“Jangan khawatir, Amar. Kamu tidak perlu risau. Jika kamu keberatan untuk terjun langsung ke area pembangunan, Azura bisa mewakilinya. Kamu hanya perlu bekerja di balik layar saja, tapi kalau menurut papa tidak ada salahnya jika sekali-kali waktu kamu menunjukkan diri, agar orang juga tahu jika kamu ini adalah suami Azura. menantuku.”“Lagi pula Papa jamin, tidak akan yang ada yang berani membicarakan kamu atau menghina kamu hanya karena fisik kamu ini. Jika ada yang berani menghina kamu Artinya mereka juga sama saja dengan menghina papa dan juga istri kamu, sebab fisik kamu begini juga karena Azura.”Amar tersenyum lembut kemudian menoleh pada Azura.Pada saat ini Riko juga ikut bicara, “Jadi begini, Amar. Meskipun kamu ini adalah suami dari Azura juga menantu dari Tuan Varega Brahmana sendiri, tetapi yang namanya kerja sama tetaplah kerjasama. Kita perlu menandatangani surat-surat perjanjian dan juga surat kontrak. Atau anggap saja ini adalah sebuah kontrak kerjasama yang biasa dite
Amar tertawa kecil, “Tidak harus menggenggam tanganku selama itu juga.”“Ya habisnya, kamu sangat khawatir sekali.”“Maaf. Baiklah, kita berangkat.” Sungguh Amar tidak sanggup untuk menolak ajakan Azura meskipun dalam hati dia masih ragu dan merasa tidak nyaman.Mereka akhirnya berpamitan pada Bu Umah, mengatakan jika akan pergi ke rumah orang tua Azura. Tadinya Azura juga mengajak Ibu, tapi ibu menolak, mengatakan jika dia sudah sehat dan akan baik-baik saja di rumah.Azura sebenarnya khawatir, tapi Amar juga meyakinkan jika sebenarnya Ibu sudah terbiasa ditinggal sendirian di rumah.“Baiklah, kalau begitu kami berangkat sekarang ya, Bu? Takut kemalaman di jalan.” Ujar Azura.“Iya. Kalian berangkat saja. Misalnya nanti kemalaman, tidak usah pulang dulu nak. Menginap saja di sana dulu, tidak apa-apa. Ibu ini sudah sering kok sendirian di rumah saat Amar bekerja dan menginap di pekerjaannya. Jadi jangan khawatir.”Azura mengganggu kemudian dia bersiap-siap. Sekarang mereka sudah melaj
“Sebenarnya aku sengaja mengajak Amar kemari agar dia tahu saja di mana rumah orang tua Azura, Pa. Tapi ada juga rencana yang lain.” jawab Azura. Dia terdiam dahulu, menoleh sesaat ke arah Amar kemudian kembali berkata.“Sepertinya kalau untuk tinggal di sini, Azura kurang setuju. Kami sudah memutuskan untuk mencari rumah yang berada dekat dekat dengan perusahaan Papa. Mungkin malam ini kami akan menginap disini dulu dan besok pagi sambil pulang ke rumah kami akan melihat-lihat rumah yang cocok untuk kami tempati.”Amar tidak ikut bicara, dia hanya diam saja karena dia memang belum punya pendapat atau sama sekali tidak punya pendapat perihal masalah rumah atau tempat tinggal yang dimaksud Azura. Dan memang untuk saat ini pikiran Amar hanya ada satu, percaya penuh kepada Azura. Sebab apapun keputusan Azura sudah pasti adalah pilihan yang terbaik.“Baiklah kalau begitu.” Balas Ega.Makan malam telah tiba, Amar benar-benar kaku saat Azura mengajaknya untuk makan malam bersama keluarga m
“Iya, aku tahu sebentar lagi aku akan bergaji, tapi yang benar saja! Kira-kira ini berapa sewa per bulannya?”Azura tertawa kecil, dia mengajak Amar turun dan membawanya masuk ke salah satu rumah yang terlihat besar dan megah. Lengkap dengan taman yang dipenuhi bunga juga garasi mobil serta berpagar besi.“Ini adalah salah satu bangunan milik perusahaan Papa. Tadi pagi sebelum kita pulang, aku sempat bicara dengan Papa. Aku bilang sama papa, kalau aku minta DP untuk kerjasama kamu dan papa, karena kita butuh uang untuk menyewa rumah. Kata Papa, kita diberi salah satu rumah di sini untuk DP pembayaran kamu. Sisanya kita bisa mencicil per bulan pada papa.”Amar terbengong tapi kemudian dia tertawa kecil, “Kamu benar-benar cerdas ya, kalau begini namanya kita menang banyak.”“Ya iyalah, daripada kita menyewa. Uang bulanan yang seharusnya untuk membayar sewa, kan bisa untuk mencicil ke Papa. Setelah sekian tahun, nanti rumah ini akan menjadi milik kita. Kita tidak perlu mengumpulkan uang
“Kemarin?” Azura jadi makin penasaran dan mengklik profil Alya untuk mencari tahu.“Oh, ya ampun! Dasar tidak tahu malu!” Azura mengumpat tapi juga ingin tertawa saat melihat satu postingan foto yang tidak lain dan tidak bukan adalah foto Alya bersama Edward yang nampak begitu mesra. Mereka tidak merasa malu lagi mengumbar kemesraan di depan publik seperti ini, apalagi dengan sebuah caption “Yang diperjuangkan akhirnya dapat juga digenggaman.” bagi Azura itu justru sangat menggelikan.Jadi selama ini, si wanita gatel ini memperjuangkan Edward? Tidak tahu saja dia, siapa yang sedang ia perjuangkan. Pria dodol yang suka celap-celup sana sini!Azura kembali mengumpat dalam hati.Azura kembali melihat postingan komentar.“Wah ini yang baru ya? Sungguh cocok cintaku! Perjuangkan, aku mendukungmu!”“Eh, ini bukannya cowoknya Azura?”Ada balasan dari Alya ternyata. “Itu kan dulu, sekarang hanya masa lalu.”“Eh, masa sih, masa sih?”“Dengar-dengar Azura sudah menikah ya?”Alya kembali membala
Amar terkejut bukan main, mana dia siap jika ini adalah urusan pertemuan, apalagi perkenalan pada publik? Sungguh Amar tidak tahu harus menjawab apa. Menolak? Tentu itu akan mengecewakan papa mertuanya. Kalau bersedia, keadaannya ini, sungguh dia tidak ingin mempermalukan Azura dengan tampil dalam keadaan cacat seperti ini.“Amar, bagaimana?”“Ah, iya pa. Apa tidak sebaiknya kita bertanya dulu bagaimana pendapat Azura? Saya, saya takut Azura,”Pada saat ini Azura sudah masuk, dia langsung menghampiri Amar.“Pa, ini Azura sudah datang, sebaiknya kita minta pendapatnya juga.”Tanpa menunggu jawaban dari Ega, Amar memberikan ponsel pada Azura. Azura langsung menerima ponsel itu setelah meletakkan nampan makanan yang dibawanya ke atas meja.“Pa, ada apa?” Azura langsung bertanya. Di seberang sana Ega mengutarakan apa yang tadi sudah dibicarakan dengan Amar.Azura sedikit tercengang, dia menoleh pada Amar yang menunduk. Dia sudah bisa menebak apa yang sekarang sedang dipikirkan oleh Amar.
Amar belum menyadari dengan ucapan Azura, dia malah bertanya. “Kakiku? Kenapa dengan kakiku? Bukannya mengkhawatirkan dirimu yang hampir terbanting malah mikirin kakiku.” ucap Amar. “Amar, bukan itu. Itu kakimu, lihat dulu!” Azura menunjuk tepat di kedua kaki Amar. “Kenapa? Kakiku kenapa?” Amar pun melihat pada kedua kakinya. Sesaat Amar juga ikut tercengang dan melompong. “Kakiku, Ya Allah! Kakiku?” Dia langsung terjingkat kaget. “Azura, benarkah ini?” Dia beberapa kali menghentakkan kakinya. Amar benar-benar terkejut kala dia menyadari jika kedua kakinya sudah sama-sama menapak pada lantai dengan sempurna. Dia mengikuti arah telunjuk Azura yang sekarang menunjuk ke arah sudut ruangan, dimana disana ada tongkat yang selama ini setia menemaninya berjalan itu telah teronggok di sana. Amar sampai beberapa kali menoleh pada tongkat itu dan beralih pada kakinya lagi. “Kakimu sembuh, Amar!” Teriak Azura. Sambil mengguncang kedua bahu Amar. Mulut Amar masih terbuka lebar, dia t
Hanya butuh waktu sekitar 15 menit perjalanan karena rumah yang mereka tempati sekarang ini memang tidak terlalu jauh dari perusahaan, Azura sudah membelokkan mobilnya ke sebuah gedung tinggi menjulang yang bertuliskan Brahmana group.Baru saja mereka turun dari mobil, Rendi terlihat berlari dari ujung sana untuk menyambut kedatangan mereka.“Azura, kamu sudah datang? Apa ini suamimu?” tanya Rendi.“Eh Paman Rendi. Iya benar, kenalkan ini Amar suami Azura.”Mereka saling menyambut tangan kemudian saling melempar senyuman hangat. Rendi sedikit terbengong menatap Amar dari atas sampai bawah.Katanya suami Azura cacat tapi ini enggak? Pikir Rendi, dia sebenarnya ingin bertanya, tapi waktunya sepertinya tidak tepat.“Mari ikut paman. Mereka sudah menunggu.” ujar Rendi. Dia berjalan mendahului sementara Azura dan Amar mengikuti dari belakang. Azura meraih tangan Amar dan menggenggamnya sepanjang perjalanan. Orang-orang para staf perusahaan yang sudah tahu jika Azura yang datang bersama sua