Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, akan tetapi Arkan sama sekali belum bisa terlelap. Ia masih terbayang dengan wujud menyeramkan pocong itu. Pikirannya terus saja beputar-putar mengingat tentang hal apapun yang bersangkutan dengan pocong andong itu.
Di saat Arkan semakin hanyut dalam fikirannya sendiri ia mendengar suara kerincing andong, “tumben-tumbennya ada ada andong lewat sini jam segini,” dan di dengar-dengar lagi ternyata suara kincringan yang semula jauh itu semakin terdengar jelas seperti andong itu sudah berhenti di sebelah kamarnya.
Hingga tiba-tiba saja jendela kamar diketuk yang membuatnya langsung terperanjat dan duduk dari tidurnya. Arkan terdiam, ia kembali memasang indra pendengarannya dengan baik. Namun, ternyata lagi-lagi suara ketukan itu masih ada hingga membuat dadanya berdetak dengan sangat cepat. Kedua tangannya mengencengkram seprai kuat sembari terus menatap ke arah jendela. Nyalinya seketika langsung menciut, karena selama ini tidak ada sejarahnya tetangga, teman atau pun saudaranya ngetuk jendela kamar seperti ini.
“Hah?! Siapa yang ngetok?”
Tok... Tok... Tok...
Namun, ternyata jendelanya masih diketuk lagi hingga membuat Arkan langsung berlarian ke kamar orangtuanya.
“Pak... Bu... Pak...” teriak Arkan yang sudah berdiri di depan pintu kamar orangtuanya dengan napas memburu. Bahkan keringan dingin pun sudah bercucuran dari keningnya, tangannya bergetar karena ia telah tersugesti bahwa suara ketukan dan gemerincing andong tadi pasti berasal dari pocong yang tadi sempat menampakan wujud kepadanya.
“Ada apa, Arkan?” tanya Bapak yang baru saja keluar dan diikuti oleh Bu Sarah di belakangnya.
“Kenapa teriak-teriak malem-malem gini?” imbuh Bu Sarah sembari menguap karena beliau tadi memang sudah terlelap dan masih merasa sangat mengantuk.
“A-ada yang ngetuk jendela kamar Arkan, Pak,” ucap Arkan tersengal-sengal, ia bahkan kesulitan untuk menelan ludahnya. Tenggorokannya mendadak kering kerontang.
Dengan segera Bapak dan Bu Sarah masuk ke dalam kamar Arkan, menyibak tirai dan membuka jendela. Tidak ada siapa-siapa di sana, namun mereka sama-sama masih mendengar suara gemerincing andong yang samar-samar.
Kemudian dengan cepat Bapak langsung keluar kamar dan memeriksanya, akan tetapi tak lama kemudian beliau kembali masuk dan langsung mengunci pintu dalam keadaan wajah yang memucat. Kini beliau tampak tengah mengusap-usap dadanya yang tengah berdetak tak beraturan.
Melihat itu Bu Sarah dan Arkan pun langsung menghampirinya.
“Ada apa, Pak?” tanya Bu Sarah dengan dahinya yang berkerut.
“Ada andong,” balas Bapak cepat.
“Andong siapa? Benar itu andong pocong?”
“Nggak tau, udah jauh Bapak liatnya. Samar-samar ada andong, ya tapi kan di sini nggak ada yang punya andong.”
“Udah-udah tenang dulu, Pak. Sebaiknya malem ini kita tidur bareng-bareng aja. Arkan...” Bu Sarah menoleh ke arah putranya itu yang sedari tadi hanya terdiam di ambang pintu kamar, “gelaran kasur lantai di kamar Ibu aja. Jangan tidur sendiri, apa lagi kamar kamu ada di depan gitu,” tutur Ibu dan segera memapah Bapak yang terlihat masih shock untuk masuk ke dalam kamar.
Karena Arkan memang ketakutan akhirnya ia menurut saja dan malam ini mereka benar-benar tidur satu kamar agar merasa lebih aman.
Namun, di pagi harinya seluruh warga desa semuanya gempar. Karena ternyata tetangga sebelah kiri rumah Arkan, anaknya ditemukan meninggal dunia dalam keadaan telungkup di teras rumah. Di mana posisi kamar Arkan ya berada tepat di sebelah rumah tetangganya itu.
Ya, karena sebelumnya memang sudah tersebar rumor kalau ada teror andong pocong yang sebenarnya dari desa sebelah. Di mana di desa tersebut ada orang yang meninggal dengan keadaan yang sama, yaitu telungkup. Sehingga Para warga desa langsung bercocok logi dan mengaitkan kalau hal ini sudah merambat ke desa mereka.
Apa lagi Arkan dan keluarganya yang semalam juga mendengar memang ada suara andong. Apa lagi Bapak yang benar-benar melihat dengan mata kepalanya sendiri, tapi posisinya memang sudah jauh.
“Jangan-jangan semalem itu memang andongnya ke sebelah rumah ya, Bu. Makanya suara gemerincingnya sama kedengeran sampai rumah kita,” bisik Arkan lirih.
“Udah jangan dibahas dulu,” balas Bu Sarah.
Kini ia dan Bu Sarah maupun para warga lainya tengah berada di rumah tetangganya Arkan untuk melayat. Keluarga yang ditinggalkan terus saja menangis tersedu-sedu karena ditinggalkan anaknya yang masih remaja dengan keadaan yang seperti ini. Tanpa sakit atau pun hal-hal yang masuk logika lainnya. Bahkan jenazahnya pun sudah ditemukan dalam keadaan mata terbelalak dan mulut yang terbuka.
Arkan sempat melihat jenazah tetangganya itu, membuatnya jadi teringat dengan kejadian kemarin malam. Keadaannya itu benar-benar sama persis dengan dirinya yang terbelalak dan mulut terbuka lebar karena sangking terkejutnya.
“Apa setelah ini aku, ya? Ya Allah...” batin Arkan, tapi dengan cepat ia langsung menggelengkan kepalanya dan berusaha untuk menepis segala fikiran negatif itu.
Setelah kejadian hari ini semua orang pada kehebohan panik. Memperingatkan anak-anak mereka untuk jangan membuka pintu ataupun jendela saat malam tiba. Kalau ada yang mengetuk jangan pernah ada yang membukakannya dan mulai dari itu keadaan desa mulai semakin mencekam.
Kecemasan dan ketakutan yang semula memang sudah ada itu justru kini semakin lebih kuat lagi. Para warga sudah banyak yang tak berani keluar rumah lebih dari jam lima sore hari. Bahkan ada yang lebih memilih untuk mengungsi ke rumah saudaranya yang desanya lebih jauh.
Menambah suasana malam yang semakin sepi karena warga desa juga semakin sedikit. Apa lagi tidak ada yang berani keluar rumah. Benar-benar sudah seperti desa mati. Karena warga di desa percaya bahwa hal ini bukan lah sesuatu yang bisa ditangkap dengan tangan manusia.
Bahkan di malam ini saja para warga yang melaksanakan tahlilan di rumah tetangga Arkan lebih memilih untuk menginap saja, keculai tetangga sebelah kanan dan kiri. Karena memang warga yang datang tidak sebanyak hari-hari sebelum adanya teror andong pocong ini. Warga memang benar-benar merasa ketakutan yang teramat besar, apalagi mereka tidak tahu harus melakukan hal apa untuk menghadapi perkara ini.
“Malem ini tidur di kamar Ibu sama Bapak lagi aja,” seru Bapak yang tengah terduduk di sofa ruang keluarga.
Arkan hanya mengangguk ringan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia masih terus merasa terancam karena sebelumnya sudah pernah melihat pocong di rumah kosong. Hal itu membuatnya jadi terus ketakutan, karena dia berfikiran bahwa target selanjutnya adalah dirinya.
Kenapa hal semacam ini bisa sampai ada di desanya? Hal yang sama sekali tak mampu dicerna dengan akal sehat manusia biasa. Padahal warga desa juga sedang susah karena lumpur lapindo sudah terus saja meluap hingga sampai menenggelamkan rumah-rumah di desa sebelah. Yang mungkin saja bisa sampai meleber ke desanya jika lumpur lapindo itu terus saja meluap.
Namun, justru ditambah dengan hal mencekam dan menakutkan yang membuat warga semakin tak bisa melewati malam dengan tenang.
“Mulai lagi penyakit ngelamunnya,” sindir Bu Sarah sembari meleparkan bantal sofa ke arah putra semata wayangnya itu. “Ck! Ibu ni ngagetin terus. Udah tahu lagi parnoan gini,” balas Arkan lalu mendengkus kesal. “Ya kalau udah tau kondisi lagi kaya gini jangan ngelamun lah, Arkan! Jangan dibiasain hal yang nggak baik kaya gitu,” seru Bu Sarah yang kembali memperingati. “Arkan bukan ngelamun, Bu. Tapi, emang lagi mikirin hal itu. Apa lagi kemarin Arkan udah liat itu pocong pake mata kepala Arkan sendiri. Gimana kalau malem ini andong itu dateng lagi ke sini buat jemput Ar...” Belum sempat Arkan menyelesaikan perkataannya dengan cepat Bu Sarah langsung membungkam mulut anaknya itu dengan telapak tangannya, “jangan ngawur ngomongnya, Arkan!” sentaknya seraya melayangkan tatapan tajamnya. “Ya sudah kalau gitu besok kita ke rumah Bude aja, untuk beberapa saat tinggal di sana dulu sampai teror ini mereda,” sahut Bapak lalu menghel
Seketika itu juga Pakde langsung meletakkan jari telunjuknya ke bibir untuk memberi isyarat pada semua orang agar diam dan tak menimbulkan suara sedikit pun. Mendadak semuanya tak ada yang berani bergerak dan Pak Yadi pun masih tetap stay di tempatnya dengan posisi duduk membelakangi pintu. Arkan dan Bima sesekali saling beradu pandang sebelum pada akhirnya terus fokus menatap ke arah pintu. Sedangkan Bapak kini justru berjalan pelan ke arah Pak Yadi yang masih mematung, seolah tahu bahwa Pak Yadi memang sedang merasa sangat ketakutan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Bapak langsung menarik lengan Pak Yadi untuk menjauh dari pintu dan duduk bersama dengan yang lainnya. Pintu terus saja diketuk, bahkan kalau Arkan tidak salah menghitung ketukan itu ada kalau sampai sepuluh kali. Kalau pun itu yang mengetuk adalah tetangga atau pun manusia yang mengetuk pastinya bakalan ada yang mengucapakan sesuatu, assalamualaikum atau apa lah semacam Pak Yadi tadi. Ta
Pakde dan Bima segera menghampiri Bapak. Memeriksa napas di hidung beliau dan nadinya. Namun, Bapak sudah tidak lagi bernyawa. Kemudian dengan perlahan Pakde menutup kedua mata Bapak yang masih terbuka lebar itu, tetapi sayangnya mulut yang juga masih terbuka itu sudah tidak dapat tertutup. “Innalillahi wa innalillahi rajiun...” gumam Pakde lirih sembari mengusap dadanya pelan. Ia tak menyangka jika adik iparnya akan meninggal dalam keadaan seperti ini. Ibu benar-benar menangis histeris sembari memeluk erat tubuh Bapak, sedangkan Arkan masih terdiam mematung di ambang pintu. Kepalanya menggeleng pelan, ia seolah tak mampu mencerna kejadian yang terjadi begitu cepat ini. Dadanya bergemuruh dan berharap ini semua hanya sebuah mimpi buruk semata. “Pak!!!” Suara isak tangis Ibu membuat tubuh Arkan semakin melemas dengan kedua matanya yang mulai memanas. Perlahan Bude dan Susan menghampiri Ibu yang masih terus terisak dalam tangisnya sa
“Ka-kamu masih hidup?” Bibir Bude merekah dengan lebarnya. Beliau berjalan perlahan ke arah lelaki yang ia anggap Pak Hasan itu. Jujur saja saat ini beliau merasa sangat senang dan sekaligus haru. Karena melihat adik laki-lakinya yang sekarang ini bisa berdiri tegap membelakangi dirinya padahal baru beberapa menit yang lalu telah dinyatakan meninggal oleh suaminya sendiri. “Pasti tadi suami Mba salah kan, Hasan. Alhamdulillah banget kamu nggak jadi korban pocong itu.” Kedua sudut mata Bude mulai berair karena beliau merasa sangat terharu. Namun, seperkian detik kemudian saat Bude sudah hampir sangat dekat dengan adik laki-lakinya itu. Beliau kembali mencium aroma busuk yang menyeruak rongga hidungnya hingga membuat Bude tak sanggup lagi untuk menahannya. Huekkk... Dengan cepat Bude langsung berlari kembali ke dalam kamar mandi sembari menutup mulutnya. Bau busuk itu benar-benar membuat isi perut Bude keluar semua hingga membuat kepala
Angin semakin berhembus dengan kencangnya, disertai suara gemericik hujan yang mulai turun mengguyur desa malam ini membuat suasana semakin mencekam. Apa lagi suara menggelegar petir yang saling bersahut-sahutan. “Susan,” panggil Bu Sarah lirih sembari menatap Susan yang tengah duduk bersender pada dinding sembari memeluk erat tubuhnya sendiri. Begitu mendengar namanya dipanggil Susan langsung menoleh dan tersenyum lega melihat Bu Sarah yang sudah siuman, “Bulek udah sadar.” “Istirahat aja dulu, Bulek! Ini masih jam 12, apa lagi hujan gini,” lanjutnya sembari menarik selimut sampai menutupi kedua bahu Bu Sarah. “Simbah gimana, Susan?” “Simbah tidur di kamar Arkan, Bulek. Setelah salat isya dan dikasi obat tidur, Simbah ya belum bangun. Nggak tahu besok pagi gimana kalau tahu Om Hasan udah nggak ada. Semoga aja jantung Simbah kuat,” ungkap Susan sembari menatap sendu ke arah Bu Sarah yang masih terbaring dengan bibir pucat
Belum ada tanda-tanda suara gedoran itu akan berhenti. Sebenarnya Pakde ingin ke dapur untuk mengambil segelas air untuk dibacakan doa dan dicipratkan ke beberapa pintu. Namun, sayangnya dapur pun tengah dalam kondisi yang tidak aman. Jadi, mau tidak mau mereka semua semalaman ini tetap terjaga dalam kondisi yang amat sangat mencekam sampai menjelang subuh. Hujan pun ikut reda bersamaan dengan suara gedoran pintu yang sudah tidak lagi terdengar. “Mas Bima,” panggil Arkan yang membuat sang empunya langsung menoleh, “suara memekik semalem yang memperingatkan kita untuk nggak ikut campur, justru bikin aku yakin kalau semua yang udah terjadi dan menimpa desa kita memang ada campur tangan manusia.” “Belum bisa dipastikan juga, Arkan. Tapi, aku juga heran. Suara itu tiba-tiba muncul waktu aku bilang akan cari solusinya besok. Hebat banget ya bisa denger, padahal telinganya kebungkus mori,” balas Bima ketus seraya memutar bola matanya malas.
“Sebelumnya saya bener-bener minta maaf, tapi di sini kami memang udah bener-bener buntu mau minta tolong sama siapa. Semalam saya baru aja kehilangan bapak dan sampai pagi di teror sama pocong-pocong itu. Makanya kami ke sini, Mbah. Karena kami pikir Simbah bisa bantu, tapi kalau memang nggak bisa kami juga nggak bisa memaksakannya,” papar Arkan yang kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mbah Kandar tampak menghela napas berat beberapa kali, menatap dan menelisik wajah Arkan yang terlihat jelas tengah menyimpan kesedihan dan sebuah dendam mendalam di dalam dirinya. Lalu, beberapa saat kemudian beliau mengarahkan tangannya ke dalam rumah untuk memberikan isyarat kepada Nur agar masuk saja ke dalam. Awalnya Nur enggan, namun Mbah Kandar mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. Seolah memberitahu bahwa semua akan baik-baik saja hingga akhirnya Nur terpaksa melangkah masuk ke dalam dan tak ikut campur. “Iya, Lee. Saya tahu yang sedang k
Mbah Kandar bangkit dari duduknya, tanpa menjawab pertanyaan Arkan terlebih dahulu beliau langsung masuk ke dalam rumah hingga membuat Arkan dan Bima pun saling pandang. Mereka berdua bingung kenapa Mbah Kandar tiba-tiba langsung masuk begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, ternyata beberapa saat kemudian beliau kembali keluar dengan membawa sebotol air jernih dan sebungkus garam dapur. “Setelah kalian pulang dari sini, langsung sebarkan garam ini ke seluruh rumah kalian. Garam dapur ini sudah Mbah doakan dan semoga jin apa pun yang akan dikirimkan nanti ke rumah kalian tidak akan ada yang bisa masuk,” ucap Mbah Kandar setelah meletakan apa yang tengah beliau bawa di atas meja. Arkan mengangguk pelan dengan pandangan yang masih tertuju pada garam dapur dan sebotol air itu, kemudian ia bertanya kepada Mbah Kandar, “lalu, air di botol ini untuk apa?” tangannya memanjang untuk mengambil benda yang tengah ia tanyakan.
-Flashback On-“Apa nggak papa ini kita dobrak pintu rumah ini, kalau sampai ada tetangganya yang dengar bagaimana?” ucap Anto, lelaki berbaju hitam dengan tubuh kekar seraya melihat ke sekeliling untuk memastikan keadaan benar-benar aman.“Hujannya deras, suara petir juga bersahut-sahutan. Nggak mungkin bakal ada yang denger,” balas Jaja yang berdiri di belakang lelaki paruh baya.“Cepat dobrak!” ucapnya dengan lantang.“Ta-tapi, Mbah Kandar. Dua pemuda yang salah satunya Mbah bilang punya khodam singa putih bukannya mereka juga sudah pulang ke rumah, nanti kita mati kalau harus berhadapan dengan khodamnya,” keluh Anto takut.“Mereka nggak bisa pulang, masih kejebak di desa sebelah. Tapi mungkin dia malam ini dia bakal ngebrantas semua pocong penjemput tumbal. Makanya kita nggak punya banyak waktu, ambil keris kecil itu di dalam rumah ini. Itu salah satu pusaka peninggalan leluhurnya yang sampai saat ini masih di simpan oleh keluarganya. Mereka orang bodoh yang nggak tahu cara penggu
“Simbah...” Bibir Arkan bergetar dengan tatapan nanar. Lelaki itu langsung mengangkat tubuh rentan Simbah untuk mengeluarkannya dari dalam lemari dan segera membaringkan-nya di atas kasur. Napas Arkan tersengal-sengal, kedua matanya memanas melihat Simbah yang tak sadarkan diri. Namun, untungnya ia masih bisa menghela napas lega karena ternyata Simbah tak bernasib sama dengan almarhum Susan. Akan tetapi, kedua bibir wanita rentan ini sangat memucat. Sepertinya Simbah sudah kehabisan napas karena terlalu lama berjongkok di dalam lemari. “Apa yang sebenarnya terjadi, Simbah?
Para tetangga berbodong-bondong menuju rumah Arkan setelah mendengar teriakan Mila meminta tolong.Salah satu dari mereka langsung memanggilkan dokter dan polisi. Sedangkan yang lainnya membantu mengurus pemakaman Susan.Tak ada yang tahu apa kejadian yang telah menimpa keluarga ini semalam hingga membuat Susan sampai kehilangan nyawa seperti ini."Apa yang terjadi semalam di desa kita ini, Bude? Ke mana ibu saya?" tanya Arkan yang tengah terduduk lemas sembari menyenderkan kepalanya di dinding ruang tamu.Bu Listri mengusap-usap lembut lengan Arkan sembari berkata, "saya nggak tau ke mana ibumu, Arkan. Saya kira semalam semua keluargamu pergi dari rumah ini saat ujan mulai deras. Karena pagi hari ini mobilmu udah nggak di rumah.""Semalam desa kita diguyur hujan deras disertai angin kencang, Arkan. Tapi, hari ini alhamdulillah nggak ada korban andong pocong. Eh, te
Sesaat Mbah Kandar terdiam, kemudian beliau menghela napas pelan dan akhirnya membalas perkataan Mila, "wajar saja jika para tetanggamu lebih memilih untuk mengungsi, Nduk. Mereka takut jika akhirnya akan menjadi korban, tetapi memangnya mereka hanya ingin terus bersembunyi tanpa bertindak? Kematian adalah takdir yang nggak bisa dihindari."Mila mengernyitkan dahinya seraya menoleh sekilas ke arah Bima dan Arkan.Memang apa yg bisa para warga di desa Mila lakukan? Mereka semua hanya orang biasa, jelas saja tak ada yang mampu untuk mengatasinya. Jalan terbaik bagi mereka hanyalah dengan cara pergi meninggalkan desa, untuk sementara atau bahkan selamanya.“Iya, Mbah. Memang kematian adalah rahasia Sang Ilahi, tapi jika kematian penduduk disebabkan oleh hal semacam ini apakah ini disebut dengan takdir juga? Mereka belum waktunya meninggal, tapi dibuat meninggal secara paksa untuk dijadikan tumbal," sahut
Waktu tengah menunjukan pukul 9 dini hari. Sebelum berangkat ke rumah mbah Kandar mereka menyempatkan untuk bertakziah ke rumah tetangga Mila. Ternyata semalam warga desa sini yang meninggal mencapai sembilang orang dengan 5 diantaranya meninggal akibat kesambar petir dan 4 lainnya meninggal tak wajar karena kedatangan pocong andong yang membuat warga semakin dibuat ketakutan. Hingga akhirnya pada hari ini juga mereka berbondong-bondong pindah ke pengusian di luar kabupaten karena sudah tak ada pilihan lain lagi. Para warga sudah tidak mampu lagi untuk bertahan di rumah mereka karena teror yang semakin gencar hingga yang tak keluar dari dalam rumah pun bisa menjadi korbannya. Sudah banyak beberapa orang pintar yang berusaha untuk menghentikannya, namun belum ada satu pun yang berhasil. Bahkan beberapa ustad yang ikut serta mencoba untuk menghentikannya pun belum ada yang mampu. Entah harus menggunakan cara seperti apa lagi untuk menghentikan se
Arkan mengerjapkan matanya perlahan saat sinar cahaya pagi masuk dari sela-sela jendela. Sembarai berseringai kecil karena merasa tubuhnya redam remuk dan rasa perih dibagian lengannya. Lelaki itu pun merasakan tenggorokannya yang kering kerontang hingga terasa sangat perih saat ia menelan ludah. “Kamu udah bangun.” Bima yang sejak semalam terus duduk di sebelah Arkan itu pun segera mengambilkan segelas air putih, lalu membantu adik sepupunya itu duduk. Wajah Arkan terlihat begitu pucat, ia juga merasa tubuhnya sangat lemas tak bertenaga. “Minum dulu!” Bima memberikan segelas air dan Arkan menerimanya sembari tangan kiri memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa bisa tiba-tiba sudah berada di dalam rumah apa lagi matahari sudah terbit. Padahal seingatnya semalam ia dan Mila masih berada di luar dalam kondisi yang cukup meneganggkan saat tak sengaja kedua retinanya beradu tatap den
Begitu keluar dari rumah Mila, tubuh Bima menenggang hebat dengan degup jantung yang semakin terpompa dengan cepat. Tak mungkin ia tak merasa takut, justru ini adalah momen yang paling menakutkan dalam hidupnya. “Bagaimana mungkin?!” gumamnya lirih saat melihat tak hanya satu andong saja yang tengah terparkir di jalanan. Ada sekitar 5 andong yang berhenti di beberapa rumah warga yang sudah jelas suara teriakan itu pastinya berasal dari rumah mereka. “Allahuakbar!” Bima menggeleng tak percaya, “kenapa jadi banyak kaya gini?” dan seketika itu juga tubuhnya meremang karena mendengar suara gemerincing andong dari belakang tubuhnya. Suara itu kian mendekat dan terus mendekat hingga suaranya semakin terdengar jelas. Namun, tiba-tiba saja suara gemerincing itu berhenti tetapi suara teriakan minta tolong dan tangis histeris masih terdengar. Hilangnya suara gemerincing andong itu bukan berarti membuat Bima sedikit lebih tenang, namun justru membuatnya
Mila yang tengah membawa nampan berisikan dua mangkuk mie tak sengaja mendengar percakapan kedua pemuda ini. Gadis cantik dengan jilbab coklat yang menjulur hingga menutup dada itu masih terdiam di ambang pintu dengan tatapan sendu. “Eh, Mba Mila,” seloroh Bima yang baru saja menyadari keberadaan gadis itu. Mendengar namanya disebut Mila yang tadinya masih terdiam langsung berjalan ke arah mereka sembari meletakan nampan yang ia bawa sembari tersenyum ramah. “Ini mas makan dulu, hujan-hujan gini enaknya makan yang anget-anget, kan,” ucap Mila mempersilahkan. Kemudian ia memutar tubuhnya untuk mengambil gelas dan air yang ada di atas meja ruang tamunya. Lain halnya dengan Bima yang langsung menyambar mangkuk di hadapannya. Arkan justru menatap Mila dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu dengar pembicaraan kami tadi, ya?” seru Arkan yang seolah cemas jika ada orang lain yang tahu akan rencananya ini. Karena saat ini dirinya h
Sebungkus garam dapur sudah berserakan di tanah, andai kata pun diambil dan dipunguti pastinya hanya tinggal sedikit saja. Apa lagi harus balik ke rumah Mbah Kandar, itu tidak mungkin. Karena hari sudah semakin sore dan mereka sudah di tengah perjalanan. Sebenarnya bisa saja Bima kembali ke sana untuk meminta garam yang baru, tetapi ia juga sudah diburu waktu karena menghindari pulang ketika siang sudah berganti dengan malam. “Kenapa, Mas?” tanya lelaki itu lagi yang tampak keheranan melihat Bima frustasi. Bima langsung menggeleng pelan sembari menampakan serentetan giginya, “nggak papa, Pak. Itu saya mau ke sana dulu ngambil sebotol air. Itu air zam-zam, Pak. Sayang kalau sampai nggak diminum,” balasnya tanpa mau memberitahu yang sebenarnya. Bukannya apa, Bima hanya tengah berjaga-jaga saja. Ia belum tahu siapa dukun yang tengah ia cari-cari dan bukannya mau seudzon juga. Ia hanya waspada dan tidak sembarang memberitahu orang lain yang ta