Calia mengalihkan pikiran, dia ingin fokus kembali pada pekerjaannya. Kembali memeriksa barang yang masuk dan keluar.Butiknya beberapa bulan yang lalu memang begitu ramai hingga dia harus menambah karyawan. Arwan adalah satu-satunya karyawan pria yang ada disini. Seharusnya dia dapat diandalkan, tetapi karena Arwan begitu ceroboh terkadang Sonia yang menjadi tangan kanan Calia kurang menyukai Arwan dan lebih mengandalkan dirinya sendiri untuk melakukan pekerjaan.Ketika jam telah menunjukkan pukul 09, tiba-tiba pintu diketuk seseorang.“Masuk!” seru Calia . Dia mengira jika itu adalah Sonia, tapi dia tercengang ketika yang membuka pintu dan melangkah masuk adalah Arwan.“Maaf, Mbak Calia. Aku terlambat lagi.” ujar pemuda itu sambil menunduk.Calia mengangguk samar, “Kupikir kamu akan berhenti bekerja.” Jawab Calia sedikit ketus sambil kembali lagi menatap berkas.“Apa mbak Calia akan memecatku?” Arwan malah bertanya demikian.Calia mendongak, dia sempat kesal kembali. Sepertinya Arwa
“Tidak Mbak. Tidak usah, biarkan saja. Sebentar lagi juga sembuh kok. Aku bisa minum obat saja.”Arwan kemudian kembali duduk di bangku, dengan tangannya yang masih sangat gemetaran dia merogoh sesuatu dari saku celananya dan mengeluarkan botol obat.“Kamu bawa obat? Kamu mau minum obat ya?” Tanya Calia.Arwan hanya mengangguk dia masih menggenggam erat botol obat di tangannya yang begitu gemetaran. Calia semakin cemas melihat itu. “Tunggu sebentar ya, aku ambilkan air dulu .” tanpa basa-basi lagi Calia berlari keluar untuk mencari air mineral.Tidak sampai satu menit dia sudah kembali dengan membawa botol minum. Dia kemudian membantu Arwan untuk meminum obat itu. Beberapa saat kemudian gemetaran di tubuh Arwan mulai berkurang.Calia merasa sedikit lega. “Arwan, sebenarnya kamu sakit apa? Kok sampai seperti ini?”“Tidak Mbak. Tidak apa-apa. Ini hanya penyakit bawaan dari kecil saja kok. Bukan sakit apa-apa.”Setelah merasa cukup beristirahat, Arwan kemudian berdiri dan mengangkat sebu
Arwan pamit ___Sebenarnya Calia tercengang, dia ingin marah tapi entah kenapa hatinya begitu tersentuh dengan ucapan Arwan. Calia mengangguk pelan.Arwan belum bergerak juga, entah dia ragu atau takut. Padahal dia sendiri tadi yang mengatakan jika ingin memeluk Calia. Hingga akhirnya Calia melangkah dan mendekatinya.“Arwan. Aku mau minta maaf padamu jika selama ini aku sudah sering kasar dan memarahimu. Aku tidak berharap kamu berhenti dari sini, tetaplah bekerja di siniJika kamu tidak bekerja, lalu siapa yang akan mencari uang untuk berobat ibu? Tolong pikirkan itu kembali.” Calia kali ini berkata dengan lembut.“Aku tahu, aku tahu tidak ada akan yang mencari uang untuk ibu lagi. Ibu hanya memiliki aku saja sekarang ini. Tapi aku benar-benar tidak bisa, Mbak. Jika aku bisa meminta, pasti aku akan meminta lebih. Jika aku bisa memilih aku pasti sudah memilih. Tapi,” Arwan menghentikan kalimatnya padahal Calia sudah sangat menunggu.Arwan tiba-tiba memeluk Calia . Memeluk dengan beg
Ibu itu menyerngitkan keningnya. “Mbak ini siapanya Arwan dan Bu Lina ya?” Ibu itu malah balik bertanya.“Aku ini atasan tempat Arwan bekerja Bu, sekaligus aku ini adalah teman baiknya kakaknya Arwan, Resti Bu. Ibu tolong beritahu aku, sebenarnya bu Lina sakit apa atau yang sakit itu siapa?”“Tidak tahu juga Mbak. Tapi kalau mbak ingin tahu, sebaiknya Mbak menyusul saja ke rumah sakit Saya tahu kok alamat rumah sakitnya.” ucap ibu itu.Kedua mata Calia langsung berbinar. “Kalau begitu, beritahu aku alamatnya, Bu.”Ibu itu mengangguk.Setelah mendapatkan alamat dari ibu itu, Calia langsung kembali ke mobilnya. Dia tancap gas dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang disebut oleh ibu tadi. Pikirannya sungguh tidak tenang dan banyak pertanyaan.Sampai di rumah sakit itu, Calia memarkirkan mobilnya dan turun. Dia berjalan masuk ke dalam rumah sakit itu dengan terburu-buru.Dia kemudian ke bagian resepsionis dan bertanya, “Maaf,Sus. Apa ada pasien yang bernama Bu Lina yang sedang dir
Calia teringat Arwan selalu datang terlambat dan mengatakan jika dia dari rumah sakit mengantar ibunya kontrol rutin. Padahal itu adalah dia sendiri , bukan ibunya. Calia baru sadar Jika semua itu adalah kebohongan Arwan.Pantas saja, kemarin Arwan terlihat menolak keras ajakan Bu Lina untuk kembali ke rumah sakit. Sepertinya saat itu, Arwan sudah lelah dan puncak dari titik keputusasaannya.Entah kenapa Calia merasa dirinya sangat bodoh dan tidak dapat memahami kondisi dan situasi Arwan. Padahal jelas-jelas dia sendiri sudah bisa melihat beberapa kejanggalan.Seperti rambut yang ada di kamar mandi Arwan, wajah pucat Arwan, tangannya yang gemetaran lalu permintaan Arwan yang menurutnya nyeleneh.“Aku ingin jadi pacar, mbak Calia.”“Mbak, mau kan jadi pacar aku? Mungkin hanya sebentar saja kok.”Kata-kata Arwan itu kembali terngiang di telinga Calia dengan sangat jelas.Dia kembali teringat tadi siang saat melihat darah yang mengalir dari hidung Arwan kemudian obat yang diminum Arwan.
Azura menginjak pedal gas dengan emosi. Mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi. Hatinya saat ini dipenuhi dengan rasa kecewa dan sakit hati. Bagaimana tidak? Sudah beberapa kali dia mendengar dari temannya tentang kabar yang mengatakan jika Edward sering bersama perempuan lain pergi ke hotel. Awalnya Azura tidak begitu mempercayai gosip yang dianggapnya murahan itu. Tapi hari ini, saat beberapa kali panggilannya diabaikan oleh pria yang telah menjadi pacarnya selepas SMA itu, dia pergi ke perusahaan milik Edward untuk mencoba menemuinya karena ingin membahas permintaan orang tuanya yang menginginkan dia segera meminta keseriusan dari Edward. Dengan mata dan kepalanya sendiri, Azura memergoki Edward sedang tumpah tindih dengan Alya sekretaris Edward sendiri. Saat itu bukan hanya Edward sendiri yang terkejut ketika kelakuan bejatnya diketahui langsung oleh yang kekasih yang teramat ia kagumi, tapi Azura pun sangat terkejut dan syok. Tanpa berharap sebuah penjelasan atau tanpa ingin
Azura tercengang hebat, dia menatap ke bawah. Seketika dia merasa ngeri dan tersadar akan perbuatan bodohnya. “Tolong…!” Dia berteriak sambil menggenggam erat pergelangan tangan pemuda itu. “Bertahan, Nona! Tenang ya, jangan panik! Aku akan menolongmu!” Amar berusaha sekuatnya untuk menarik tubuh Azura ke atas. Tapi ketika tubuh Azura berhasil mendarat, tangan Amar terlepas dan kakinya hilang keseimbangan. Tubuh pemuda itu terjun bebas ke dasar jurang menggantikan posisi Azura. “Tidak….!” Azura menjerit sangat kuat melihat itu. Lalu kesadarannya mulai menghilang hingga dia mendengar suara-suara jeritan di sekitarnya meminta tolong. Lalu pandangannya pun menjadi gelap. *** Azura mengerjapkan mata, dia menatap sekeliling. Ada cahaya lampu neon di atasnya terasa menyilaukan. “Ini rumah sakit?” Dia mencoba mengingat apa yang terjadi. Ingatannya kabur, hanya ada kilasan kejadian terakhir; teriakan, lalu kegelapan. Suara pintu terbuka perlahan. Seorang perawat masuk dan tersenyum p
“Tapi, jangan terlalu khawatir. Kelumpuhannya tidak permanen. Masih ada kemungkinan untuk sembuh.” Ucapan Dokter, sama sekali tidak membuat Azura tenang. Dia malah semakin khawatir dan panik. “Oh ya. Kalian boleh menemui Pasien, karena pasien perempuan, ingin bertemu dengan kalian.” Ega mengangguk, “Kami akan menemui mereka. Terima kasih, Dokter. Jika memang memerlukan tindakan lebih lanjut, tolong berikan yang terbaik untuk mereka. Soal biaya jangan khawatir, kami yang akan menanggung semuanya.” Dokter mengangguk kemudian pamit undur diri. Sementara Azura segera bergegas masuk kedalam ruangan dimana mereka dirawat. Ega , Riko, juga Pak Gani mengikuti Azura. Sampai disana dia melihat Amar sudah duduk di kursi roda dan sedang berada di samping ranjang sakit Bu Umah ibunya. Amar terlihat menangis sambil menggenggam erat tangan Ibunya. Melihat kedatangan Azura, pria itu menoleh. Terlihat tatapannya menjadi dingin. Andai saja dia tidak menolong gadis itu dan membiarkannya bunuh diri,