“Ya. Awalnya memang aku terpaksa karena takut kalian jebloskan ke penjara. Tapi ada dua keberuntungan yang aku dapat. Pertama, aku bisa menembus rasa bersalahku pada kalian. Jadi aku tidak akan hidup dalam rasa bersalah. Kedua, karena sekarang aku sudah menikah dan punya suami, aku bisa lepas dari pria Brengsek yang sudah menghianatiku.”
Amar sebenarnya kesal dengan jawaban Azura, tapi dia berpikir siapa pria yang sudah bodoh menyia-nyiakan gadis secantik dan sebaik Azura? Bahkan Amar saja bisa menilai jika Azura ini meskipun Anak Sultan tapi adalah gadis yang baik.
Apalagi ayahnya, Varega Brahmana terkenal sebagai seorang Pengusaha kaya yang baik dan rendah hati. Juga sangat bijaksana, jika tidak mana mungkin Beliau mau menikahkan putrinya dengan dirinya. Bisa saja kan, mereka melakukan apapun untuk menentang kemauan ibunya. Biasanya orang kaya seperti itu. Mereka punya banyak uang untuk melakukan apapun jadi sangat gampang.
Malam sudah larut, mereka sudah selesai makan dan Azura sudah membantu Amar meminum obat.
“Amar, sebaiknya kita tidur. Besok pagi kita harus ke rumah sakit untuk melihat ibu.” Ucap Azura.
Amar menatap dipan tempat tidur miliknya. Dia ragu-ragu, memikirkan dimana gadis ini harus tidur.
“Ayo, aku bantu.” Azura ingin menopang tubuh Amar.
“Kamu tidur dimana?”
Azura terdiam, seperti tahu yang dipikirkan pria ini.
“Tenang saja, aku bisa tidur di ruang depan. Ada sofa juga disana.”
“Jangan, kamu tidur disini aja.”
Azura menyerngitkan kedua alisnya. “Terus kamu? Jangan bilang kamu yang mau tidur di sofa? Kamu masih belum sehat,”
“Aku akan tidur di kamar ibuku. Di sana ada kasurnya juga kok.”
Azura mengerti kemudian mengangguk. “Kalau gitu, aku antar kamu kesana ya? Aku khawatir kamu jatuh.”
“Tidak usah. Aku bisa sendiri. Di rumah ini tidak banyak barang dan tidak ada tangga. Tidak akan membuatku jatuh.”
Azura terdiam, hanya bisa menatap punggung Amar yang mulai menggerakkan kursi rodanya untuk keluar dari kamar itu. Azura menutup pintu dengan lembut saat Amar sudah jauh, dia kemudian naik keatas tempat tidur. Dia meraba kasur sebelum merebahkan diri. Kasur itu sudah mulai mengeras.
Dia kembali merasa sedih. Ternyata kehidupan suaminya ini, sepertinya memang kurang begitu baik.
Azura merebahkan tubuhnya, tidak ingin merasakan kasur yang tidak seempuk miliknya di rumah besarnya. Dia terlelap begitu saja. Mungkin karena kelelahan.
Pagi hari dia bangun karena deringan Ponselnya yang beberapa kali memanggil. Itu rupanya Edward. Dia lupa jika belum memblokirnya. Dia buru-buru memblokir kontak itu. Saat Azura meletakkan ponselnya kembali, deringan tanda panggilan masuk kembali terdengar.
Dia kembali memeriksa karena yakin jika itu pasti bukan dari Edward lagi. Dan ternyata benar. Itu panggilan dari rumah sakit.
Azura segera mengangkat panggilan.
“Halo, mbak Azura, kan? Ada kabar dari pasien bernama Bu Umah.”
“Iya sus, bagaimana?”
Sejenak Azura mendengarkan dengan seksama penjelasan dari sang suster rumah sakit.
“Benarkah sus? Alhamdulillah.. iya,iya. Terima kasih atas kabar baiknya.” Azura menutup panggilan. Wajahnya terlihat begitu bahagia sekaligus lega. Beberapa kali mengucap syukur dan segera berlari untuk mencari Amar.
Tapi ketika dia hendak ke kamar Bu Umah yang ada di dekat ruangan dapur, dia mendengar suara-suara dari dapur. Saat dia mengintip, dia melihat Amar sedang menyajikan sesuatu di atas meja makan. Dia tidak melihat kursi roda Amar di sekitar situ. Saat diperhatikan sekali lagi, rupanya Amar saat ini menggunakan sebuah tongkat untuk berjalan.
Sesaat Azura tertegun, tapi segera ingat akan kabar baik yang disampaikan pihak rumah sakit tadi. Dia berlari mendekat.
“Amar!” Amar menoleh, belum juga dia sempat bertanya, Azura sudah memeluknya dengan begitu cepat dan erat. Sampai Amar hampir saja terjatuh jika saja dia tidak segera bertahan di sisi meja.
“Ibu sembuh! Ibu kamu selamat. Aaa.. aku senang sekali!”
“I,iya. Tapi jangan begini. Aku, aku,”
Azura tersentak saat sadar, dia cepat-cepat menarik tubuhnya.
“Eh, maaf, maaf. Aku, aku sangat senang. Maaf ya.” Azura sangat tersipu. Bisa-bisanya dia memeluk pria itu tanpa perhitungan.
“Iya, tidak apa-apa. Aku hanya terkejut. Tapi ada apa? Kamu bilang ibuku selamat?” Tanya Amar.
“Eh, itu. Pihak rumah sakit baru saja menelponku. Katanya semalam, tidak lama setelah kita pulang ibu sempat kritis lagi. Jadi tim dokter segera mengambil tindakan operasi. Dan semua berjalan lancar. Saat ini ibu sudah melewati masa kritisnya. Hanya menunggu ibu sadar pasca operasi saja.”
Amar melebarkan matanya, “Benarkah?” Dia bertanya seperti belum percaya, tapi bibirnya tertarik membentuk senyuman bahagia.
“Iya benar. Kata dokter, kita bisa menjenguk ibu sore nanti saja. Biar seharian ini ibu istirahat total dulu.”
“Alhamdulillah…” Amar mengatupkan kedua tangannya. Dia begitu senang dan langsung lega.
“Azura.”
“Eh, iya.” Azura sedikit terkejut, ini kali pertama pria itu memanggil namanya.
“Terima kasih atas bantuanmu.”“Terima kasih? Tidak perlu. Itu semua sudah menjadi tanggung jawabku.”“Tetap saja, aku perlu berterima kasih padamu yang mau membiayai semua biaya operasi ibuku.”“Iya. Tapi ibumu sakit juga karena aku. Jadi kita perlu berterima kasih kepada Tuhan yang telah menyelamatkan ibu.”Amar mengangguk, memang Allah yang telah memberi kesembuhan pada Ibunya, tapi jika Azura bukan tipe orang yang bertanggung jawab, belum tentu Ibunya akan ditangani dengan cepat dan baik seperti saat ini. Amar sampai lupa, jika gadis ini yang telah menyebabkan ibunya harus terbaring dirumah sakit dan harus menjalani operasi seperti itu, saking bersyukurnya.Mereka berdua masih terlihat sama-sama tersenyum.“Oh ya, ini kamu masak nasi goreng ya?” Azura bertanya, sambil mencium aroma makanan di atas meja.“Iya. Maaf, hanya bisa memasak ini saja untuk sarapan.” Amar menyodorkan satu piring nasi untuk Azura.“Eh, tidak apa-apa. Aku suka nasi goreng. Kalau dirumah, Mamaku suka membuat
“Paman, aku tidak bisa ikut pulang. Aku harus menunggu ibu Umah pulang ke rumah ini. Aku sama sekali belum menebus kesalahanku pada mereka. Dan yang paling utama, aku ini sudah menikah. Jadi, sebelum orang yang menikahiku yang menceraikan aku, aku tidak akan menggugatnya cerai.”Amar tertegun mendengar jawaban Azura. Dia tidak menyangka jika Azura akan berkata seperti itu pada Pamannya.Sementara Riko menaikkan kedua alisnya.“Azura, meskipun Amar menikahimu tapi Amar pasti akan membencimu karena bagaimanapun juga kamu yang telah menyebabkan dia cacat. Papa kamu dan paman mengkhawatirkan kamu. Kami takut Amar tidak memperlakukanmu dengan baik.”“Tidak Paman, Amar memperlakukan aku dengan baik. Dia tidak membenciku, kok.” Protes Azura.Riko mengangguk kecil. “Baiklah. Bagaimana baiknya menurutmu saja. Paman akan sampaikan pada Papamu. Tapi ingat ya Azura, kalau ada apa-apa langsung kabari kami.”Azura mengangguk, “Terima kasih sudah mengantar pakaian Azura dan laptop Azura.”“Iya, tida
“Maaf, sudah merepotkanmu.” Dengan ragu Amar menerima uang itu, karena dia memang tidak memiliki uang sama sekali.“Jangan bilang begitu, suami istri tidak boleh saling perhitungan.”Hati Amar ingin menangis rasanya mendengar ucapan manis Azura.“Aku akan membeli banyak sayuran dan memasak untukmu. Tadi pagi kamu hanya makan nasi goreng.” Ujar Amar.“Emm.. nanti ajak aku masak ya?”Amar mengangguk dan tersenyum, lalu pergi keluar.Azura menatap langkah terpincang-pincang pria itu. Matanya berkaca-kaca.“Aku tidak ingin meninggalkanmu, Amar. Tidak peduli kita bertemu dengan keadaan yang tidak menyenangkan dan tidak saling mencintai, tapi entah kenapa. Aku ingin menjagamu.” Azura mengusap setitik air bening yang jatuh ke pipinya. Dia kemudian berbalik, mengambil uang 20 ribu mahar dari Amar kemarin.Dia menarik nafas berat. Memandangi uang itu. Meskipun hanya selembar uang 20 ribuan, entah kenapa bagi Azura uang itu sangat berharga baginya. Dia kemudian menyimpannya dengan baik-baik di
“Eh, iya. Tidak apa-apa. Tapi beneran tidak ada yang sakit? Aku khawatir. Kamu baru saja mau sembuh!”“Sungguh, Azura. Tidak apa-apa aku ini. Tidak ada yang sakit.”Azura menarik nafas lega. Tadi dia sempat menyesal dan marah pada dirinya sendiri karena sudah membiarkan Amar berbelanja.“Baiklah, kalau begitu kita ke kamar saja yuk? Kamu perlu istirahat.”“Lho, kan mau masak?”“Aduh, tidak usah lah. Nanti kamu terjatuh lagi bagaimana? Jangan masak, pokoknya jangan! Aku tidak mau mengambil resiko!” Azura segera membereskan belanjaan yang berserakan dan menaruhnya di atas meja.“Tapi bahan-bahan ini kalau tidak dimasak kan sayang. Bisa busuk. Dia hanya akan bertahan sampai malam saja. Apalagi ini ada dagingnya.”Azura tidak peduli, tetap memaksa Amar untuk meninggalkan dapur.“Azura, bagaimana dengan bahannya?”“Nanti kita beli kulkas saja. Gampang kan?”Amar tidak bisa lagi membantah, karena Azura terus menarik tangannya.Dia hanya menggelengkan kepalanya.Mereka sekarang sudah ada di
“Kamu saja yang di atas, biar aku yang dibawah.”“Eh, jangan! Kamu belum sehat. Tidak apa aku dibawah.”Tapi Amar menarik tangan Azura sampai Azura terduduk di sampingnya diatas tempat tidur.Azura kikuk, tapi segera menguasai diri kemudian mengangguk pelan.Amar bergerak, dengan sedikit kesusahan dia berbaring di bawah dengan memakai guling. Azura juga berbaring tapi tidak bisa memejamkan matanya. Saat ia menoleh untuk mengintip Amar, tanpa sengaja Amar juga sedang mengintipnya. Dua orang itu sama-sama tersipu malu karena ketahuan sedang saling mengintip.“Hehe, kamu kok nggak tidur?” Tanya Azura.“Aku tidak biasa tidur siang. Kamu juga kenapa tidak tidur?”“Aku juga tidak biasa tidur siang.”Pada akhirnya mereka berdua tidak jadi tidur dan hanya saling mengobrol.“Kalau begitu aku mau buat teh hangat saja ya? Kamu mau?”Amar hanya mengangguk. Azura pergi ke dapur, dan tak lama dia masuk kembali dengan membawa dua cangkir teh hangat dan cemilan yang ia beli dari online bersamaan deng
Saat ini Bu Umah masih menatap mereka dengan cukup heran. Tetap sama, yang membuatnya heran bukan kedatangan mereka yang bersama, tapi genggaman tangan mereka itu. Awalnya dia agak menyesal dan merasa bersalah karena telah memaksa Azura untuk menikahi anaknya. Dia merasa telah egois dan sudah menekan anak gadis orang untuk kepentingannya sendiri.Tapi keputusannya itu karena sebuah alasan yang kuat. Dia khawatir jika terjadi sesuatu pada dirinya maka tidak akan ada yang menjaga Amar.Meskipun baru melihat Azura untuk pertama kalinya dan padahal gadis itu adalah orang yang telah membuat mereka celaka, tetapi Bu Umah bisa yakin jika Azura adalah gadis yang baik.“Eh, kalian sudah datang ya?” Bu Umah bertanya tapi masih sambil melihat ke arah tangan mereka, membuat Amar sadar dan segera melepas genggaman tangan Azura.“Eh, iya Bu. Maaf, kami datang agak sore. Kami sengaja karena dokter menganjurkan agar ibu beristirahat seharian ini.” Jawab Amar agak kikuk.“Tidak apa-apa, Nak. Ibu sudah
Pagi-pagi Azura telah terbagun dan bersiap untuk pulang. Amar hanya kembali mengangguk meskipun dia tidak paham dan penuh pertanyaan tentang apa sebenarnya yang akan dipersiapkan oleh Azura.Azura pun pulang dengan mengendarai mobilnya kembali. Tapi kali ini dia tidak langsung pulang, dia singgah dahulu ke sebuah toko. Setelah mengobrol sejenak dengan pemilik toko, dia kembali melaju pulang. Tak lama setelah sampai, dia turun. Dia menjadi perhatian beberapa ibu-ibu yang kebetulan sedang mengerumuni tukang sayur.“Lho, itu kan istrinya Amar? Kok pulang sendirian. Kemana Amar?“Eh, iya ya. Jangan-jangan ada apa-apa ini?”Azura tersenyum ke arah mereka.“Lho mbak, mana Amar? Kok sendirian?” Satu orang bertanya pada Azura.“Amar masih di rumah sakit’ bu. Hari ini Bu Umah akan dibawa pulang, jadi aku pulang duluan untuk menyiapkan rumah,”“Lho, apa sudah baikan kok sudah mau pulang?”“Sebenarnya belum, bu. Masih harus dirawat beberapa Hari lagi karena baru kemarin selesai di operasi. Tapi
Sampai di rumah, Azura menyambut dengan sangat senang. Para tim dokter khusus juga dengan sigap menyiapkan segala sesuatunya, dari mulai selang infus yang memang masih harus dipakai oleh bu Umah juga peralatan medis lainnya.Melihat situasi rumah yang hampir semua barangnya telah diganti tentu membuat Amar juga bu Umah terkejut.Amar langsung menarik lengan Azura. “Azura, ini kamu,”“Sudah jangan protes, ini demi kenyamanan Ibu.” Jawab Azura. Tanpa memberi kesempatan untuk Amar berbicara lagi, dia langsung pergi ke kamar Bu Umah.Di luar sana, di pinggir jalan besar, seseorang di dalam mobil yang berhenti sedang menghubungi Edward.“Aku sudah berhasil menemukan Azura. Apa kamu tahu yang terjadi pada Azura belakangan ini?”“Apa? Katakan padaku, apapun informasi yang kamu dapat.” Jawab Edward di sana.“Rupanya, Azura sudah menikah. Dan yang perlu kamu ketahui, dia menikah dengan seorang pria cacat!”“Hah, yang benar saja?”***Saat ini di kota sisi lain,Sebuah Pesta sedang digelar oleh