Marren tersentak kaget tidak percaya, "Jangan bercanda Arsan! Sungguh! Tidak lucu tahu!" sergah Marren dengan tatapan membulat sempurna. Lagi-lagi Arsan membuang muka dan menguyup wajahnya dengan kacau. Marren bangkit dari pangkuan Arsan. ''Bukankah Icha baru saja mengakui bahwa Arland yang membunuh Arthur? Arsan... Please! Jangan buat Saya semakin bingung!" pekik Marren dengan tertatih-tatih. "Saya tidak tahu! Jujur Saya memang berencana membunuhnya waktu itu! Saya sudah mengirim orang suruhan Saya! Dari sejak saya memberinya perintah tiba-tiba beberapa jam kemudian dia sudah ditemukan tewas di penjara!" papar Arsan dengan wajah sangat kusut. Marren membekap mulutnya tidak percaya dan berjalan mundur perlahan dan berpegangan pada pinggiran ranjang yang tidak jauh darinya. "Arsan...." ''Saya tidak tahu! Tapi entah kenapa orang suruhan Saya mengakui bahwa bukan ia pelakunya. Bahkan ia juga belum sampai memerintahkan pembunuh
Marren terbangun dengan malas dan membuka mata dengan berat. Dan benar saja, ia mengernyit saat melihat tubuh Arsan yang masih di posisi menindihnya. la melirik keadaan sekitar ranjang yang sangat berantakan, bahkan pakaian mereka berceceran hingga ke lantai. 'Oh tidak! Seperti perang badai saja. Ini memalukan, tapi... Tapi... Oh tidak... Saya... Tapi saya menginginkannya? Oh tidak...! Ada apa dengan Saya? Kenapa saya jadi seperti ini? Entah sejak kapan saya menginginkan ini? Tidak, ini memang strategi Saya untuk menaklukkannya agar aku bisa mengetahui tentang insiden itu. Benar!' Marren bergelut pada pikirannya sendiri, hingga ia tidak bisa menahan getaran di tubuhnya karena merasakan napas halus Arsan yang terus menerus menyentuh kulit lehernya dan hal itu membuat terlintas apa yang telah mereka lalui bersama. Apalagi melihat posisi kepala Arsan yang masih terkulai di ceruk lehernya. Marren mengerang ringan menahan geli dari tiupan napas Ars
"Marren.....!" pekik Arsan histeris melihat sang Istri jatuh terkulai memegangi perutnya. Naura dan Bi Aira ikut histeris dan berlari tergopoh-gopoh melihat apa yang terjadi. "Aaaghhkk..." desis Marren memegangi perutnya dengan kesakitan. Arsan segera menggendong Marren dan meletakkannya pada sofa ruang tamu. Marren menggelepar kesakitan memegangi perutnya dengan di dampingi Haura dan Bi Aira. "Bi, tolong buatkan air hangat untuk, Nyonya! Juga obat! Apa pun itu! Cepat! Hara kamu ambil obat!" perintah Arsan dengan panik. Membuat Bi Aira dan Haura berhamburan kesana-kemari dengan panik. Bahkan mereka hampir bertabrakan karena salah harus pergi ke mana. ''Arsan... Sakit... Arsan..." desah Marren mengernyit kesakitan seraya meremas-remas perutnya tidak karuan. ''Sayang, bertahanlah sebentar..." bujuk Arsan menggenggam tangan Marren dan membelai kepalanya. Melihat yang terjadi, dengan kasar Icha segera disere
Sebuah gelas meluncur begitu saja dari tangan Madya dan pecah berserakan. Entah apa yang terlintas namun sesaat, ia teringat Marren. Hatinya berdegup kencang tiba-tiba dan perasaan nya menjadi tidak enak."Oh, Tuhan!" pekik Madya dengan terkejut, lalu menatap jari telunjuk yang berdarah akibat tergores pecahan gelas. ''Ada apa ini? Kenapa perasaan Saya tiba-tiba tidak enak begini. Jantung Saya berdebar sangat kencang. Marren? Oh Tuhan semoga tidak terjadi hal buruk pada Marren! Kenapa tiba-tiba Saya teringat padanya? Baru kemarin dia menelepon Saya ingin bertemu." Gumam Madya seolah berkata pada dirinya sendiri dan bergegas memunguti pecahan gelas yang berukuran besar untuk dibuangnya ke tempat sampah. "Nyonya, apa yang terjadi? Apa yang Anda lakukan? Jangan! Biar saya saja. Nanti tangan Nyonya terluka," sergah seorang wanita dengan usia jauh lebih muda dari Madya yang merupakan asisten rumah tangganya. "Oh! Tangan Nyonya berdarah. Ma
Sementara itu, Arsan dengan gelisah berjalan maju mundur di depan ruang operasi. Hampir tiga jam telah berlalu sejak Marren ada dalam ruangan itu bersama beberapa dokter dan perawat termasuk Dokter Brian. Bi Aira datang tergopoh-gopoh dari kamar mandi untuk membersihkan bajunya yang bersimbah darah Marren dan duduk dengan napas terengah. Melihat itu Arsan merasa tidak tega. Apalagi melihat wanita paruh baya itu memakai pakaian yang basah. "Bi, sebaiknya Bibi pulang saja lebih dulu, nanti kembali kemari berdua dengan Haura dan bawa perlengkapan untuk Nyonya sekalian. Saya kasihan jika Bibi harus mondar-mandir sendirian untuk mengurusi Nyonya. Saya akan terus menjaga di sini, Bibi pulang, ya," ucap Arsan dengan nada sopan. "Ya, tapi baju Tuan Muda juga penuh noda darah milik Nyonya?" sahut Bi Aira dengan wajah sedih."Kalau begitu biar saya baju ganti buat Tuan Muda sekalian, ya?" ''Oh astaga! Saya bahkan tidak menyadarinya. Y
''Ren... Sayang, kamu sudah sadar?" Arsan bergegas mendekati Marren. Sementara Brian meninggalkan Arsan dengan kode tatap matanya. "Eeemm.... Ini di... mana?" Marren mengerjap-kerjapkan kelopak matanya dengan berat seraya memandang ke sekeliling ruangan. "Oh, ini... Di rumah sakit. Sudah, kamu istirahat saja ya, jangan bertanya macam-macam dulu. Ada Saya di sini, Saya tidak akan ke mana-mana," Arsan membelai puncak kepala Marren dan mengecup keningnya dalam-dalam. Marren menggumam dengan malas, lalu ia menatap wajah Arsan dengan tatapan bingung, apalagi melihat kemeja Arsan yang terdapat bercak-bercak kotor. Marren paling tahu jika Arsan sangat membenci keadaan kotor dan tidak rapi. Pria itu selalu tampil sempurna dan menawan. Tapi kali ini...? ''Ada... apa... denganmu, Arsan? Kamu terlihat... sangat... kusut, marah... dan kenapa dengan kemejamu? Sepertinya basah? Yah, walau warnanya abu-abu gelap tapi sepertinya itu noda k
"Mommy? Apa maksud Mommy?" ulang Marren dengan nada memohon dan tatapan bingung kepada Madya yang kini mendapat tatapan tajam dari Arsan.Wanita paruh baya yang masih menyisakan pendar kecantikan di wajahnya itu membelalak menatap Arsan yang seolah menyalahkannya. Madya membekap mulutnya karena segera menyadari kesalahannya. "Tidak, bukan! Maksud Mommy, Mommy sangat khawatir! Apa yang sudah terjadi padamu, Sayang? Mommy sangat terkejut saat sampai di rumah, orang rumah bilang kamu terpeleset dan jatuh dari tangga. Mommy sangat panik dan ikut bersama Haura kemari...!" papar Madya dengan panik berusaha mengalihkan arah pembicaraan kepada Marren. Walau Arsan sempat mengernyit, ia menatap penuh kelegaan pada Haura dan Bi Aira yang berdiri di ujung ruangan seolah mengucapkan terima kasih atas kebohongan mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kedua wanita yang terpaut umur seperti ibu dan anak itu membalas tatapan Arsan seraya mengangguk tegas dan senyum mengembang. ''Mommy benar-
Malam itu, atas pemberitahuan Madya tentang kedatangan Arland siang sebelumnya membuat sang menantu tampak muram dan menahan gusar. Namun, setidaknya ia bisa menghadapi cercaan Marren nantinya atas keguguran yang mati-matian ia rahasiakan dari sang Istri sendiri. Akan tetapi, perkiraan Arsan meleset, Marren lebih banyak terdiam dan memasang wajah dingin saat ia berada di sampingnya. ''Ada apa sih? Dari tadi kamu diam saja? Mau menonton film? Atau mau saya ambilkan cemilan?'' Ujar Arsan yang telah berganti baju dengan piyama tidur dan duduk di tepian ranjang menatap Marren yang duduk bersandarkan bantal tinggi. Marren menggeleng perlahan dan membuang muka. Wanita itu beringsut merebahkan dirinya di atas pembaringan dengan membelakangi Arsan. Melihat itu Arsan segera merebahkan diri, meraih Marren untuk menghadapnya dan memangku kepala Marren di atas pahanya yang kekar. ''Tolong jangan seperti ini, sejak seharian kamu sudah seperti ini. Apa kamu tahu Mommy sangat sedih saat mencer