“Azura, apa kabar kamu, Nak?” Wulan bertanya, masih sambil sesenggukan.“Kabarku baik, Ma. Mama bisa tahu Azura di sini dari siapa?” Tanya Azura yang juga ikut menangis.“Dari papa kamu. Papa sendiri yang mengantar mama ke sini.”“Sekarang papa di mana, Ma. Kenapa papa tidak ikut masuk?”“Papa di luar sana, tapi mama sudah menyuruhnya untuk pergi ke kantor saja.Nanti sore papa akan menjemput mama.”Azura melepaskan pelukannya, Wulan membelai wajahnya beberapa kali, kemudian dia menoleh, melihat seorang pria yang sudah berdiri di samping mereka. Amar melempar senyum dan menunduk hormat pada Wulan.“Azura, apa dia suamimu?” Tanya Wulan, menyeka sisa air matanya.“Iya Ma, kenalkan. Namanya Amar. Papa pasti sudah bercerita tentang pertemuan kami kan?”“Iya, papa kamu sudah bercerita sayang.”Amar terlihat mengulurkan tangannya, Wulan juga menyambut dengan hangat.“Mari, silahkan masuk dulu ke rumah kami, em.. Nyonya.” Amar begitu kaku dan gugup. Dia bingung harus memanggil apa pada ibu
“ Waalaikumsalam.” Bu Umah menjawab. Dia menyerngitkan dahinya, merasa jika perempuan cantik di depannya itu sangat asing baginya. Dia menoleh ke arah Wulan. “Azura, dia siapa?”Wulan kemudian mendekat dan mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Bu Umah dengan lembut, “Perkenalkan, Bu. Nama saya Wulan, saya mamanya Azura.”Bu Umah tersentak, dia langsung terlihat gugup. “Masya Allah! Jadi ibu ini, mamanya Azura? Ya Allah? Maaf ya Bu, maaf. Saya tidak tahu.”“Eh tidak apa-apa, Bu Umah. Aku sengaja datang kesini untuk mengunjungi anakku. Awal mulanya aku tidak tahu ceritanya kalau bukan suamiku yang bercerita. Makanya aku datang ke sini untuk memastikannya. Ternyata benar, anakku sudah mempunyai suami dan sudah menjadi bagian dari keluarga ini.” ujar Wulan.Bu Umah menunduk, matanya berkaca-kaca “Maafkan saya Bu, ini semua salahku. Saya yang telah memaksa anak ibu untuk menikahi anak saya. Sebenarnya kala itu saya hanya sangat khawatir. Saya takut kalau saya tidak selamat dan
Amar tersenyum. “Bukankah tempat tidur kita sudah tidak sempit lagi? Apa yang kamu khawatirkan?” Sambil berkata, Amar sambil menepuk kasur di sampingnya.Entah Kenapa, mendengar ucapan Amar seperti itu, wajah Azura jadi memerah.“Aku tidak akan macam-macam, jangan khawatir. Lagian kakiku seperti ini, mana mungkin kan?” Amar menambahkan lagi, membuat Azura semakin tersipu. Selama menikah, mereka memang belum pernah tidur satu Ranjang bersama.Azura belum juga bergerak, sampai membuat Amar malu hati. “Hem, baiklah. Ayo naik. Aku akan tidur di luar atau di bawah. Kan bisa.”“Eh, jangan!” Azura langsung mencegah.“Kita tidur berdua saja. Lagian kita kan sudah menjadi suami istri. Tidak akan ada yang melarang ini.” Selesai bicara, Azura naik ke atas tempat tidur. Justru sekarang, malah Amar yang terlihat kikuk.“Eh, ayo! Kenapa? Kan? Kamu yang gak mau tidur berdua?” Ledek Azura.“,Eh, siapa bilang. Mau kok.” Meskipun dengan ragu-ragu, Amar akhirnya ikut berbaring. Dia mengatur posisi kakin
Pagi hari, dua orang ini terbangun dengan keadaan yang sama-sama tersenyum. Malu iya, tapi merasa sangat bahagia. Rasanya baru seperti orang berpacaran. Hati dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran, kedua mata berbinar dipenuhi bintang senyuman.“Aku siapin sarapan.” Ujar Amar, kembali kikuk. Entah kenapa, padahal semalam sudah biasa saja, sudah tidak lagi gugup. Tapi pagi ini gugup itu malah datang kembali.Kan aneh! Atau karena teringat yang semalam? Saat sempat romantis-romantisan dengan Azura? Jadi malu?“I,iya. A,aku ke kamar ibu dulu, takut ibu butuh sesuatu.” Yang perempuan juga terlihat gugup lagi, sampai beberapa kali mengatur nafasnya lalu segera berlari ke kamar ibu.Debaran hati mereka masing-masing mengganggu aktivitas mereka hampir sepagi ini. Sampai saat sarapan berdua di meja makan, dua orang ini tak banyak bicara. Hanya saling lirik dan saling melempar senyuman saja.“Amar, hari ini aku mau mulai bekerja. Tidak apa kan kalau nanti aku sibuk dengan laptop?”Amat sedikit t
“Oh begitu ya. Apa karena sekarang kamu sudah menikah?”Azura terbelalak, dia lumayan terkejut. Dari mana Edward bisa tahu?“Kenapa terkejut? Kamu kaget kenapa aku bisa tahu? Aku tahu semuanya tentang kamu, Azura. Kamu sudah menikah dan menikah dengan seorang pria cacat kan?” Edward berkata dengan nada mengejek.“Segitu Frustrasinya kamu, karena putus dariku sampai kamu menikahi pria cacat? Padahal waktu itu kamu sendiri yang memutuskan aku. Ah tapi Azura, jika kamu mau kembali padaku dan meninggalkan pria cacat itu, aku masih mau memaafkanmu. Kembali saja padaku, aku akan berubah. Aku akan segera melamarmu dan kita akan menikah secepatnya.”Entah kenapa, Azura sekarang begitu muak dan jijik melihat Edward. Jangankan untuk menjalin hubungan lagi, dilamar atau menikah dengan Edward, melihatnya saja dia sudah sangat malas. Apalagi saat teringat adegan tumpang tindih Edward dengan sekretarisnya itu ,sungguh Azura ingin muntah rasanya.“Hidup kita sudah masing-masing. Dengan siapapun Aku
“Asal kamu tahu, aku masih sangat mencintai Azura, begitu juga dengan Azura. Hanya saja waktu itu kami masih ada masalah. Dan aku juga tahu kenapa Azura bisa menikah denganmu. Karena kamu hanya ingin memanfaatkan dia kan?”Amar tercengang dengan ucapan Edward.“Tapi tuduhan anda salah, Mas. Aku tidak sedikit pun ingin memanfaatkan Azura.”“Halah, gak usah bohong kamu! Kamu sudah tahu kan kalau yang menabrak kamu adalah putri dari pengusaha Brahmana, jadi kamu sengaja memanfaatkan dia dan menyuruhnya untuk bertanggung jawab dengan cara memintanya untuk menikah denganmu! Kamu pikir aku bodoh? Tidak tahu apa yang sedang kamu rencanakan? Dasar orang Miskin!”Dada Amar terasa begitu penuh dengan makian pria itu. Faktanya memang demikian, dia sudah tahu siapa Azura sebelum menikahinya. Tapi semua tuduhan orang itu salah! Sungguh tidak ada sedikitpun niat di hatinya untuk memanfaatkan Azura.Terlihat Edward mengeluarkan sebuah cek dari sakunya. Dia melempar cek kosong pada Amar.“Tulis, bera
“Oh, baiklah. Papa jadi lega. Kalau begitu Papa pulang ya, dari sini? Tidak menunggu kamu pulang, kapan-kapan saja papa kemari lagi.”“Iya Pa, Papa pulang saja dulu. Oh ya, berikan ponselnya pada Amar dulu, Pa. Biar Azura bicara sebentar dengannya.”Ega kemudian mengulurkan ponselnya kepada Amar. Amar menerima dengan lembut.“Assalamualaikum.. Halo Azura.”“Waalaikumsalam.. Amar. Maaf ya, sudah bikin kamu khawatir. TApi aku tidak apa-apa kok, aku baik-baik saja. Aku sudah selesai berbelanja tapi aku mampir dulu ke rumah Mama karena ingin mengambil sesuatu.”“Eh, iya tidak apa-apa. Aku hanya khawatir. Papa kesini dan bertanya kok kamu tidak ada.”“Baiklah, kalau begitu aku mau siap-siap mau pulang sekarang. Sampai ketemu di rumah. Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam. Hati-hati ya?” setelah panggilan dari Azura ditutup, Amar kemudian mengembalikan ponsel pada Ega.“Pa, tunggu sebentar ya, saya akan bikinin Papa minum dulu.”“Amar, tidak perlu. Papa mau langsung pulang ke kantor. Tidak e
“Tidak apa-apa, Amar. Kalau hanya segitu uangku masih ada.” “Mana, Bu?” Azura kembali melihat ibu kontrakan itu. “Eh iya iya, sebentar.” ibu itu dengan girang membuka ponselnya dan menyebutkan nomor rekening miliknya. Azura segera mentransfer uang sejumlah dengan yang disebutkan oleh ibu itu tadi. Setelah melihat uangnya masuk di dalam akunnya, ibu itu tertawa senang lalu pergi begitu saja tanpa pamitan. “Eh Ayo masuk ke dalam. Aku bawa oleh-oleh untuk kamu dan Ibu. Maaf ya, aku agak sedikit terlambat, membuat kamu khawatir.” Amar hanya mengangguk kecil kemudian berjalan mengikuti Azura ke dalam kamar. Azura meletakkan barang-barang yang ia beli tadi dan membukanya satu persatu. Dia menunjukkan pada Amar dengan wajah ceria. “Aku belikan kamu beberapa baju untuk ganti, juga untuk ibu. Dan tadi mama menitip ini untuk ibu tapi nanti saja kesananya, pasti ibu sedang istirahat juga.” Amar mengangguk kecil. “Azura, kenapa kamu menghabiskan banyak uang untuk di sini? Aku sungguh
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s