Sepulang dari rumah sakit, Satria terlihat biasa saja, tak merasa bersalah sedikitpun. Luka yang dirasakan Nayra, seolah tak ada arti apapun baginya. Melihat kepulangannya, Satria tak bergeming, tetap fokus pada laptop dan beberapa berkas di meja.
Satria pura-pura sibuk. Nayra berusaha mendekatinya, namun tak diindahkan sama sekali. Nayra menghela napas panjangnya, dan berusaha untuk senantiasa melayani Satria dengan baik. “Mas, sepertinya kau sedang sibuk. Ini, aku buatkan teh hijau untukmu.” Nayra menaruh secangkir teh di depan meja Satria. “Aku tak haus!” ujar Satria. “Ya, nanti saja jika kau haus. Mas, ke mana saja beberapa hari ini? Kenapa Mas tak mengabari aku?” tanya Nayra penuh pengharapan. “Aku sibuk! Aku tak ada waktu untuk memberi kabar. Toh, tak kuberi kabar pun kau masih tetap hidup kan?” Satria menatap Nayra penuh amarah. Pria itu sama sekali tak sadar, jika wanita dihadapannya ini baru saja pulang dari rumah sakit akibat perbuatannya. Tak ada rasa khawatir, tak ada rasa rindu, Satria malah memerlihatkan sifat acuhnya pada Nayra. “Mas …,” Perlahan Nayra memegang lengan Satria, berusaha merayunya agar sedikit lembut padanya. Satria menepis tangan Nayra yang memegang lengannya. Satria marah, ia tak suka ada yang memegangnya, meskipun itu adalah istrinya sendiri. Satria menepis tangan Nayra. Nayra terhuyung keras, hingga tanpa disadari, cangkir yang berisi teh hijau itu pun terjatuh, dan berceceran di lantai. “Dasar tak becus! Sudah kubilang aku tak mau minum teh! Cepat bersihkan! Kau memang benar-benar pembawa masalah!” Satria membawa laptopnya dan pergi meninggalkan Nayra dengan pecahan cangkir yang berantakan. Nayra memegangi dadanya, berusaha untuk tetap tegar, meskipun dadanya terasa begitu sesak atas perlakuan Satria padanya. Bulir bening di pelupuk matanya tak bisa ia tahan lagi. Akhirnya Nayra menangis, perasaannya sangat hancur bukan main. Nayra berusaha memerlakukan Satria sebaik mungkin, namun apa yang kini ia dapat? Pernikahan ini tidaklah sehat. Nayra sudah lelah, namun apa dayanya? Mungkinkah Nayra bisa keluar? Kondisi Nayra masih belum pulih, ia berharap jika Satria akan memperhatikannya, dan bersikap hangat padanya. Namun ternyata nihil, Nayra malah mendapat perlakuan tak wajar dari suaminya itu. Mbok Ayu mendengar pecahan gelas dari dalam kamar, yang disusul dengan keluarnya Satria. Setelah Satria masuk ke ruang kerja pribadinya, Mbok Ayu pun segera naik ke atas, masuk ke dalam kamar Nayra. Mbok Ayu kaget, melihat tangan Nayra berdarah karena mengambil pecahan kaca tanpa pelindung sedikitpun. Tatapan Nayra kosong, air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Tanpa basa-basi, Mbok Ayu langsung merangkul Nayra, dan menghentikan aktivitas yang membahayakan itu. Mbok Ayu memang lancang, tapi ia harus menghentikan Nayra. “Non, cukup. Jangan dilanjutkan lagi! Ini sangat membahayakan. Ya Allah, Ya Tuhanku, kenapa hidup Non Nayra harus sesulit ini. Maafkan Mbok yang tak bisa menolong Non Nayra,” tukas Mbok Ayu. “Mbok, Mas Satria tak seperti yang kalian bayangkan. Perbuatannya padaku sungguh mengerikan. Aku sudah tak sanggup lagi, sampai kapan aku harus seperti ini?” Nayra menangis sesenggukan dipelukan Mbok Ayu. “Non, dahulu Mbok pernah bekerja untuk keluarga keturunan Tionghoa. Suaminya mirip seperti Tuan, dia kejam, dan Nyonya besarnya ingin bercerai. Dia ingin harta gono gini, dia menyewa pengacara, karena akan kuat hukumnya dengan pengacara. Apakah Non Nayra mau melakukan hal yang sama?” “Mbok, apa kau mendukungku untuk bercerai?” “Pria yang suka memukul, itu adalah watak asli yang sulit untuk dihilangkan. Jika Non Nayra ingin keluar dari jeruji itu, Mbok akan bantu, Mbok ingin Non Nayra bahagia, Non orang yang baik, Non berhak bahagia.” “Mbok, bantu aku mencari pengacara. Aku akan melakukan apa yang dilakukan oleh majikanmu dulu. Biarlah aku membayar apa yang Mas Satria berikan padaku. Aku tak akan meminta harta gono-gini, aku hanya ingin melepaskan diri darinya.” Nayra masih sesenggukan. Mbok Ayu memahami apa yang terjadi, ia pun mengangguk mantap, dan berjanji akan membantu Nayra. Apa pun kesulitan yang Nayra hadapi, semoga akan ada jalan keluarnya. . Nayra pergi ke sebuah firma hukum tanpa sepengetahuan Satria. Satria sedang di kantornya, dia tak akan tahu ke mana Nayra pergi hari ini. Sesampainya di kantor hukum, Nayra menunjuk sebuah pengacara yang handal untuk menangani kasusnya. Nayra telah konsultasi dan mengutarakan semua permasalahan rumah tangganya. Nantinya tim pengacara Nayra akan membuat gugatan yang diserahkan ke pengadilan. Nayra tinggal menunggu waktu, untuk menggugat Satria lewat pengacaranya. Setelah pembicaraan mereka selesai, Nayra pun bergegas untuk pulang, takut jika Satria akan mengetahui hal ini. Nayra sedang menunggu taksi online, namun rupanya tak sesuai harapannya, sulit sekali mendapat driver di saat jam-jam istirahat seperti ini. Nayra masih menunggu dengan tenang, hingga sebuah sedan hitam berhenti di hadapannya. Nayra mengernyitkan dahinya, karena sampai saat ini pun belum ada pengemudi online yang menerima pesanannya. Nayra mengangkat pandangan dari layar ponselnya pada sedan hitam itu. Lalu menunduk ketika kaca jendela penumpang bagian depan sudah terbuka sempurna. Nayra tertegun. “Masuk.” Nayra mengerjap. Melihat Arvin lagi tiba-tiba ia merasa ada letupan perasaan di dadanya. Namun, detik berikutnya Nayra sadar, lantas ia menggeleng dan membalas, “Tidak usah, Kak, terima kasih.” “Masuklah,” perintah Arvin sekali lagi. “Suamimu tidak akan tahu.” “T-tapi, Kak,” Nayra mengigit ujung bibirnya. Rasa cemas dan takut tak bisa ia hindarkan saat ini. “Aku yang akan menghadapi suamimu, jika dia marah padamu.” Ucapan Arvin sangat tegas, namun anehnya Nayra merasa ucapan Arvin juga mengisyaratkan bahwa pria itu akan melindungi Nayra. Nayra mengangguk pelan, memberanikan diri untuk masuk ke dalam mobil Arvin. Setelah Nayra duduk di kursi penumpang depan, Nayra agak kaget ketika tanpa basa-basi Arvin memakaikan sabuk pengaman untuk dirinya. Nayra menahan napas ketika wajahnya dengan wajah samping Arvin begitu dekat. Baru ketika Arvin kembali pada posisinya di belakang kemudi, Nayra bisa membuang napas yang ia tahan sejak tadi. Kini, jantungnya tiba-tiba berdetak agak cepat dan pipinya terasa panas atas perlakuan sederhana Arvin terhadapnya. Namun, Nayra langsung menyadarkan dirinya. Nayra tidak boleh berpikir dan mengharapkan sesuatu yang lebih jauh, terlebih dirinya masih merupakan seorang istri dari Satria. “Kak, rumahku di perumahan Anggrek. Kakak bisa menurunkan aku di kantor pemasarannya saja,” ujar Nayra membuka pembicaraan. Arvin hanya menoleh pada Nayra sejenak lalu kembali memusatkan perhatiannya pada jalanan di depan. “Kenapa kau mendatangi kantor hukum?” Nayra tersentak, tidak menyangka dengan pertanyaan Arvin. “Itu … aku … Itu masalah pribadiku. Maaf, aku tidak bisa menceritakannya.” “Apa kau akan menggugat suamimu?” Kini Nayra langsung mengalihkan pandangannya pada Arvin. Nayra mengerjap. Mengapa Arvin bisa berbicara aneh seperti itu? Apa yang harus ia katakan pada Arvin? Tidak mungkin Nayra menceritakan masalah pernikahannya pada Arvin. “Maaf, aku tidak bisa mengatakan apa pun,” ucap Nayra pelan. Persimpangan jalan lampu merah menyala, ketika Arvin menghentikan laju mobilnya sementara, pandangannya beralih pada Nayra. Arvin hanya memandang Nayra tanpa mengucapkan sepatah kata pun sampai lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Setelah itu tidak ada yang bersuara di antara mereka sampai mobil Arvin berhenti di kantor pemasaran perumahan Anggrek seperti yang Nayra katakan. Nayra menunduk menatap kedua pahanya. Seharusnya ia bisa langsung turun dari mobil, tetapi Nayra merasa enggan untuk turun dari mobil secepat itu. “Ini kartu namaku.” Nayra sedikit tersentak ketika tiba-tiba Arvin menyodorkan kartu nama di antara dua jari panjang pria itu di hadapan wajah Nayra. Nayra lantas mendongak menatap Arvin dengan pandangan tanya. “Jika kau membutuhkan bantuanku, jangan sungkan untuk menghubungiku,” kata Arvin lagi seolah memahami pandangan Nayra. Lalu, Arvin tersenyum teduh pada Nayra sebelum mengambil tangan Nayra dan menjatuhkan kartu nama yang sedari tadi pria itu pegang di telapak tangan Nayra. Nayra menghembuskan napas pelan menahan debaran jantungnya ketika tangannya disentuh Arvin. Nayra menatap kartu nama hitam elegan di telapak tangannya, lalu beralih pada Arvin, seraya tersenyum Nayra membalas, “Terima kasih, Kak Arvin. Maaf aku sudah merepotkanmu.” Arvin mengangguk singkat. “Jaga dirimu baik-baik.” Nayra turun dari mobil, menunggu beberapa saat sampai mobil Arvin meninggalkan tempat itu, baru Nayra berjalan menuju rumahnya. Namun, Nayra tidak sadar ada seseorang yang telah memotret Nayra dari kejauhan sejak Nayra berada di dalam mobil Arvin.Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nayra. Nayra mengaduh, refleks memegangi pipi tirusnya yang ditampar Satria dengan begitu keras. Baru saja dia pulang dari kantor, namun sudah menghabisi Nayra dengan kedua tangannya.Rupanya, kabar Nayra diantar oleh seorang pria terdengar di telinganya. Satria langsung naik darah, dan melakukan kekerasan itu lagi pada Nayra. Kali ini Nayra memohon dengan bersimpuh di kaki Satria, berharap jika Satria akan menghentikan perbuatan gilanya ini.Satria kesulitan untuk melangkah, kakinya dipegang kuat-kuat oleh Nayra. Wanita itu terus berusaha memohon maaf dan meminta ampun, berharap suaminya akan berbelas kasihan padanya.“Mas, aku tahu aku salah. Tapi, apakah aku harus dipukul terus seperti ini? Apakah tak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah kita? Kumohon hentikan, jangan pukuli aku lagi. Maafkan aku, Mas,” Nayra masih bersimpuh dan memohon.Satria terdiam sejenak. Ia menendang tubuh Nayra, dan pergi ke ruang ganti. Nayra bisa menghela napas
Di rumah besar nan megah inilah Nayra tinggal saat ini. Nayra menikah dengan seorang pejabat kaya raya yang bernama Satria Hadi Utama. Nayra menjadi gadis pelunas hutang, karena ia telah dijual oleh bibinya sendiri pada Satria.Paras cantik dan anggunnya Nayra, membuat Satria tertarik, dan tentu saja berniat membelinya. Awal mula hal ini terjadi, karena Nayra diminta untuk membayar semua utang-utang bibi angkatnya.Satria adalah seorang pejabat ternama, dengan kekayaan yang bergelimang. Mau tak mau, Nayra harus merelakan diri, menjadi istrinya, dan melayaninya.“Pakailah isi dalam handbag itu! Aku ingin kau memakainya malam ini!” pinta Satria.“Apalagi ini, Mas?” Nayra memegang handbag itu.“Pakai saja, aku ingin sensasi baru malam ini.”“B-baik, Mas,” Nayra nampak kaget, ketika melihat isi di dalam handbag itu.Lagi-Lagi Satria melakukan hal-hal aneh yang Nayra tak suka. Satria memberikan pakaian seksi dan ketat, yang harus Nayra turuti. Jika tidak, Nayra akan habis disiksa dan dicac
Satria baru sampai di rumah sekitar pukul sepuluh malam, Nayra sudah khawatir sejak tadi, karena beberapa kali di telepon pun, Satria enggan menanggapi panggilan dari Nayra.“Mas, dari mana saja? Kenapa kau baru pulang? Aku khawatir …” ucap Nayra ketika Satria baru saja masuk ke dalam kamar.“Bukan urusanmu!” Satria mendorong Nayra, hingga Nayra sedikit tersungkur. Nayra menatap Satria dengan nanar. Ia kembali mendekati suaminya, lalu membuka dasi dan jas Satria. Nayra tetap bersikap baik, dan melayani Satria sebagaimana mestinya.“Dasar wanita lemah! Baru bermain seperti itu, sudah memar-memar dan luka! Bagaimana jika nanti aku meminta yang lebih gila dari malam itu?”“Maaf, Mas, aku tak biasa melakukannya.”Nayra menghela napas panjangnya, berusaha untuk tetap tenang dan menanggapi ucapan Satria dengan penuh kesabaran. Satria mengambil sebuah kotak undangan dari tasnya, dan melemparkan kotak itu pada Nayra.Lagi-lagi, Satria memerlakukan Nayra dengan kasar. Sifat aslinya begitu men
Satria melajukan mobil dengan penuh amarah. Ia menginjak pedal gas sampai ia tak sadar, jika mobil tengah melaju dengan kecepatan penuh. Nayra sudah ketakutan karena tak menyangka jika Satria akan senekat ini. Hatinya terus bergemuruh, ia takut kalau Satria akan menghukumnya lebih parah daripada sebelumnya.Entah apa yang membuat Satria marah. Nayra tak merasa melakukan kesalahan apa pun. Namun, jika ini karena Arvin, berbincang dengan Arvin juga bukan hal yang ia sengaja.Padahal, jika Satria bertanya pun, Nayra akan menjelaskan siapa Arvin padanya. Bukan malah emosi dan marah seperti ini. Mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi, tentu saja akan membahayakan nyawa mereka berdua.“Mas, berhenti, jangan terlalu cepat seperti ini! Aku takut, Mas. Kita bisa bicarakan baik-baik, tanpa harus emosi seperti ini.”“Wanita gatal! Dasar tak tahu diri! Lihat saja pembalasanku nanti!” pekik Satria.Satria semakin marah, ia menginjak pedal gas lebih kencang dari semula. Hampir saja ia menabrak mo
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nayra. Nayra mengaduh, refleks memegangi pipi tirusnya yang ditampar Satria dengan begitu keras. Baru saja dia pulang dari kantor, namun sudah menghabisi Nayra dengan kedua tangannya.Rupanya, kabar Nayra diantar oleh seorang pria terdengar di telinganya. Satria langsung naik darah, dan melakukan kekerasan itu lagi pada Nayra. Kali ini Nayra memohon dengan bersimpuh di kaki Satria, berharap jika Satria akan menghentikan perbuatan gilanya ini.Satria kesulitan untuk melangkah, kakinya dipegang kuat-kuat oleh Nayra. Wanita itu terus berusaha memohon maaf dan meminta ampun, berharap suaminya akan berbelas kasihan padanya.“Mas, aku tahu aku salah. Tapi, apakah aku harus dipukul terus seperti ini? Apakah tak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah kita? Kumohon hentikan, jangan pukuli aku lagi. Maafkan aku, Mas,” Nayra masih bersimpuh dan memohon.Satria terdiam sejenak. Ia menendang tubuh Nayra, dan pergi ke ruang ganti. Nayra bisa menghela napas
Sepulang dari rumah sakit, Satria terlihat biasa saja, tak merasa bersalah sedikitpun. Luka yang dirasakan Nayra, seolah tak ada arti apapun baginya. Melihat kepulangannya, Satria tak bergeming, tetap fokus pada laptop dan beberapa berkas di meja.Satria pura-pura sibuk. Nayra berusaha mendekatinya, namun tak diindahkan sama sekali. Nayra menghela napas panjangnya, dan berusaha untuk senantiasa melayani Satria dengan baik.“Mas, sepertinya kau sedang sibuk. Ini, aku buatkan teh hijau untukmu.” Nayra menaruh secangkir teh di depan meja Satria.“Aku tak haus!” ujar Satria.“Ya, nanti saja jika kau haus. Mas, ke mana saja beberapa hari ini? Kenapa Mas tak mengabari aku?” tanya Nayra penuh pengharapan.“Aku sibuk! Aku tak ada waktu untuk memberi kabar. Toh, tak kuberi kabar pun kau masih tetap hidup kan?” Satria menatap Nayra penuh amarah.Pria itu sama sekali tak sadar, jika wanita dihadapannya ini baru saja pulang dari rumah sakit akibat perbuatannya. Tak ada rasa khawatir, tak ada rasa
Satria melajukan mobil dengan penuh amarah. Ia menginjak pedal gas sampai ia tak sadar, jika mobil tengah melaju dengan kecepatan penuh. Nayra sudah ketakutan karena tak menyangka jika Satria akan senekat ini. Hatinya terus bergemuruh, ia takut kalau Satria akan menghukumnya lebih parah daripada sebelumnya.Entah apa yang membuat Satria marah. Nayra tak merasa melakukan kesalahan apa pun. Namun, jika ini karena Arvin, berbincang dengan Arvin juga bukan hal yang ia sengaja.Padahal, jika Satria bertanya pun, Nayra akan menjelaskan siapa Arvin padanya. Bukan malah emosi dan marah seperti ini. Mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi, tentu saja akan membahayakan nyawa mereka berdua.“Mas, berhenti, jangan terlalu cepat seperti ini! Aku takut, Mas. Kita bisa bicarakan baik-baik, tanpa harus emosi seperti ini.”“Wanita gatal! Dasar tak tahu diri! Lihat saja pembalasanku nanti!” pekik Satria.Satria semakin marah, ia menginjak pedal gas lebih kencang dari semula. Hampir saja ia menabrak mo
Satria baru sampai di rumah sekitar pukul sepuluh malam, Nayra sudah khawatir sejak tadi, karena beberapa kali di telepon pun, Satria enggan menanggapi panggilan dari Nayra.“Mas, dari mana saja? Kenapa kau baru pulang? Aku khawatir …” ucap Nayra ketika Satria baru saja masuk ke dalam kamar.“Bukan urusanmu!” Satria mendorong Nayra, hingga Nayra sedikit tersungkur. Nayra menatap Satria dengan nanar. Ia kembali mendekati suaminya, lalu membuka dasi dan jas Satria. Nayra tetap bersikap baik, dan melayani Satria sebagaimana mestinya.“Dasar wanita lemah! Baru bermain seperti itu, sudah memar-memar dan luka! Bagaimana jika nanti aku meminta yang lebih gila dari malam itu?”“Maaf, Mas, aku tak biasa melakukannya.”Nayra menghela napas panjangnya, berusaha untuk tetap tenang dan menanggapi ucapan Satria dengan penuh kesabaran. Satria mengambil sebuah kotak undangan dari tasnya, dan melemparkan kotak itu pada Nayra.Lagi-lagi, Satria memerlakukan Nayra dengan kasar. Sifat aslinya begitu men
Di rumah besar nan megah inilah Nayra tinggal saat ini. Nayra menikah dengan seorang pejabat kaya raya yang bernama Satria Hadi Utama. Nayra menjadi gadis pelunas hutang, karena ia telah dijual oleh bibinya sendiri pada Satria.Paras cantik dan anggunnya Nayra, membuat Satria tertarik, dan tentu saja berniat membelinya. Awal mula hal ini terjadi, karena Nayra diminta untuk membayar semua utang-utang bibi angkatnya.Satria adalah seorang pejabat ternama, dengan kekayaan yang bergelimang. Mau tak mau, Nayra harus merelakan diri, menjadi istrinya, dan melayaninya.“Pakailah isi dalam handbag itu! Aku ingin kau memakainya malam ini!” pinta Satria.“Apalagi ini, Mas?” Nayra memegang handbag itu.“Pakai saja, aku ingin sensasi baru malam ini.”“B-baik, Mas,” Nayra nampak kaget, ketika melihat isi di dalam handbag itu.Lagi-Lagi Satria melakukan hal-hal aneh yang Nayra tak suka. Satria memberikan pakaian seksi dan ketat, yang harus Nayra turuti. Jika tidak, Nayra akan habis disiksa dan dicac