Share

Bab 4. Pulang ke rumah Amar.

Amar menoleh pada Riko, tapi dia belum mengeluarkan ucapan apapun.

“Azura adalah gadis yang baik, saat dia melakukan tindakan bodoh itu karena dia juga dalam keadaan kacau karena memergoki pacarnya selingkuh. Lagi pula, dia adalah seorang putri dari Varega Brahmana. Apa kamu mengenal Varega Brahmana?”

Amar yang tadi menunduk, tiba-tiba mendongak. Dia menoleh pada Azura yang masih sesenggukan di pelukan ayahnya.

‘Jadi Gadis itu, putri Varega Brahmana?’ di dalam hati Amar tentu terkejut setengah mati. Siapa yang tidak mengenal nama Varega Brahmana? Meskipun ini di luar kota sekalipun, Varega Brahmana dikenal hampir seluruh warga kota ini. Sebab Varega Brahmana selalu aktif, menjadi donasi dalam pembangunan jalan, sekolahan dan bahkan sering menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin di kota ini.

Bahkan Amar pernah beberapa kali melamar pekerjaan di perusahaan Brahmana, tapi selalu gagal atau tidak pernah lulus seleksi.

“Tapi kami tidak bisa memaksa, semua keputusan ada di tanganmu. Mungkin Ibumu hanya mengkhawatirkan kamu saja dan Nona Azura hanya ingin menebus kesalahannya.” Riko menepuk bahu Amar, kemudian berdiri. Baru saja dia berdiri, Pintu ruangan sudah terbuka.

Dokter keluar memanggil mereka.

“Pasien sudah sadar dan ingin bicara pada kalian.”

Mereka mengangguk dan kembali masuk.

“Ibu,” Amar mendorong Kursi rodanya untuk mendekati ibunya yang sudah sadar kembali.

“Amar, sebelum operasi itu dilaksanakan, ibu ingin melihatmu menikah. Kamu bersedia kan, Nak?”

“Tapi, Bu. Aku,” Amar Menoleh pada Azura yang telah mendekat dan meraih tangan Bu Umah.

“Ibu, kami akan menikah. Jangan khawatir dan jangan banyak pikiran ya? Ibu harus fokus pada kesembuhan ibu.” ujar Azura, kemudian menoleh pada Amar yang langsung menunduk.

Amar kemudian mendongak, menatap ibunya. “Iya Bu, aku akan menikahinya.”

Bu Umah tersenyum lega.

Pada akhirnya, hari ini juga, di depan Bu Umah yang terbaring lemah sambil melawan rasa sakit, seperti mimpi bagi semua orang. Amar dan Azura pun telah sah menjadi suami istri dengan mahar uang dua puluh ribu yang Amar pinjam terlebih dahulu pada Pak Gani yang juga menjadi saksi ijab kabul mereka.

Tidak ada perasaan sedih maupun bahagia yang dirasakan kedua orang lain jenis yang saat ini telah sah menjadi suami istri ini. Hanya terus berdoa dan besar harapan mereka agar Bu Umah akan segera membaik.

Ega meneteskan air mata, dia teramat sedih karena pernikahan putri satu-satunya miliknya itu harus terjadi dengan keadaan seperti ini. Jauh dari kata sederhana dan dalam keadaan darurat. Tanpa hadirnya sanak saudara bahkan seorang ibu.

“Jangan beritahukan pada siapapun juga tentang pernikahan mereka ini. Sungguh aku belum siap.” Ucap Ega pada Riko yang mengangguk. Mengerti bagaimana perasaan Ega saat ini.

Ega sengaja merahasiakan semua ini dulu dari semua orang khususnya dari Wulan. Dia tidak ingin istrinya panik dan kepikiran. Ini juga telah disetujui oleh Azura.

Hingga malam telah tiba, jadwal operasi Bu Umah telah ditentukan yakni besok sore. Meskipun Bu Umah sudah menolak beberapa kali dan pasrah, tapi pihak dari Ega terus mendesak dokter agar tetap melakukan operasi.

Saat ini Pak Gani juga sudah berpamitan sejak tadi.

“Papa, sebaiknya Papa pulang saja. Kasihan Mama, jika Papa terlambat pulang pasti Mama akan bertanya-tanya dan khawatir.” Ucap Azura.

Ega menghela nafas, “Bagaimana denganmu Azura? Apakah kamu akan ikut pulang, atau,” dia begitu ragu untuk meninggalkan Azura seorang diri.

“Papa, percaya padaku ya? Aku akan baik-baik saja. Aku bisa jaga diri. Papa beri pengertian pada Mama pelan-pelan saja. Tolong beri Azura kesempatan untuk menebus rasa bersalahku ini. Lagi pula, aku sudah menjadi istri orang. Tidak mungkin harus meninggalkan suamiku seorang diri di sini.”

Deg! Jantung Amar berdesir kala dia mendengar ucapan dari Azura pada ayahnya, sebab dia memang berada tidak jauh dari mereka.

Ega sendiri mengusap wajahnya dengan kasar. “Azura, jika ada apapun, tolong beritahu papa secepatnya. Papa akan selalu tepat waktu ada untukmu.”

Ega memeluk putrinya, memberi kecupan panjang berkali-kali pada kening Azura seperti sangat berat untuk berpisah dengannya.

Padahal, Azura sudah sering pergi dan hidup jauh darinya, tapi kali ini Ega merasa begitu berat. Apa karena saat ini Azura sudah menjadi hak orang lain? Yaitu pria yang belum diketahui sama sekali asal usulnya dan kini telah sah menjadi menantunya itu.

Baiklah. Ega meyakinkan diri. Segala sesuatu yang terjadi sudah pasti adalah rencana Allah. Ega tidak ingin terlalu banyak menentang sekarang. Dia kemudian pamit, dan mengajak Riko untuk pulang.

Sementara Bu Umah, terdengar berbicara pada Amar.

“Ajak saja pulang Nak Azura, Amar. Kasihan dia. Mungkin dia capek dan ingin beristirahat.”

“Tapi, Bu.”

“Amar, kamu bukan anak ibu yang suka membantah kan?”

Amar menunduk, “Maafkan aku, Bu. Baiklah.” Amar kemudian menoleh pada Azura, tanpa senyuman dia berkata,

“Apa kamu bersedia pulang ke rumah kami?”

Azura tersenyum lembut dan mengangguk. Setelah berpamitan pada Bu Umah sang ibu mertuanya kini, Azura mendorong kursi roda Amar untuk keluar.

“Aku bisa sendiri.” Amar menolak, saat Azura mendorong kursi rodanya. Tapi Azura tidak menggubris, dia tetap mendorong kursi roda sampai pada mobilnya. Dia melihat mobil ayahnya. Dia memeriksa ponsel, Ega mengirimnya pesan, "Azura, kamu pakai mobil Papa.”

Azura mengerti kekhawatiran ayahnya. Dia sangat merasa beruntung memiliki seorang ayah yang begitu menyayangi dirinya.

Azura kemudian membuka pintu mobil dan membantu Amar untuk masuk ke dalam mobil. Setelah melipat dan menyimpan kursi roda di dalam bagasi, Azura masuk dan mengemudi. Sepanjang perjalanan mereka berdua terdiam. Tidak ada obrolan sedikitpun kecuali hanya saat Azura meminta petunjuk jalan ke arah rumah Amar.

Azura tertegun saat mereka sudah tiba didepan rumah Amar. Rumah kecil dan sederhana itu hanyalah sebuah kontrakan yang menjadi tempat tinggal Amar dan ibunya. Beruntung ini merupakan satu rumah utuh.

Azura mendorong Amar masuk kedalam.

“Itu kamarku.” Amar menunjuk sebuah kamar. Azura langsung membawa Amat lr masuk ke dalam kamar yang ditunjuk Amar tadi.

Dia kembali tertegun, kamar sempit dengan satu dipan kecil yang hanya muat satu orang saja. Lalu lemari plastik yang sudah usang ada di pojok kamar. Tapi beruntung, masih ada kamar mandi di dalam kamar itu.

“Apa kamu mau mandi? Aku siapkan air hangat ya? Atau kamu mau di lap saja?” Tanya Azura.

Amar mendongak, dia hampir tidak percaya jika gadis cantik dan putri pengusaha kaya raya itu bisa menawarkan sebuah kebaikan seperti itu.

“Tidak usah, aku mandi air dingin saja.”

“Tapi ini sudah malam, tidak baik mandi air dingin. Apalagi kamu belum sembuh total.”

Akhirnya setelah diam beberapa saat, Amar mengangguk.

Azura segera keluar mencari dapur, kemudian merebus air. Setelah mendidih baru dia membawanya dengan sebuah ember. Tidak terlalu sulit baginya meskipun ini adalah pengalaman pertamanya merebus air.

Dia segera menyiapkan air hangat untuk Amar.

“Ayo mandi. Airnya sudah siap. Aku akan membantumu ke kamar mandi.”

“Eh, tidak perlu.” Amar menolak.

“Tapi bagaimana jika perban di kakimu basah?”

“Tidak akan basah, aku akan berhati-hati.” Jawab Amar, segera menggerakkan kursi rodanya ke kamar mandi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status