Pagi berikutnya, saat Amar membuka matanya, dia sudah tidak melihat Azura. Ternyata Azura sudah berada di dapur, memasak dengan dibantu oleh Bu Umah. Tapi bukan seperti itu ternyata, justru Bu Umah yang sedang memasak dan dibantu oleh Azura. Meskipun sudah dilarang tapi Azura tetap membantunya, dia masih khawatir dengan keadaan Ibu yang menurutnya belum lah sepenuhnya sembuh.Selesai menyiapkan sarapan, Azura segera ke kamar memanggil Amar untuk sarapan dahulu.“Iya. Tapi bagaimana kalau kamu mengirim dulu dua file itu kepada Papamu, agar Papamu memeriksanya. Aku penasaran apakah Papamu akan menyukai desain dariku ini.”Azura setuju, kemudian dia mengirim dua gambar rancangan bangunan yang telah diselesaikan Amar semalam, barulah mereka pergi ke meja makan.Di tengah-tengah sarapan, ponsel Azura berdering. Dia melirik, itu adalah panggilan dari papanya. Azura kemudian bangun dan menyisih ke ujung sana untuk mengangkat panggilan. Terdengar mereka berbicara dengan pembicaraan yang cukup
“Jangan khawatir, Amar. Kamu tidak perlu risau. Jika kamu keberatan untuk terjun langsung ke area pembangunan, Azura bisa mewakilinya. Kamu hanya perlu bekerja di balik layar saja, tapi kalau menurut papa tidak ada salahnya jika sekali-kali waktu kamu menunjukkan diri, agar orang juga tahu jika kamu ini adalah suami Azura. menantuku.”“Lagi pula Papa jamin, tidak akan yang ada yang berani membicarakan kamu atau menghina kamu hanya karena fisik kamu ini. Jika ada yang berani menghina kamu Artinya mereka juga sama saja dengan menghina papa dan juga istri kamu, sebab fisik kamu begini juga karena Azura.”Amar tersenyum lembut kemudian menoleh pada Azura.Pada saat ini Riko juga ikut bicara, “Jadi begini, Amar. Meskipun kamu ini adalah suami dari Azura juga menantu dari Tuan Varega Brahmana sendiri, tetapi yang namanya kerja sama tetaplah kerjasama. Kita perlu menandatangani surat-surat perjanjian dan juga surat kontrak. Atau anggap saja ini adalah sebuah kontrak kerjasama yang biasa dite
Amar tertawa kecil, “Tidak harus menggenggam tanganku selama itu juga.”“Ya habisnya, kamu sangat khawatir sekali.”“Maaf. Baiklah, kita berangkat.” Sungguh Amar tidak sanggup untuk menolak ajakan Azura meskipun dalam hati dia masih ragu dan merasa tidak nyaman.Mereka akhirnya berpamitan pada Bu Umah, mengatakan jika akan pergi ke rumah orang tua Azura. Tadinya Azura juga mengajak Ibu, tapi ibu menolak, mengatakan jika dia sudah sehat dan akan baik-baik saja di rumah.Azura sebenarnya khawatir, tapi Amar juga meyakinkan jika sebenarnya Ibu sudah terbiasa ditinggal sendirian di rumah.“Baiklah, kalau begitu kami berangkat sekarang ya, Bu? Takut kemalaman di jalan.” Ujar Azura.“Iya. Kalian berangkat saja. Misalnya nanti kemalaman, tidak usah pulang dulu nak. Menginap saja di sana dulu, tidak apa-apa. Ibu ini sudah sering kok sendirian di rumah saat Amar bekerja dan menginap di pekerjaannya. Jadi jangan khawatir.”Azura mengganggu kemudian dia bersiap-siap. Sekarang mereka sudah melaj
“Sebenarnya aku sengaja mengajak Amar kemari agar dia tahu saja di mana rumah orang tua Azura, Pa. Tapi ada juga rencana yang lain.” jawab Azura. Dia terdiam dahulu, menoleh sesaat ke arah Amar kemudian kembali berkata.“Sepertinya kalau untuk tinggal di sini, Azura kurang setuju. Kami sudah memutuskan untuk mencari rumah yang berada dekat dekat dengan perusahaan Papa. Mungkin malam ini kami akan menginap disini dulu dan besok pagi sambil pulang ke rumah kami akan melihat-lihat rumah yang cocok untuk kami tempati.”Amar tidak ikut bicara, dia hanya diam saja karena dia memang belum punya pendapat atau sama sekali tidak punya pendapat perihal masalah rumah atau tempat tinggal yang dimaksud Azura. Dan memang untuk saat ini pikiran Amar hanya ada satu, percaya penuh kepada Azura. Sebab apapun keputusan Azura sudah pasti adalah pilihan yang terbaik.“Baiklah kalau begitu.” Balas Ega.Makan malam telah tiba, Amar benar-benar kaku saat Azura mengajaknya untuk makan malam bersama keluarga m
“Iya, aku tahu sebentar lagi aku akan bergaji, tapi yang benar saja! Kira-kira ini berapa sewa per bulannya?”Azura tertawa kecil, dia mengajak Amar turun dan membawanya masuk ke salah satu rumah yang terlihat besar dan megah. Lengkap dengan taman yang dipenuhi bunga juga garasi mobil serta berpagar besi.“Ini adalah salah satu bangunan milik perusahaan Papa. Tadi pagi sebelum kita pulang, aku sempat bicara dengan Papa. Aku bilang sama papa, kalau aku minta DP untuk kerjasama kamu dan papa, karena kita butuh uang untuk menyewa rumah. Kata Papa, kita diberi salah satu rumah di sini untuk DP pembayaran kamu. Sisanya kita bisa mencicil per bulan pada papa.”Amar terbengong tapi kemudian dia tertawa kecil, “Kamu benar-benar cerdas ya, kalau begini namanya kita menang banyak.”“Ya iyalah, daripada kita menyewa. Uang bulanan yang seharusnya untuk membayar sewa, kan bisa untuk mencicil ke Papa. Setelah sekian tahun, nanti rumah ini akan menjadi milik kita. Kita tidak perlu mengumpulkan uang
“Kemarin?” Azura jadi makin penasaran dan mengklik profil Alya untuk mencari tahu.“Oh, ya ampun! Dasar tidak tahu malu!” Azura mengumpat tapi juga ingin tertawa saat melihat satu postingan foto yang tidak lain dan tidak bukan adalah foto Alya bersama Edward yang nampak begitu mesra. Mereka tidak merasa malu lagi mengumbar kemesraan di depan publik seperti ini, apalagi dengan sebuah caption “Yang diperjuangkan akhirnya dapat juga digenggaman.” bagi Azura itu justru sangat menggelikan.Jadi selama ini, si wanita gatel ini memperjuangkan Edward? Tidak tahu saja dia, siapa yang sedang ia perjuangkan. Pria dodol yang suka celap-celup sana sini!Azura kembali mengumpat dalam hati.Azura kembali melihat postingan komentar.“Wah ini yang baru ya? Sungguh cocok cintaku! Perjuangkan, aku mendukungmu!”“Eh, ini bukannya cowoknya Azura?”Ada balasan dari Alya ternyata. “Itu kan dulu, sekarang hanya masa lalu.”“Eh, masa sih, masa sih?”“Dengar-dengar Azura sudah menikah ya?”Alya kembali membala
Amar terkejut bukan main, mana dia siap jika ini adalah urusan pertemuan, apalagi perkenalan pada publik? Sungguh Amar tidak tahu harus menjawab apa. Menolak? Tentu itu akan mengecewakan papa mertuanya. Kalau bersedia, keadaannya ini, sungguh dia tidak ingin mempermalukan Azura dengan tampil dalam keadaan cacat seperti ini.“Amar, bagaimana?”“Ah, iya pa. Apa tidak sebaiknya kita bertanya dulu bagaimana pendapat Azura? Saya, saya takut Azura,”Pada saat ini Azura sudah masuk, dia langsung menghampiri Amar.“Pa, ini Azura sudah datang, sebaiknya kita minta pendapatnya juga.”Tanpa menunggu jawaban dari Ega, Amar memberikan ponsel pada Azura. Azura langsung menerima ponsel itu setelah meletakkan nampan makanan yang dibawanya ke atas meja.“Pa, ada apa?” Azura langsung bertanya. Di seberang sana Ega mengutarakan apa yang tadi sudah dibicarakan dengan Amar.Azura sedikit tercengang, dia menoleh pada Amar yang menunduk. Dia sudah bisa menebak apa yang sekarang sedang dipikirkan oleh Amar.
Amar belum menyadari dengan ucapan Azura, dia malah bertanya. “Kakiku? Kenapa dengan kakiku? Bukannya mengkhawatirkan dirimu yang hampir terbanting malah mikirin kakiku.” ucap Amar. “Amar, bukan itu. Itu kakimu, lihat dulu!” Azura menunjuk tepat di kedua kaki Amar. “Kenapa? Kakiku kenapa?” Amar pun melihat pada kedua kakinya. Sesaat Amar juga ikut tercengang dan melompong. “Kakiku, Ya Allah! Kakiku?” Dia langsung terjingkat kaget. “Azura, benarkah ini?” Dia beberapa kali menghentakkan kakinya. Amar benar-benar terkejut kala dia menyadari jika kedua kakinya sudah sama-sama menapak pada lantai dengan sempurna. Dia mengikuti arah telunjuk Azura yang sekarang menunjuk ke arah sudut ruangan, dimana disana ada tongkat yang selama ini setia menemaninya berjalan itu telah teronggok di sana. Amar sampai beberapa kali menoleh pada tongkat itu dan beralih pada kakinya lagi. “Kakimu sembuh, Amar!” Teriak Azura. Sambil mengguncang kedua bahu Amar. Mulut Amar masih terbuka lebar, dia t
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s