Share

Bab 5. Sampai kamu mengusirku.

Entah bagaimana cara pria itu mandi, apa dengan berdiri satu kaki atau dengan duduk di kursi roda, tapi Amar sudah keluar dari kamar mandi dengan keadaaan sudah berganti.

Padahal Azura tidak melihat Pria itu membawa handuk atau baju ganti saat masuk ke dalam kamar mandi tadi.

Azura segera melirik betis Amar yang mengenakan celana pendek itu. Perban di sana memang terlihat sedikit sedikit basah.

Azura cepat mengambil tasnya di mana tadi dia memasukkan kantong obat milik Amar dari rumah sakit.

Dia mengambil perban baru dan menghampiri Amar. “Perbannya basah. Biar ku ganti.”

“Aku bisa sendiri.” Tanpa melihat Azura, Amar mengambil kantong plastik dari tangan Azura.

“Kamu mandi saja.” Ucap Amar.

“Eh, i,iya. Tapi,” Azura tidak melanjutkan ucapannya. Amar menoleh, kali ini menatap Azura sekilas.

“Tidak ada ganti yang pantas untukmu disini. Hanya ada,”

“Baju ibu mungkin. Bolehkah aku meminjamnya? Besok aku bisa membeli ganti untukku.”

Amar mengerti, Azura mungkin sudah dari kemarin tidak mandi dan berganti sama seperti dirinya.

“Tapi, ibu hanya punya daster saja.”

“Tidak apa-apa. Apa saja asal malam ini aku bisa berganti.”

“Kalau begitu, kalau kamu mau, pakai saja bajuku. Ada berapa di dalam lemari itu. Tapi tidak ada yang bagus.”

Azura mengangguk setuju, pikirnya dari pada dia memakai daster, lebih baik dia memakai baju seorang pria saja. Dia segera melangkah dan membuka lemari. Dia memilih celana training dan kaos oblong. Meskipun warnanya sudah pudar tapi ukurannya lumayan kecil. Azura menebak jika pakaian ini adalah milik Amar saat dulu sebelum dia tumbuh dewasa dengan badan yang tinggi dan kekar seperti saat ini.

Azura segera pergi ke kamar mandi. Tidak ada shower disana. Hanya ada sebuah bak kamar mandi yang sederhana dengan gayung yang sudah pecah sedikit di bagian bawahnya. Untung masih bisa dipakai.

Azura membasahi tubuhnya tanpa membasahi rambutnya. Dia memang sengaja tidak ingin keramas karena merasa dingin. Dia celingukan. Hanya ada sabun mandi batangan dan satu sikat gigi.

Dia mendengus, tapi segera sadar sekarang dia sedang berada dimana.

Selesai mandi dia berganti. Azura menatap pakaian yang ia kenakan. Terlihat longgar, tapi ini tidak terlalu buruk dari pada harus mengenakan daster.

Dia keluar kemudian ke dapur. Azura bingung mau apa. Niatnya ingin memasak, ingin menyiapkan makan malam. Dia merasa sangat lapar, mungkin Amar juga. Tapi Azura tidak biasa memasak, juga tidak ada apa-apa di dapur ini yang bisa untuk dimasak.

Azura kemudian memutuskan untuk memesan makanan online saja. Sedikit merasa lega setelah selesai.

Dia duduk di sofa usang milik ruang tamu rumah ini untuk menunggu pesanan. Pikirannya melayang. Dia kembali termenung, melamunkan nasib dirinya yang harus berakhir di rumah ini. Menikahi pria yang sama sekali belum ia kenal. Tetapi melihat keadaan Amar, Azura merasa prihatin. Pria itu hidup hanya dengan ibunya saja. Pasti saat ini Amar sedang dalam rasa kekhawatiran karena memikirkan ibunya.

Azura berusaha menenangkan pikirannya.

Baiklah, menikahi pria itu juga tidak terlalu buruk. Sepertinya keluarga ini juga keluarga yang baik.

Suara ketukan pintu membuat Azura tersentak dari lamunannya. Dia buru-buru membukakan pintu. Seorang kurir mengantar pesanan.

“Terima kasih ya.”

“Sama-sama mbak.”

Setelah selesai dengan urusan itu, Azura segera menutup pintu dan menguncinya, lalu pergi ke kamar lagi sambil membawa dua piring dan air minum.

Dia melihat Amar masih duduk melamun di atas kursi roda. Dia mendekat, meletakan semua yang ia bawa di atas meja kecil.

“Amar, kamu makan dulu ya? Kamu harus minum obatnya.”

Amar menoleh sedikit, lalu mengalihkan pandangannya. Sebenarnya Amar ingin membenci gadis ini. Gadis yang sudah membuatnya harus cacat seperti ini. Tapi melihat kelembutan dan mata yang penuh ketulusan itu, Amar tidak tega. Dia tidak bisa membenci Azura dengan mudah.

Amar menatap makanan yang sudah tersaji diatas meja kecil yang ada di hadapannya. Dia mendongak, “Apa ini kamu beli?”

Azura mengangguk kecil. “Aku memesan makanan. Maaf, aku belum terbiasa memasak. Lagian aku tidak melihat bahan makanan tadi di dapur. Tapi aku janji, besok aku mau belajar memaksa.”

“Ayo, ini enak kok. Juga kebersihannya terjaga.” Sambung Azura segera menyodorkan satu piring makanan pada Amar. Pria itu menyambut, dia masih menatap makanan itu. Bukan soal rasa atau kebersihan makanan ini, yang sedang dipikirkan Amar adalah harga makanan ini.

Dia bukan tidak tau harga untuk dua porsi makanan ini, sebab dia dulu juga pernah bekerja sebagai pengantar makanan online. Jika untuk membeli beras, tahu dan tempe, bisa kenyang untuk makan dalam seminggu. Ini namanya pemborosan! Tapi Amar segera tersadar. Bukankah gadis yang ia nikahi ini adalah putri dari Varega Brahmana? Sudah pasti masalah uang baginya adalah hal sepele.

“Kamu juga makan ya? Dari kemarin, mungkin kamu juga belum makan kan?” Ucap Amar, membuat Azura sedikit tertegun. Pasalnya, baru ini dia mendengar pria ini sedikit perhatian padanya.

“Iya, aku juga mau makan. Aku memang dari kemarin belum makan. Aku sangat ketakutan, sampai tidak sanggup untuk makan.”

Amar sekarang yang tertegun, gadis ini ternyata benar-benar merasa bersalah. Dia tidak seharusnya menyalahkan gadis ini.

“Lupakan saja yang sudah terjadi. Aku minta maaf, sudah marah padamu. Aku hanya sangat emosi. Hidup kami sudah banyak sekali menderita. Aku hanya takut jika harus kehilangan ibuku. Aku belum siap.”

Kedua mata Azura berkaca kaca. “Aku yang minta maaf. Aku sudah salah. Tapi kamu jangan khawatir. Aku berjanji akan menembus semuanya. Aku akan menjaga kalian sampai batas dimana kamu mengusirku nantinya.”

Amar menghentikan suapannya, dia sekilas menatap Azura.

“Mengusir? Maksudnya?”

“Ya kan, kamu menikahiku karena terpaksa. Ibu hanya ingin agar ada yang menjagamu. Siapa tau setelah kamu sembuh, aku tidak lagi dibutuhkan, jadi aku akan siap kapanpun jika kamu mau menceraikan aku.”

Hati Amar berdesir. Bercerai? Bahkan selama ini dia belum terpikir untuk menikah. Dia selalu minder jika ingin mendekati wanita manapun. Dia sadar diri dia siapa. Hanya pria biasa yang tidak punya apa-apa. Siapa juga yang mau dipersunting oleh-nya?

Tapi sepertinya, Takdir sedang memainkan perannya. Tiba-tiba hari ini dia sudah Menikah. Dia memiliki seorang istri yang begitu cantik dan dari kalangan atas. Seperti bermimpi. Tapi, entah dia harus bersyukur atau bersedih atas Pernikahannya ini. Dia belum mengerti apa rencana Tuhan padanya.

“Jangan memikirkan itu dulu, aku hanya berharap aku cepat sembuh seperti sedia kala dan ibuku bisa kembali lagi ke rumah ini. Aku juga minta maaf, jika harus membuatmu terpaksa masuk dalam kehidupanku yang serba kekurangan ini.”

“Eh, tidak apa-apa. Jangan dipikirkan. Aku maumenikah denganmu bukan Karena terpaksa kok. Aku, aku senang.”

Amar mendongak. “Senang?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status