Arwan pamit ___Sebenarnya Calia tercengang, dia ingin marah tapi entah kenapa hatinya begitu tersentuh dengan ucapan Arwan. Calia mengangguk pelan.Arwan belum bergerak juga, entah dia ragu atau takut. Padahal dia sendiri tadi yang mengatakan jika ingin memeluk Calia. Hingga akhirnya Calia melangkah dan mendekatinya.“Arwan. Aku mau minta maaf padamu jika selama ini aku sudah sering kasar dan memarahimu. Aku tidak berharap kamu berhenti dari sini, tetaplah bekerja di siniJika kamu tidak bekerja, lalu siapa yang akan mencari uang untuk berobat ibu? Tolong pikirkan itu kembali.” Calia kali ini berkata dengan lembut.“Aku tahu, aku tahu tidak ada akan yang mencari uang untuk ibu lagi. Ibu hanya memiliki aku saja sekarang ini. Tapi aku benar-benar tidak bisa, Mbak. Jika aku bisa meminta, pasti aku akan meminta lebih. Jika aku bisa memilih aku pasti sudah memilih. Tapi,” Arwan menghentikan kalimatnya padahal Calia sudah sangat menunggu.Arwan tiba-tiba memeluk Calia . Memeluk dengan beg
Ibu itu menyerngitkan keningnya. “Mbak ini siapanya Arwan dan Bu Lina ya?” Ibu itu malah balik bertanya.“Aku ini atasan tempat Arwan bekerja Bu, sekaligus aku ini adalah teman baiknya kakaknya Arwan, Resti Bu. Ibu tolong beritahu aku, sebenarnya bu Lina sakit apa atau yang sakit itu siapa?”“Tidak tahu juga Mbak. Tapi kalau mbak ingin tahu, sebaiknya Mbak menyusul saja ke rumah sakit Saya tahu kok alamat rumah sakitnya.” ucap ibu itu.Kedua mata Calia langsung berbinar. “Kalau begitu, beritahu aku alamatnya, Bu.”Ibu itu mengangguk.Setelah mendapatkan alamat dari ibu itu, Calia langsung kembali ke mobilnya. Dia tancap gas dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang disebut oleh ibu tadi. Pikirannya sungguh tidak tenang dan banyak pertanyaan.Sampai di rumah sakit itu, Calia memarkirkan mobilnya dan turun. Dia berjalan masuk ke dalam rumah sakit itu dengan terburu-buru.Dia kemudian ke bagian resepsionis dan bertanya, “Maaf,Sus. Apa ada pasien yang bernama Bu Lina yang sedang dir
Calia teringat Arwan selalu datang terlambat dan mengatakan jika dia dari rumah sakit mengantar ibunya kontrol rutin. Padahal itu adalah dia sendiri , bukan ibunya. Calia baru sadar Jika semua itu adalah kebohongan Arwan.Pantas saja, kemarin Arwan terlihat menolak keras ajakan Bu Lina untuk kembali ke rumah sakit. Sepertinya saat itu, Arwan sudah lelah dan puncak dari titik keputusasaannya.Entah kenapa Calia merasa dirinya sangat bodoh dan tidak dapat memahami kondisi dan situasi Arwan. Padahal jelas-jelas dia sendiri sudah bisa melihat beberapa kejanggalan.Seperti rambut yang ada di kamar mandi Arwan, wajah pucat Arwan, tangannya yang gemetaran lalu permintaan Arwan yang menurutnya nyeleneh.“Aku ingin jadi pacar, mbak Calia.”“Mbak, mau kan jadi pacar aku? Mungkin hanya sebentar saja kok.”Kata-kata Arwan itu kembali terngiang di telinga Calia dengan sangat jelas.Dia kembali teringat tadi siang saat melihat darah yang mengalir dari hidung Arwan kemudian obat yang diminum Arwan.
Arwan sekarang terdiam, matanya berkaca-kaca. Sampai tangan Calia terulur untuk menyeka air mata yang belum sempat jatuh ke pipinya itu.“Aku ingin menemanimu dalam segala keadaan.”“Untuk apa? Aku hanya akan mati sebentar lagi. Aku tidak ingin meninggalkan kamu dalam kesedihan. Jadi sekarang, mbak Calia pergilah. Pulang saja. Ini sudah malam. Mbak Calia sudah melihatku, kan?”Calia kembali menangis, dia kembali memeluk Arwan.“Percaya padaku, kamu akan sembuh. Tolong beri aku kesempatan untuk menemanimu. Kamu akan sembuh Arwan. Jangan mengusirku!”“Kamu hanya kasihan padaku, untuk apa?”Calia menggeleng, “Bukan, aku memang menyukaimu. Aku sayang sama kamu!” Calia belum melepaskan pelukan.“Kamu mau kan, Arwan?”Sesaat, tidak ada jawaban apapun dari Arwan, sampai akhirnya ada pergerakan kepala Arwan.Dia mengangguk pelan, “Baiklah. Tapi, janji jangan bersedih jika sewaktu-waktu aku akan pergi meninggalkan kamu.”“Kamu tidak akan pergi kemana-mana. Kita akan bersama, kita akan menikah.
Sampai di rumahnya Calia sudah disambut oleh Dinda yang khawatir karena dia malam ini pulang dengan begitu terlambat.“Calia, kamu dari mana, kok baru pulang? Kenapa nomormu juga tidak aktif? Mama dan Papa sampai khawatir!” tanya Dinda yang tentu saja khawatir karena tidak biasanya Calia seperti ini.“Kamu baik-baik saja kan, sayang?” Dinda kembali bertanya saat melihat wajah Calia yang kacau dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.Calia tidak menjawab pertanyaan mamanya, dia malah langsung memeluk Dinda dan menangis tersedu-sedu di pelukan mamanya. Pada saat ini, Riko keluar. Dia terkejut melihat anak gadisnya menangis tersedu-sedu di pelukan istrinya seperti itu. Riko menghampiri mereka segera.“Ada apa ini, Calia? Kalau ada masalah apapun, tolong cerita pada mama dan papa.” ucap Riko.Calia mendongak, melihat Papanya dia melepaskan pelukannya dari Dinda dan berganti memeluk Riko. Kembali Calia menangis tersedu-sedu didada Riko.Dinda mengambilkan air minum, memberi Calia minum, “Te
Apa yang bisa dilakukan oleh Riko? Dia juga kebingungan, bahkan dokter sendiri sudah mengatakan jika telah putus asa pada Arwan. Apalagi jika operasi saja tidak bisa lagi menolong Arwan. Dulu Calia juga pernah mengidap kanker darah, tapi kala itu penyakit Calia terdeteksi dari dini, hingga masih bisa diselamatkan dengan caraTransplantasi sumsum tulang belakang. Kalau Arwan ini mana mungkin bisa? Apa yang bisa dilakukan? Tidak ada transparansi untuk kanker otak kecuali hanya operasi. Tetapi jika kanker itu memang sudah menyebar, operasi pun akan sia-sia dan hanya akan mempercepat usia saja.Pada saat semua orang tenggelam dalam kesedihan yang memuncak, Dinda tiba-tiba teringat dengan Laura. Bukankah Laura juga pernah mengalami kanker yang juga telah kritis? Pada saat itu Laura pun akan menjalani operasi tetapi kabar mengatakan jika Laura bisa sembuh hanya dengan sebuah ramuan tanpa operasi. Dinda mendongak, mengusap air matanya yang masih saja menetes. Dia kemudian merogoh ponselnya d
Riko juga langsung menoleh pada istrinya, kemudiaan dia kembali pada Calia.“Mama kamu benar, Calia.”Dalam kesedihan yang tak bertepi ini, ada sedikit harapan untuk Calia. Tanpa bicara sepatah kata pun pada mereka, dia berdiri dan langsung berlari ke ruangan dimana Arwan dipindahkan.“Dokter!” Dia menyerbu dokter yang baru saja keluar dari ruangan.“Bagaimana keadaannya, apa masih ada harapan ?” Tanya Calia.“Jika dalam dua puluh empat jam ini Pasien bisa sadar, kemungkinan dia masih bisa bertahan beberapa Minggu ke depan. Kita hanya perlu banyak berdoa, untuk meminta keajaiban dari Tuhan.” Setelah berkata, dokter itu pergi.Calia hanya bisa meratap di depan pintu ruangan. Tidak boleh ada yang masuk kecuali tim medis ke ruangan itu. Calia hanya bisa mengintip dari jendela kaca. Melihat keadaan Arwan yang terbaring di sana dengan beberapa alat medis di tubuhnya.“Bertahanlah, Arwan. Ayo berjuanglah. Buka matamu. Aku disini menunggumu.Jika kamu mau membuka matamu kembali, aku akan men
Kemarin, memang sudah ada perjanjian begitu antara tim medis dan Bu Lina juga Arwan. Jika terjadi apa-apa, Arwan bersedia menggunakan alat bantu hidup, namun akan meminta dicabut jika itu sudah dirasakan sia-sia.Tenggorokan Calia terasa kering kerontang bahkan dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Tubuhnya kembali melemas, dia terjatuh berlutut di lantai. Dadanya begitu sesak. Dia kembali meneteskan air mata, beberapa saat kemudian dia mengusap air matanya dan berdiri dengan sisa kekuatan yang ia punya. Calia berjalan ke arah ruangan untuk mengintip Arwan dari balik kaca jendela. Dia meletakkan telapak tangannya di sana dan mengusap, seolah sedang membelai wajah Arwan.“Apa kamu benar-benar tidak mau membuka matamu lagi, Arwan? Bukankah kita baru saja pacaran, kenapa kamu malah meninggalkan kesedihan untukku sedalam ini?”Sebuah tepukan ringan mengejutkan Calia , dia menoleh. Dinda sudah berdiri di belakangnya.“Masih ada waktu sampai nanti malam. Calia, kamu harus tabah dan b
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s