Hanya butuh waktu sekitar 15 menit perjalanan karena rumah yang mereka tempati sekarang ini memang tidak terlalu jauh dari perusahaan, Azura sudah membelokkan mobilnya ke sebuah gedung tinggi menjulang yang bertuliskan Brahmana group.Baru saja mereka turun dari mobil, Rendi terlihat berlari dari ujung sana untuk menyambut kedatangan mereka.“Azura, kamu sudah datang? Apa ini suamimu?” tanya Rendi.“Eh Paman Rendi. Iya benar, kenalkan ini Amar suami Azura.”Mereka saling menyambut tangan kemudian saling melempar senyuman hangat. Rendi sedikit terbengong menatap Amar dari atas sampai bawah.Katanya suami Azura cacat tapi ini enggak? Pikir Rendi, dia sebenarnya ingin bertanya, tapi waktunya sepertinya tidak tepat.“Mari ikut paman. Mereka sudah menunggu.” ujar Rendi. Dia berjalan mendahului sementara Azura dan Amar mengikuti dari belakang. Azura meraih tangan Amar dan menggenggamnya sepanjang perjalanan. Orang-orang para staf perusahaan yang sudah tahu jika Azura yang datang bersama sua
Malam hari, Azura sudah berada di atas tempat tidur dengan menyandarkan punggungnya di sisi tempat tidur sementara Amar, dia baru saja membereskan pekerjaannya dan baru masuk. Dia mendekati istrinya dan duduk di tepi tempat tidur. Amar menatap Azura yang terlihat begitu manis ketika sedang memainkan ujung rambutnya dengan jarinya seperti itu. “Kamu bilang akan merayakan kemenangan kita, kapan?” tanya Amar. Azura menoleh kemudian tersenyum malu. “Maksudnya apa ini?” dia malah balik bertanya. Padahal dia sudah tahu jawabannya. Amar menelan salivanya, “Lupa yang kita bicarakan tadi siang ya, atau pura-pura lupa nih?” Amar malah meledek. Azura semakin memerah wajahnya, “Tidak lupa sih. Hanya ngetes saja.” “Terus bagaimana?” tanya Amar lagi, sungguh itu membuat Azura kelimpungan karena malu. “Terserah, baiknya seperti apa. Mau kapan atau di mana pun itu.” jawab Azura. Dia kemudian menunduk, yang tadi memainkan rambutnya, sekarang berganti meremas jari jemarinya di atas lutut.
Di tempat lain, di sebuah gedung mewah. Telah terlihat sempurna dengan persiapan pesta pernikahan yang meriah. Edward hari ini akan menikahi Alya. Sebenarnya Edward enggan untuk menikahinya, tapi mau bagaimana lagi, Alya sudah terlanjur berbadan dua. Edward dituntut oleh keluarga Alya untuk menikahinya atau jika tidak mau, dia akan mendekam di penjara. “Apa kamu juga mengundang Azura dalam pesta pernikahan kamu ini?” tanya Nia teman Alya. “Tentu saja aku mengundangnya. Aku tidak ingin dia melewatkan hari kemenanganku ini. Aku ingin melihat wajah putus asa Azura yang dulu sangat membanggakan hubungannya dengan Edward. Saat itu aku merasa sangat sakit hati karena aku harus menjadi orang ketiga dan hanya bisa menjalin hubungan dengan Edward secara sembunyi-sembunyi.” “Azura selalu menatapku dengan tatapan tidak suka. Aku membencinya. Sekarang aku bisa menikah dengan Edward dan Azura sendiri hanya menikah dengan pria cacat!” Sinis Alya. “Baiklah, segera bersiap. Sebentar lagi para ta
“Iya terima kasih atas kedatangannya. Azura tapi omong-omong kapan kalian akan mengadakan pesta pernikahan? Sebab kami dengar, kalian berdua hanya menikah secara diam-diam?” Tanya Alya.“Tentu saja kami akan segera melaksanakan pesta pernikahan kami. Karena kami memang menikah diam-diam. Pada saat itu keadaan sangat darurat tapi kami akan segera mencari hari bagus untuk mengadakan pesta pernikahan.Benar begitu kan, sayang?” Azura menoleh pada Amar. Amar tidak ingin banyak berbicara, dia bingung mau bicara apa juga, jadi dia hanya mengangguk saja.“Tunggu undangan dari kami ya kami akan segera mengadakan pesta.” Ujar Azura kembali.Pesta pun berjalan meriah, meskipun sepasang pengantin tidak terlihat begitu bahagia karena kedatangan Azura dan Amar sukses merusak mood mereka.Saat mereka sedang senang-senangnya menikmati pesta yang meriah, tiba-tiba datang seorang tamu wanita muda bersama kedua orang tuanya.Awalnya orang-orang mengira jika mereka adalah tamu undangan yang datang ter
Kata dari sebagian orang, lebih baik menjadi yang kedua tetapi selalu diutamakan daripada menjadi yang pertama tetapi selalu diduakan.Namun ternyata pepatah itu sama sekali tidak pantas disematkan untuk wanita yang bernama Alya ini. Alya yang saat ini sedang menangis di ujung tempat tidur meratapi nasib dirinya yang ketiban sial.Dirinya mengira jika dia adalah yang kedua tetapi selalu di nomor satukan oleh Edward dan ternyata itu adalah salah besar. Nyatanya dia adalah nomor yang kesekian kalinya dan belum tentu akan diutamakan oleh Edward.Bagaimana mau menilai jika dirinya adalah yang kedua? Jelas-jelas si Kila yang sekarang resmi menjadi madunya itu telah hamil 5 bulan sedangkan dirinya masih 2 bulan, bukanlah itu artinya Edward lebih awal menjalin hubungan dengan Kila daripada dengan dirinya?Sejak awal dia memang sudah tahu jika Edward adalah pria brengsek, tapi dia tidak pernah menyangka jika Edward akan sebrengsek ini.Nasi sudah menjadi bubur, seperti apapun Alya menyesal, i
“Apa kamu mau ikut? Nanti beli kolor untuk kamu kerja, biar gak gerah.” tawar Azura dengan ciri khas candanya.Amar menggeleng, “Aku paling pusing kalau diajak belanja. Apalagi pekerjaanku belum selesai seperti ini.” Jawabnya.“Baiklah, kalau begitu aku mau pergi bersama ibu saja.”“Ide bagus. Pergilah, selamat bersenang-senang dengan ibu mertuamu. Habiskan saja gajiku dalam sebulan itu.”Azura melotot, tapi mulutnya tersenyum lebar. “Benarkah? Kamu tidak marah kalau uang gaji pertama kamu ini habis?” tanya Azura.“Tidak. Aku sudah berjanji dalam hati saat dulu, gaji pertamaku akan kuserahkan padamu dan memintamu untuk menghabiskannya untuk membalas semua kekuranganku di masa lalu, saat aku belum bisa memberimu uang sepeserpun. Tapi kamu harus berjanji padaku, mulai bulan depan harus bisa menyisihkan uang gaji untuk tabungan masa depan anak kita kelak.”Saat mendengar Amar menyebutkan anak Azura jadi tersipu, tanpa sadar dia mengusap perutnya yang rata.“Iya ya. Meskipun aku belum ham
“Ya ampun, satu aja. Kan Ibu sudah ada dua di rumah.“Oh gitu ya?”“ Ya iya, jadi beli ini satu aja, terus beli yang lainnya lagi. Biar dapat banyak macam.’Azura tertawa. Tetap saja, jiwa irit Ibu mertuanya muncul kembali.Sampai hampir setengah harian, dua orang ini berkeliling mall. Sampai Bu Umah mengeluh kakinya pegal.“Kalau begitu kita pulang, Bu. Ini juga sudah sangat banyak.”Bu Umah jadi tersenyum malu, melirik dua tangannya yang penuh dengan kantong belanjaan.Dua orang itu telah mencangking lebih dari 10 kantong belanjaan di kedua tangannya sampai mereka kesusahan untuk berjalan menuju mobil.Azura kemudian membuka bagasi mobil, menaruh semua belanjaan dengan senyum lebar. Namun ketika Azura membuka pintu mobil dan mempersilahkan ibu mertuanya untuk masuk, dia melihat seseorang di ujung sana yang baru turun dari mobil. Wanita yang terlihat seperti sedang hamil muda dengan wajah yang kusut.Ketika Azura meneliti, dia terkejut.“Alya?”Alya menoleh dan sedikit tercengang mel
Calia memijat pelipisnya, merasa ragu kalau kehadiran Arwan di ruangannya akan merusak mood makan siangnya. Tapi, setelah berpikir ulang dengan bijak, Calia mengangguk pelan.Arwan langsung terlihat bahagia dan duduk di sofa, sementara Calia tetap di meja kerjanya.Arwan membuka bekal, memakan dengan lahap makan siangnya. Calia pun mulai makan, tapi dia mencuri pandang pada pemuda yang sedang menunduk itu.Dia tampan dan imut sebenarnya, tapi kenapa sikapnya sedikit aneh, dan,Ada hal yang menarik perhatian Calia, dia mengamati dengan serius wajah Arwan .‘Kok, dia seperti pucat ya? Apa dia kelelahan menjaga ibunya?’Calia merasa bersalah karena sudah marah-marah tadi.Pada saat ini , Arwan mendongak dan menoleh ke arahnya. Calia tentu gelagapan karena kepergok sedang mencuri pandang. Calia cepat-cepat menoleh ke arah lain, dan pura-pura sedang memperhatikan keluar pintu.Tapi sepertinya, Arwan masih memperhatikannya. Dengan mengunyah dia masih terus sambil menatap Calia, membuat Gadi
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s