Share

Bab 2. Pemuda Itu Telah Menyelamatkan Kamu.

Azura tercengang hebat, dia menatap ke bawah. Seketika dia merasa ngeri dan tersadar akan perbuatan bodohnya. “Tolong…!” Dia berteriak sambil menggenggam erat pergelangan tangan pemuda itu.

“Bertahan, Nona! Tenang ya, jangan panik! Aku akan menolongmu!” Amar berusaha sekuatnya untuk menarik tubuh Azura ke atas. Tapi ketika tubuh Azura berhasil mendarat, tangan Amar terlepas dan kakinya hilang keseimbangan.

Tubuh pemuda itu terjun bebas ke dasar jurang menggantikan posisi Azura.

“Tidak….!” Azura menjerit sangat kuat melihat itu. Lalu kesadarannya mulai menghilang hingga dia mendengar suara-suara jeritan di sekitarnya meminta tolong. Lalu pandangannya pun menjadi gelap.

***

Azura mengerjapkan mata, dia menatap sekeliling. Ada cahaya lampu neon di atasnya terasa menyilaukan.

“Ini rumah sakit?” Dia mencoba mengingat apa yang terjadi. Ingatannya kabur, hanya ada kilasan kejadian terakhir; teriakan, lalu kegelapan.

Suara pintu terbuka perlahan. Seorang perawat masuk dan tersenyum padanya. Dia memeriksanya di beberapa bagian tubuhnya lalu mencatat sesuatu di buku catatan yang dia bawa. Setelah itu perawat itu keluar dan berganti dengan kemunculan Ega sang ayah Azura dan juga Riko, sekretaris ayahnya.

"Syukurlah kamu tidak apa-apa," ucap Ega dengan perasaan lega.

"Kata dokter kamu tidak apa-apa, kok. Hanya kaget saja," kata Riko menimpali.

Ingatan Azura perlahan-lahan kembali. Ingatan tentang apa yang telah terjadi.

"Pa, ada pemuda yang jatuh ke jurang karena menolongku...." Azura menghentikan ucapannya. Dadanya tiba-tiba berdebar mengingat nasib pemuda itu. Apa dia baik-baik saja atau tidak selamat?

"Pemuda itu yang sudah menyelamatkan nyawa kamu, Azura." Ega dan Riko saling melempar pandang untuk beberapa saat.

"Maafin aku, Pa. Aku menyesal sudah berniat untuk meninggalkan dunia ini. Aku kacau sekali, Pa," isak Azura.

Dia perempuan yang kuat, tapi sekuat-kuatnya perempuan jika dipatahkan hatinya dengan begitu tiba-tiba, dikecewakan luar biasa seperti ini, apalagi dirinya memiliki harapan yang besar dengan hubungannya bersama Edward, tentu hatinya remuk dan juga labil.

Azura yang masih sesenggukan mendengarkan ucapan sang ayah dan tentu saja membenarkannya.

"Terus, pemuda yang menolong itu bagaimana, Pa? Aku mau menengok dia," ujar Azura saat bayangan pemuda yang menolongnya terlintas dalam benaknya.

"Dia di ruang ICU. Kata dokter dia mengalami luka yang cukup parah di bagian kakinya." Riko yang akhirnya menceritakan apa yang terjadi pada Azura, “Ibunya syok dan jatuh pingsan. Kata dokter, ibu pemuda itu memang punya riwayat penyakit jantung. Sekarang juga sedang ditangani dokter.”

Azura benar-benar syok mendengarnya.

"Ya Allah," ucap Azura lirih. Pemuda itu membahayakan nyawanya sendiri demi menolongnya, orang yang sama sekali tidak dia kenal. Dan ibunya harus dirawat juga karena syok. "Terus bagaimana, Pa, Paman?" rengeknya kemudian.

Ega menghela napas dalam-dalam. "Kita berdoa saja semoga pemuda itu segera sadar dan ibunya juga baik-baik saja. Papa berhutang budi padanya karena telah menyelamatkan nyawamu tanpa peduli dengan keselamatannya sendiri."

“Papa..” Azura langsung memeluk ayahnya dan menangis tersedu-sedu.

“Tenang sayang, tenang ya? Jangan terlalu cemas. Kita akan menghadapi sama-sama. Jangan khawatir. Papa disini untukmu.” Ucap Ega, mengelus lembut punggung Azura.

“Aku takut, Pa. Dua orang itu sama-sama kritis. Aku takut sekali.”

“Semua akan baik-baik saja. Tenang ya.” Ega mendudukan Azura di tepi ranjang sakit. membawanya ke bangku panjang.

Ega menatap Azura, dia menggenggam erat tangan putrinya dan bertanya, “Azura, kamu tidak biasanya begini. Kenapa tiba-tiba kamu nekat dan bertindak konyol seperti itu? Apa yang terjadi, Nak? Apa Azura sedang ada masalah? Cerita pada papa.”

Bukannya menjawab, Azura justru kembali memeluk Ega dan kembali menangis tersedu-sedu.

Ega membiarkan putrinya menangis dengan puas terlebih dulu. Setelah melihat Azura mulai tenang, barulah Ega bertanya lagi.

Kali ini meskipun masih dengan sesenggukan, Azura menceritakan semuanya. Dari awal dia memergoki Edward sedang bergumul dengan sekretaris pribadinya sampai dia tak sadar sudah mengendarai mobil hingga keluar kota dan melakukan hal paling bodoh itu.

“Azura menyesal, Pa. Sudah mengikuti emosi dan tidak bisa mengontrolnya. Seharusnya Azura pulang saja atau berhenti di kafe atau dimana agar tenang dulu.”

Ega menarik nafas berat, dia mengepalkan tangannya. Merasa begitu kecewa dengan sikap bejat Edward yang hampir saja ia percaya untuk menjadi menantu laki-lakinya.

Tapi dia tetap merasa bersyukur putrinya bisa mengetahui keburukan sikap pria itu sebelum hubungan mereka masuk lebih jauh. Dan bersyukur Azura selamat.

“Jangan khawatir, Papa ada di sini untukmu.” Ega kembali memeluk Azura dan menoleh pada Riko.

“Temui kepala rumah sakit ini. Dan katakan untuk melakukan yang terbaik untuk kedua ibu dan anak itu.”

“Baik, Mas.” Riko mengangguk kemudian berlalu.

Hingga beberapa jam lamanya mereka menunggu dengan perasaan gelisah, Riko pun sudah datang sejak tadi dari menemui kepala rumah sakit, Dokter yang menangani dua orang itu pun keluar.

Mereka yang ada segera menghampiri sang dokter.

“Bagaimana keadaan mereka?” Azura yang pertama bertanya.

Dokter terlihat menarik nafas berat.

“Dua pasien sudah mulai sadar. Tapi, justru ibu saudara Amar lumayan parah. Jadi kami harus melakukan operasi secepatnya pada jantung pasien. Dan masalahnya harapan selamat ibu itu hanya sekitar 25% saja. Tapi jika kita tidak usaha melakukan apapun, bisa jadi justru berakibat fatal.”

“Astagfirullahaladzim..!” Mereka beristighfar.

“Lalu bagaimana dengan pemuda itu, Dok?” Sekarang Ega yang bertanya.

“Saudara Amar sudah lebih baik, tidak terlalu parah. Hanya saja dia mengalami patah tulang kaki bagian kanan dan menyebabkan dia lumpuh bagian kanan.”

“Ya Allah..” Azura menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Kembali air matanya berjatuhan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status