Amar belum menyadari dengan ucapan Azura, dia malah bertanya. “Kakiku? Kenapa dengan kakiku? Bukannya mengkhawatirkan dirimu yang hampir terbanting malah mikirin kakiku.” ucap Amar. “Amar, bukan itu. Itu kakimu, lihat dulu!” Azura menunjuk tepat di kedua kaki Amar. “Kenapa? Kakiku kenapa?” Amar pun melihat pada kedua kakinya. Sesaat Amar juga ikut tercengang dan melompong. “Kakiku, Ya Allah! Kakiku?” Dia langsung terjingkat kaget. “Azura, benarkah ini?” Dia beberapa kali menghentakkan kakinya. Amar benar-benar terkejut kala dia menyadari jika kedua kakinya sudah sama-sama menapak pada lantai dengan sempurna. Dia mengikuti arah telunjuk Azura yang sekarang menunjuk ke arah sudut ruangan, dimana disana ada tongkat yang selama ini setia menemaninya berjalan itu telah teronggok di sana. Amar sampai beberapa kali menoleh pada tongkat itu dan beralih pada kakinya lagi. “Kakimu sembuh, Amar!” Teriak Azura. Sambil mengguncang kedua bahu Amar. Mulut Amar masih terbuka lebar, dia t
Hanya butuh waktu sekitar 15 menit perjalanan karena rumah yang mereka tempati sekarang ini memang tidak terlalu jauh dari perusahaan, Azura sudah membelokkan mobilnya ke sebuah gedung tinggi menjulang yang bertuliskan Brahmana group.Baru saja mereka turun dari mobil, Rendi terlihat berlari dari ujung sana untuk menyambut kedatangan mereka.“Azura, kamu sudah datang? Apa ini suamimu?” tanya Rendi.“Eh Paman Rendi. Iya benar, kenalkan ini Amar suami Azura.”Mereka saling menyambut tangan kemudian saling melempar senyuman hangat. Rendi sedikit terbengong menatap Amar dari atas sampai bawah.Katanya suami Azura cacat tapi ini enggak? Pikir Rendi, dia sebenarnya ingin bertanya, tapi waktunya sepertinya tidak tepat.“Mari ikut paman. Mereka sudah menunggu.” ujar Rendi. Dia berjalan mendahului sementara Azura dan Amar mengikuti dari belakang. Azura meraih tangan Amar dan menggenggamnya sepanjang perjalanan. Orang-orang para staf perusahaan yang sudah tahu jika Azura yang datang bersama sua
Malam hari, Azura sudah berada di atas tempat tidur dengan menyandarkan punggungnya di sisi tempat tidur sementara Amar, dia baru saja membereskan pekerjaannya dan baru masuk. Dia mendekati istrinya dan duduk di tepi tempat tidur. Amar menatap Azura yang terlihat begitu manis ketika sedang memainkan ujung rambutnya dengan jarinya seperti itu. “Kamu bilang akan merayakan kemenangan kita, kapan?” tanya Amar. Azura menoleh kemudian tersenyum malu. “Maksudnya apa ini?” dia malah balik bertanya. Padahal dia sudah tahu jawabannya. Amar menelan salivanya, “Lupa yang kita bicarakan tadi siang ya, atau pura-pura lupa nih?” Amar malah meledek. Azura semakin memerah wajahnya, “Tidak lupa sih. Hanya ngetes saja.” “Terus bagaimana?” tanya Amar lagi, sungguh itu membuat Azura kelimpungan karena malu. “Terserah, baiknya seperti apa. Mau kapan atau di mana pun itu.” jawab Azura. Dia kemudian menunduk, yang tadi memainkan rambutnya, sekarang berganti meremas jari jemarinya di atas lutut.
Di tempat lain, di sebuah gedung mewah. Telah terlihat sempurna dengan persiapan pesta pernikahan yang meriah. Edward hari ini akan menikahi Alya. Sebenarnya Edward enggan untuk menikahinya, tapi mau bagaimana lagi, Alya sudah terlanjur berbadan dua. Edward dituntut oleh keluarga Alya untuk menikahinya atau jika tidak mau, dia akan mendekam di penjara. “Apa kamu juga mengundang Azura dalam pesta pernikahan kamu ini?” tanya Nia teman Alya. “Tentu saja aku mengundangnya. Aku tidak ingin dia melewatkan hari kemenanganku ini. Aku ingin melihat wajah putus asa Azura yang dulu sangat membanggakan hubungannya dengan Edward. Saat itu aku merasa sangat sakit hati karena aku harus menjadi orang ketiga dan hanya bisa menjalin hubungan dengan Edward secara sembunyi-sembunyi.” “Azura selalu menatapku dengan tatapan tidak suka. Aku membencinya. Sekarang aku bisa menikah dengan Edward dan Azura sendiri hanya menikah dengan pria cacat!” Sinis Alya. “Baiklah, segera bersiap. Sebentar lagi para ta
“Iya terima kasih atas kedatangannya. Azura tapi omong-omong kapan kalian akan mengadakan pesta pernikahan? Sebab kami dengar, kalian berdua hanya menikah secara diam-diam?” Tanya Alya.“Tentu saja kami akan segera melaksanakan pesta pernikahan kami. Karena kami memang menikah diam-diam. Pada saat itu keadaan sangat darurat tapi kami akan segera mencari hari bagus untuk mengadakan pesta pernikahan.Benar begitu kan, sayang?” Azura menoleh pada Amar. Amar tidak ingin banyak berbicara, dia bingung mau bicara apa juga, jadi dia hanya mengangguk saja.“Tunggu undangan dari kami ya kami akan segera mengadakan pesta.” Ujar Azura kembali.Pesta pun berjalan meriah, meskipun sepasang pengantin tidak terlihat begitu bahagia karena kedatangan Azura dan Amar sukses merusak mood mereka.Saat mereka sedang senang-senangnya menikmati pesta yang meriah, tiba-tiba datang seorang tamu wanita muda bersama kedua orang tuanya.Awalnya orang-orang mengira jika mereka adalah tamu undangan yang datang ter
Kata dari sebagian orang, lebih baik menjadi yang kedua tetapi selalu diutamakan daripada menjadi yang pertama tetapi selalu diduakan.Namun ternyata pepatah itu sama sekali tidak pantas disematkan untuk wanita yang bernama Alya ini. Alya yang saat ini sedang menangis di ujung tempat tidur meratapi nasib dirinya yang ketiban sial.Dirinya mengira jika dia adalah yang kedua tetapi selalu di nomor satukan oleh Edward dan ternyata itu adalah salah besar. Nyatanya dia adalah nomor yang kesekian kalinya dan belum tentu akan diutamakan oleh Edward.Bagaimana mau menilai jika dirinya adalah yang kedua? Jelas-jelas si Kila yang sekarang resmi menjadi madunya itu telah hamil 5 bulan sedangkan dirinya masih 2 bulan, bukanlah itu artinya Edward lebih awal menjalin hubungan dengan Kila daripada dengan dirinya?Sejak awal dia memang sudah tahu jika Edward adalah pria brengsek, tapi dia tidak pernah menyangka jika Edward akan sebrengsek ini.Nasi sudah menjadi bubur, seperti apapun Alya menyesal, i
“Apa kamu mau ikut? Nanti beli kolor untuk kamu kerja, biar gak gerah.” tawar Azura dengan ciri khas candanya.Amar menggeleng, “Aku paling pusing kalau diajak belanja. Apalagi pekerjaanku belum selesai seperti ini.” Jawabnya.“Baiklah, kalau begitu aku mau pergi bersama ibu saja.”“Ide bagus. Pergilah, selamat bersenang-senang dengan ibu mertuamu. Habiskan saja gajiku dalam sebulan itu.”Azura melotot, tapi mulutnya tersenyum lebar. “Benarkah? Kamu tidak marah kalau uang gaji pertama kamu ini habis?” tanya Azura.“Tidak. Aku sudah berjanji dalam hati saat dulu, gaji pertamaku akan kuserahkan padamu dan memintamu untuk menghabiskannya untuk membalas semua kekuranganku di masa lalu, saat aku belum bisa memberimu uang sepeserpun. Tapi kamu harus berjanji padaku, mulai bulan depan harus bisa menyisihkan uang gaji untuk tabungan masa depan anak kita kelak.”Saat mendengar Amar menyebutkan anak Azura jadi tersipu, tanpa sadar dia mengusap perutnya yang rata.“Iya ya. Meskipun aku belum ham
“Ya ampun, satu aja. Kan Ibu sudah ada dua di rumah.“Oh gitu ya?”“ Ya iya, jadi beli ini satu aja, terus beli yang lainnya lagi. Biar dapat banyak macam.’Azura tertawa. Tetap saja, jiwa irit Ibu mertuanya muncul kembali.Sampai hampir setengah harian, dua orang ini berkeliling mall. Sampai Bu Umah mengeluh kakinya pegal.“Kalau begitu kita pulang, Bu. Ini juga sudah sangat banyak.”Bu Umah jadi tersenyum malu, melirik dua tangannya yang penuh dengan kantong belanjaan.Dua orang itu telah mencangking lebih dari 10 kantong belanjaan di kedua tangannya sampai mereka kesusahan untuk berjalan menuju mobil.Azura kemudian membuka bagasi mobil, menaruh semua belanjaan dengan senyum lebar. Namun ketika Azura membuka pintu mobil dan mempersilahkan ibu mertuanya untuk masuk, dia melihat seseorang di ujung sana yang baru turun dari mobil. Wanita yang terlihat seperti sedang hamil muda dengan wajah yang kusut.Ketika Azura meneliti, dia terkejut.“Alya?”Alya menoleh dan sedikit tercengang mel