Azura menginjak pedal gas dengan emosi. Mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi.
Hatinya saat ini dipenuhi dengan rasa kecewa dan sakit hati. Bagaimana tidak? Sudah beberapa kali dia mendengar dari temannya tentang kabar yang mengatakan jika Edward sering bersama perempuan lain pergi ke hotel. Awalnya Azura tidak begitu mempercayai gosip yang dianggapnya murahan itu. Tapi hari ini, saat beberapa kali panggilannya diabaikan oleh pria yang telah menjadi pacarnya selepas SMA itu, dia pergi ke perusahaan milik Edward untuk mencoba menemuinya karena ingin membahas permintaan orang tuanya yang menginginkan dia segera meminta keseriusan dari Edward. Dengan mata dan kepalanya sendiri, Azura memergoki Edward sedang tumpah tindih dengan Alya sekretaris Edward sendiri. Saat itu bukan hanya Edward sendiri yang terkejut ketika kelakuan bejatnya diketahui langsung oleh yang kekasih yang teramat ia kagumi, tapi Azura pun sangat terkejut dan syok. Tanpa berharap sebuah penjelasan atau tanpa ingin bertanya pada Edward, kenapa kamu tega mengkhianati aku seperti ini, Azura langsung menarik mundur langkahnya. Meskipun Edward sempat berteriak memanggil, bahkan mengejar, tapi Azura tak mau lagi peduli. Dia pergi begitu saja dengan bersumpah dalam hati untuk tidak akan pernah memaafkan Edward. Saat itu juga dia mengatakan pada Edward lewat pesan chat, "Kita sudah berakhir. Jangan pernah menemuiku lagi!" Azura masih mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Pikirannya kacau sampai dia tidak lagi sadar jika sudah melaju lebih dari dua jam. Mobilnya sudah jauh meninggalkan jalanan kota. Melewati jalanan yang sepi pengguna. Bayangan Edward tumpah tindih dengan Alya tadi kembali menari di benaknya. "Kenapa?!" Dia berteriak melampiaskan emosi yang memuncak. Sungguh Azura menyesal. Selama ini dia mencintai Edward dengan setia. Meskipun dia dan Edward selalu hidup berjauhan dan harus menjalani LDR karena masing-masing harus belajar di luar negeri, tapi Azura selalu menjaga kesetiaan dan selalu percaya seratus persen pada Edward. Pria itu bukan hanya selalu memberinya perhatian yang baik, juga sudah dekat dengan keluarganya bahkan Mereka sudah mendapatkan Restu dari keluarga Brahmana kecuali Azam, dan sialnya Azura begitu mencintai Edward melebihi apa pun. Azura juga menyesal saat tidak pernah menggubris ucapan kakak kembarnya itu yang selalu mengatakan jika Edward bukan pilihan yang baik. Kala itu Azura tidak pernah menganggap ucapan Azam. "Jika dia benar-benar serius padamu, jika dia benar-benar mencintaimu, dia akan segera melamarmu. Apapun keadaannya. Melamar, belum tentu harus secepatnya menikah. Hanya sebagai bukti bentuk keseriusan seorang laki-laki! Tapi dia tidak juga melakukan. Apa namanya, pria seperti itu jika bukan tidak berniat serius?” Azura melamun, Azura termenung mengingat ucapan Azam. Namun dadanya seakan terhimpit beban yang begitu berat hingga dirinya harus mengatur napas dengan susah payah. "Papa beri waktu satu bulan! Jika Edward belum juga melamarmu, maka putus saja kalian." Kala itu Ega pun berpendapat sama dengan Azam. Tapi Azura meyakinkan mereka jika sebentar lagi Edward akan melamarnya. Benak Azura semakin kacau. Dia menepikan mobil di samping pembatas jalan yang membatasi jalan dengan jurang di sampingnya. Azura keluar mobil dengan memegangi dadanya yang terasa begitu sesak. Sakit, kecewa, jijik, semua bercampur menjadi satu sebagai akibat dari penghianatan kekasihnya. Isi kepalanya terasa gelap dan Azura tidak dapat berpikir jernih. Azura menopang tubuhnya pada pembatas jalan sambil matanya menatap ke dalam jurang. Dia tidak memedulikan beberapa kendaraan yang lewat di belakangnya bahkan saat ada beberapa pengendara bersiul atau menggodainya. Yang ada dalam benak Azura saat ini adalah melompat ke dalam jurang dan tenggelam di dasarnya. Mati mungkin mampu melebur lukanya. Pelan Azura menaiki pembatas jalan dan kini dia berpegangan pada besinya. Jika dia lepaskan pegangan tangan, maka bisa dipastikan dirinya akan berguling ke dasar jurang yang curam. Diseberang jalan itu, tiba-tiba terdengar suara berteriak. “Amar, gadis itu sepertinya mau bunuh diri!” Amar, pemuda yang sedang mengendarai motor bersama ibunya itu terkejut, dan menoleh ke arah telunjuk ibunya. “Ya Allah!” Pemuda itu segera menghentikan motornya. “Tolong gadis itu, Amar! Dia bisa mati kalau terjun ke jurang itu!” Ibu pemuda itu berkata pada anaknya. “Tapi, Bu..” “Cepat, Amar! Jangan banyak berpikir! Ini urusan nyawa!” Amar mengangguk, “Iya, Bu. Tunggu sebentar.” Amar yang baru saja akan pulang kerumah dari rumah sakit mengantar Ibunya berobat itu pun segera menstandarkan motornya dan segera berlari mendekati Azura. "Hei, Nona! Hentikan!" Azura menoleh, dia melihat seorang pemuda yang baru saja turun dari motornya dan berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya. Di kursi belakang motor tampak seorang perempuan paruh baya dengan ekspresi wajah cemas. Azura tidak mengenal pemuda itu, pun si perempuan tua yang kini berdiri di samping motor. "Apapun masalah kamu, tolong jangan lakukan itu." Si pemuda membujuk Azura. Namun Azura justru naik pitam. Siapa dia beraninya mencampuri urusannya. "Tidak usah ikut campur. Aku tidak kenal kamu dan kamu tidak tahu apa-apa!" hardik Azura dengan mata menyala marah. Si pemuda menggeleng. "Tolong jangan lakukan, Nona. Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah." Dia ulurkan tangannya pada Azura dan mendekatinya pelan. "Mundur, jangan mendekat!" Ancam Azura. Namun Amar tidak memedulikan seruannya. Dia menangkap satu tangan Azura dan menarik sekuat tenaganya. Tapi malangnya, Azura sudah melepaskan tangan yang lain sehingga berat badannya memaksa dirinya terjatuh. Tetapi Amar masih bisa menahan tubuh Azura dengan satu tangan memegang pergelangan tangan gadis itu dan satu tangan bertahan di besi pembatas jalan.Azura tercengang hebat, dia menatap ke bawah. Seketika dia merasa ngeri dan tersadar akan perbuatan bodohnya. “Tolong…!” Dia berteriak sambil menggenggam erat pergelangan tangan pemuda itu. “Bertahan, Nona! Tenang ya, jangan panik! Aku akan menolongmu!” Amar berusaha sekuatnya untuk menarik tubuh Azura ke atas. Tapi ketika tubuh Azura berhasil mendarat, tangan Amar terlepas dan kakinya hilang keseimbangan. Tubuh pemuda itu terjun bebas ke dasar jurang menggantikan posisi Azura. “Tidak….!” Azura menjerit sangat kuat melihat itu. Lalu kesadarannya mulai menghilang hingga dia mendengar suara-suara jeritan di sekitarnya meminta tolong. Lalu pandangannya pun menjadi gelap. *** Azura mengerjapkan mata, dia menatap sekeliling. Ada cahaya lampu neon di atasnya terasa menyilaukan. “Ini rumah sakit?” Dia mencoba mengingat apa yang terjadi. Ingatannya kabur, hanya ada kilasan kejadian terakhir; teriakan, lalu kegelapan. Suara pintu terbuka perlahan. Seorang perawat masuk dan tersenyum p
“Tapi, jangan terlalu khawatir. Kelumpuhannya tidak permanen. Masih ada kemungkinan untuk sembuh.” Ucapan Dokter, sama sekali tidak membuat Azura tenang. Dia malah semakin khawatir dan panik. “Oh ya. Kalian boleh menemui Pasien, karena pasien perempuan, ingin bertemu dengan kalian.” Ega mengangguk, “Kami akan menemui mereka. Terima kasih, Dokter. Jika memang memerlukan tindakan lebih lanjut, tolong berikan yang terbaik untuk mereka. Soal biaya jangan khawatir, kami yang akan menanggung semuanya.” Dokter mengangguk kemudian pamit undur diri. Sementara Azura segera bergegas masuk kedalam ruangan dimana mereka dirawat. Ega , Riko, juga Pak Gani mengikuti Azura. Sampai disana dia melihat Amar sudah duduk di kursi roda dan sedang berada di samping ranjang sakit Bu Umah ibunya. Amar terlihat menangis sambil menggenggam erat tangan Ibunya. Melihat kedatangan Azura, pria itu menoleh. Terlihat tatapannya menjadi dingin. Andai saja dia tidak menolong gadis itu dan membiarkannya bunuh diri,
Amar menoleh pada Riko, tapi dia belum mengeluarkan ucapan apapun. “Azura adalah gadis yang baik, saat dia melakukan tindakan bodoh itu karena dia juga dalam keadaan kacau karena memergoki pacarnya selingkuh. Lagi pula, dia adalah seorang putri dari Varega Brahmana. Apa kamu mengenal Varega Brahmana?” Amar yang tadi menunduk, tiba-tiba mendongak. Dia menoleh pada Azura yang masih sesenggukan di pelukan ayahnya. ‘Jadi Gadis itu, putri Varega Brahmana?’ di dalam hati Amar tentu terkejut setengah mati. Siapa yang tidak mengenal nama Varega Brahmana? Meskipun ini di luar kota sekalipun, Varega Brahmana dikenal hampir seluruh warga kota ini. Sebab Varega Brahmana selalu aktif, menjadi donasi dalam pembangunan jalan, sekolahan dan bahkan sering menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin di kota ini. Bahkan Amar pernah beberapa kali melamar pekerjaan di perusahaan Brahmana, tapi selalu gagal atau tidak pernah lulus seleksi. “Tapi kami tidak bisa memaksa, semua keputusan ada di tanganmu.
Entah bagaimana cara pria itu mandi, apa dengan berdiri satu kaki atau dengan duduk di kursi roda, tapi Amar sudah keluar dari kamar mandi dengan keadaaan sudah berganti.Padahal Azura tidak melihat Pria itu membawa handuk atau baju ganti saat masuk ke dalam kamar mandi tadi.Azura segera melirik betis Amar yang mengenakan celana pendek itu. Perban di sana memang terlihat sedikit sedikit basah.Azura cepat mengambil tasnya di mana tadi dia memasukkan kantong obat milik Amar dari rumah sakit.Dia mengambil perban baru dan menghampiri Amar. “Perbannya basah. Biar ku ganti.”“Aku bisa sendiri.” Tanpa melihat Azura, Amar mengambil kantong plastik dari tangan Azura.“Kamu mandi saja.” Ucap Amar.“Eh, i,iya. Tapi,” Azura tidak melanjutkan ucapannya. Amar menoleh, kali ini menatap Azura sekilas.“Tidak ada ganti yang pantas untukmu disini. Hanya ada,”“Baju ibu mungkin. Bolehkah aku meminjamnya? Besok aku bisa membeli ganti untukku.”Amar mengerti, Azura mungkin sudah dari kemarin tidak mand
“Ya. Awalnya memang aku terpaksa karena takut kalian jebloskan ke penjara. Tapi ada dua keberuntungan yang aku dapat. Pertama, aku bisa menembus rasa bersalahku pada kalian. Jadi aku tidak akan hidup dalam rasa bersalah. Kedua, karena sekarang aku sudah menikah dan punya suami, aku bisa lepas dari pria Brengsek yang sudah menghianatiku.”Amar sebenarnya kesal dengan jawaban Azura, tapi dia berpikir siapa pria yang sudah bodoh menyia-nyiakan gadis secantik dan sebaik Azura? Bahkan Amar saja bisa menilai jika Azura ini meskipun Anak Sultan tapi adalah gadis yang baik.Apalagi ayahnya, Varega Brahmana terkenal sebagai seorang Pengusaha kaya yang baik dan rendah hati. Juga sangat bijaksana, jika tidak mana mungkin Beliau mau menikahkan putrinya dengan dirinya. Bisa saja kan, mereka melakukan apapun untuk menentang kemauan ibunya. Biasanya orang kaya seperti itu. Mereka punya banyak uang untuk melakukan apapun jadi sangat gampang.Malam sudah larut, mereka sudah selesai makan dan Azura sud
“Terima kasih atas bantuanmu.”“Terima kasih? Tidak perlu. Itu semua sudah menjadi tanggung jawabku.”“Tetap saja, aku perlu berterima kasih padamu yang mau membiayai semua biaya operasi ibuku.”“Iya. Tapi ibumu sakit juga karena aku. Jadi kita perlu berterima kasih kepada Tuhan yang telah menyelamatkan ibu.”Amar mengangguk, memang Allah yang telah memberi kesembuhan pada Ibunya, tapi jika Azura bukan tipe orang yang bertanggung jawab, belum tentu Ibunya akan ditangani dengan cepat dan baik seperti saat ini. Amar sampai lupa, jika gadis ini yang telah menyebabkan ibunya harus terbaring dirumah sakit dan harus menjalani operasi seperti itu, saking bersyukurnya.Mereka berdua masih terlihat sama-sama tersenyum.“Oh ya, ini kamu masak nasi goreng ya?” Azura bertanya, sambil mencium aroma makanan di atas meja.“Iya. Maaf, hanya bisa memasak ini saja untuk sarapan.” Amar menyodorkan satu piring nasi untuk Azura.“Eh, tidak apa-apa. Aku suka nasi goreng. Kalau dirumah, Mamaku suka membuat
“Paman, aku tidak bisa ikut pulang. Aku harus menunggu ibu Umah pulang ke rumah ini. Aku sama sekali belum menebus kesalahanku pada mereka. Dan yang paling utama, aku ini sudah menikah. Jadi, sebelum orang yang menikahiku yang menceraikan aku, aku tidak akan menggugatnya cerai.”Amar tertegun mendengar jawaban Azura. Dia tidak menyangka jika Azura akan berkata seperti itu pada Pamannya.Sementara Riko menaikkan kedua alisnya.“Azura, meskipun Amar menikahimu tapi Amar pasti akan membencimu karena bagaimanapun juga kamu yang telah menyebabkan dia cacat. Papa kamu dan paman mengkhawatirkan kamu. Kami takut Amar tidak memperlakukanmu dengan baik.”“Tidak Paman, Amar memperlakukan aku dengan baik. Dia tidak membenciku, kok.” Protes Azura.Riko mengangguk kecil. “Baiklah. Bagaimana baiknya menurutmu saja. Paman akan sampaikan pada Papamu. Tapi ingat ya Azura, kalau ada apa-apa langsung kabari kami.”Azura mengangguk, “Terima kasih sudah mengantar pakaian Azura dan laptop Azura.”“Iya, tida
“Maaf, sudah merepotkanmu.” Dengan ragu Amar menerima uang itu, karena dia memang tidak memiliki uang sama sekali.“Jangan bilang begitu, suami istri tidak boleh saling perhitungan.”Hati Amar ingin menangis rasanya mendengar ucapan manis Azura.“Aku akan membeli banyak sayuran dan memasak untukmu. Tadi pagi kamu hanya makan nasi goreng.” Ujar Amar.“Emm.. nanti ajak aku masak ya?”Amar mengangguk dan tersenyum, lalu pergi keluar.Azura menatap langkah terpincang-pincang pria itu. Matanya berkaca-kaca.“Aku tidak ingin meninggalkanmu, Amar. Tidak peduli kita bertemu dengan keadaan yang tidak menyenangkan dan tidak saling mencintai, tapi entah kenapa. Aku ingin menjagamu.” Azura mengusap setitik air bening yang jatuh ke pipinya. Dia kemudian berbalik, mengambil uang 20 ribu mahar dari Amar kemarin.Dia menarik nafas berat. Memandangi uang itu. Meskipun hanya selembar uang 20 ribuan, entah kenapa bagi Azura uang itu sangat berharga baginya. Dia kemudian menyimpannya dengan baik-baik di
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s