Setelah kedatangan Presdir dari Global Nusantara, tentu saja beberapa pejabat pemerintah yang berkepentingan dipersilakan masuk menuju ballroom khusus untuk mengadakan rapat bersama.
Proyek Daerah Nusantara ini pasti menghabiskan biaya yang jumlahnya fantastis. Kehadiran investor besar seperti Global Nusantara, tentu saja tak boleh disia-siakan begitu saja. Global Nusantara adalah perusahaan raksasa, yang tak ada bandingannya. Siapapun ingin menjadi kolega bisnisnya. Namun sangat sulit untuk bisa menembus mereka. Arvino Samudera, pria berusia 27 tahun inilah yang membuat Global Nusantara Grup semakin berkembang pesat. Di tangannya, semua kecurangan dan ketidakadilan bisa diberantas dengan sekejap mata. Arvin adalah pria selektif yang tidak mudah terpengaruh. Dia akan tetap lurus pada keyakinannya, tanpa mengindahkan orang yang berusaha memengaruhinya. Kali ini, Arvin menilik proyek pemerintahan. Entah apa yang mendasarinya untuk mendanai proyek ini. Arvin hanya menjelaskan, jika proyek ini bisa menjadi proyek simbiosis mutualisme. Sorot mata tajam Arvin membuat semua orang yang hadir tak berani menatap wajahnya. Tatapan itu mengisyaratkan intensitas emosional yang mendalam, Arvin menciptakan aura yang sulit untuk diabaikan. Termasuk Satria, ia merasa jika Presdir ini adalah sosok yang sepertinya akan sulit ditaklukkan. Tak seperti Direktur-Direktur bodoh yang lainnya. Satria selalu memiliki celah untuk menjatuhkan mereka. Arvin menatap satu-persatu pejabat pemerintah yang turut hadir dalam rapat besar ini. Pandangannya justru tertuju pada Satria, yang juga tengah menatap Arvin tanpa berkedip. Tatapan Arvin sangat mengerikan. Dia memicingkan mata dan terus menyelidik Satria. Pandangannya tak luput dari Satria yang juga tengah memerhatikannya. Untuk beberapa detik, mereka melakukan kontak mata. Ada arti tersirat dari tatapan itu, yang tak bisa ditebak oleh siapapun. Satria sedikit menunduk, karena Arvin terus memerhatikannya. Perasaannya berkecamuk tak karuan, Arvin telah membuat Satria mati kutu. Arvin mendongakkan kepala, setelah menatap Satria tanpa berkedip. Pandangannya kini mengedar. Arvin memegang standing mic dan berdehem kecil. Ia pun berbicara, sesuai apa yang dikehendakinya. “Proposal proyek kalian sangat buruk! Hal ini membuatku ragu dengan kinerja kalian sebagai pejabat pemerintah.” Arvin membuka lembaran demi lembaran proposal. “Pak Presdir, akan kami perbaiki proposal itu, dan kami kaji ulang, sesuai persetujuan Anda,” tutur Pak Bimo, kepala pemerintah daerah. Arvin mengernyitkan dahinya, seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh pria paruh baya itu. Arvin tak menjawab sedikitpun, hanya tatapan Arvin kembali menatap Satria dengan misterius. Hal ini membuat semua orang di ruangan ini fokus pada Satria. Seperti ada hal yang salah dalam diri Satria, yang membuat Arvin terus tertuju padanya. “Pendanaan proyek ini aku tangguhkan. Hanya itu yang ingin kusampaikan, terima kasih.” Arvin beranjak dari duduknya, dan langsung pergi meninggalkan ballroom tersebut. “P-Pak Presdir! Tunggu dulu, Pak.” cegah Bimo Saputra. “Pak, Anda mau ke mana!?” tambah salah seorang staff. Mereka saling bersahutan memanggil Arvin yang telah pergi meninggalkan ruang rapat. Tentu saja mereka semua kecewa. Terutama Bimo Saputra, yang sangat amat marah pada satu sosok yang diduga merupakan penyebab gagalnya proyek ini. Hal ini, membuat mereka menuduh Satria adalah dalang dibalik kegagalan proyek tersebut. Satria yang tak tahu apa-apa pun merasa heran, kenapa banyak sekali pasang mata yang menyudutkannya. “Aku tak mengenalnya, aku tak tahu dia siapa. Kenapa kalian menatap sinis seperti itu padaku? Sungguh aku tak tahu apapun!” “Kau yang membuat proyek ini gagal, Satria! Kau yang harus bertanggung jawab atas kegagalan ini! Dia menatap tak suka padamu! Apa yang kau lakukan hingga sekelas Presdir Global Nusantara itu tak jadi bekerja sama dengan proyek kita?” sentak kepala pejabat. “Entahlah, aku tak mengerti. Kenapa harus menanyakannya padaku? Aku tak tahu apapun!” Satria berusaha membela diri. “Satria, bukankah kau yang akan memegang proyek ini? Oleh karena itu, kau juga yang harus merayunya agar dia mau menyetujui pendanaan proyek ini!” “Pak, tapi, bagaimana caranya? Dia sangat mengerikan. Dia bukan orang yang mudah.” “Bukan urusanku! Dalam waktu tiga hari, kau harus bisa mendapatkan kontrak kerja sama proyek itu, kalau tidak, maka kau akan turun jabatan!” “Pak, t-tapi …” . Satria menggaruk-garuk kepalanya. Ia tak enak makan, karena pikirannya sedang berkecamuk dengan kegagalan proyek tersebut. Otaknya terus berputar, mencari celah bagaimana caranya agar bisa merayu sang Presdir. “Aaarrghhh, sialan!” Satria menghancurkan buah apel dengan kedua tangannya. “Mas, ada apa?” Nayra terkesiap. Satria tak membalas ucapan Nayra, namun ia menatap Nayra sambil berpikir. Pikirannya seperti sedang menelusur ke arah mana ia akan bertindak. “Kau, kau duduklah! Aku ingin membahas hal penting denganmu!” titah Satria. Nayra menurut, “ada apa, Mas?” “Kulihat, tubuhmu berisi dan padat. Sepertinya akan mudah melakukan hal itu. Nayra, kau harus merayu Presdir Global Nusantara untuk mau menyetujui proyek yang akan aku pimpin!” “MAS! Apa maksudmu? Aku tak mau!” Nayra berusaha melawan. Satria menggebrak meja, “Nayra, jika kau tak ingin aku menyakitimu, lakukan apa yang aku perintahkan! Kau harus merayu Presdir itu, aku sudah mencari informasi tentang kegiatannya dan kau bisa menemuinya di tempat dia bermain golf!” “Mas, aku ini istrimu! Kenapa kau harus melakukan hal ini pada istrimu sendiri? Aku takut, jangan lakukan ini padaku. Kumohon, Mas.” Nayra mendekati Satria, berusaha memohon agar suaminya tak memaksa. Satria menepis Nayra. Otaknya sudah buntu, tak bisa lagi berpikir jernih. Nayra adalah wanita yang tak harus ia bayar jika merayu Presdir itu. “Kau harus melakukannya! Kurasa, dengan cara ini dia akan luluh. Nayra, ini demi hidup dan matiku! Aku begini juga untuk kelangsungan hidup kita! Kau harus mau melakukannya!” Satria memaksa. “Aku tak mau, Mas. Kumohon, jangan aku. Banyak wanita di luar sana yang bisa kau suruh. Aku tak mau.” Plak. Sebuah tamparan keras lagi-lagi mendarat di pipi Nayra. Entah sudah tamparan yang ke berapa, dilakukan Satria pada Nayra. Satria muak, jika Nayra selalu melawan dan tak menurut padanya. “Aku bisa lebih gila lagi, jika kau tak menuruti perintahku! Jadilah caddy golf untuknya, dan beri kepuasan padanya, agar dia bisa menuruti perkataanmu! Mengerti!?” Bulir bening itu jatuh lagi tak tertahankan. Sehancur itu Nayra sekarang. Niat hati ingin segera meninggalkan Satria, kali ini malah terjebak dengan harus merayu orang lain demi karirnya. Nayra tak bisa semudah itu kabur dari Satria, karena Satria pasti mudah menemukannya. Nayra masih sabar, untuk mengikuti jalur proses hukum perceraian secara resmi. Namun kali ini, apalagi? Ia harus menjadi wanita perayu oleh suaminya sendiri. Nayra takut, Nayra tak sanggup. Pria yang menjadi Presdir dalam bayangannya itu adalah pria tua, jelek, dan gila wanita.Di rumah besar nan megah inilah Nayra tinggal saat ini. Nayra menikah dengan seorang pejabat kaya raya yang bernama Satria Hadi Utama. Nayra menjadi gadis pelunas hutang, karena ia telah dijual oleh bibinya sendiri pada Satria.Paras cantik dan anggunnya Nayra, membuat Satria tertarik, dan tentu saja berniat membelinya. Awal mula hal ini terjadi, karena Nayra diminta untuk membayar semua utang-utang bibi angkatnya.Satria adalah seorang pejabat ternama, dengan kekayaan yang bergelimang. Mau tak mau, Nayra harus merelakan diri, menjadi istrinya, dan melayaninya.“Pakailah isi dalam handbag itu! Aku ingin kau memakainya malam ini!” pinta Satria.“Apalagi ini, Mas?” Nayra memegang handbag itu.“Pakai saja, aku ingin sensasi baru malam ini.”“B-baik, Mas,” Nayra nampak kaget, ketika melihat isi di dalam handbag itu.Lagi-Lagi Satria melakukan hal-hal aneh yang Nayra tak suka. Satria memberikan pakaian seksi dan ketat, yang harus Nayra turuti. Jika tidak, Nayra akan habis disiksa dan dicac
Satria baru sampai di rumah sekitar pukul sepuluh malam, Nayra sudah khawatir sejak tadi, karena beberapa kali di telepon pun, Satria enggan menanggapi panggilan dari Nayra.“Mas, dari mana saja? Kenapa kau baru pulang? Aku khawatir …” ucap Nayra ketika Satria baru saja masuk ke dalam kamar.“Bukan urusanmu!” Satria mendorong Nayra, hingga Nayra sedikit tersungkur. Nayra menatap Satria dengan nanar. Ia kembali mendekati suaminya, lalu membuka dasi dan jas Satria. Nayra tetap bersikap baik, dan melayani Satria sebagaimana mestinya.“Dasar wanita lemah! Baru bermain seperti itu, sudah memar-memar dan luka! Bagaimana jika nanti aku meminta yang lebih gila dari malam itu?”“Maaf, Mas, aku tak biasa melakukannya.”Nayra menghela napas panjangnya, berusaha untuk tetap tenang dan menanggapi ucapan Satria dengan penuh kesabaran. Satria mengambil sebuah kotak undangan dari tasnya, dan melemparkan kotak itu pada Nayra.Lagi-lagi, Satria memerlakukan Nayra dengan kasar. Sifat aslinya begitu men
Satria melajukan mobil dengan penuh amarah. Ia menginjak pedal gas sampai ia tak sadar, jika mobil tengah melaju dengan kecepatan penuh. Nayra sudah ketakutan karena tak menyangka jika Satria akan senekat ini. Hatinya terus bergemuruh, ia takut kalau Satria akan menghukumnya lebih parah daripada sebelumnya.Entah apa yang membuat Satria marah. Nayra tak merasa melakukan kesalahan apa pun. Namun, jika ini karena Arvin, berbincang dengan Arvin juga bukan hal yang ia sengaja.Padahal, jika Satria bertanya pun, Nayra akan menjelaskan siapa Arvin padanya. Bukan malah emosi dan marah seperti ini. Mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi, tentu saja akan membahayakan nyawa mereka berdua.“Mas, berhenti, jangan terlalu cepat seperti ini! Aku takut, Mas. Kita bisa bicarakan baik-baik, tanpa harus emosi seperti ini.”“Wanita gatal! Dasar tak tahu diri! Lihat saja pembalasanku nanti!” pekik Satria.Satria semakin marah, ia menginjak pedal gas lebih kencang dari semula. Hampir saja ia menabrak mo
Sepulang dari rumah sakit, Satria terlihat biasa saja, tak merasa bersalah sedikitpun. Luka yang dirasakan Nayra, seolah tak ada arti apapun baginya. Melihat kepulangannya, Satria tak bergeming, tetap fokus pada laptop dan beberapa berkas di meja.Satria pura-pura sibuk. Nayra berusaha mendekatinya, namun tak diindahkan sama sekali. Nayra menghela napas panjangnya, dan berusaha untuk senantiasa melayani Satria dengan baik.“Mas, sepertinya kau sedang sibuk. Ini, aku buatkan teh hijau untukmu.” Nayra menaruh secangkir teh di depan meja Satria.“Aku tak haus!” ujar Satria.“Ya, nanti saja jika kau haus. Mas, ke mana saja beberapa hari ini? Kenapa Mas tak mengabari aku?” tanya Nayra penuh pengharapan.“Aku sibuk! Aku tak ada waktu untuk memberi kabar. Toh, tak kuberi kabar pun kau masih tetap hidup kan?” Satria menatap Nayra penuh amarah.Pria itu sama sekali tak sadar, jika wanita dihadapannya ini baru saja pulang dari rumah sakit akibat perbuatannya. Tak ada rasa khawatir, tak ada rasa
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nayra. Nayra mengaduh, refleks memegangi pipi tirusnya yang ditampar Satria dengan begitu keras. Baru saja dia pulang dari kantor, namun sudah menghabisi Nayra dengan kedua tangannya.Rupanya, kabar Nayra diantar oleh seorang pria terdengar di telinganya. Satria langsung naik darah, dan melakukan kekerasan itu lagi pada Nayra. Kali ini Nayra memohon dengan bersimpuh di kaki Satria, berharap jika Satria akan menghentikan perbuatan gilanya ini.Satria kesulitan untuk melangkah, kakinya dipegang kuat-kuat oleh Nayra. Wanita itu terus berusaha memohon maaf dan meminta ampun, berharap suaminya akan berbelas kasihan padanya.“Mas, aku tahu aku salah. Tapi, apakah aku harus dipukul terus seperti ini? Apakah tak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah kita? Kumohon hentikan, jangan pukuli aku lagi. Maafkan aku, Mas,” Nayra masih bersimpuh dan memohon.Satria terdiam sejenak. Ia menendang tubuh Nayra, dan pergi ke ruang ganti. Nayra bisa menghela napas
Setelah kedatangan Presdir dari Global Nusantara, tentu saja beberapa pejabat pemerintah yang berkepentingan dipersilakan masuk menuju ballroom khusus untuk mengadakan rapat bersama.Proyek Daerah Nusantara ini pasti menghabiskan biaya yang jumlahnya fantastis. Kehadiran investor besar seperti Global Nusantara, tentu saja tak boleh disia-siakan begitu saja.Global Nusantara adalah perusahaan raksasa, yang tak ada bandingannya. Siapapun ingin menjadi kolega bisnisnya. Namun sangat sulit untuk bisa menembus mereka.Arvino Samudera, pria berusia 27 tahun inilah yang membuat Global Nusantara Grup semakin berkembang pesat. Di tangannya, semua kecurangan dan ketidakadilan bisa diberantas dengan sekejap mata.Arvin adalah pria selektif yang tidak mudah terpengaruh. Dia akan tetap lurus pada keyakinannya, tanpa mengindahkan orang yang berusaha memengaruhinya.Kali ini, Arvin menilik proyek pemerintahan. Entah apa yang mendasarinya untuk mendanai proyek ini. Arvin hanya menjelaskan, jika proye
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nayra. Nayra mengaduh, refleks memegangi pipi tirusnya yang ditampar Satria dengan begitu keras. Baru saja dia pulang dari kantor, namun sudah menghabisi Nayra dengan kedua tangannya.Rupanya, kabar Nayra diantar oleh seorang pria terdengar di telinganya. Satria langsung naik darah, dan melakukan kekerasan itu lagi pada Nayra. Kali ini Nayra memohon dengan bersimpuh di kaki Satria, berharap jika Satria akan menghentikan perbuatan gilanya ini.Satria kesulitan untuk melangkah, kakinya dipegang kuat-kuat oleh Nayra. Wanita itu terus berusaha memohon maaf dan meminta ampun, berharap suaminya akan berbelas kasihan padanya.“Mas, aku tahu aku salah. Tapi, apakah aku harus dipukul terus seperti ini? Apakah tak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah kita? Kumohon hentikan, jangan pukuli aku lagi. Maafkan aku, Mas,” Nayra masih bersimpuh dan memohon.Satria terdiam sejenak. Ia menendang tubuh Nayra, dan pergi ke ruang ganti. Nayra bisa menghela napas
Sepulang dari rumah sakit, Satria terlihat biasa saja, tak merasa bersalah sedikitpun. Luka yang dirasakan Nayra, seolah tak ada arti apapun baginya. Melihat kepulangannya, Satria tak bergeming, tetap fokus pada laptop dan beberapa berkas di meja.Satria pura-pura sibuk. Nayra berusaha mendekatinya, namun tak diindahkan sama sekali. Nayra menghela napas panjangnya, dan berusaha untuk senantiasa melayani Satria dengan baik.“Mas, sepertinya kau sedang sibuk. Ini, aku buatkan teh hijau untukmu.” Nayra menaruh secangkir teh di depan meja Satria.“Aku tak haus!” ujar Satria.“Ya, nanti saja jika kau haus. Mas, ke mana saja beberapa hari ini? Kenapa Mas tak mengabari aku?” tanya Nayra penuh pengharapan.“Aku sibuk! Aku tak ada waktu untuk memberi kabar. Toh, tak kuberi kabar pun kau masih tetap hidup kan?” Satria menatap Nayra penuh amarah.Pria itu sama sekali tak sadar, jika wanita dihadapannya ini baru saja pulang dari rumah sakit akibat perbuatannya. Tak ada rasa khawatir, tak ada rasa
Satria melajukan mobil dengan penuh amarah. Ia menginjak pedal gas sampai ia tak sadar, jika mobil tengah melaju dengan kecepatan penuh. Nayra sudah ketakutan karena tak menyangka jika Satria akan senekat ini. Hatinya terus bergemuruh, ia takut kalau Satria akan menghukumnya lebih parah daripada sebelumnya.Entah apa yang membuat Satria marah. Nayra tak merasa melakukan kesalahan apa pun. Namun, jika ini karena Arvin, berbincang dengan Arvin juga bukan hal yang ia sengaja.Padahal, jika Satria bertanya pun, Nayra akan menjelaskan siapa Arvin padanya. Bukan malah emosi dan marah seperti ini. Mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi, tentu saja akan membahayakan nyawa mereka berdua.“Mas, berhenti, jangan terlalu cepat seperti ini! Aku takut, Mas. Kita bisa bicarakan baik-baik, tanpa harus emosi seperti ini.”“Wanita gatal! Dasar tak tahu diri! Lihat saja pembalasanku nanti!” pekik Satria.Satria semakin marah, ia menginjak pedal gas lebih kencang dari semula. Hampir saja ia menabrak mo
Satria baru sampai di rumah sekitar pukul sepuluh malam, Nayra sudah khawatir sejak tadi, karena beberapa kali di telepon pun, Satria enggan menanggapi panggilan dari Nayra.“Mas, dari mana saja? Kenapa kau baru pulang? Aku khawatir …” ucap Nayra ketika Satria baru saja masuk ke dalam kamar.“Bukan urusanmu!” Satria mendorong Nayra, hingga Nayra sedikit tersungkur. Nayra menatap Satria dengan nanar. Ia kembali mendekati suaminya, lalu membuka dasi dan jas Satria. Nayra tetap bersikap baik, dan melayani Satria sebagaimana mestinya.“Dasar wanita lemah! Baru bermain seperti itu, sudah memar-memar dan luka! Bagaimana jika nanti aku meminta yang lebih gila dari malam itu?”“Maaf, Mas, aku tak biasa melakukannya.”Nayra menghela napas panjangnya, berusaha untuk tetap tenang dan menanggapi ucapan Satria dengan penuh kesabaran. Satria mengambil sebuah kotak undangan dari tasnya, dan melemparkan kotak itu pada Nayra.Lagi-lagi, Satria memerlakukan Nayra dengan kasar. Sifat aslinya begitu men
Di rumah besar nan megah inilah Nayra tinggal saat ini. Nayra menikah dengan seorang pejabat kaya raya yang bernama Satria Hadi Utama. Nayra menjadi gadis pelunas hutang, karena ia telah dijual oleh bibinya sendiri pada Satria.Paras cantik dan anggunnya Nayra, membuat Satria tertarik, dan tentu saja berniat membelinya. Awal mula hal ini terjadi, karena Nayra diminta untuk membayar semua utang-utang bibi angkatnya.Satria adalah seorang pejabat ternama, dengan kekayaan yang bergelimang. Mau tak mau, Nayra harus merelakan diri, menjadi istrinya, dan melayaninya.“Pakailah isi dalam handbag itu! Aku ingin kau memakainya malam ini!” pinta Satria.“Apalagi ini, Mas?” Nayra memegang handbag itu.“Pakai saja, aku ingin sensasi baru malam ini.”“B-baik, Mas,” Nayra nampak kaget, ketika melihat isi di dalam handbag itu.Lagi-Lagi Satria melakukan hal-hal aneh yang Nayra tak suka. Satria memberikan pakaian seksi dan ketat, yang harus Nayra turuti. Jika tidak, Nayra akan habis disiksa dan dicac