“Apa kamu mau ikut? Nanti beli kolor untuk kamu kerja, biar gak gerah.” tawar Azura dengan ciri khas candanya.Amar menggeleng, “Aku paling pusing kalau diajak belanja. Apalagi pekerjaanku belum selesai seperti ini.” Jawabnya.“Baiklah, kalau begitu aku mau pergi bersama ibu saja.”“Ide bagus. Pergilah, selamat bersenang-senang dengan ibu mertuamu. Habiskan saja gajiku dalam sebulan itu.”Azura melotot, tapi mulutnya tersenyum lebar. “Benarkah? Kamu tidak marah kalau uang gaji pertama kamu ini habis?” tanya Azura.“Tidak. Aku sudah berjanji dalam hati saat dulu, gaji pertamaku akan kuserahkan padamu dan memintamu untuk menghabiskannya untuk membalas semua kekuranganku di masa lalu, saat aku belum bisa memberimu uang sepeserpun. Tapi kamu harus berjanji padaku, mulai bulan depan harus bisa menyisihkan uang gaji untuk tabungan masa depan anak kita kelak.”Saat mendengar Amar menyebutkan anak Azura jadi tersipu, tanpa sadar dia mengusap perutnya yang rata.“Iya ya. Meskipun aku belum ham
“Ya ampun, satu aja. Kan Ibu sudah ada dua di rumah.“Oh gitu ya?”“ Ya iya, jadi beli ini satu aja, terus beli yang lainnya lagi. Biar dapat banyak macam.’Azura tertawa. Tetap saja, jiwa irit Ibu mertuanya muncul kembali.Sampai hampir setengah harian, dua orang ini berkeliling mall. Sampai Bu Umah mengeluh kakinya pegal.“Kalau begitu kita pulang, Bu. Ini juga sudah sangat banyak.”Bu Umah jadi tersenyum malu, melirik dua tangannya yang penuh dengan kantong belanjaan.Dua orang itu telah mencangking lebih dari 10 kantong belanjaan di kedua tangannya sampai mereka kesusahan untuk berjalan menuju mobil.Azura kemudian membuka bagasi mobil, menaruh semua belanjaan dengan senyum lebar. Namun ketika Azura membuka pintu mobil dan mempersilahkan ibu mertuanya untuk masuk, dia melihat seseorang di ujung sana yang baru turun dari mobil. Wanita yang terlihat seperti sedang hamil muda dengan wajah yang kusut.Ketika Azura meneliti, dia terkejut.“Alya?”Alya menoleh dan sedikit tercengang mel
Calia memijat pelipisnya, merasa ragu kalau kehadiran Arwan di ruangannya akan merusak mood makan siangnya. Tapi, setelah berpikir ulang dengan bijak, Calia mengangguk pelan.Arwan langsung terlihat bahagia dan duduk di sofa, sementara Calia tetap di meja kerjanya.Arwan membuka bekal, memakan dengan lahap makan siangnya. Calia pun mulai makan, tapi dia mencuri pandang pada pemuda yang sedang menunduk itu.Dia tampan dan imut sebenarnya, tapi kenapa sikapnya sedikit aneh, dan,Ada hal yang menarik perhatian Calia, dia mengamati dengan serius wajah Arwan .‘Kok, dia seperti pucat ya? Apa dia kelelahan menjaga ibunya?’Calia merasa bersalah karena sudah marah-marah tadi.Pada saat ini , Arwan mendongak dan menoleh ke arahnya. Calia tentu gelagapan karena kepergok sedang mencuri pandang. Calia cepat-cepat menoleh ke arah lain, dan pura-pura sedang memperhatikan keluar pintu.Tapi sepertinya, Arwan masih memperhatikannya. Dengan mengunyah dia masih terus sambil menatap Calia, membuat Gadi
Calia tersenyum tipis, “Aku tidak akan memecatmu atau memotong gajimu. Aku hanya ingin kamu lebih baik lagi. Jangan ceroboh, bukannya apa, tidak enak sama teman-teman yang lain. Nanti disangka aku tidak tegas dalam mengatur karyawanku.”Kali ini Arwan mengangguk, lalu pamit untuk pulang, semua temannya juga sudah pulang sejak tadi.“Tunggu, aku ingin ikut ke rumah.” Calia memanggil saat Arwan melangkah.Arwan langsung berbalik badan dengan wajah yang cukup ceria.“Bener mbak?”Calia mengangguk. Arwan terlihat sangat antusias. Segera menutup dan mengunci butik karena hari ini adalah akhir bulan, sudah seperti biasa Calia akan menutup butik lebih awal.Calia berjalan mendahului Arwan ke mobil.“Aduh, ban mobilnya kempes. Bagaimana ini?” Calia tercengang saat melihat ban mobilnya rupanya bocor.“Kalau tidak keberatan, naik motorku saja mbak?” Usul Arwan.Calia menoleh, dia berpikir sejenak.“Oke, tidak masalah.” Dia nanti bisa menelepon papanya dan meminta tolong.Calia naik di belakang
“Ah, kalau begitu maafkan anak ibu ya nak Calia. Maafkan Arwan. Mungkin, mungkin dia itu, dia, dia memang ceroboh dari kecil. Ceroboh itu sudah kebiasaannya. Maafkan ya nak, maafkan.” Bu Lina berulang kali meminta maaf untuk Arwan.“Ibu sudah, tidak apa-apa kok. Aku juga mengerti kok. Mungkin Arwan hanya belum terbiasa saja bekerja.” Jawab Calia.“Siapa bilang, dia sudah sering bekerja di mana-mana. Dia juga sering dipecat di mana-mana. Setiap bekerja, mungkin hanya satu dua hari dia akan langsung dipecat. Sebab itu Ibu menyarankan dia untuk bekerja di tempat Nak Calia. Ibu berharap Nak Calia bisa mengerti keadaannya dan bisa menerima Arwan yang memang seperti itu anaknya. Tapi kalau misalnya anak Calia sudah benar-benar keberatan, tidak apa-apa jika Nak Calia mau memecatnya. Lagi pula Ibu memang sudah menyuruhnya untuk berhenti bekerja, tapi Arwan yang terus ngotot untuk bekerja.”Calia sedikit bingung dengan ucapan bu Lina, pada waktu itu Arwan datang melamar pekerjaan ditemani oleh
Calia tersentak dengan ucapan Arwan, dia langsung menarik tangannya, “Ngomong apa kamu sih? Aneh-aneh saja!”“Tapi Mbak, aku ingin jadi pacarnya Mbak Calia. Boleh ya? Paling juga tidak lama ini.”Calia tersenyum getir , “Kamu itu jangan kurang ajar ya. Aku itu menghargai kamu karena kamu itu adalah adik dari teman baikku. Tapi bukan berarti kamu boleh tidak sopan padaku!” Calia jadi kesal dan bersuara agak tinggi.Arwan menunduk, “Maaf Mbak. ,Kalau aku dia anggap lancang. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku saja.”Calia terlihat tertegun,dia mengatur emosinya dan bertanya, “Memang selama ini kamu suka padaku?”Arwan mengangguk, itu membuat Calia kembali tercengang. “Jadi beneran kamu suka padaku? Sejak kapan?” Azura kembali bertanya dan lagi-lagi Arwan mengangguk.“Aku sudah menyukai Mbak Calia sejak dulu. Sejak pertama kali Mbak Calia datang ke rumah bersama mbak Resti dulu. Aku tahu ini kurang ajar dan tidak sopan. Tapi aku tidak punya banyak waktu jika harus memendam perasaa
Setelah itu Calia mematikan ponselnya dan memejamkan matanya.Pagi hari dia terbangun, dan seperti biasa dia kembali menjalani rutinitasnya. Berangkat ke butik dengan membawa mobilnya yang sudah siap dan sudah diganti ban oleh sopir papanya.Sampai di butik Calia membuka butik dan mempersilahkan karyawannya yang sudah mulai datang. Dia naik ke lantai atas dan ke tempat ruang kerjanya. Kembali meneliti berkas barang yang masuk dan keluar.Dia menoleh ke arah jam, sudah hampir jam 10.00 tapi Arwan belum juga datang. Dia mengeluarkan ponsel, menghidupkan ponsel dan memeriksa. Tidak ada panggilan atau pesan chat dari Arwan. Perasaannya jadi tidak nyaman, dia kemudian menekan kontak Arman. Nomor yang ditujunya sedang tidak aktif. Calia merasa resah karena sampai sore hari, Arwan rupanya tidak masuk bekerja. Tidak biasanya seperti ini, meskipun tidak masuk bekerja, Arwan akan mengabarinya.Apa dia marah karena penolakannya semalam ? Entah kenapa Calia jadi merasa bersalah. Padahal jelas-jel
Calia mengalihkan pikiran, dia ingin fokus kembali pada pekerjaannya. Kembali memeriksa barang yang masuk dan keluar.Butiknya beberapa bulan yang lalu memang begitu ramai hingga dia harus menambah karyawan. Arwan adalah satu-satunya karyawan pria yang ada disini. Seharusnya dia dapat diandalkan, tetapi karena Arwan begitu ceroboh terkadang Sonia yang menjadi tangan kanan Calia kurang menyukai Arwan dan lebih mengandalkan dirinya sendiri untuk melakukan pekerjaan.Ketika jam telah menunjukkan pukul 09, tiba-tiba pintu diketuk seseorang.“Masuk!” seru Calia . Dia mengira jika itu adalah Sonia, tapi dia tercengang ketika yang membuka pintu dan melangkah masuk adalah Arwan.“Maaf, Mbak Calia. Aku terlambat lagi.” ujar pemuda itu sambil menunduk.Calia mengangguk samar, “Kupikir kamu akan berhenti bekerja.” Jawab Calia sedikit ketus sambil kembali lagi menatap berkas.“Apa mbak Calia akan memecatku?” Arwan malah bertanya demikian.Calia mendongak, dia sempat kesal kembali. Sepertinya Arwa
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s