“Tapi, jangan terlalu khawatir. Kelumpuhannya tidak permanen. Masih ada kemungkinan untuk sembuh.”
Ucapan Dokter, sama sekali tidak membuat Azura tenang. Dia malah semakin khawatir dan panik. “Oh ya. Kalian boleh menemui Pasien, karena pasien perempuan, ingin bertemu dengan kalian.” Ega mengangguk, “Kami akan menemui mereka. Terima kasih, Dokter. Jika memang memerlukan tindakan lebih lanjut, tolong berikan yang terbaik untuk mereka. Soal biaya jangan khawatir, kami yang akan menanggung semuanya.” Dokter mengangguk kemudian pamit undur diri. Sementara Azura segera bergegas masuk kedalam ruangan dimana mereka dirawat. Ega , Riko, juga Pak Gani mengikuti Azura. Sampai disana dia melihat Amar sudah duduk di kursi roda dan sedang berada di samping ranjang sakit Bu Umah ibunya. Amar terlihat menangis sambil menggenggam erat tangan Ibunya. Melihat kedatangan Azura, pria itu menoleh. Terlihat tatapannya menjadi dingin. Andai saja dia tidak menolong gadis itu dan membiarkannya bunuh diri, mungkin dia tidak akan menjadi lumpuh begini. Dan ibunya yang selama ini sudah susah payah ia berobatkan, justru menjadi parah dan harus segera dioperasi. Memikirkan hal ini, Amar merasa menyesal. Tetapi, dia segera membuang pikiran ini, biar bagaimanapun juga ini bukan salah gadis itu. Tangan Bu Umah terlihat menggenggam tangan Amar. Bu Umah seperti tahu apa yang ada dipikiran anaknya. “Amar, kecelakaan yang menimpamu ini, tidak sengaja. Kamu telah menyelamatkan nyawa orang lain, Nak.” Ucap Bu Umah lirih pada anaknya. Dengan ragu-ragu, Azura mendekat. “Tolong maafkan aku, aku sungguh tidak sengaja membuat kamu celaka dan ibumu menjadi sakit seperti ini. Aku akan bertanggung jawab, apapun yang kalian pinta aku akan berikan, sebagai ucapan terima kasih dan balasan karena kamu telah menyelamatkan nyawaku.” Ucap Azura memohon kepada mereka. Ega yang tadi di belakang Azura pun kini ikut mendekat dan ikut berucap, “Tolong maafkan putriku karena telah membuat putramu celaka. Benar kata putriku, kami akan memberikan apapun yang kalian minta, sebagai bentuk ucapan terima kasih kami.” Amar hanya diam, sepertinya dia mulai malas berbicara dengan orang-orang kaya yang biasanya selalu menganggap semua hal bisa dibayar dengan uang. Dia memilih untuk menggeser kursi rodanya dan menyerahkan semua kepada ibunya saja yang pasti bisa lebih bijaksana. “Nak, siapa namamu?” Tanya Bu Umah pada Azura. “Azura, Bu.” “Baiklah, Azura. Ibu paham kamu tidak mungkin mendorong anak ibu. Tadinya, ibu juga yang memaksanya untuk menolongmu. Ibu juga tidak mungkin diam saja melihat orang lain dalam bahaya.” “Iya, Bu. Terima kasih.” “Nak, Azura. Ibu memang punya riwayat jantung yang kronis. Bahkan dokter sudah mengatakan jika operasi besok itu, hanya memiliki 25% harapan. Apa kamu tahu, Nak? Anak ibu satu-satunya harus menyandang cacat sekarang.” Azura menunduk, dia sangat mengerti. Karena kebodohanya telah merenggut Kebahagiaan mereka. “Maafkan aku, Bu. Maafkan aku, aku sangat bodoh.” Azura kembali menangis. “Tidak apa-apa, Nak. Kita ini manusia biasanya yang tidak luput dari khilaf. Tapi bolehkah ibu meminta satu hal saja padamu?” Azura mendongak, menatap serius pada Bu Umah. “Katakan Bu, katakan itu. Apapun keinginan ibu, aku akan memenuhinya.” Bu Umah terdiam sesaat, bibirnya tampak bergetar. Sepertinya Bu Umah sedang menahan sakit yang tiba-tiba datang mendera. “Menikahlah dengan Amar anak ibu. Apa kamu bersedia?” JEDAR! Bagai disambar petir! Semua orang tentu terkejut tak terkecuali Amar sendiri. “Ibu, apa yang ibu katakan?” Amar langsung berkata pada ibunya. “Nak, Azura. Amar hanya mempunyai ibu saja dalam hidupnya. Amar juga orang tidak punya. Apabila ibu tiada atau terjadi hal lain pada ibu, ibu sungguh mengkhawatirkan dia. Sekarang dia cacat, tidak mungkin ada wanita yang mau menikah dengannya. Tidak akan ada yang menjaganya. Ibu mohon, hanya itu permintaan ibu padamu. Kalian tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk operasi ibu besok, cukup menikah dengan anakku saja. Apa Nak Azura bersedia?” Ega merasa jika permintaan ibu itu sudah keterlaluan dan melewati batas, tentu dia tidak bisa terima begitu saja. Mana mungkin dia akan menikahkan putrinya dengan pria yang sama sekali belum dia kenal. Meskipun itu adalah orang yang telah menyelamatkan putrinya sekalipun. “Ibu, maaf. Permintaan Anda terlalu berlebihan! Mana mungkin aku akan menikahkan putriku satu-satunya dengan sembarangan orang?” Ujar Ega, tapi segera dibantah oleh Azura. “Papa, tolong jangan katakan itu. Aku sudah berjanji pada Ibu ini jika akan menuruti apapun permintaannya.” “Tapi, Zura!” “Pa, Azura mohon. Biarkan Azura bertanggung jawab. Ini semua karena Azura.” Jawab Azura, kemudian dia menoleh pada Bu Umah. “Aku bersedia untuk menikah dengan anak ibu.” Tidak ada yang bisa mencegah keputusan Azura, apalagi dia sudah terlanjur menyetujui permintaan Bu Umah. Sebenarnya, baik Ega maupun Riko tidak menyalahkan keputusan Azura yang ingin bertanggung jawab dan menembus rasa bersalahnya dengan memenuhi permintaan Bu Umah. Permintaan itu juga masuk akal, sebagai seorang Ibu yang mungkin sudah memiliki firasat buruk, pastinya Bu Umah sangat mengkhawatirkan anaknya yang kini harus menyandang cacat. Siapa yang mau menikah dengan pria miskin seperti Amar, gadis mana yang sudi menerima pria cacat dan miskin seperti dia? Wajar. Azura merasa semua permintaan Bu Umah adalah wajar. Meskipun di dalam hati ayahnya terselip rasa sedih yang tiada Tara. Dia sedih memikirkan nasib putrinya. Sementara Amar, dia marah. Dia menoleh pada ibu dan juga Azura secara bergantian. “Ibu, jangan memintaku untuk menikahi wanita yang sudah membuat kita celaka Bu! Aku tidak mau! Tidak mengapa jika tidak ada yang mau denganku nantinya. Tapi tidak harus ibu meminta dia untuk menikah denganku!” “Amar, dengarkan ibu, Nak. Dia yang sudah membuatmu seperti ini, dia harus bertanggung jawab. Jika kelak kamu sudah sembuh, kamu boleh menceraikannya jika dia meminta cerai. Ibu mohon, Nak.” Selesai bicara, Bu Umah terlihat menggigil. Dia mengerang kecil. “Ibu! Apa yang terjadi?” Semua orang panik, Riko berinisiatif untuk memanggil Dokter. Dokter berlari masuk. Semua orang di suruh keluar tak terkecuali Amar juga. Azura mendorong kursi roda Amar keluar ruangan dan Bu Umah segera kembali mendapatkan penanganan serius. Diluar semua orang tentu panik. Azura gemetaran di dalam pelukan Ega. Sedangkan Amar, bibirnya terlihat bergetar menahan kesedihan dan air mata. Terlihat Riko bergerak mendekati Amar. “Menurutku, lebih baik turuti permintaan ibumu. Siapa tau dengan demikian, pikirannya akan tenang dan penanganan berikutnya akan memudahkan kesembuhannya.”Amar menoleh pada Riko, tapi dia belum mengeluarkan ucapan apapun. “Azura adalah gadis yang baik, saat dia melakukan tindakan bodoh itu karena dia juga dalam keadaan kacau karena memergoki pacarnya selingkuh. Lagi pula, dia adalah seorang putri dari Varega Brahmana. Apa kamu mengenal Varega Brahmana?” Amar yang tadi menunduk, tiba-tiba mendongak. Dia menoleh pada Azura yang masih sesenggukan di pelukan ayahnya. ‘Jadi Gadis itu, putri Varega Brahmana?’ di dalam hati Amar tentu terkejut setengah mati. Siapa yang tidak mengenal nama Varega Brahmana? Meskipun ini di luar kota sekalipun, Varega Brahmana dikenal hampir seluruh warga kota ini. Sebab Varega Brahmana selalu aktif, menjadi donasi dalam pembangunan jalan, sekolahan dan bahkan sering menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin di kota ini. Bahkan Amar pernah beberapa kali melamar pekerjaan di perusahaan Brahmana, tapi selalu gagal atau tidak pernah lulus seleksi. “Tapi kami tidak bisa memaksa, semua keputusan ada di tanganmu.
Entah bagaimana cara pria itu mandi, apa dengan berdiri satu kaki atau dengan duduk di kursi roda, tapi Amar sudah keluar dari kamar mandi dengan keadaaan sudah berganti.Padahal Azura tidak melihat Pria itu membawa handuk atau baju ganti saat masuk ke dalam kamar mandi tadi.Azura segera melirik betis Amar yang mengenakan celana pendek itu. Perban di sana memang terlihat sedikit sedikit basah.Azura cepat mengambil tasnya di mana tadi dia memasukkan kantong obat milik Amar dari rumah sakit.Dia mengambil perban baru dan menghampiri Amar. “Perbannya basah. Biar ku ganti.”“Aku bisa sendiri.” Tanpa melihat Azura, Amar mengambil kantong plastik dari tangan Azura.“Kamu mandi saja.” Ucap Amar.“Eh, i,iya. Tapi,” Azura tidak melanjutkan ucapannya. Amar menoleh, kali ini menatap Azura sekilas.“Tidak ada ganti yang pantas untukmu disini. Hanya ada,”“Baju ibu mungkin. Bolehkah aku meminjamnya? Besok aku bisa membeli ganti untukku.”Amar mengerti, Azura mungkin sudah dari kemarin tidak mand
“Ya. Awalnya memang aku terpaksa karena takut kalian jebloskan ke penjara. Tapi ada dua keberuntungan yang aku dapat. Pertama, aku bisa menembus rasa bersalahku pada kalian. Jadi aku tidak akan hidup dalam rasa bersalah. Kedua, karena sekarang aku sudah menikah dan punya suami, aku bisa lepas dari pria Brengsek yang sudah menghianatiku.”Amar sebenarnya kesal dengan jawaban Azura, tapi dia berpikir siapa pria yang sudah bodoh menyia-nyiakan gadis secantik dan sebaik Azura? Bahkan Amar saja bisa menilai jika Azura ini meskipun Anak Sultan tapi adalah gadis yang baik.Apalagi ayahnya, Varega Brahmana terkenal sebagai seorang Pengusaha kaya yang baik dan rendah hati. Juga sangat bijaksana, jika tidak mana mungkin Beliau mau menikahkan putrinya dengan dirinya. Bisa saja kan, mereka melakukan apapun untuk menentang kemauan ibunya. Biasanya orang kaya seperti itu. Mereka punya banyak uang untuk melakukan apapun jadi sangat gampang.Malam sudah larut, mereka sudah selesai makan dan Azura sud
“Terima kasih atas bantuanmu.”“Terima kasih? Tidak perlu. Itu semua sudah menjadi tanggung jawabku.”“Tetap saja, aku perlu berterima kasih padamu yang mau membiayai semua biaya operasi ibuku.”“Iya. Tapi ibumu sakit juga karena aku. Jadi kita perlu berterima kasih kepada Tuhan yang telah menyelamatkan ibu.”Amar mengangguk, memang Allah yang telah memberi kesembuhan pada Ibunya, tapi jika Azura bukan tipe orang yang bertanggung jawab, belum tentu Ibunya akan ditangani dengan cepat dan baik seperti saat ini. Amar sampai lupa, jika gadis ini yang telah menyebabkan ibunya harus terbaring dirumah sakit dan harus menjalani operasi seperti itu, saking bersyukurnya.Mereka berdua masih terlihat sama-sama tersenyum.“Oh ya, ini kamu masak nasi goreng ya?” Azura bertanya, sambil mencium aroma makanan di atas meja.“Iya. Maaf, hanya bisa memasak ini saja untuk sarapan.” Amar menyodorkan satu piring nasi untuk Azura.“Eh, tidak apa-apa. Aku suka nasi goreng. Kalau dirumah, Mamaku suka membuat
“Paman, aku tidak bisa ikut pulang. Aku harus menunggu ibu Umah pulang ke rumah ini. Aku sama sekali belum menebus kesalahanku pada mereka. Dan yang paling utama, aku ini sudah menikah. Jadi, sebelum orang yang menikahiku yang menceraikan aku, aku tidak akan menggugatnya cerai.”Amar tertegun mendengar jawaban Azura. Dia tidak menyangka jika Azura akan berkata seperti itu pada Pamannya.Sementara Riko menaikkan kedua alisnya.“Azura, meskipun Amar menikahimu tapi Amar pasti akan membencimu karena bagaimanapun juga kamu yang telah menyebabkan dia cacat. Papa kamu dan paman mengkhawatirkan kamu. Kami takut Amar tidak memperlakukanmu dengan baik.”“Tidak Paman, Amar memperlakukan aku dengan baik. Dia tidak membenciku, kok.” Protes Azura.Riko mengangguk kecil. “Baiklah. Bagaimana baiknya menurutmu saja. Paman akan sampaikan pada Papamu. Tapi ingat ya Azura, kalau ada apa-apa langsung kabari kami.”Azura mengangguk, “Terima kasih sudah mengantar pakaian Azura dan laptop Azura.”“Iya, tida
“Maaf, sudah merepotkanmu.” Dengan ragu Amar menerima uang itu, karena dia memang tidak memiliki uang sama sekali.“Jangan bilang begitu, suami istri tidak boleh saling perhitungan.”Hati Amar ingin menangis rasanya mendengar ucapan manis Azura.“Aku akan membeli banyak sayuran dan memasak untukmu. Tadi pagi kamu hanya makan nasi goreng.” Ujar Amar.“Emm.. nanti ajak aku masak ya?”Amar mengangguk dan tersenyum, lalu pergi keluar.Azura menatap langkah terpincang-pincang pria itu. Matanya berkaca-kaca.“Aku tidak ingin meninggalkanmu, Amar. Tidak peduli kita bertemu dengan keadaan yang tidak menyenangkan dan tidak saling mencintai, tapi entah kenapa. Aku ingin menjagamu.” Azura mengusap setitik air bening yang jatuh ke pipinya. Dia kemudian berbalik, mengambil uang 20 ribu mahar dari Amar kemarin.Dia menarik nafas berat. Memandangi uang itu. Meskipun hanya selembar uang 20 ribuan, entah kenapa bagi Azura uang itu sangat berharga baginya. Dia kemudian menyimpannya dengan baik-baik di
“Eh, iya. Tidak apa-apa. Tapi beneran tidak ada yang sakit? Aku khawatir. Kamu baru saja mau sembuh!”“Sungguh, Azura. Tidak apa-apa aku ini. Tidak ada yang sakit.”Azura menarik nafas lega. Tadi dia sempat menyesal dan marah pada dirinya sendiri karena sudah membiarkan Amar berbelanja.“Baiklah, kalau begitu kita ke kamar saja yuk? Kamu perlu istirahat.”“Lho, kan mau masak?”“Aduh, tidak usah lah. Nanti kamu terjatuh lagi bagaimana? Jangan masak, pokoknya jangan! Aku tidak mau mengambil resiko!” Azura segera membereskan belanjaan yang berserakan dan menaruhnya di atas meja.“Tapi bahan-bahan ini kalau tidak dimasak kan sayang. Bisa busuk. Dia hanya akan bertahan sampai malam saja. Apalagi ini ada dagingnya.”Azura tidak peduli, tetap memaksa Amar untuk meninggalkan dapur.“Azura, bagaimana dengan bahannya?”“Nanti kita beli kulkas saja. Gampang kan?”Amar tidak bisa lagi membantah, karena Azura terus menarik tangannya.Dia hanya menggelengkan kepalanya.Mereka sekarang sudah ada di
“Kamu saja yang di atas, biar aku yang dibawah.”“Eh, jangan! Kamu belum sehat. Tidak apa aku dibawah.”Tapi Amar menarik tangan Azura sampai Azura terduduk di sampingnya diatas tempat tidur.Azura kikuk, tapi segera menguasai diri kemudian mengangguk pelan.Amar bergerak, dengan sedikit kesusahan dia berbaring di bawah dengan memakai guling. Azura juga berbaring tapi tidak bisa memejamkan matanya. Saat ia menoleh untuk mengintip Amar, tanpa sengaja Amar juga sedang mengintipnya. Dua orang itu sama-sama tersipu malu karena ketahuan sedang saling mengintip.“Hehe, kamu kok nggak tidur?” Tanya Azura.“Aku tidak biasa tidur siang. Kamu juga kenapa tidak tidur?”“Aku juga tidak biasa tidur siang.”Pada akhirnya mereka berdua tidak jadi tidur dan hanya saling mengobrol.“Kalau begitu aku mau buat teh hangat saja ya? Kamu mau?”Amar hanya mengangguk. Azura pergi ke dapur, dan tak lama dia masuk kembali dengan membawa dua cangkir teh hangat dan cemilan yang ia beli dari online bersamaan deng