Share

Bab 3. Sebuah permintaan.

“Tapi, jangan terlalu khawatir. Kelumpuhannya tidak permanen. Masih ada kemungkinan untuk sembuh.”

Ucapan Dokter, sama sekali tidak membuat Azura tenang. Dia malah semakin khawatir dan panik.

“Oh ya. Kalian boleh menemui Pasien, karena pasien perempuan, ingin bertemu dengan kalian.”

Ega mengangguk, “Kami akan menemui mereka. Terima kasih, Dokter. Jika memang memerlukan tindakan lebih lanjut, tolong berikan yang terbaik untuk mereka. Soal biaya jangan khawatir, kami yang akan menanggung semuanya.”

Dokter mengangguk kemudian pamit undur diri. Sementara Azura segera bergegas masuk kedalam ruangan dimana mereka dirawat. Ega , Riko, juga Pak Gani mengikuti Azura.

Sampai disana dia melihat Amar sudah duduk di kursi roda dan sedang berada di samping ranjang sakit Bu Umah ibunya. Amar terlihat menangis sambil menggenggam erat tangan Ibunya.

Melihat kedatangan Azura, pria itu menoleh. Terlihat tatapannya menjadi dingin. Andai saja dia tidak menolong gadis itu dan membiarkannya bunuh diri, mungkin dia tidak akan menjadi lumpuh begini. Dan ibunya yang selama ini sudah susah payah ia berobatkan, justru menjadi parah dan harus segera dioperasi. Memikirkan hal ini, Amar merasa menyesal. Tetapi, dia segera membuang pikiran ini, biar bagaimanapun juga ini bukan salah gadis itu.

Tangan Bu Umah terlihat menggenggam tangan Amar. Bu Umah seperti tahu apa yang ada dipikiran anaknya.

“Amar, kecelakaan yang menimpamu ini, tidak sengaja. Kamu telah menyelamatkan nyawa orang lain, Nak.” Ucap Bu Umah lirih pada anaknya.

Dengan ragu-ragu, Azura mendekat.

“Tolong maafkan aku, aku sungguh tidak sengaja membuat kamu celaka dan ibumu menjadi sakit seperti ini. Aku akan bertanggung jawab, apapun yang kalian pinta aku akan berikan, sebagai ucapan terima kasih dan balasan karena kamu telah menyelamatkan nyawaku.” Ucap Azura memohon kepada mereka.

Ega yang tadi di belakang Azura pun kini ikut mendekat dan ikut berucap, “Tolong maafkan putriku karena telah membuat putramu celaka. Benar kata putriku, kami akan memberikan apapun yang kalian minta, sebagai bentuk ucapan terima kasih kami.”

Amar hanya diam, sepertinya dia mulai malas berbicara dengan orang-orang kaya yang biasanya selalu menganggap semua hal bisa dibayar dengan uang. Dia memilih untuk menggeser kursi rodanya dan menyerahkan semua kepada ibunya saja yang pasti bisa lebih bijaksana.

“Nak, siapa namamu?” Tanya Bu Umah pada Azura.

“Azura, Bu.”

“Baiklah, Azura. Ibu paham kamu tidak mungkin mendorong anak ibu. Tadinya, ibu juga yang memaksanya untuk menolongmu. Ibu juga tidak mungkin diam saja melihat orang lain dalam bahaya.”

“Iya, Bu. Terima kasih.”

“Nak, Azura. Ibu memang punya riwayat jantung yang kronis. Bahkan dokter sudah mengatakan jika operasi besok itu, hanya memiliki 25% harapan. Apa kamu tahu, Nak? Anak ibu satu-satunya harus menyandang cacat sekarang.”

Azura menunduk, dia sangat mengerti. Karena kebodohanya telah merenggut Kebahagiaan mereka.

“Maafkan aku, Bu. Maafkan aku, aku sangat bodoh.” Azura kembali menangis.

“Tidak apa-apa, Nak. Kita ini manusia biasanya yang tidak luput dari khilaf. Tapi bolehkah ibu meminta satu hal saja padamu?”

Azura mendongak, menatap serius pada Bu Umah. “Katakan Bu, katakan itu. Apapun keinginan ibu, aku akan memenuhinya.”

Bu Umah terdiam sesaat, bibirnya tampak bergetar. Sepertinya Bu Umah sedang menahan sakit yang tiba-tiba datang mendera.

“Menikahlah dengan Amar anak ibu. Apa kamu bersedia?”

JEDAR!

Bagai disambar petir! Semua orang tentu terkejut tak terkecuali Amar sendiri.

“Ibu, apa yang ibu katakan?” Amar langsung berkata pada ibunya.

“Nak, Azura. Amar hanya mempunyai ibu saja dalam hidupnya. Amar juga orang tidak punya. Apabila ibu tiada atau terjadi hal lain pada ibu, ibu sungguh mengkhawatirkan dia. Sekarang dia cacat, tidak mungkin ada wanita yang mau menikah dengannya. Tidak akan ada yang menjaganya. Ibu mohon, hanya itu permintaan ibu padamu. Kalian tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk operasi ibu besok, cukup menikah dengan anakku saja. Apa Nak Azura bersedia?”

Ega merasa jika permintaan ibu itu sudah keterlaluan dan melewati batas, tentu dia tidak bisa terima begitu saja. Mana mungkin dia akan menikahkan putrinya dengan pria yang sama sekali belum dia kenal. Meskipun itu adalah orang yang telah menyelamatkan putrinya sekalipun.

“Ibu, maaf. Permintaan Anda terlalu berlebihan! Mana mungkin aku akan menikahkan putriku satu-satunya dengan sembarangan orang?” Ujar Ega, tapi segera dibantah oleh Azura.

“Papa, tolong jangan katakan itu. Aku sudah berjanji pada Ibu ini jika akan menuruti apapun permintaannya.”

“Tapi, Zura!”

“Pa, Azura mohon. Biarkan Azura bertanggung jawab. Ini semua karena Azura.” Jawab Azura, kemudian dia menoleh pada Bu Umah.

“Aku bersedia untuk menikah dengan anak ibu.”

Tidak ada yang bisa mencegah keputusan Azura, apalagi dia sudah terlanjur menyetujui permintaan Bu Umah.

Sebenarnya, baik Ega maupun Riko tidak menyalahkan keputusan Azura yang ingin bertanggung jawab dan menembus rasa bersalahnya dengan memenuhi permintaan Bu Umah. Permintaan itu juga masuk akal, sebagai seorang Ibu yang mungkin sudah memiliki firasat buruk, pastinya Bu Umah sangat mengkhawatirkan anaknya yang kini harus menyandang cacat. Siapa yang mau menikah dengan pria miskin seperti Amar, gadis mana yang sudi menerima pria cacat dan miskin seperti dia?

Wajar. Azura merasa semua permintaan Bu Umah adalah wajar. Meskipun di dalam hati ayahnya terselip rasa sedih yang tiada Tara. Dia sedih memikirkan nasib putrinya.

Sementara Amar, dia marah. Dia menoleh pada ibu dan juga Azura secara bergantian.

“Ibu, jangan memintaku untuk menikahi wanita yang sudah membuat kita celaka Bu! Aku tidak mau! Tidak mengapa jika tidak ada yang mau denganku nantinya. Tapi tidak harus ibu meminta dia untuk menikah denganku!”

“Amar, dengarkan ibu, Nak. Dia yang sudah membuatmu seperti ini, dia harus bertanggung jawab. Jika kelak kamu sudah sembuh, kamu boleh menceraikannya jika dia meminta cerai. Ibu mohon, Nak.” Selesai bicara, Bu Umah terlihat menggigil. Dia mengerang kecil.

“Ibu! Apa yang terjadi?”

Semua orang panik, Riko berinisiatif untuk memanggil Dokter.

Dokter berlari masuk. Semua orang di suruh keluar tak terkecuali Amar juga. Azura mendorong kursi roda Amar keluar ruangan dan Bu Umah segera kembali mendapatkan penanganan serius.

Diluar semua orang tentu panik. Azura gemetaran di dalam pelukan Ega. Sedangkan Amar, bibirnya terlihat bergetar menahan kesedihan dan air mata.

Terlihat Riko bergerak mendekati Amar.

“Menurutku, lebih baik turuti permintaan ibumu. Siapa tau dengan demikian, pikirannya akan tenang dan penanganan berikutnya akan memudahkan kesembuhannya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status