Share

Bab 7. Berharap dia tidak meminta cerai.

“Terima kasih atas bantuanmu.”

“Terima kasih? Tidak perlu. Itu semua sudah menjadi tanggung jawabku.”

“Tetap saja, aku perlu berterima kasih padamu yang mau membiayai semua biaya operasi ibuku.”

“Iya. Tapi ibumu sakit juga karena aku. Jadi kita perlu berterima kasih kepada Tuhan yang telah menyelamatkan ibu.”

Amar mengangguk, memang Allah yang telah memberi kesembuhan pada Ibunya, tapi jika Azura bukan tipe orang yang bertanggung jawab, belum tentu Ibunya akan ditangani dengan cepat dan baik seperti saat ini. Amar sampai lupa, jika gadis ini yang telah menyebabkan ibunya harus terbaring dirumah sakit dan harus menjalani operasi seperti itu, saking bersyukurnya.

Mereka berdua masih terlihat sama-sama tersenyum.

“Oh ya, ini kamu masak nasi goreng ya?” Azura bertanya, sambil mencium aroma makanan di atas meja.

“Iya. Maaf, hanya bisa memasak ini saja untuk sarapan.” Amar menyodorkan satu piring nasi untuk Azura.

“Eh, tidak apa-apa. Aku suka nasi goreng. Kalau dirumah, Mamaku suka membuat nasi goreng spesial untukku.” Jawabnya. Segera duduk dan menikmati nasi goreng buatan Amar.

“Hem.. Enak banget. Kenapa tidak membangunkan aku? Biar aku bisa belajar membuat nasi goreng seperti ini.”

Amar tersenyum kecil. “Kapan-kapan saja.”

Azura mendongak, “Benar ya, ajari aku?”

Amar mengangguk, meskipun dalam hati dia ragu. Ibunya sudah sembuh, sebentar lagi akan pulang dan dia juga akan segera sembuh. Sudah pasti gadis ini tidak mungkin akan tinggal selamanya disini. Meskipun tidak ada perjanjian dalam pernikahan mereka, tapi Amar yakin, jika kelak Azura pasti akan meminta cerai darinya.

Entah kenapa tiba-tiba Amar berharap jika Azura tidak pernah meminta cerai darinya.

‘Apa-apaan sih?’ Dia segera menyadarkan dirinya. Tidak boleh terlalu bermimpi tinggi-tinggi.

Dia menarik kursi dan duduk, lalu ikut menyantap sarapan. Sesekali dia mencuri pandang pada gadis di depannya. Benar-benar sangat cantik. Bagaimana bisa dia tiba-tiba mendapatkan istri seperti ini?

“Aku senang sekali. Mudah-mudahan ibu bisa cepat pulang. Jadi aku bisa menjaganya nanti.”

Amar yang baru saja tenggelam dalam lamunan tersentak. Tertegun dengan ucapan Azura. Benarkah dia akan menjaga Ibunya?

“Nanti kamu tidak usah khawatir, aku yang akan menjaga ibu. Ibumu kan, ibuku juga sekarang. Jadi aku akan menjaganya dengan segenap jiwa raga. Ya, tidak apa-apa, kan?”

Amar menunduk, tidak tahu harus menjawab iya atau jangan. Tapi hanya mendengar kalimat seperti itu saja, hatinya tergelitik untuk tersenyum, dan hatinya juga mendadak berbunga-bunga.

“Aku juga kerja lho, tapi aku bisa menghandle pekerjaan dari rumah. Jadi aku tetap akan banyak waktu untuk kalian.”

“Kerja?” Mana mungkin? batin Amar. Seorang putri Varega Brahmana bekerja?

“Aku lulusan arsitek. Aku bekerja untuk papaku. Perusahaannya kan bergerak di bidang Properti. Jadi aku membantu membuat Desain untuk pembangunannya. Papa memberi gaji sesuai dengan kerjaku juga.”

Amar terdiam, dia belum bisa memberi pendapat apapun.

“Papaku itu memang orang yang sangat bijak tapi dia juga tegas. Meskipun kami hidup berkecukupan, tapi kami dilatih untuk mandiri dan bekerja keras. Tidak boleh santai mengandalkan uang orang tua. Makanya aku sampai bertahun-tahun sekolah diluar negri, dan kakakku tinggal disini untuk membantunya.”

“Kakak?”

“,Eh, iya. Kakak laki-lakiku, lebih tepatnya saudara kembarku. Kami kembar. Dia sudah menikah.”

Amar mengangguk, rupanya gadis ini sangat periang dan suka berbicara. Amar mulai merasa nyaman. Pagi ini rasanya harinya mendadak jadi berwarna. Biasanya dia tidak ada teman berbicara. Ibunya akan sibuk dengan kerjaan rumah dan setelah beres akan pergi untuk buruh tukang cuci.

Baru mereka selesai sarapan, terdengar salam.

“Siapa ya?” Amar ragu-ragu. Tidak seperti biasanya ada tamu yang berkunjung ke rumahnya.

Tapi Azura segera berdiri, dia mengenali suara itu.

“Itu paman Riko. Sebentar ya?” Azura berlari kecil untuk kedepan dan segera membuka pintu setelah menjawab salam.

“Paman!”

“Azura.” Riko sudah berdiri dengan koper besar di tangannya. Dia menatap Azura dengan pakaian yang ia kenakan semalam. Kedua mata Riko berkaca kaca melihat keadaan Azura saat ini.

“Kamu baik-baik saja kan, disini?” Riko mendekat, mengusap pucuk kepala Azura.

“Aku baik-baik saja, Paman. Jangan khawatir. Ayo masuk dulu.”

Riko mengangguk, ikut masuk kedalam dan duduk.

“Dimana pria itu?” Tanya Riko.

“Ada didapur. Apa paman ingin bertemu? Aku panggil ya?”

“Tidak perlu.” Riko mencegah.

“Azura, paman membawakan pakaianmu dan laptop milikmu. Mama kamu sendiri yang sudah menyiapkan semua ini.”

“Jadi mama tahu kalau,”

“Tidak. Papamu mengatakan jika kamu mendadak harus keluar kota karena urusan pekerjaan.”

Azura mendengus. “Biarkan saja dulu, Paman. Pelan-pelan saja memberitahu mama.”

Riko kembali mengangguk.

“Azura, tadi Paman mampir ke rumah sakit. Sudah ada kabar baik, kamu sudah mendengarnya, kan?”

“Iya, Paman. Operasi Bu Umah berjalan lancar dan sudah melewati masa kritis.”

Riko menarik nafas. “Papa kamu berpesan, jika keadaan mereka sudah membaik dan tidak ada masalah lagi, sebaiknya kamu pulang saja. Sisanya, serahkan pada kami. Kami yang akan mengurus. Lagi pula pernikahan kalian itu kan hanya karena permintaan Bu Umah yang terlalu khawatir. Setelah kami pikir-pikir, kamu bisa menggugat cerai Amar dan pulang secepatnya. Atau hari ini saja kamu ikut Paman pulang. Bu Umah sudah membaik, hanya tinggal dirawat beberapa hari, dia sudah bisa pulang. Bagaimana Azura, kamu mau pulang kapan?”

Azura tertegun, pada saat ini Amar sudah ada di ujung sana. Tapi dia enggan untuk keluar karena mendengar ucapan Riko. Dia berhenti disana untuk menguping.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status