“Maaf, sudah merepotkanmu.” Dengan ragu Amar menerima uang itu, karena dia memang tidak memiliki uang sama sekali.“Jangan bilang begitu, suami istri tidak boleh saling perhitungan.”Hati Amar ingin menangis rasanya mendengar ucapan manis Azura.“Aku akan membeli banyak sayuran dan memasak untukmu. Tadi pagi kamu hanya makan nasi goreng.” Ujar Amar.“Emm.. nanti ajak aku masak ya?”Amar mengangguk dan tersenyum, lalu pergi keluar.Azura menatap langkah terpincang-pincang pria itu. Matanya berkaca-kaca.“Aku tidak ingin meninggalkanmu, Amar. Tidak peduli kita bertemu dengan keadaan yang tidak menyenangkan dan tidak saling mencintai, tapi entah kenapa. Aku ingin menjagamu.” Azura mengusap setitik air bening yang jatuh ke pipinya. Dia kemudian berbalik, mengambil uang 20 ribu mahar dari Amar kemarin.Dia menarik nafas berat. Memandangi uang itu. Meskipun hanya selembar uang 20 ribuan, entah kenapa bagi Azura uang itu sangat berharga baginya. Dia kemudian menyimpannya dengan baik-baik di
“Eh, iya. Tidak apa-apa. Tapi beneran tidak ada yang sakit? Aku khawatir. Kamu baru saja mau sembuh!”“Sungguh, Azura. Tidak apa-apa aku ini. Tidak ada yang sakit.”Azura menarik nafas lega. Tadi dia sempat menyesal dan marah pada dirinya sendiri karena sudah membiarkan Amar berbelanja.“Baiklah, kalau begitu kita ke kamar saja yuk? Kamu perlu istirahat.”“Lho, kan mau masak?”“Aduh, tidak usah lah. Nanti kamu terjatuh lagi bagaimana? Jangan masak, pokoknya jangan! Aku tidak mau mengambil resiko!” Azura segera membereskan belanjaan yang berserakan dan menaruhnya di atas meja.“Tapi bahan-bahan ini kalau tidak dimasak kan sayang. Bisa busuk. Dia hanya akan bertahan sampai malam saja. Apalagi ini ada dagingnya.”Azura tidak peduli, tetap memaksa Amar untuk meninggalkan dapur.“Azura, bagaimana dengan bahannya?”“Nanti kita beli kulkas saja. Gampang kan?”Amar tidak bisa lagi membantah, karena Azura terus menarik tangannya.Dia hanya menggelengkan kepalanya.Mereka sekarang sudah ada di
“Kamu saja yang di atas, biar aku yang dibawah.”“Eh, jangan! Kamu belum sehat. Tidak apa aku dibawah.”Tapi Amar menarik tangan Azura sampai Azura terduduk di sampingnya diatas tempat tidur.Azura kikuk, tapi segera menguasai diri kemudian mengangguk pelan.Amar bergerak, dengan sedikit kesusahan dia berbaring di bawah dengan memakai guling. Azura juga berbaring tapi tidak bisa memejamkan matanya. Saat ia menoleh untuk mengintip Amar, tanpa sengaja Amar juga sedang mengintipnya. Dua orang itu sama-sama tersipu malu karena ketahuan sedang saling mengintip.“Hehe, kamu kok nggak tidur?” Tanya Azura.“Aku tidak biasa tidur siang. Kamu juga kenapa tidak tidur?”“Aku juga tidak biasa tidur siang.”Pada akhirnya mereka berdua tidak jadi tidur dan hanya saling mengobrol.“Kalau begitu aku mau buat teh hangat saja ya? Kamu mau?”Amar hanya mengangguk. Azura pergi ke dapur, dan tak lama dia masuk kembali dengan membawa dua cangkir teh hangat dan cemilan yang ia beli dari online bersamaan deng
Saat ini Bu Umah masih menatap mereka dengan cukup heran. Tetap sama, yang membuatnya heran bukan kedatangan mereka yang bersama, tapi genggaman tangan mereka itu. Awalnya dia agak menyesal dan merasa bersalah karena telah memaksa Azura untuk menikahi anaknya. Dia merasa telah egois dan sudah menekan anak gadis orang untuk kepentingannya sendiri.Tapi keputusannya itu karena sebuah alasan yang kuat. Dia khawatir jika terjadi sesuatu pada dirinya maka tidak akan ada yang menjaga Amar.Meskipun baru melihat Azura untuk pertama kalinya dan padahal gadis itu adalah orang yang telah membuat mereka celaka, tetapi Bu Umah bisa yakin jika Azura adalah gadis yang baik.“Eh, kalian sudah datang ya?” Bu Umah bertanya tapi masih sambil melihat ke arah tangan mereka, membuat Amar sadar dan segera melepas genggaman tangan Azura.“Eh, iya Bu. Maaf, kami datang agak sore. Kami sengaja karena dokter menganjurkan agar ibu beristirahat seharian ini.” Jawab Amar agak kikuk.“Tidak apa-apa, Nak. Ibu sudah
Pagi-pagi Azura telah terbagun dan bersiap untuk pulang. Amar hanya kembali mengangguk meskipun dia tidak paham dan penuh pertanyaan tentang apa sebenarnya yang akan dipersiapkan oleh Azura.Azura pun pulang dengan mengendarai mobilnya kembali. Tapi kali ini dia tidak langsung pulang, dia singgah dahulu ke sebuah toko. Setelah mengobrol sejenak dengan pemilik toko, dia kembali melaju pulang. Tak lama setelah sampai, dia turun. Dia menjadi perhatian beberapa ibu-ibu yang kebetulan sedang mengerumuni tukang sayur.“Lho, itu kan istrinya Amar? Kok pulang sendirian. Kemana Amar?“Eh, iya ya. Jangan-jangan ada apa-apa ini?”Azura tersenyum ke arah mereka.“Lho mbak, mana Amar? Kok sendirian?” Satu orang bertanya pada Azura.“Amar masih di rumah sakit’ bu. Hari ini Bu Umah akan dibawa pulang, jadi aku pulang duluan untuk menyiapkan rumah,”“Lho, apa sudah baikan kok sudah mau pulang?”“Sebenarnya belum, bu. Masih harus dirawat beberapa Hari lagi karena baru kemarin selesai di operasi. Tapi
Sampai di rumah, Azura menyambut dengan sangat senang. Para tim dokter khusus juga dengan sigap menyiapkan segala sesuatunya, dari mulai selang infus yang memang masih harus dipakai oleh bu Umah juga peralatan medis lainnya.Melihat situasi rumah yang hampir semua barangnya telah diganti tentu membuat Amar juga bu Umah terkejut.Amar langsung menarik lengan Azura. “Azura, ini kamu,”“Sudah jangan protes, ini demi kenyamanan Ibu.” Jawab Azura. Tanpa memberi kesempatan untuk Amar berbicara lagi, dia langsung pergi ke kamar Bu Umah.Di luar sana, di pinggir jalan besar, seseorang di dalam mobil yang berhenti sedang menghubungi Edward.“Aku sudah berhasil menemukan Azura. Apa kamu tahu yang terjadi pada Azura belakangan ini?”“Apa? Katakan padaku, apapun informasi yang kamu dapat.” Jawab Edward di sana.“Rupanya, Azura sudah menikah. Dan yang perlu kamu ketahui, dia menikah dengan seorang pria cacat!”“Hah, yang benar saja?”***Saat ini di kota sisi lain,Sebuah Pesta sedang digelar oleh
“Ada apa, Mas? Beritahu aku! Aku janji tidak akan terlalu kepikiran! Tapi tolong beritahu dulu!”Ega lagi-lagi menarik nafas berat. “Azura sudah menikah.”“Apa? Mas, kamu bercanda apa gimana?” Wulan tentu terkejut dan langsung khawatir.Ega menggeleng, lalu pelan-pelan menceritakan semua yang menimpa Azura dari awal.Wulan menangis, sebagai seorang ibu pasti dia menyesal karena baru mengetahui tentang putrinya sekarang.“Harusnya ceritakan saja padaku. Aku ini Ibunya, pasti Azura butuh aku juga untuk memberinya dukungan.”“Maafkan aku, sungguh waktu itu aku belum siap. Baiklah, kapan waktu nanti, kamu bisa mengunjunginya.”Wulan sangat sedih, bukan memikirkan dengan siapa Azura menikah, tapi dia khawatir Azura disana tidak bahagia dan menderita. Pikirannya jadi tidak tenang, bahkan sampai menghadiri pesta Al saja, pikiran Wulan tetap pada Azura.Dia berjanji, besok akan pergi menyusul Azura.Beberapa hari telah berlalu, keadaan Bu Umah sudah membaik dengan perawatan dari Azura juga ko
“Azura, apa kabar kamu, Nak?” Wulan bertanya, masih sambil sesenggukan.“Kabarku baik, Ma. Mama bisa tahu Azura di sini dari siapa?” Tanya Azura yang juga ikut menangis.“Dari papa kamu. Papa sendiri yang mengantar mama ke sini.”“Sekarang papa di mana, Ma. Kenapa papa tidak ikut masuk?”“Papa di luar sana, tapi mama sudah menyuruhnya untuk pergi ke kantor saja.Nanti sore papa akan menjemput mama.”Azura melepaskan pelukannya, Wulan membelai wajahnya beberapa kali, kemudian dia menoleh, melihat seorang pria yang sudah berdiri di samping mereka. Amar melempar senyum dan menunduk hormat pada Wulan.“Azura, apa dia suamimu?” Tanya Wulan, menyeka sisa air matanya.“Iya Ma, kenalkan. Namanya Amar. Papa pasti sudah bercerita tentang pertemuan kami kan?”“Iya, papa kamu sudah bercerita sayang.”Amar terlihat mengulurkan tangannya, Wulan juga menyambut dengan hangat.“Mari, silahkan masuk dulu ke rumah kami, em.. Nyonya.” Amar begitu kaku dan gugup. Dia bingung harus memanggil apa pada ibu