Share

Bab 6. Ternyata, kehidupan suaminya kurang begitu baik.

“Ya. Awalnya memang aku terpaksa karena takut kalian jebloskan ke penjara. Tapi ada dua keberuntungan yang aku dapat. Pertama, aku bisa menembus rasa bersalahku pada kalian. Jadi aku tidak akan hidup dalam rasa bersalah. Kedua, karena sekarang aku sudah menikah dan punya suami, aku bisa lepas dari pria Brengsek yang sudah menghianatiku.”

Amar sebenarnya kesal dengan jawaban Azura, tapi dia berpikir siapa pria yang sudah bodoh menyia-nyiakan gadis secantik dan sebaik Azura? Bahkan Amar saja bisa menilai jika Azura ini meskipun Anak Sultan tapi adalah gadis yang baik.

Apalagi ayahnya, Varega Brahmana terkenal sebagai seorang Pengusaha kaya yang baik dan rendah hati. Juga sangat bijaksana, jika tidak mana mungkin Beliau mau menikahkan putrinya dengan dirinya. Bisa saja kan, mereka melakukan apapun untuk menentang kemauan ibunya. Biasanya orang kaya seperti itu. Mereka punya banyak uang untuk melakukan apapun jadi sangat gampang.

Malam sudah larut, mereka sudah selesai makan dan Azura sudah membantu Amar meminum obat.

“Amar, sebaiknya kita tidur. Besok pagi kita harus ke rumah sakit untuk melihat ibu.” Ucap Azura.

Amar menatap dipan tempat tidur miliknya. Dia ragu-ragu, memikirkan dimana gadis ini harus tidur.

“Ayo, aku bantu.” Azura ingin menopang tubuh Amar.

“Kamu tidur dimana?”

Azura terdiam, seperti tahu yang dipikirkan pria ini.

“Tenang saja, aku bisa tidur di ruang depan. Ada sofa juga disana.”

“Jangan, kamu tidur disini aja.”

Azura menyerngitkan kedua alisnya. “Terus kamu? Jangan bilang kamu yang mau tidur di sofa? Kamu masih belum sehat,”

“Aku akan tidur di kamar ibuku. Di sana ada kasurnya juga kok.”

Azura mengerti kemudian mengangguk. “Kalau gitu, aku antar kamu kesana ya? Aku khawatir kamu jatuh.”

“Tidak usah. Aku bisa sendiri. Di rumah ini tidak banyak barang dan tidak ada tangga. Tidak akan membuatku jatuh.”

Azura terdiam, hanya bisa menatap punggung Amar yang mulai menggerakkan kursi rodanya untuk keluar dari kamar itu. Azura menutup pintu dengan lembut saat Amar sudah jauh, dia kemudian naik keatas tempat tidur. Dia meraba kasur sebelum merebahkan diri. Kasur itu sudah mulai mengeras.

Dia kembali merasa sedih. Ternyata kehidupan suaminya ini, sepertinya memang kurang begitu baik.

Azura merebahkan tubuhnya, tidak ingin merasakan kasur yang tidak seempuk miliknya di rumah besarnya. Dia terlelap begitu saja. Mungkin karena kelelahan.

Pagi hari dia bangun karena deringan Ponselnya yang beberapa kali memanggil. Itu rupanya Edward. Dia lupa jika belum memblokirnya. Dia buru-buru memblokir kontak itu. Saat Azura meletakkan ponselnya kembali, deringan tanda panggilan masuk kembali terdengar.

Dia kembali memeriksa karena yakin jika itu pasti bukan dari Edward lagi. Dan ternyata benar. Itu panggilan dari rumah sakit.

Azura segera mengangkat panggilan.

“Halo, mbak Azura, kan? Ada kabar dari pasien bernama Bu Umah.”

“Iya sus, bagaimana?”

Sejenak Azura mendengarkan dengan seksama penjelasan dari sang suster rumah sakit.

“Benarkah sus? Alhamdulillah.. iya,iya. Terima kasih atas kabar baiknya.” Azura menutup panggilan. Wajahnya terlihat begitu bahagia sekaligus lega. Beberapa kali mengucap syukur dan segera berlari untuk mencari Amar.

Tapi ketika dia hendak ke kamar Bu Umah yang ada di dekat ruangan dapur, dia mendengar suara-suara dari dapur. Saat dia mengintip, dia melihat Amar sedang menyajikan sesuatu di atas meja makan. Dia tidak melihat kursi roda Amar di sekitar situ. Saat diperhatikan sekali lagi, rupanya Amar saat ini menggunakan sebuah tongkat untuk berjalan.

Sesaat Azura tertegun, tapi segera ingat akan kabar baik yang disampaikan pihak rumah sakit tadi. Dia berlari mendekat.

“Amar!” Amar menoleh, belum juga dia sempat bertanya, Azura sudah memeluknya dengan begitu cepat dan erat. Sampai Amar hampir saja terjatuh jika saja dia tidak segera bertahan di sisi meja.

“Ibu sembuh! Ibu kamu selamat. Aaa.. aku senang sekali!”

“I,iya. Tapi jangan begini. Aku, aku,”

Azura tersentak saat sadar, dia cepat-cepat menarik tubuhnya.

“Eh, maaf, maaf. Aku, aku sangat senang. Maaf ya.” Azura sangat tersipu. Bisa-bisanya dia memeluk pria itu tanpa perhitungan.

“Iya, tidak apa-apa. Aku hanya terkejut. Tapi ada apa? Kamu bilang ibuku selamat?” Tanya Amar.

“Eh, itu. Pihak rumah sakit baru saja menelponku. Katanya semalam, tidak lama setelah kita pulang ibu sempat kritis lagi. Jadi tim dokter segera mengambil tindakan operasi. Dan semua berjalan lancar. Saat ini ibu sudah melewati masa kritisnya. Hanya menunggu ibu sadar pasca operasi saja.”

Amar melebarkan matanya, “Benarkah?” Dia bertanya seperti belum percaya, tapi bibirnya tertarik membentuk senyuman bahagia.

“Iya benar. Kata dokter, kita bisa menjenguk ibu sore nanti saja. Biar seharian ini ibu istirahat total dulu.”

“Alhamdulillah…” Amar mengatupkan kedua tangannya. Dia begitu senang dan langsung lega.

“Azura.”

“Eh, iya.” Azura sedikit terkejut, ini kali pertama pria itu memanggil namanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status