'Apa dia bukan manusia?' batin Yumna bertanya-tanya. Masih memperhatikan setiap langkah kaki atasannya itu dengan mengernyitkan dahi.
'Mana mungkin ada manusia berjalan seperti itu? Apa dia robot?' batinnya terus bertanya keheranan. "Kenapa memandangku seperti itu?" Sang atasan mengulas senyum tipis saat tahu Yumna memperhatikannya. Perempuan dengan wajah masih tampak muda meski usianya sudah kepala empat itu kembali menunduk malu kedapatan memperhatikan sang CEO. Tak berani menjawab lagi, pandangannya lurus pada sepasang flat shoes butut yang dia pakai. Sepatu yang menjadi salah satu saksi bisu kekejian enam orang pemuda sore itu. Antara ingin membuangnya sejauh mungkin agar kejadian nahas itu terlupakan. Tapi sepatu itu satu-satunya benda yang menjadi kenangan bersama sang ibu. Refleks dia menggeleng dan mengedipkan mata, mengalihkan objek pandang ke arah lain. Kembali fokusnya pada sang pemimpin perusahaan yang sudah mendekatkan bibir cangkir ke mulutnya. "Hem ... luar biasa! Bagaimana kamu membuat minuman selezat ini?" seru Almeer kembali menyeruput kopinya. Berulang kali mengecap rasa yang tersisa di lidah dan bibirnya. "Pilih dia, Fen! Atur semua berkas kelengkapan sesuai dengan administrasi di negara ini!" titahnya menoleh pada si asisten. "Maksudnya, Sir?" tanya Fendy ragu, memperjelas lagi perintah pria yang baru saja menjadi atasannya tersebut. "Yumna? Right? Ehem!" Pria dengan wajah tampan itu melonggarkan dasi dan berdehem menatap Yumna yang mengangguk takut-takut tanpa mengangkat wajah, membenarkan ucapan Almeer yang menanyakan namanya. "Tatap saya, Yumna!" tegas pria itu tersenyum lebar dan meletakkan cangkir kopi yang hanya menyisakan setengah isinya. Yumna terpaksa menatap ragu meski tubuhnya semakin bergetar dan meremas jemari di depan perut. "Mulai hari ini, kamu bekerja di ruangan ini sebagai pelayan khusus saya! Nanti biar Fendy yang jelaskan! Tugasmu hanya mengatur dan menyediakan apa yang akan kusantap selama di kantor. Masalah gaji ... akan kunaikkan 300 persen! Jika menolak maka ganti rugi sebesar tiga ratus persen juga. Paham?" paparnya dengan penuh penekanan tak mengalihkan pandangan dari wajah ayu karyawan kebersihan itu. Dua bola mata Yumna seketika membola mendengar permintaan boss barunya yang terdengar konyol. "Apa ada pekerjaan seperti itu, Pak?" tanya Yumna semakin gemetar dibuatnya. Pikiran menjadi kacau dengan banyaknya berita yang sedang viral di media. Atasan yang memanfaatkan pegawai lemah demi kepuasannya semata. Perempuan lemah yang tak berpendidikan dan tak mungkin bisa melakukan apapun pada perbuatan sang majikan. Tapi dia pun membutuhkan gaji itu meski sangat beresiko tinggi. Bayangan buruk yang menghantuinya selama ini kembali terlintas. Dia menelan saliva dan berusaha tetap tenang. Napasnya juga mulai memburu tapi dengan cepat Yumna mengambil napas dalam-dalam. "Kamu bisa mengajukan tuntutan jika nanti merugikanmu di kemudian hari! Akan ada hitam di atas putih untuk ini! Jika dalam rumah tangga ada Asisten Rumah Tangga maka di kantor ini, khusus di ruangan ini akan ada Asisten Kantor, selain Fendy. Dia yang meng-handle bisnis maka kamu bertanggung jawab atas urusan kebersihan juga urusan kepuasan perut, mengerti?" papar Almeer panjang lebar kembali berdiri dan mendekati Yumna. "Ba-baik, Pak!" jawab perempuan yang terlihat awet muda itu gugup. "Ooh ... satu lagi! Jangan panggil saya Pak jika sedang berdua di ruangan ini! Panggil Sir atau Mister lebih terdengar tak setua panggilan Bapak," kekehnya duduk bersandar di tepi meja dan melipat kedua tangan di dada memperhatikan perempuan yang mengangguk itu. "Ikut dengan Fendy ke ruangannya dan akan dijelaskan oleh Pak Bastian masalah gaji dan perjanjiannya!" titahnya mengibaskan tangan lurus bahu. "Te-terima kasih, Sir!" balas Yumna masih menunduk dan berjalan mundur hingga dia keluar dari ruangan paling mewah dan luas di kantor itu. 'Gajiku sebulan 3 juta kalo 300 persen artinya ... sembilan juta? Ah bukan ya? Berapa jadinya? Tunggu! Kebersihan dan kepuasan?' gumamnya mulai menimang-nimang tawaran boss-nya, saat perjalanan menuju ruangan HRD. Fendy yang menghentikan langkahnya di depan ruangan dan mengetuk pintu membuatnya ikut berhenti. Tak lama terdengar suara dari dalam memerintahkan untuk masuk. "Urus dia sesuai point dalam berkas! Ingat! Jangan melakukan kesalahan sekecil apapun jika tak ingin dipecat!" perintah Fendy pada pria berperut buncit pemilik ruangan itu dengan mengerlingkan mata. "Baik Pak!" jawab pria itu sambil berdiri dari duduknya sedikit membungkuk, memberi hormat. Fendy meninggalkan Yumna di ruangan sang Direktur paruh baya itu sendirian setelah menyerahkan beberapa berkas. "Oke! Jadi kamu?" Sang direktur memindai tubuh Yumna dari atas ke bawah lalu berhenti pada name card di dada perempuan yang masih menunduk itu. "Apa istimewamu, hem? Benarkah masih perawan di usia sepertiku?" kekehnya berjalan memutari Yumna dengan tatapan yang memuja. "A-apa mak-sud Bapak?" Gugup petugas kebersihan itu saat mendengar decakan dari sang Direktur. Tubuhnya semakin gemetaran dan memainkan jemari dengan saling meremas. Pria yang sudah menginjak usia setengah abad itu melepaskan jas hitamnya. Melemparkan asal ke sembarang arah. Melonggarkan dasinya dan berhenti tepat di depan Yumna dengan jarak yang begitu dekat. Perempuan itu mundur selangkah dan keringat mulai bercucuran meski suhu ruangan itu di-setting rendah. "Ba-pak mau a-pa?" ucapnya terbata. "Percobaan sebelum kamu melayani Mister Almeer," jawabnya sedikit berbisik dengan membungkuk sejajar telinga Yumna. Perempuan itu terus menghindari sentuhan demi sentuhan direktur bernama Bastian itu. Gerakannya terhenti saat tubuh sudah terpojok di sudut ruangan. Pria itu tak mau berjarak dengan Yumna. Tangannya terus berusaha menyentuh disertai melepaskan satu per satu kan cing di kemeja putihnya. Yumna terus menggeleng dan menghindar hingga tak menyadari tubuh tambun pria tua itu telah polos. "Jangan Pak, Ja–" Dua tangan yang sudah mulai keriput itu menyergap bahu Yumna dan dibenturkan ke dinding. Mulutnya disumpal dengan rakus oleh indera pengecap Bastian secara brutal. "Emph ... emph ...." Air mata Yumna mulai mengalir membasahi wajah. Tubuh kecil itu meronta mendorong dada sang direktur kuat-kuat. Tapi tak ada tanda pria tua itu menghentikan gerakan kasarnya. Dia ingin meluruh ke lantai dan terus berusaha melepaskan tautan di bibirnya. Bastian justru mengoyak seragam OG yang melekat di tubuh berguncang hebat itu. Semakin brutal dan memaksa mengangkat sosok mungil itu ke sofa. Tok ... tok ... tok ... Semua pergerakan Bastian terhenti saat pintu ruangan diketuk. Dia kalang kabut dan berlari ke kamar mandi dalam ruangan itu sambil memunguti pakaiannya di lantai. Yumna memeluk tubuhnya dengan berlinang air mata. Isakannya tertahan bahkan tak mampu lagi mengeluarkan suara. Tubuh menggigil ketakutan, tangan meremas kepala dan menjambak penutup kepalanya. Mencabik-cabik lengan dan kerudungnya sendiri dengan kasar. "Pak Bas–" suara itu terhenti, berganti dengan keterkejutan, "Yumna? Apa yang terjadi?" Langkah kaki bak robot itu seperti dipercepat menuju arah kamar mandi yang terdengar gemericik air dari dalam. "KELUAR!" geramnya berteriak di depan pintu kamar mandi."KELUAR!!!" geramnya berteriak di depan pintu kamar mandi.Dua tangannya bertumpu pada dinding dan melakukan lompatan untuk menendang pintu kuat-kuat. BRAK!Penghalang ruangan berbentuk persegi itu tumbang. Menampakkan seorang pria bertubuh tambun sedang merapikan jas juga rambutnya. Seketika matanya terbelalak saat menyadari dari pantulan cermin siapa yang mendobrak pintu."Pa–Pak Almeer?!" Bastian berpikir itu adalah sepupunya yang biasa mengerjai saat dia bersenang-senang dengan seorang karyawati.Ya, dengan alasan tertentu, Direktur yang sudah saatnya pensiun itu sering bermain-main dengan para perempuan di kantornya. Dengan iming-iming sejumlah uang dan dinaikkan jabatan di perusahaan, rela melakukan hal kotor di sela pekerjaan."Menjijikkan! Mulai hari ini keluar dari perusahaan ini!" teriaknya menghantamkan satu pukulan ke wajah pria yang lebih pendek darinya itu.Fendy menahan lengan atasannya saat sudah terangkat akan kembali memberi pukulan pada Bastian."LEPAS!" sentak Alm
"Menikahlah denganku!" Tanpa ragu dan menatap penuh wajah ayu Yumna, pimpinan perusahaan internasional itu kembali mengatakan hal konyol."A–apa?" gumam Yumna semakin mengeratkan selimut di tubuh dengan menggigit bibir bawahnya."Seminggu lalu aku melihatmu menemani anak-anak di sekolah difable, terlihat sangat tulus. Aku kagum padamu sejak pandangan pertama, Yumna." ungkap Almeer tak mengalihkan pandangan dari perempuan yang tampak lebih tenang dari sebelumnya.Perempuan itu hanya mengerjapkan mata mendengar kalimat yang mengalun lembut di telinganya. Sekalipun dia tak pernah memperhatikan pria manapun kecuali ayahnya. Almeer, pria pertama yang memandang Yumna tanpa terpancar kabut ga-irah di matanya.Dua pasang netra itu bertemu beberapa detik bagai pedang yang tajam menghunus membunuh kewarasan pemiliknya.Almeer mulai bergerak duduk di tepi ranjang yang sama di mana Yumna beringsut mundur hingga terantuk headboard."Pa–Paak, ja–ngan!" desis Yumna menggeleng kuat dan mulai mengalir
"Jangan Pak! Aku akan memakai masker saja! Berniqab bagiku adalah sebuah beban berat yang harus kupertanggung jawabkan kelak di hadapan Allah. Aku belumlah sempurna imannya," ucapnya bertukar pandang dengan Almeer."Baiklah ... tapi dengan satu syarat ....""Sya–rat?" tanya Yumna dengan suara bergetar."Pertemukan aku dengan Ayah kamu, sekarang juga!" balas Almeer menatap serius."Tap-"Tangan pria itu menyambar lengan Yumna dan menariknya cepat berjalan keluar ruangan di kantornya. Banyak pasang mata menatap Sang CEO yang tiba-tiba saja menggandeng perempuan dengan gamis mewah keluar dari lift khusus petinggi.Sopir pribadi Almeer mengangguk patuh saat diberi isyarat menyiapkan mobil. Tak sempat memperhatikan siapa perempuan bermasker yang beruntung digandeng atasannya yang terkenal dingin pada semua perempuan itu."Biar saya bawa sendiri, Pak!" Almeer membukakan pintu kabin depan untuk Yumna yang mematung."Masuklah! Hati-hati!" titahnya mengarahkan perempuan yang tiba-tiba saja sep
'Pria ini benar-benar tahu banyak tentangku? Siapa dia sebenarnya?' Batin Yumna bertanya-tanya."Sudah kubilang 'kan? Seminggu tiba di Indonesia aku langsung ketemu bidadari yang bisa bikin jantungku berdebar? Dan aku rasa kamulah satu-satunya perempuan yang bisa bikin aku percaya diri," sahut Almeer menoleh dan tersenyum pada Yumna yang membelalakkan matanya.Lagi-lagi pria yang baru dikenalnya satu jam lalu itu tahu segala tentang dirinya. Yumna tak bisa berkata-kata lagi, bahkan tak berniat menggerutu dalam hati. Bibirnya terkatup rapat dan melangkah menuju sebuah ruangan yang terdapat 6 brangkar di dalamnya.Satu di paling pojok bernomor 2A terbaring seorang pria tua yang hampir seluruh rambutnya telah putih. Matanya terpejam dengan beberapa alat medis melekat di tubuh. Dia tampak tenang dan damai dalam lelapnya.Yumna menyentuh telapak tangan keriput yang tak terpasang jarum infus dengan lembut, sambil memanggilnya lirih, "Bapak?"Kelopak mata berkerut itu mulai terbuka dan seula
Perlahan wajah ayu bersih belum berkeriput itu mendongak. Pandangan dua pasang netra bertemu, semakin dekat dan Yumna mendorong tubuh Almeer kasar. Plak! Satu tamparan keras mendarat di rahang tegasnya.. Yumna mengangkat tangan, menatap telapak yang sedikit memerah dengan gemetaran dan berlinang air mata. "Andai tangan ini mampu melakukannya sejak dulu ...," Yumna berucap lirih. Almeer mengerjapkan mata memegang pipinya yang tak terasa sakit. Justru dalam bayangannya pukulan itu bagai sentuhan lembut tangan wanita yang begitu menggemaskan. "Hari itu, Bunda membawanya pergi ke panti asuhan ...," ucapnya mulai bercerita dengan menatap kosong. Perempuan dengan penutup kepala dan bayi baru lahir di gendongannya itu berlari cepat agar tak ada yang memergoki. Saat sampai di depan pintu gerbang Panti, dia meletakkan dengan menyertakan beberapa pakaian bayi dalam tas di dekatnya. Perempuan bernama Saroh itu menengok kanan dan kiri, memerhatikan sekitar yang masih sepi. Sedikit
"Yumna! Kamu mau ke mana? Berhenti!" teriaknya berlari mengejar dengan susah payah.Pria itu terseok-seok membawa tubuhnya sendiri, bahkan dia baru kali ini tahu rasanya melangkah dengan tempo yang cepat. Napasnya sudah tersengal dan menatap Yumna tak telihat lagi menyelinap di semak belukar. Langkahnya terhenti dan mengirup udara sebanyak-banyaknya. Mengedarkan pandang ke sekeliling, tak ada orang atau pun bangunan di sana.Persimpangan jalan di tengah hutan buatan yang memisahkan dua desa. Dia tak mengenal tempat ini dan jaringan ponsel pun tak tersedia. Almeer mengumpat kecil dan kembali memasukkan gawai ke saku celana. Berjalan ragu ke arah yang telah dilaluinya, di mana mobil berada."Yumna ... aku akan menunggumu, kembalilah!" gumamnya sebelum masuk ke dalam kendaraan lagi.Selang beberapa menit, ada seorang pria paruh baya melintas dengan memikul dua ikat kayu melewati mobilnya."Maaf, Pak! Permisi bertanya, apakah di depan ada jal
"Tunggu!" Terdengar bentakan keras dari arah pintu ruangan VVIP dan semua orang menoleh padanya."Gue duluan, minggir!""Saya disabilitas harus didahulukan, Nona!"Dua orang saling berebut di ambang pintu geser ruangan yang terbuat sari kaca transparan. Saling bersitatap dengan wajah tak mau mengalah. Sama-sama ingin memasuki ruangan VVIP yang ditempati Qais."Nevan?""Oleef?"Sepasang pria dan wanita yang baru saja khusuk melaksanakan akad nikah kompak memanggil. Sama-sama saling mengenali siapa dua orang yang berebut melewati pintu itu."Bunda, kenapa menerima pernikahan ini?""Daddy, are you sure? Menika–hi ... gadis muda i–ni?"Sepasang anak muda yang terlihat seumuran itu terperangah bergantian meneliti wajah orang tua masing-masing dalam keterkejutan."Kemarilah!" Almeer menarik keluar pemuda yang berjalan pin cang itu ke luar lagi.Setelah keduanya keluar dari ruang rawat, satu
Tak ada jawaban hingga suara seseorang mengalihkan perhatian semua orang."Dad ...." Suara itu terdengar bergetar, "I hate Mommy, i'm scared ...," lanjut pria yang terduduk lemah di sofa dengan tubuh menggigil ketakutan."It's oke, Nev! She is gone and will never be able to touch you again, hem?" Almeer mendekat dan merangkul putranya. Menenangkan dengan berkata bahwa perempuan itu sudah pergi dan tak akan pernah bisa menyentuhnya lagi.Yumna mengedikkan bahu menoleh pada Oleefia–anak gadisnya, meminta penjelasan apa yang dikatakan Almeer.Gadis manis dengan kulit sedikit gelap itu mendekat dan berbisik di telinga sang ibu. Perempuan yang baru saja resmi berstatus sebagai istri itu mengangguk dan menatap sendu pada dua pria beda usia di sofa.'Dia juga memiliki putra yang sakit sepertiku? Pantas saja dia seperti tahu menghadapiku saat di kantor siang tadi,' batin Yumna menyentuh dada.Degup jantungnya memacu cepat, tak biasa. Keringat dingin mulai keluar dari pori kulitnya. Pandangan