Sampai di rumahnya Calia sudah disambut oleh Dinda yang khawatir karena dia malam ini pulang dengan begitu terlambat.“Calia, kamu dari mana, kok baru pulang? Kenapa nomormu juga tidak aktif? Mama dan Papa sampai khawatir!” tanya Dinda yang tentu saja khawatir karena tidak biasanya Calia seperti ini.“Kamu baik-baik saja kan, sayang?” Dinda kembali bertanya saat melihat wajah Calia yang kacau dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.Calia tidak menjawab pertanyaan mamanya, dia malah langsung memeluk Dinda dan menangis tersedu-sedu di pelukan mamanya. Pada saat ini, Riko keluar. Dia terkejut melihat anak gadisnya menangis tersedu-sedu di pelukan istrinya seperti itu. Riko menghampiri mereka segera.“Ada apa ini, Calia? Kalau ada masalah apapun, tolong cerita pada mama dan papa.” ucap Riko.Calia mendongak, melihat Papanya dia melepaskan pelukannya dari Dinda dan berganti memeluk Riko. Kembali Calia menangis tersedu-sedu didada Riko.Dinda mengambilkan air minum, memberi Calia minum, “Te
Apa yang bisa dilakukan oleh Riko? Dia juga kebingungan, bahkan dokter sendiri sudah mengatakan jika telah putus asa pada Arwan. Apalagi jika operasi saja tidak bisa lagi menolong Arwan. Dulu Calia juga pernah mengidap kanker darah, tapi kala itu penyakit Calia terdeteksi dari dini, hingga masih bisa diselamatkan dengan caraTransplantasi sumsum tulang belakang. Kalau Arwan ini mana mungkin bisa? Apa yang bisa dilakukan? Tidak ada transparansi untuk kanker otak kecuali hanya operasi. Tetapi jika kanker itu memang sudah menyebar, operasi pun akan sia-sia dan hanya akan mempercepat usia saja.Pada saat semua orang tenggelam dalam kesedihan yang memuncak, Dinda tiba-tiba teringat dengan Laura. Bukankah Laura juga pernah mengalami kanker yang juga telah kritis? Pada saat itu Laura pun akan menjalani operasi tetapi kabar mengatakan jika Laura bisa sembuh hanya dengan sebuah ramuan tanpa operasi. Dinda mendongak, mengusap air matanya yang masih saja menetes. Dia kemudian merogoh ponselnya d
Riko juga langsung menoleh pada istrinya, kemudiaan dia kembali pada Calia.“Mama kamu benar, Calia.”Dalam kesedihan yang tak bertepi ini, ada sedikit harapan untuk Calia. Tanpa bicara sepatah kata pun pada mereka, dia berdiri dan langsung berlari ke ruangan dimana Arwan dipindahkan.“Dokter!” Dia menyerbu dokter yang baru saja keluar dari ruangan.“Bagaimana keadaannya, apa masih ada harapan ?” Tanya Calia.“Jika dalam dua puluh empat jam ini Pasien bisa sadar, kemungkinan dia masih bisa bertahan beberapa Minggu ke depan. Kita hanya perlu banyak berdoa, untuk meminta keajaiban dari Tuhan.” Setelah berkata, dokter itu pergi.Calia hanya bisa meratap di depan pintu ruangan. Tidak boleh ada yang masuk kecuali tim medis ke ruangan itu. Calia hanya bisa mengintip dari jendela kaca. Melihat keadaan Arwan yang terbaring di sana dengan beberapa alat medis di tubuhnya.“Bertahanlah, Arwan. Ayo berjuanglah. Buka matamu. Aku disini menunggumu.Jika kamu mau membuka matamu kembali, aku akan men
Kemarin, memang sudah ada perjanjian begitu antara tim medis dan Bu Lina juga Arwan. Jika terjadi apa-apa, Arwan bersedia menggunakan alat bantu hidup, namun akan meminta dicabut jika itu sudah dirasakan sia-sia.Tenggorokan Calia terasa kering kerontang bahkan dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Tubuhnya kembali melemas, dia terjatuh berlutut di lantai. Dadanya begitu sesak. Dia kembali meneteskan air mata, beberapa saat kemudian dia mengusap air matanya dan berdiri dengan sisa kekuatan yang ia punya. Calia berjalan ke arah ruangan untuk mengintip Arwan dari balik kaca jendela. Dia meletakkan telapak tangannya di sana dan mengusap, seolah sedang membelai wajah Arwan.“Apa kamu benar-benar tidak mau membuka matamu lagi, Arwan? Bukankah kita baru saja pacaran, kenapa kamu malah meninggalkan kesedihan untukku sedalam ini?”Sebuah tepukan ringan mengejutkan Calia , dia menoleh. Dinda sudah berdiri di belakangnya.“Masih ada waktu sampai nanti malam. Calia, kamu harus tabah dan b
Mendengar keputusan dokter itu Calia tidak dapat menahan diri. Dia menangis meraung dan berontak. Dia sampai mendorong beberapa suster dan berlari masuk. Sejenak Gadis itu berdiri menatap Arwan yang berbaring di sana dengan memejamkan mata dan menetapkan mulut rapat-rapat.Dua orang suster maju untuk menyuruh Calia keluar, tetapi dokter mencegah mereka.“Biarkan saja.”Dua Suster itu mundur kembali mematuhi sang dokter. Calia perlahan mendekat ranjang sakit, dia menunduk mengusap rambut Arwan kemudian mendaratkan kecupan panjang di kening Arwan.“Arwan, kamu baru saja menjadi pacarku. Baru saja memberi kebahagiaan dan cinta untukku. Kenapa kamu harus seperti ini? Kenapa kamu langsung memberiku sakit yang sangat dalam? Beritahu aku , Arwan. Apa salahku padamu? Katakan, apa yang perlu diperbaiki? Aku akan lakukan untukmu.”“Buka matamu. Jika kamu benar-benar menyukaiku, ayo buka matamu. Kita akan pergi ke kampung halamanku, agar kamu tahu bagaimana cerita masa laluku disana. Agar kamu t
Mendengar keputusan dokter itu Calia tidak dapat menahan diri. Dia menangis meraung dan berontak. Dia sampai mendorong beberapa suster dan berlari masuk. Sejenak Gadis itu berdiri menatap Arwan yang berbaring di sana dengan memejamkan mata dan menetapkan mulut rapat-rapat.Dua orang suster maju untuk menyuruh Calia keluar, tetapi dokter mencegah mereka.“Biarkan saja.”Dua Suster itu mundur kembali mematuhi sang dokter. Calia perlahan mendekat ranjang sakit, dia menunduk mengusap rambut Arwan kemudian mendaratkan kecupan panjang di kening Arwan.“Arwan, kamu baru saja menjadi pacarku. Baru saja memberi kebahagiaan dan cinta untukku. Kenapa kamu harus seperti ini? Kenapa kamu langsung memberiku sakit yang sangat dalam? Beritahu aku , Arwan. Apa salahku padamu? Katakan, apa yang perlu diperbaiki? Aku akan lakukan untukmu.”“Buka matamu. Jika kamu benar-benar menyukaiku, ayo buka matamu. Kita akan pergi ke kampung halamanku, agar kamu tahu bagaimana cerita masa laluku disana. Agar kamu t
Alat bantu pernapasan Arwan telah dilepas oleh tim medis tadi karena nafasnya sudah mulai normal. Jadi saat ini Arwan bisa melihat dengan jelas siapa saja yang berada di depannya. Pertama yang ia lihat adalah sosok penuh wibawa. Pria dengan kaos putih panjang itu beberapa kali Arwan pernah bertemu. Itu adalah Ayah dari seorang wanita yang dipujanya sejak dulu dan di sebelahnya lagi sudah jelas itu adalah istri dari pria tersebut yaitu ibu dari Calia.Arwan juga melihat orang yang telah melahirkannya berdiri di sudut sana dengan senyuman lebar menatapnya, tetapi kedua matanya penuh dengan air mata yang terus menetes di pipi.Terakhir Arwan melihat seorang wanita cantik yang selama ini selalu dipuja olehnya. Senyum manisnya, wajah cantiknya, membuat Arwan begitu damai dan tenang setiap saat meskipun hanya membayangkan wajahnya saja. Tapi kali ini itu bukan bayangan di imajinasinya, namun benar jika itu adalah wanita yang dicintainya, telah berdiri menatapnya dengan wajah yang penuh keta
Mereka merasa lega.Malam ini semua orang menginap lagi di rumah sakit ini, di dalam ruangan Arwan dirawat saat ini. Ruangan yang sudah berbeda, dia sudah dipindahkan lagi ke ruangan perawatan. Di sana Calia bisa tidur di dalam ruangan bahkan Bu Lina, Dinda dan juga Riko ikut tidur dalam ruangan itu dengan menggelar sebuah tikar di bawah.Riko sudah menelpon seseorang sebelum saat ini, meminta seseorang itu untuk mengurus segala hal keperluan untuk besok. Mengatur keberangkatan Calia dan Arwan.Jadi ketika pagi hari berikutnya datang, Calia sudah berkemas-kemas. Sebuah mobil khusus juga telah datang untuk menjemput mereka. Mobil yang akan mengantar mereka ke bandara.Bu Lina dengan ikhlas dan rela melepas kepergian Arwan dan Calia walaupun tidak dapat dipungkiri jika hatinya sangat sedih karena harus berpisah dengan putranya yang selama ini selalu menemaninya.“Hati-hati ya Nak Calia ? Dan juga kamu Arwan. Kamu harus ingat, kepergian kalian ini bukan hanya sekedar jalan-jalan tapi unt
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s