“Terima kasih atas bantuanmu.”
“Terima kasih? Tidak perlu. Itu semua sudah menjadi tanggung jawabku.”
“Tetap saja, aku perlu berterima kasih padamu yang mau membiayai semua biaya operasi ibuku.”
“Iya. Tapi ibumu sakit juga karena aku. Jadi kita perlu berterima kasih kepada Tuhan yang telah menyelamatkan ibu.”
Amar mengangguk, memang Allah yang telah memberi kesembuhan pada Ibunya, tapi jika Azura bukan tipe orang yang bertanggung jawab, belum tentu Ibunya akan ditangani dengan cepat dan baik seperti saat ini. Amar sampai lupa, jika gadis ini yang telah menyebabkan ibunya harus terbaring dirumah sakit dan harus menjalani operasi seperti itu, saking bersyukurnya.
Mereka berdua masih terlihat sama-sama tersenyum.
“Oh ya, ini kamu masak nasi goreng ya?” Azura bertanya, sambil mencium aroma makanan di atas meja.
“Iya. Maaf, hanya bisa memasak ini saja untuk sarapan.” Amar menyodorkan satu piring nasi untuk Azura.
“Eh, tidak apa-apa. Aku suka nasi goreng. Kalau dirumah, Mamaku suka membuat nasi goreng spesial untukku.” Jawabnya. Segera duduk dan menikmati nasi goreng buatan Amar.
“Hem.. Enak banget. Kenapa tidak membangunkan aku? Biar aku bisa belajar membuat nasi goreng seperti ini.”
Amar tersenyum kecil. “Kapan-kapan saja.”
Azura mendongak, “Benar ya, ajari aku?”
Amar mengangguk, meskipun dalam hati dia ragu. Ibunya sudah sembuh, sebentar lagi akan pulang dan dia juga akan segera sembuh. Sudah pasti gadis ini tidak mungkin akan tinggal selamanya disini. Meskipun tidak ada perjanjian dalam pernikahan mereka, tapi Amar yakin, jika kelak Azura pasti akan meminta cerai darinya.
Entah kenapa tiba-tiba Amar berharap jika Azura tidak pernah meminta cerai darinya.
‘Apa-apaan sih?’ Dia segera menyadarkan dirinya. Tidak boleh terlalu bermimpi tinggi-tinggi.
Dia menarik kursi dan duduk, lalu ikut menyantap sarapan. Sesekali dia mencuri pandang pada gadis di depannya. Benar-benar sangat cantik. Bagaimana bisa dia tiba-tiba mendapatkan istri seperti ini?
“Aku senang sekali. Mudah-mudahan ibu bisa cepat pulang. Jadi aku bisa menjaganya nanti.”
Amar yang baru saja tenggelam dalam lamunan tersentak. Tertegun dengan ucapan Azura. Benarkah dia akan menjaga Ibunya?
“Nanti kamu tidak usah khawatir, aku yang akan menjaga ibu. Ibumu kan, ibuku juga sekarang. Jadi aku akan menjaganya dengan segenap jiwa raga. Ya, tidak apa-apa, kan?”
Amar menunduk, tidak tahu harus menjawab iya atau jangan. Tapi hanya mendengar kalimat seperti itu saja, hatinya tergelitik untuk tersenyum, dan hatinya juga mendadak berbunga-bunga.
“Aku juga kerja lho, tapi aku bisa menghandle pekerjaan dari rumah. Jadi aku tetap akan banyak waktu untuk kalian.”
“Kerja?” Mana mungkin? batin Amar. Seorang putri Varega Brahmana bekerja?
“Aku lulusan arsitek. Aku bekerja untuk papaku. Perusahaannya kan bergerak di bidang Properti. Jadi aku membantu membuat Desain untuk pembangunannya. Papa memberi gaji sesuai dengan kerjaku juga.”
Amar terdiam, dia belum bisa memberi pendapat apapun.
“Papaku itu memang orang yang sangat bijak tapi dia juga tegas. Meskipun kami hidup berkecukupan, tapi kami dilatih untuk mandiri dan bekerja keras. Tidak boleh santai mengandalkan uang orang tua. Makanya aku sampai bertahun-tahun sekolah diluar negri, dan kakakku tinggal disini untuk membantunya.”
“Kakak?”
“,Eh, iya. Kakak laki-lakiku, lebih tepatnya saudara kembarku. Kami kembar. Dia sudah menikah.”
Amar mengangguk, rupanya gadis ini sangat periang dan suka berbicara. Amar mulai merasa nyaman. Pagi ini rasanya harinya mendadak jadi berwarna. Biasanya dia tidak ada teman berbicara. Ibunya akan sibuk dengan kerjaan rumah dan setelah beres akan pergi untuk buruh tukang cuci.
Baru mereka selesai sarapan, terdengar salam.
“Siapa ya?” Amar ragu-ragu. Tidak seperti biasanya ada tamu yang berkunjung ke rumahnya.
Tapi Azura segera berdiri, dia mengenali suara itu.
“Itu paman Riko. Sebentar ya?” Azura berlari kecil untuk kedepan dan segera membuka pintu setelah menjawab salam.
“Paman!”
“Azura.” Riko sudah berdiri dengan koper besar di tangannya. Dia menatap Azura dengan pakaian yang ia kenakan semalam. Kedua mata Riko berkaca kaca melihat keadaan Azura saat ini.
“Kamu baik-baik saja kan, disini?” Riko mendekat, mengusap pucuk kepala Azura.
“Aku baik-baik saja, Paman. Jangan khawatir. Ayo masuk dulu.”
Riko mengangguk, ikut masuk kedalam dan duduk.
“Dimana pria itu?” Tanya Riko.
“Ada didapur. Apa paman ingin bertemu? Aku panggil ya?”
“Tidak perlu.” Riko mencegah.
“Azura, paman membawakan pakaianmu dan laptop milikmu. Mama kamu sendiri yang sudah menyiapkan semua ini.”
“Jadi mama tahu kalau,”
“Tidak. Papamu mengatakan jika kamu mendadak harus keluar kota karena urusan pekerjaan.”
Azura mendengus. “Biarkan saja dulu, Paman. Pelan-pelan saja memberitahu mama.”
Riko kembali mengangguk.
“Azura, tadi Paman mampir ke rumah sakit. Sudah ada kabar baik, kamu sudah mendengarnya, kan?”
“Iya, Paman. Operasi Bu Umah berjalan lancar dan sudah melewati masa kritis.”
Riko menarik nafas. “Papa kamu berpesan, jika keadaan mereka sudah membaik dan tidak ada masalah lagi, sebaiknya kamu pulang saja. Sisanya, serahkan pada kami. Kami yang akan mengurus. Lagi pula pernikahan kalian itu kan hanya karena permintaan Bu Umah yang terlalu khawatir. Setelah kami pikir-pikir, kamu bisa menggugat cerai Amar dan pulang secepatnya. Atau hari ini saja kamu ikut Paman pulang. Bu Umah sudah membaik, hanya tinggal dirawat beberapa hari, dia sudah bisa pulang. Bagaimana Azura, kamu mau pulang kapan?”
Azura tertegun, pada saat ini Amar sudah ada di ujung sana. Tapi dia enggan untuk keluar karena mendengar ucapan Riko. Dia berhenti disana untuk menguping.
“Paman, aku tidak bisa ikut pulang. Aku harus menunggu ibu Umah pulang ke rumah ini. Aku sama sekali belum menebus kesalahanku pada mereka. Dan yang paling utama, aku ini sudah menikah. Jadi, sebelum orang yang menikahiku yang menceraikan aku, aku tidak akan menggugatnya cerai.”Amar tertegun mendengar jawaban Azura. Dia tidak menyangka jika Azura akan berkata seperti itu pada Pamannya.Sementara Riko menaikkan kedua alisnya.“Azura, meskipun Amar menikahimu tapi Amar pasti akan membencimu karena bagaimanapun juga kamu yang telah menyebabkan dia cacat. Papa kamu dan paman mengkhawatirkan kamu. Kami takut Amar tidak memperlakukanmu dengan baik.”“Tidak Paman, Amar memperlakukan aku dengan baik. Dia tidak membenciku, kok.” Protes Azura.Riko mengangguk kecil. “Baiklah. Bagaimana baiknya menurutmu saja. Paman akan sampaikan pada Papamu. Tapi ingat ya Azura, kalau ada apa-apa langsung kabari kami.”Azura mengangguk, “Terima kasih sudah mengantar pakaian Azura dan laptop Azura.”“Iya, tida
“Maaf, sudah merepotkanmu.” Dengan ragu Amar menerima uang itu, karena dia memang tidak memiliki uang sama sekali.“Jangan bilang begitu, suami istri tidak boleh saling perhitungan.”Hati Amar ingin menangis rasanya mendengar ucapan manis Azura.“Aku akan membeli banyak sayuran dan memasak untukmu. Tadi pagi kamu hanya makan nasi goreng.” Ujar Amar.“Emm.. nanti ajak aku masak ya?”Amar mengangguk dan tersenyum, lalu pergi keluar.Azura menatap langkah terpincang-pincang pria itu. Matanya berkaca-kaca.“Aku tidak ingin meninggalkanmu, Amar. Tidak peduli kita bertemu dengan keadaan yang tidak menyenangkan dan tidak saling mencintai, tapi entah kenapa. Aku ingin menjagamu.” Azura mengusap setitik air bening yang jatuh ke pipinya. Dia kemudian berbalik, mengambil uang 20 ribu mahar dari Amar kemarin.Dia menarik nafas berat. Memandangi uang itu. Meskipun hanya selembar uang 20 ribuan, entah kenapa bagi Azura uang itu sangat berharga baginya. Dia kemudian menyimpannya dengan baik-baik di
“Eh, iya. Tidak apa-apa. Tapi beneran tidak ada yang sakit? Aku khawatir. Kamu baru saja mau sembuh!”“Sungguh, Azura. Tidak apa-apa aku ini. Tidak ada yang sakit.”Azura menarik nafas lega. Tadi dia sempat menyesal dan marah pada dirinya sendiri karena sudah membiarkan Amar berbelanja.“Baiklah, kalau begitu kita ke kamar saja yuk? Kamu perlu istirahat.”“Lho, kan mau masak?”“Aduh, tidak usah lah. Nanti kamu terjatuh lagi bagaimana? Jangan masak, pokoknya jangan! Aku tidak mau mengambil resiko!” Azura segera membereskan belanjaan yang berserakan dan menaruhnya di atas meja.“Tapi bahan-bahan ini kalau tidak dimasak kan sayang. Bisa busuk. Dia hanya akan bertahan sampai malam saja. Apalagi ini ada dagingnya.”Azura tidak peduli, tetap memaksa Amar untuk meninggalkan dapur.“Azura, bagaimana dengan bahannya?”“Nanti kita beli kulkas saja. Gampang kan?”Amar tidak bisa lagi membantah, karena Azura terus menarik tangannya.Dia hanya menggelengkan kepalanya.Mereka sekarang sudah ada di
“Kamu saja yang di atas, biar aku yang dibawah.”“Eh, jangan! Kamu belum sehat. Tidak apa aku dibawah.”Tapi Amar menarik tangan Azura sampai Azura terduduk di sampingnya diatas tempat tidur.Azura kikuk, tapi segera menguasai diri kemudian mengangguk pelan.Amar bergerak, dengan sedikit kesusahan dia berbaring di bawah dengan memakai guling. Azura juga berbaring tapi tidak bisa memejamkan matanya. Saat ia menoleh untuk mengintip Amar, tanpa sengaja Amar juga sedang mengintipnya. Dua orang itu sama-sama tersipu malu karena ketahuan sedang saling mengintip.“Hehe, kamu kok nggak tidur?” Tanya Azura.“Aku tidak biasa tidur siang. Kamu juga kenapa tidak tidur?”“Aku juga tidak biasa tidur siang.”Pada akhirnya mereka berdua tidak jadi tidur dan hanya saling mengobrol.“Kalau begitu aku mau buat teh hangat saja ya? Kamu mau?”Amar hanya mengangguk. Azura pergi ke dapur, dan tak lama dia masuk kembali dengan membawa dua cangkir teh hangat dan cemilan yang ia beli dari online bersamaan deng
Saat ini Bu Umah masih menatap mereka dengan cukup heran. Tetap sama, yang membuatnya heran bukan kedatangan mereka yang bersama, tapi genggaman tangan mereka itu. Awalnya dia agak menyesal dan merasa bersalah karena telah memaksa Azura untuk menikahi anaknya. Dia merasa telah egois dan sudah menekan anak gadis orang untuk kepentingannya sendiri.Tapi keputusannya itu karena sebuah alasan yang kuat. Dia khawatir jika terjadi sesuatu pada dirinya maka tidak akan ada yang menjaga Amar.Meskipun baru melihat Azura untuk pertama kalinya dan padahal gadis itu adalah orang yang telah membuat mereka celaka, tetapi Bu Umah bisa yakin jika Azura adalah gadis yang baik.“Eh, kalian sudah datang ya?” Bu Umah bertanya tapi masih sambil melihat ke arah tangan mereka, membuat Amar sadar dan segera melepas genggaman tangan Azura.“Eh, iya Bu. Maaf, kami datang agak sore. Kami sengaja karena dokter menganjurkan agar ibu beristirahat seharian ini.” Jawab Amar agak kikuk.“Tidak apa-apa, Nak. Ibu sudah
Pagi-pagi Azura telah terbagun dan bersiap untuk pulang. Amar hanya kembali mengangguk meskipun dia tidak paham dan penuh pertanyaan tentang apa sebenarnya yang akan dipersiapkan oleh Azura.Azura pun pulang dengan mengendarai mobilnya kembali. Tapi kali ini dia tidak langsung pulang, dia singgah dahulu ke sebuah toko. Setelah mengobrol sejenak dengan pemilik toko, dia kembali melaju pulang. Tak lama setelah sampai, dia turun. Dia menjadi perhatian beberapa ibu-ibu yang kebetulan sedang mengerumuni tukang sayur.“Lho, itu kan istrinya Amar? Kok pulang sendirian. Kemana Amar?“Eh, iya ya. Jangan-jangan ada apa-apa ini?”Azura tersenyum ke arah mereka.“Lho mbak, mana Amar? Kok sendirian?” Satu orang bertanya pada Azura.“Amar masih di rumah sakit’ bu. Hari ini Bu Umah akan dibawa pulang, jadi aku pulang duluan untuk menyiapkan rumah,”“Lho, apa sudah baikan kok sudah mau pulang?”“Sebenarnya belum, bu. Masih harus dirawat beberapa Hari lagi karena baru kemarin selesai di operasi. Tapi
Sampai di rumah, Azura menyambut dengan sangat senang. Para tim dokter khusus juga dengan sigap menyiapkan segala sesuatunya, dari mulai selang infus yang memang masih harus dipakai oleh bu Umah juga peralatan medis lainnya.Melihat situasi rumah yang hampir semua barangnya telah diganti tentu membuat Amar juga bu Umah terkejut.Amar langsung menarik lengan Azura. “Azura, ini kamu,”“Sudah jangan protes, ini demi kenyamanan Ibu.” Jawab Azura. Tanpa memberi kesempatan untuk Amar berbicara lagi, dia langsung pergi ke kamar Bu Umah.Di luar sana, di pinggir jalan besar, seseorang di dalam mobil yang berhenti sedang menghubungi Edward.“Aku sudah berhasil menemukan Azura. Apa kamu tahu yang terjadi pada Azura belakangan ini?”“Apa? Katakan padaku, apapun informasi yang kamu dapat.” Jawab Edward di sana.“Rupanya, Azura sudah menikah. Dan yang perlu kamu ketahui, dia menikah dengan seorang pria cacat!”“Hah, yang benar saja?”***Saat ini di kota sisi lain,Sebuah Pesta sedang digelar oleh
“Ada apa, Mas? Beritahu aku! Aku janji tidak akan terlalu kepikiran! Tapi tolong beritahu dulu!”Ega lagi-lagi menarik nafas berat. “Azura sudah menikah.”“Apa? Mas, kamu bercanda apa gimana?” Wulan tentu terkejut dan langsung khawatir.Ega menggeleng, lalu pelan-pelan menceritakan semua yang menimpa Azura dari awal.Wulan menangis, sebagai seorang ibu pasti dia menyesal karena baru mengetahui tentang putrinya sekarang.“Harusnya ceritakan saja padaku. Aku ini Ibunya, pasti Azura butuh aku juga untuk memberinya dukungan.”“Maafkan aku, sungguh waktu itu aku belum siap. Baiklah, kapan waktu nanti, kamu bisa mengunjunginya.”Wulan sangat sedih, bukan memikirkan dengan siapa Azura menikah, tapi dia khawatir Azura disana tidak bahagia dan menderita. Pikirannya jadi tidak tenang, bahkan sampai menghadiri pesta Al saja, pikiran Wulan tetap pada Azura.Dia berjanji, besok akan pergi menyusul Azura.Beberapa hari telah berlalu, keadaan Bu Umah sudah membaik dengan perawatan dari Azura juga ko