dokter sudah mengijinkan Bapak untuk menjalani rawat jalan. Nanti Fendy akan urus semuanya. Sampai nanti, Assalamualaikum!" katanya cepat hampir tanpa jeda sambil berlalu pergi keluar lagi.Pemuda yang sedari masuknya Almeer ke dalam ruang rapat itu membuka mulutnya lebar keheranan."Ssh–siapa dia?" cicit pemuda itu tak berkedip, berbisik pada Olee yang tak jauh darinya."Daddy Almeer Baldwin. Suami Bunda menikah baru seminggu lalu," terang Olee dengan berbisik jug
Suara langkah kaki dan teriakan memecah kesunyian malam. Nevan masih terduduk di lantai gudang, tubuhnya disandarkan pada dinding tua yang dingin. Matanya sedikit terpejam, tapi pikirannya tetap waspada. Sony berdiri di depannya, pisau di tangan, siap menuntaskan dendam lamanya. “Gue udah cukup bersabar,” desis Sony sambil mengarahkan pisau ke leher Nevan. “Sekarang lo bakal bayar semua yang keluarga lo lakuin ke gue.” Nevan membuka matanya perlahan, menatap tajam ke arah Sony meski tubuhnya sudah lemah. “Anda pikir dengan membunuh saya semuanya akan berakhir? Anda salah besar!” Sony tertawa kecil, dingin dan penuh ejekan. “Gue nggak peduli soal menyelesaikan masalah. Gue cuma peduli lo menderita seperti yang gue rasain!” Namun, sebelum Sony sempat melakukan apapun, pintu gudang meledak terbuka dengan keras, membuat mereka berdua terkejut. Asap tipis memenuhi ruangan, diiringi langkah kaki cepat. Suara keras yang familiar menggem
Suara langkah kaki Sony semakin jauh, tapi ketegangannya masih terasa seperti tali yang mencekik. Nevan mengatur napas dengan susah payah, wajahnya basah oleh keringat dingin. Oleefia tetap berlutut di sampingnya, dengan tangan gemetar mencoba menekan luka di bahu Nevan menggunakan kain seadanya yang kini mulai berwarna merah pekat. “Lo nggak apa-apa, kan?” tanya Oleefia lirih, suaranya hampir bergetar. Nevan menoleh perlahan, menatapnya dengan sorot mata lelah tapi hangat. “Aku masih hidup, itu udah cukup.” Alden berdiri tidak jauh dari mereka, matanya tajam mengamati koridor tempat Sony baru saja pergi. “Kita nggak bisa santai. Dia pasti nggak akan tinggal diam. Kita harus keluar dari sini.” Oleefia menoleh tajam ke arah Alden. “Lo pikir Nevan bisa lari dalam kondisi kayak gini? Lo nggak lihat lukanya?” Alden mendesah, menekan rasa frustrasinya. “Kalau kita tetap di sini, kita semua bisa mati. Gue nggak mau ambil ris
Suasana ruang interogasi rumah mewah keluarga Baldwin berubah menjadi medan perang emosi. Pria berwajah bengis itu—Sony duduk di tengah ruangan, kedua tangannya terikat dengan kuat di kursi. Mata liciknya melirik ke sekeliling, mencoba mencari celah untuk menyelamatkan diri. Di seberang meja, Almeer berdiri tegak, rahangnya mengeras, sedangkan Alden sibuk memasang alat perekam suara di meja. Di sudut ruangan, Yumna berdiri dengan wajah pucat. Trauma yang selama ini menghantuinya kini terpapar jelas, membuat tubuhnya sedikit bergetar. Namun, Oleefia berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat. “Bunda, ada Olee di sini. Bunda nggak sendirian.” Suaranya pelan tapi penuh keyakinan, memberikan kekuatan pada Yumna. Nevan, dengan kaki palsunya, berdiri di dekat pintu. Tatapan matanya tajam, menyimpan kemarahan yang siap meledak kapan saja. “Kali ini dia nggak bakal lolos,” gumamnya pelan, nyaris seperti janji pada dirinya sendiri. “Kenapa
Oleefia merasakan dinginnya bilah pisau di lehernya. Tubuhnya kaku, napasnya tertahan. Pria bertopeng yang mencengkeramnya menyeringai, penuh kemenangan, sementara Alden dan Nevan berdiri beberapa langkah di depannya, wajah mereka penuh ketegangan. “Lepasin dia!” Alden berbicara dengan nada rendah tapi tegas. Matanya menatap tajam ke arah pria bertopeng itu. Pria itu tertawa kecil. “Oh, kamu pikir bisa memerintahku? Aku punya kendali di sini, bocah!” “Lo nggak tahu apa yang bakal lo hadapi kalau sentuh dia sedikit saja!” ancam Nevan, suaranya dipenuhi kemarahan yang sulit ditahan. Ia melangkah maju, tapi pria itu semakin menekan pisau ke leher Oleefia, membuat gadis itu memejamkan mata. “Jangan bergerak, atau dia akan kehilangan nyawanya!” ancamnya lagi. Alden mengangkat kedua tangannya perlahan, mencoba menenangkan situasi. “Oke, oke. Kita nggak akan bergerak. Tapi lo lepaskan dia dulu. Kita bisa selesaikan ini tanpa ada yang t
Malam di rumah keluarga Baldwin terasa hening, tetapi ada ketegangan yang menggantung di udara. Oleefia berbaring di tempat tidurnya, mencoba mengusir pikiran tentang pesan misterius yang diterimanya. Namun, bayangan ancaman itu terus berputar di kepalanya. Ia bangkit dan berjalan ke balkon lagi, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya. Angin lembut menyapu wajahnya, tetapi ada sesuatu yang aneh. Mata Oleefia menangkap bayangan di sudut halaman. Ia memperhatikan dengan seksama, tetapi tidak ada apa-apa di sana. “Mungkin cuma imajinasi gue,” gumamnya sambil berbalik ke dalam. Namun, sebelum ia melangkah pergi, suara lembut tapi menyeramkan terdengar dari kejauhan. “Jangan terlalu percaya diri, Oleefia.” Oleefia membeku. Suara itu jelas-jelas menyebut namanya. Ia menoleh lagi ke luar, tetapi tidak ada apa pun selain kegelapan. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel di atas meja, mencoba menghubungi Alden.Di ruan
Sisa suara langkah di koridor terdengar semakin jelas. Alden menguatkan dirinya, berdiri dengan tubuh menahan rasa sakit di bagian dada yang masih berdenyut akibat dorongan pria bertopeng sebelumnya. Di sebelahnya, Oleefia memegang erat pipa besi yang mulai dingin di tangannya. “Semua aman!” Suara berat milik seorang pria paruh baya memecah kesunyian. Alden mengenali suara itu dengan baik—ayahnya. Pria bertopeng menoleh ke arah suara, namun sebelum ia sempat melarikan diri, tembakan peringatan melesat ke dinding di sampingnya. “Jatuhkan senjatamu!” perintah Ayah Alden tegas, berdiri gagah dengan pistol teracung. Di belakangnya, beberapa petugas terlihat menyusuri ruangan sempit itu. Pria bertopeng itu mendecak marah. Dengan tatapan penuh kebencian, dia membuang pisaunya ke lantai, mengangkat kedua tangan. “Kalian pikir sudah menang?” ejeknya. “Aku nggak butuh menang darimu,” sahut Ayah Alden dingin. “Kami cuma butuh ke
Koridor itu terasa lebih sempit ketika suara itu menggelegar, memerintahkan semua orang untuk berhenti bergerak. Langkah kaki berat semakin mendekat, diiringi suara sepatu yang menginjak pecahan kaca dan genangan darah yang mulai membeku. Oleefia menggenggam pipa besinya erat-erat, matanya mengawasi pria bertopeng yang tampak ragu untuk melangkah. “Lo pikir bisa kabur?” Alden mengejek dengan nada penuh tantangan. Tapi di balik sikap santainya, dia bersiap dengan napas tertahan. Pria bertopeng itu berbalik, melirik tajam ke arah Alden, Nevan, dan Oleefia. Dia tahu pilihan yang tersisa hanya dua, melawan atau menyerah. Tetapi, daripada mengambil keputusan cepat, pria itu melemparkan sesuatu ke lantai—sebuah granat asap kecil. “Hati-hati! Dia kabur!” teriak Alden, menarik Oleefia ke belakang untuk melindunginya. Asap mulai menyelimuti ruangan. Nevan, yang masih merayap di dindinh karena terluka, mencoba tetap waspada meski pandangan
Ketegangan di belakang rumah terus memuncak. Nevan menggertakkan giginya, mencoba mengumpulkan sisa tenaga yang tersisa untuk melawan pria besar yang kini bangkit lagi, linggis di tangannya terangkat tinggi. Oleefia dan Alden berdiri berdampingan, napas mereka memburu, bersiap menghadapi pria kedua yang semakin mendekat. “Gue bilang kalian nyerah sekarang, atau gue pastikan kalian nggak akan keluar dari sini hidup-hidup!” ancam si pria besar, suaranya bergema di ruang sempit itu. “Omong kosong!” sahut Alden sambil melirik ke arah Oleefia, memastikan dia baik-baik saja. Tiba-tiba, Nevan menerjang pria besar itu lagi, kali ini langsung meraih pergelangan tangan yang memegang linggis. Mereka bergumul dengan kasar, membuat Oleefia dan Alden semakin cemas. “Nevan! Jangan paksa diri lo!” teriak Oleefia, hampir maju untuk membantu. Tapi Alden menahannya. “Olee, lo jaga jarak dulu! Gue bantu Nevan. Lo cari sesuatu buat pertaha
Pria besar dengan linggis itu menyeringai licik, melangkah maju dengan langkah mantap. Nevan berdiri tegak di depannya, sementara Oleefia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan adrenalin yang tiba-tiba meledak di tubuhnya. “Lo siapa? Dan ngapain lo di sini?” suara Oleefia penuh tantangan, meski tangannya sedikit bergetar. Pria itu terkekeh. “Gue cuma pesuruh, Cantik! Tapi kalau kalian nyerah sekarang, gue jamin nggak ada yang perlu terluka.” Nevan maju selangkah, melindungi Oleefia. “Kita nggak akan nyerah gitu aja! Jadi kalau nggak mau mati konyol, pergi sekarang!” Linggis di tangan pria itu terangkat, berkilauan di bawah sinar lampu darurat yang temaram. “Sayang banget, gue nggak bisa ngabulin itu.” Tanpa peringatan, dia mengayunkan linggisnya ke arah Nevan. Nevan melompat mundur, hampir kehilangan keseimbangan, tapi dengan sigap dia menarik Oleefia menjauh dari jangkauan pria itu. “Lari, Olee! Car