Lucy menyewa pengacara mahal untuk mendampinginya. Polisi bahkan menyelidiki hubungan Lucy dengan Sarah. Mereka menemukan sejumlah bukti bahwa Lucy memang membenci menantunya.Berkali-kali, Lucy menyangkal. Ia berkata bahwa ponselnya sering dipinjam Marsha dengan alasan ingin menghubungi teman. Namun karena Marsha atau Tinna masih dalam keadaan koma dan tidak bisa dimintai keterangan, Lucy tetap ditahan.Berbagai upaya dilakukan Lucy. Mulai dari meminta menjadi tahanan rumah sampai menyogok petugas. Namun, kepolisian tidak mudah dikelabui.Apalagi setelah tau kasus ini menyangkut keluarga Carrington yang terhormat dan disegani, polisi sudah pasti lebih berpihak pada lawan Lucy.“Marc.”“Hem.”“Irwan bilang kamu mencarinya. Kenapa?”“Karena teleponmu tidak dapat dihubungi, toko kue juga.”“Oh. Waktu kejadian itu, ya?”Sarah bercerita bahwa Irwan menghubunginya dengan panik malam hari. Hingga akhirnya, Sarah menceritakan musibah yang menimpa dirinya.“Kenapa cerita-cerita pada Irwan?” P
Marc menepi di pinggir jalan. Ia menelepon Sarah dan berkata ia akan kembali menjemput untuk bersama-sama ke rumah sakit.“Kamu langsung ke rumah sakit saja. Irwan mau mengantarku sekalian ia pergi ke bandara.”Tentu saja Marc menolak. Apa-apaan istrinya itu? Kenapa malah meminta lelaki lain mengantarnya?“Aku jemput!” Marc berkata tegas lalu melempar ponselnya ke kursi di sampingnya.Meetingnya batal. Biar lah. Ia harus memprioritaskan kasus Sarah lebih dulu.Sarah sudah menunggu di lobi. Marc mendengus pelan saat melihat Irwan bediri di samping istrinya. Mereka bahkan berpamitan sebelum Sarah masuk ke dalam mobil.Selama di perjalanan, tidak ada perbincangan yang berarti. Sarah lebih banyak mengamati jalan dan mengelus perutnya.Sarah tersentak kaget saat tangan Marc ikut mengelus perutnya.“Apa perutmu sakit?”“Em ... tidak. Hanya kencang saja rasanya.”“Nanti sekalian kita tanya dokter.”Hanya anggukan kepala yang diberikan Sarah sebagai respon pernyataan Marc. Ia tidak bisa berka
Pengacara Lucy berusaha keras. Namun tetap saja tidak ada bukti bahwa Marsha meminjam ponsel Lucy. Apalagi selama ini ia memang membenci Sarah.Sampai mereka menemukan bukti baru, Lucy tetap di penjara.Setelah dirawat sekaligus didakwa atas percobaan pembunuhan, Tinna akhirnya dijebloskan ke penjara.Sarah benar-benar dilarang Marc keluar dari rumah. Lama kelamaan ia bosan juga.“Kamu ke kantor?” tanya Sarah yang melihat Marc bersiap-siap.“Iya, hanya sebentar.”Selesai bersiap, tangan Sarah digandeng menuju sofa. Ia tau Marc pasti akan mengganti perbannya.“Kalau kamu buru-buru, aku bisa menggantinya sendiri kok.”Lagi-lagi, Marc hanya menggeleng. Perlahan ia membuka perban dan mengamati luka Sarah. Ia bahkan memfoto lalu terlihat mengetik entah pada siapa.“Dokter bilang luka ini sudah kering. Tidak perlu ditutup lagi.”Setelah berkata dua kalimat, Marc membersihkan luka dan mengoleskan salep. Kalau saja bicaranya tidak irit, Sarah pasti akan lebih menyukai Marc.“Sudah. Aku berang
Sepanjang perjalanan, Frank dan Sarah bernostalgia tentang Thomas, Ayah Sarah. Namun kali ini, mereka membicarakan hal yang lucu dan menyenangkan. Thomas tidak ingin menantunya mengenang hal-hal sedih tentang Ayahnya.“Kalau keadaan sudah membaik, Papa mau mengajakmu berziarah ke makam Thomas, ya.”Sarah mengangguk. “Iya, Pa. Sarah mau.”“Kapan terakhir kali kamu ke makam?”“Saat tau Sarah hamil.”Frank mengangguk. “Thomas dan Adara pasti bahagia sekali melihatmu sekarang.”“Memang benar ya, Pa. Orang tua yang sudah meninggal bisa melihat kita?”Kekehan kecil keluar dari tenggorokan Frank. “Papa tidak tau, sih. Tapi, mari kita anggap saja begitu, sehingga dalam setiap langkah, kita bisa tidak terlalu sedih mengenang mereka.”Benar juga. Sarah mengangguk setuju. Mulai sekarang, ia akan menganggap orang tuanya selalu melihatnya dan ingin ia berbahagia.Mobil mereka memasuki gedung apartemen mewah. Di dalam lift, Sarah menceritakan apa saja yang ia lakukan jika sedang berada di apartemen
“Apa? Wow ... ini benar-benar kejutan!” Sarah membelalakkan matanya.Namun melihat wajah sendu Frank, antusias Sarah berkurang. Mereka menatap Ibu Irma yang telah berjalan kembali dengan baki di tangannya.Bahkan, Sarah dapat melihat tangan Ibu Irma yang gemetar saat meletakkan cangkir teh dan piring kue di depan Frank.“Silahkan diminum dan dimakan.” Ibu Irma tersenyum pada Frank dan Sarah.Frank tidak pernah menolak kue tersebut. Ia segera mengambil dan memakannya. Wajahnya tampak menikmati sekali.“Keahlianmu sejak dulu belum berubah. Jago masak.” Frank memuji Ibu Irma. “Dan apa kamu ingat, aku selalu menjadi yang pertama kali mencicipi masakanmu.”“Kamu menilai dengan tidak jujur. Masa semua kamu bilang enak.” Ibu Irma terkekeh mengenang saat itu.Kepala Frank menggeleng keras. “Aku jujur. Memang semuanya enak. Buktinya aku tidak tau kue ini buatanmu dan aku menyukainya. Padahal kamu tau aku tidak terlalu menyukai kue.”Ibu Irma terkekeh. “Aku heran saat Sarah bilang kamu menyukai
“Aku titip Sarah di sini, Irma. Jangan biarkan ia keluar dari apartemen.” Frank berdiri sambil memperhatikan ponselnya.Dengan sigap Irma mengangguk menyanggupi permintaan Frank.“Papa pergi sendiri?” Sarah bertanya dengab nada khawatir.“Tidak. Adrian akan menjemput. Sebentar lagi ia sampai.”Sarah mengangguk. Perutnya seketika kencang kembali. Ia tau ia selalu stress saat mendengar kabar tentang Ibu dan Kakak tirinya.Bagaimana tidak? Ia baru tau betapa bencinya mereka pada dirinya sampai-sampai ibu dan kakak tirinya sangat ingin melenyapkannya dari bumi.“Hati-hati ya, Pa. Sarah akan tunggu di sini.”Frank tersenyum tipis. Pintu apartemen diketuk seseorang. Frank tau itu pasti sang asisten pribadi yang datang menjemput.Ibu Irma membukakan pintu untuk Adrian. Sementara Frank menghampiri Sarah dan mencium dahinya sebelum pergi.Spontan, Sarah memeluk Frank. Hingga akhirnya kedua lengan lelaki setengah baya itu pun melingkari pinggang Sarah.“Maaf, Sarah merepotkan Papa, ya.” Sarah m
Marc dan Frank mengamati Marsha dari balik jendela. Wanita itu sedang berceloteh tentang kehamilannya. Ekspresi wajahnya terlihat berubah-ubah.Seorang psikiater didatangkan untuk memeriksa kejiwaan Marsha. Ia juga menanyai Frank dan Marc.“Siapa Sarah yang selalu dibicarakan Marsha?” Psikiater menatap Frank dan Marc.“Istriku. Sarah juga merupakan adik tiri Marsha.” Marc menjawab.“Apa betul Sarah menjual ginjalnya pada seorang lelaki kaya raya dan mendapatkan uang banyak?”Marc dan Frank saling melirik. Akhirnya, Marc menceritakan masalah keluarganya. Psikiater tampak mencatat apa yang diungkapkan Marc.“Apa saya bisa bertemu dengan Sarah?”Marc menggeleng. “Saya harus melindunginya. Sarah sedang hamil dan akhir-akhir ini kesehatannya tidak baik karena stress.”Psikiater mengangguk penuh pengertian. “Saya mengerti.”Setelah mengumpulkan informasi lengkap tentang Marsha dan kehidupannya yang lalu, psikiater kembali bicara dengan Marsha. Wanita itu sekilas tampak normal, namun saat bi
“Kamu tinggal sendirian setiap hari?”Marc mengerutkan kening mendengar pertanyaan Papa-nya pada Ibu Irma. Memangnya kenapa jika Ibu Irma tinggal sendirian? Selama ini baik-baik saja, bukan?Apalagi, gedung apartemen ini relatif aman. Ada petugas keamanan dua puluh empat jam, CCTV di setiap lorong dan lift.“Setiap hari memang sendiri.” Ibu Irma menjawab. “Aman. Keamanan gedung ini sangat baik, kok.”“Ya sudah, hati-hati.”Frank diikuti Adrian segera masuk ke dalam lift. Sarah mencium kedua pipi Ibu Irma sebelum mengikuti suaminya.“Besok, Sarah telepon ya.”Ibu Irma mengangguk dan melambai. Ia pun masuk ke dalam apartemen dan mengunci ganda pintunya.Di dalam lift, Marc masih mengamati Papanya. Lelaki setengah baya itu sedang berdiskusi dengan Adrian tentang renovasi rumah yang baru dibeli Papa.“Papa menginap di rumahku malam ini, kan?”“Hmm ... sebenarnya tidak. Besok pagi, Papa ada janji dengan arsitek di rumah baru itu.”Marc terlihat kecewa. Frank bisa membaca ekspresi wajah put