“Tidak apa-apa, Amar. Kalau hanya segitu uangku masih ada.” “Mana, Bu?” Azura kembali melihat ibu kontrakan itu. “Eh iya iya, sebentar.” ibu itu dengan girang membuka ponselnya dan menyebutkan nomor rekening miliknya. Azura segera mentransfer uang sejumlah dengan yang disebutkan oleh ibu itu tadi. Setelah melihat uangnya masuk di dalam akunnya, ibu itu tertawa senang lalu pergi begitu saja tanpa pamitan. “Eh Ayo masuk ke dalam. Aku bawa oleh-oleh untuk kamu dan Ibu. Maaf ya, aku agak sedikit terlambat, membuat kamu khawatir.” Amar hanya mengangguk kecil kemudian berjalan mengikuti Azura ke dalam kamar. Azura meletakkan barang-barang yang ia beli tadi dan membukanya satu persatu. Dia menunjukkan pada Amar dengan wajah ceria. “Aku belikan kamu beberapa baju untuk ganti, juga untuk ibu. Dan tadi mama menitip ini untuk ibu tapi nanti saja kesananya, pasti ibu sedang istirahat juga.” Amar mengangguk kecil. “Azura, kenapa kamu menghabiskan banyak uang untuk di sini? Aku sungguh
Amar terkejut dan dia mengusap wajahnya dengan kasar, “Tidak ada apa-apa.”Azura kemudian duduk di samping Amar, “Apa kamu marah karena aku berbelanja banyak seperti ini? Kalau begitu, lain kali aku tidak akan berbelanja sebanyak ini lagi.” ucap Azura membuat Amar langsung menggeleng.“Aku tidak marah. Lagi pula kenapa harus marah? Justru aku senang melihat kamu berbelanja. Apalagi itu adalah kebutuhan kita, bukan untukmu sendiri. Tapi akan lebih senang lagi kalau kamu berbelanja menggunakan uangku. Kelak suatu saat jika aku sudah bisa mencari uang, aku tidak akan pernah melarangmu berbelanja. Azura, kamu jangan salah paham. Aku tidak sedang memikirkan hal itu.”“Terus apa yang kamu pikirkan? Aku melihat sepertinya kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Apa kamu tidak mau berbagi?”Amar menghela nafas berat, “Tadi pria yang bernama Edward itu datang kemari. Dia mencarimu.”Kedua mata Azura langsung terbelalak, dia terkejut bukan main. “Apa yang dia lakukan padamu? Kamu tidak diapa
Amar terlihat mengangguk, “Aku pernah bersekolah di bidang ini, aku juga sedikit menguasainya. Hanya saja aku belum pernah menggunakannya karena aku terus ditolak saat aku mengajukan lamaran kerja. Bahkan aku pernah melamar di perusahaan cabang Brahmana, tapi aku tidak diterima. Hingga sampai lebih dari 10 kali aku melamar di berbagai perusahaan properti, tapi aku sebanyak itu juga ditolak. Sampai akhirnya aku putus asa dan aku tidak pernah lagi melamar pekerjaan di perusahaan. Aku jadi kuli panggul saja.”Azura jadi tersenyum sekarang, “Kalau begitu, kamu bisa membantu pekerjaanku ini. Amar, Kalau kamu bisa menunjukkan keahlian kamu, itu sangat bagus. Kamu bisa bekerja di perusahaan papa. Mereka sangat kekurangan arsitek handal yang bisa mendesain bangunan-bangunan yang papa inginkan, untuk bisnis papa. Apalagi sekarang bisnis papa sudah melebar ke berbagai kota dan bahkan ada rencana untuk ke luar negeri juga.”“Tapi aku takut kamu tidak percaya padaku.”“Bagaimana kalau kamu membuk
“Iya Bu, benar. Doakan kami ya Bu, mudah-mudahan saja Amar berhasil dan kami bisa bekerja sama dengan baik, lalu bisa bekerja di perusahaan Papa agar masa depan kami juga bisa lebih baik lagi, Bu.”Bu Uman benar-benar terharu, matanya berkaca-kaca dan tanpa terasa dia menangis.“Sejak dulu cita-cita Amar memang ingin menjadi seorang Arsitek. Sampai setengah mati ibu bekerja siang malam hanya untuk menyekolahkannya. Bahkan Amar pun rela bekerja banting tulang untuk menabung demi bisa menyelesaikan kuliahnya.”Azura tertegun dengan cerita Bu Umah, ternyata kehidupan Amar memang sudah susah sejak dulu dan penuh dengan perjuangan. Jauh sekali bila dibanding dengan kehidupannya yang serba mewah dan berkecukupan bahkan untuk melanjutkan sekolah pun, begitu mudah bagi Azura. Tetapi pada saat itu Azura sempat bermalas-malasan. Dia sering menolak ketika sang Ayah menginginkan dia untuk kuliah ke luar negeri dengan harapan agar Azura lebih bisa diandalkan di bidang arsitektur ini karena Ega pun
Pagi berikutnya, saat Amar membuka matanya, dia sudah tidak melihat Azura. Ternyata Azura sudah berada di dapur, memasak dengan dibantu oleh Bu Umah. Tapi bukan seperti itu ternyata, justru Bu Umah yang sedang memasak dan dibantu oleh Azura. Meskipun sudah dilarang tapi Azura tetap membantunya, dia masih khawatir dengan keadaan Ibu yang menurutnya belum lah sepenuhnya sembuh.Selesai menyiapkan sarapan, Azura segera ke kamar memanggil Amar untuk sarapan dahulu.“Iya. Tapi bagaimana kalau kamu mengirim dulu dua file itu kepada Papamu, agar Papamu memeriksanya. Aku penasaran apakah Papamu akan menyukai desain dariku ini.”Azura setuju, kemudian dia mengirim dua gambar rancangan bangunan yang telah diselesaikan Amar semalam, barulah mereka pergi ke meja makan.Di tengah-tengah sarapan, ponsel Azura berdering. Dia melirik, itu adalah panggilan dari papanya. Azura kemudian bangun dan menyisih ke ujung sana untuk mengangkat panggilan. Terdengar mereka berbicara dengan pembicaraan yang cukup
“Jangan khawatir, Amar. Kamu tidak perlu risau. Jika kamu keberatan untuk terjun langsung ke area pembangunan, Azura bisa mewakilinya. Kamu hanya perlu bekerja di balik layar saja, tapi kalau menurut papa tidak ada salahnya jika sekali-kali waktu kamu menunjukkan diri, agar orang juga tahu jika kamu ini adalah suami Azura. menantuku.”“Lagi pula Papa jamin, tidak akan yang ada yang berani membicarakan kamu atau menghina kamu hanya karena fisik kamu ini. Jika ada yang berani menghina kamu Artinya mereka juga sama saja dengan menghina papa dan juga istri kamu, sebab fisik kamu begini juga karena Azura.”Amar tersenyum lembut kemudian menoleh pada Azura.Pada saat ini Riko juga ikut bicara, “Jadi begini, Amar. Meskipun kamu ini adalah suami dari Azura juga menantu dari Tuan Varega Brahmana sendiri, tetapi yang namanya kerja sama tetaplah kerjasama. Kita perlu menandatangani surat-surat perjanjian dan juga surat kontrak. Atau anggap saja ini adalah sebuah kontrak kerjasama yang biasa dite
Amar tertawa kecil, “Tidak harus menggenggam tanganku selama itu juga.”“Ya habisnya, kamu sangat khawatir sekali.”“Maaf. Baiklah, kita berangkat.” Sungguh Amar tidak sanggup untuk menolak ajakan Azura meskipun dalam hati dia masih ragu dan merasa tidak nyaman.Mereka akhirnya berpamitan pada Bu Umah, mengatakan jika akan pergi ke rumah orang tua Azura. Tadinya Azura juga mengajak Ibu, tapi ibu menolak, mengatakan jika dia sudah sehat dan akan baik-baik saja di rumah.Azura sebenarnya khawatir, tapi Amar juga meyakinkan jika sebenarnya Ibu sudah terbiasa ditinggal sendirian di rumah.“Baiklah, kalau begitu kami berangkat sekarang ya, Bu? Takut kemalaman di jalan.” Ujar Azura.“Iya. Kalian berangkat saja. Misalnya nanti kemalaman, tidak usah pulang dulu nak. Menginap saja di sana dulu, tidak apa-apa. Ibu ini sudah sering kok sendirian di rumah saat Amar bekerja dan menginap di pekerjaannya. Jadi jangan khawatir.”Azura mengganggu kemudian dia bersiap-siap. Sekarang mereka sudah melaj
“Sebenarnya aku sengaja mengajak Amar kemari agar dia tahu saja di mana rumah orang tua Azura, Pa. Tapi ada juga rencana yang lain.” jawab Azura. Dia terdiam dahulu, menoleh sesaat ke arah Amar kemudian kembali berkata.“Sepertinya kalau untuk tinggal di sini, Azura kurang setuju. Kami sudah memutuskan untuk mencari rumah yang berada dekat dekat dengan perusahaan Papa. Mungkin malam ini kami akan menginap disini dulu dan besok pagi sambil pulang ke rumah kami akan melihat-lihat rumah yang cocok untuk kami tempati.”Amar tidak ikut bicara, dia hanya diam saja karena dia memang belum punya pendapat atau sama sekali tidak punya pendapat perihal masalah rumah atau tempat tinggal yang dimaksud Azura. Dan memang untuk saat ini pikiran Amar hanya ada satu, percaya penuh kepada Azura. Sebab apapun keputusan Azura sudah pasti adalah pilihan yang terbaik.“Baiklah kalau begitu.” Balas Ega.Makan malam telah tiba, Amar benar-benar kaku saat Azura mengajaknya untuk makan malam bersama keluarga m
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s