“Kamu saja yang di atas, biar aku yang dibawah.”“Eh, jangan! Kamu belum sehat. Tidak apa aku dibawah.”Tapi Amar menarik tangan Azura sampai Azura terduduk di sampingnya diatas tempat tidur.Azura kikuk, tapi segera menguasai diri kemudian mengangguk pelan.Amar bergerak, dengan sedikit kesusahan dia berbaring di bawah dengan memakai guling. Azura juga berbaring tapi tidak bisa memejamkan matanya. Saat ia menoleh untuk mengintip Amar, tanpa sengaja Amar juga sedang mengintipnya. Dua orang itu sama-sama tersipu malu karena ketahuan sedang saling mengintip.“Hehe, kamu kok nggak tidur?” Tanya Azura.“Aku tidak biasa tidur siang. Kamu juga kenapa tidak tidur?”“Aku juga tidak biasa tidur siang.”Pada akhirnya mereka berdua tidak jadi tidur dan hanya saling mengobrol.“Kalau begitu aku mau buat teh hangat saja ya? Kamu mau?”Amar hanya mengangguk. Azura pergi ke dapur, dan tak lama dia masuk kembali dengan membawa dua cangkir teh hangat dan cemilan yang ia beli dari online bersamaan deng
Saat ini Bu Umah masih menatap mereka dengan cukup heran. Tetap sama, yang membuatnya heran bukan kedatangan mereka yang bersama, tapi genggaman tangan mereka itu. Awalnya dia agak menyesal dan merasa bersalah karena telah memaksa Azura untuk menikahi anaknya. Dia merasa telah egois dan sudah menekan anak gadis orang untuk kepentingannya sendiri.Tapi keputusannya itu karena sebuah alasan yang kuat. Dia khawatir jika terjadi sesuatu pada dirinya maka tidak akan ada yang menjaga Amar.Meskipun baru melihat Azura untuk pertama kalinya dan padahal gadis itu adalah orang yang telah membuat mereka celaka, tetapi Bu Umah bisa yakin jika Azura adalah gadis yang baik.“Eh, kalian sudah datang ya?” Bu Umah bertanya tapi masih sambil melihat ke arah tangan mereka, membuat Amar sadar dan segera melepas genggaman tangan Azura.“Eh, iya Bu. Maaf, kami datang agak sore. Kami sengaja karena dokter menganjurkan agar ibu beristirahat seharian ini.” Jawab Amar agak kikuk.“Tidak apa-apa, Nak. Ibu sudah
Pagi-pagi Azura telah terbagun dan bersiap untuk pulang. Amar hanya kembali mengangguk meskipun dia tidak paham dan penuh pertanyaan tentang apa sebenarnya yang akan dipersiapkan oleh Azura.Azura pun pulang dengan mengendarai mobilnya kembali. Tapi kali ini dia tidak langsung pulang, dia singgah dahulu ke sebuah toko. Setelah mengobrol sejenak dengan pemilik toko, dia kembali melaju pulang. Tak lama setelah sampai, dia turun. Dia menjadi perhatian beberapa ibu-ibu yang kebetulan sedang mengerumuni tukang sayur.“Lho, itu kan istrinya Amar? Kok pulang sendirian. Kemana Amar?“Eh, iya ya. Jangan-jangan ada apa-apa ini?”Azura tersenyum ke arah mereka.“Lho mbak, mana Amar? Kok sendirian?” Satu orang bertanya pada Azura.“Amar masih di rumah sakit’ bu. Hari ini Bu Umah akan dibawa pulang, jadi aku pulang duluan untuk menyiapkan rumah,”“Lho, apa sudah baikan kok sudah mau pulang?”“Sebenarnya belum, bu. Masih harus dirawat beberapa Hari lagi karena baru kemarin selesai di operasi. Tapi
Sampai di rumah, Azura menyambut dengan sangat senang. Para tim dokter khusus juga dengan sigap menyiapkan segala sesuatunya, dari mulai selang infus yang memang masih harus dipakai oleh bu Umah juga peralatan medis lainnya.Melihat situasi rumah yang hampir semua barangnya telah diganti tentu membuat Amar juga bu Umah terkejut.Amar langsung menarik lengan Azura. “Azura, ini kamu,”“Sudah jangan protes, ini demi kenyamanan Ibu.” Jawab Azura. Tanpa memberi kesempatan untuk Amar berbicara lagi, dia langsung pergi ke kamar Bu Umah.Di luar sana, di pinggir jalan besar, seseorang di dalam mobil yang berhenti sedang menghubungi Edward.“Aku sudah berhasil menemukan Azura. Apa kamu tahu yang terjadi pada Azura belakangan ini?”“Apa? Katakan padaku, apapun informasi yang kamu dapat.” Jawab Edward di sana.“Rupanya, Azura sudah menikah. Dan yang perlu kamu ketahui, dia menikah dengan seorang pria cacat!”“Hah, yang benar saja?”***Saat ini di kota sisi lain,Sebuah Pesta sedang digelar oleh
“Ada apa, Mas? Beritahu aku! Aku janji tidak akan terlalu kepikiran! Tapi tolong beritahu dulu!”Ega lagi-lagi menarik nafas berat. “Azura sudah menikah.”“Apa? Mas, kamu bercanda apa gimana?” Wulan tentu terkejut dan langsung khawatir.Ega menggeleng, lalu pelan-pelan menceritakan semua yang menimpa Azura dari awal.Wulan menangis, sebagai seorang ibu pasti dia menyesal karena baru mengetahui tentang putrinya sekarang.“Harusnya ceritakan saja padaku. Aku ini Ibunya, pasti Azura butuh aku juga untuk memberinya dukungan.”“Maafkan aku, sungguh waktu itu aku belum siap. Baiklah, kapan waktu nanti, kamu bisa mengunjunginya.”Wulan sangat sedih, bukan memikirkan dengan siapa Azura menikah, tapi dia khawatir Azura disana tidak bahagia dan menderita. Pikirannya jadi tidak tenang, bahkan sampai menghadiri pesta Al saja, pikiran Wulan tetap pada Azura.Dia berjanji, besok akan pergi menyusul Azura.Beberapa hari telah berlalu, keadaan Bu Umah sudah membaik dengan perawatan dari Azura juga ko
“Azura, apa kabar kamu, Nak?” Wulan bertanya, masih sambil sesenggukan.“Kabarku baik, Ma. Mama bisa tahu Azura di sini dari siapa?” Tanya Azura yang juga ikut menangis.“Dari papa kamu. Papa sendiri yang mengantar mama ke sini.”“Sekarang papa di mana, Ma. Kenapa papa tidak ikut masuk?”“Papa di luar sana, tapi mama sudah menyuruhnya untuk pergi ke kantor saja.Nanti sore papa akan menjemput mama.”Azura melepaskan pelukannya, Wulan membelai wajahnya beberapa kali, kemudian dia menoleh, melihat seorang pria yang sudah berdiri di samping mereka. Amar melempar senyum dan menunduk hormat pada Wulan.“Azura, apa dia suamimu?” Tanya Wulan, menyeka sisa air matanya.“Iya Ma, kenalkan. Namanya Amar. Papa pasti sudah bercerita tentang pertemuan kami kan?”“Iya, papa kamu sudah bercerita sayang.”Amar terlihat mengulurkan tangannya, Wulan juga menyambut dengan hangat.“Mari, silahkan masuk dulu ke rumah kami, em.. Nyonya.” Amar begitu kaku dan gugup. Dia bingung harus memanggil apa pada ibu
“ Waalaikumsalam.” Bu Umah menjawab. Dia menyerngitkan dahinya, merasa jika perempuan cantik di depannya itu sangat asing baginya. Dia menoleh ke arah Wulan. “Azura, dia siapa?”Wulan kemudian mendekat dan mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Bu Umah dengan lembut, “Perkenalkan, Bu. Nama saya Wulan, saya mamanya Azura.”Bu Umah tersentak, dia langsung terlihat gugup. “Masya Allah! Jadi ibu ini, mamanya Azura? Ya Allah? Maaf ya Bu, maaf. Saya tidak tahu.”“Eh tidak apa-apa, Bu Umah. Aku sengaja datang kesini untuk mengunjungi anakku. Awal mulanya aku tidak tahu ceritanya kalau bukan suamiku yang bercerita. Makanya aku datang ke sini untuk memastikannya. Ternyata benar, anakku sudah mempunyai suami dan sudah menjadi bagian dari keluarga ini.” ujar Wulan.Bu Umah menunduk, matanya berkaca-kaca “Maafkan saya Bu, ini semua salahku. Saya yang telah memaksa anak ibu untuk menikahi anak saya. Sebenarnya kala itu saya hanya sangat khawatir. Saya takut kalau saya tidak selamat dan
Amar tersenyum. “Bukankah tempat tidur kita sudah tidak sempit lagi? Apa yang kamu khawatirkan?” Sambil berkata, Amar sambil menepuk kasur di sampingnya.Entah Kenapa, mendengar ucapan Amar seperti itu, wajah Azura jadi memerah.“Aku tidak akan macam-macam, jangan khawatir. Lagian kakiku seperti ini, mana mungkin kan?” Amar menambahkan lagi, membuat Azura semakin tersipu. Selama menikah, mereka memang belum pernah tidur satu Ranjang bersama.Azura belum juga bergerak, sampai membuat Amar malu hati. “Hem, baiklah. Ayo naik. Aku akan tidur di luar atau di bawah. Kan bisa.”“Eh, jangan!” Azura langsung mencegah.“Kita tidur berdua saja. Lagian kita kan sudah menjadi suami istri. Tidak akan ada yang melarang ini.” Selesai bicara, Azura naik ke atas tempat tidur. Justru sekarang, malah Amar yang terlihat kikuk.“Eh, ayo! Kenapa? Kan? Kamu yang gak mau tidur berdua?” Ledek Azura.“,Eh, siapa bilang. Mau kok.” Meskipun dengan ragu-ragu, Amar akhirnya ikut berbaring. Dia mengatur posisi kakin
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s