Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, akan tetapi Arkan sama sekali belum bisa terlelap. Ia masih terbayang dengan wujud menyeramkan pocong itu. Pikirannya terus saja beputar-putar mengingat tentang hal apapun yang bersangkutan dengan pocong andong itu.
Di saat Arkan semakin hanyut dalam fikirannya sendiri ia mendengar suara kerincing andong, “tumben-tumbennya ada ada andong lewat sini jam segini,” dan di dengar-dengar lagi ternyata suara kincringan yang semula jauh itu semakin terdengar jelas seperti andong itu sudah berhenti di sebelah kamarnya.
Hingga tiba-tiba saja jendela kamar diketuk yang membuatnya langsung terperanjat dan duduk dari tidurnya. Arkan terdiam, ia kembali memasang indra pendengarannya dengan baik. Namun, ternyata lagi-lagi suara ketukan itu masih ada hingga membuat dadanya berdetak dengan sangat cepat. Kedua tangannya mengencengkram seprai kuat sembari terus menatap ke arah jendela. Nyalinya seketika langsung menciut, karena selama ini tidak ada sejarahnya tetangga, teman atau pun saudaranya ngetuk jendela kamar seperti ini.
“Hah?! Siapa yang ngetok?”
Tok... Tok... Tok...
Namun, ternyata jendelanya masih diketuk lagi hingga membuat Arkan langsung berlarian ke kamar orangtuanya.
“Pak... Bu... Pak...” teriak Arkan yang sudah berdiri di depan pintu kamar orangtuanya dengan napas memburu. Bahkan keringan dingin pun sudah bercucuran dari keningnya, tangannya bergetar karena ia telah tersugesti bahwa suara ketukan dan gemerincing andong tadi pasti berasal dari pocong yang tadi sempat menampakan wujud kepadanya.
“Ada apa, Arkan?” tanya Bapak yang baru saja keluar dan diikuti oleh Bu Sarah di belakangnya.
“Kenapa teriak-teriak malem-malem gini?” imbuh Bu Sarah sembari menguap karena beliau tadi memang sudah terlelap dan masih merasa sangat mengantuk.
“A-ada yang ngetuk jendela kamar Arkan, Pak,” ucap Arkan tersengal-sengal, ia bahkan kesulitan untuk menelan ludahnya. Tenggorokannya mendadak kering kerontang.
Dengan segera Bapak dan Bu Sarah masuk ke dalam kamar Arkan, menyibak tirai dan membuka jendela. Tidak ada siapa-siapa di sana, namun mereka sama-sama masih mendengar suara gemerincing andong yang samar-samar.
Kemudian dengan cepat Bapak langsung keluar kamar dan memeriksanya, akan tetapi tak lama kemudian beliau kembali masuk dan langsung mengunci pintu dalam keadaan wajah yang memucat. Kini beliau tampak tengah mengusap-usap dadanya yang tengah berdetak tak beraturan.
Melihat itu Bu Sarah dan Arkan pun langsung menghampirinya.
“Ada apa, Pak?” tanya Bu Sarah dengan dahinya yang berkerut.
“Ada andong,” balas Bapak cepat.
“Andong siapa? Benar itu andong pocong?”
“Nggak tau, udah jauh Bapak liatnya. Samar-samar ada andong, ya tapi kan di sini nggak ada yang punya andong.”
“Udah-udah tenang dulu, Pak. Sebaiknya malem ini kita tidur bareng-bareng aja. Arkan...” Bu Sarah menoleh ke arah putranya itu yang sedari tadi hanya terdiam di ambang pintu kamar, “gelaran kasur lantai di kamar Ibu aja. Jangan tidur sendiri, apa lagi kamar kamu ada di depan gitu,” tutur Ibu dan segera memapah Bapak yang terlihat masih shock untuk masuk ke dalam kamar.
Karena Arkan memang ketakutan akhirnya ia menurut saja dan malam ini mereka benar-benar tidur satu kamar agar merasa lebih aman.
Namun, di pagi harinya seluruh warga desa semuanya gempar. Karena ternyata tetangga sebelah kiri rumah Arkan, anaknya ditemukan meninggal dunia dalam keadaan telungkup di teras rumah. Di mana posisi kamar Arkan ya berada tepat di sebelah rumah tetangganya itu.
Ya, karena sebelumnya memang sudah tersebar rumor kalau ada teror andong pocong yang sebenarnya dari desa sebelah. Di mana di desa tersebut ada orang yang meninggal dengan keadaan yang sama, yaitu telungkup. Sehingga Para warga desa langsung bercocok logi dan mengaitkan kalau hal ini sudah merambat ke desa mereka.
Apa lagi Arkan dan keluarganya yang semalam juga mendengar memang ada suara andong. Apa lagi Bapak yang benar-benar melihat dengan mata kepalanya sendiri, tapi posisinya memang sudah jauh.
“Jangan-jangan semalem itu memang andongnya ke sebelah rumah ya, Bu. Makanya suara gemerincingnya sama kedengeran sampai rumah kita,” bisik Arkan lirih.
“Udah jangan dibahas dulu,” balas Bu Sarah.
Kini ia dan Bu Sarah maupun para warga lainya tengah berada di rumah tetangganya Arkan untuk melayat. Keluarga yang ditinggalkan terus saja menangis tersedu-sedu karena ditinggalkan anaknya yang masih remaja dengan keadaan yang seperti ini. Tanpa sakit atau pun hal-hal yang masuk logika lainnya. Bahkan jenazahnya pun sudah ditemukan dalam keadaan mata terbelalak dan mulut yang terbuka.
Arkan sempat melihat jenazah tetangganya itu, membuatnya jadi teringat dengan kejadian kemarin malam. Keadaannya itu benar-benar sama persis dengan dirinya yang terbelalak dan mulut terbuka lebar karena sangking terkejutnya.
“Apa setelah ini aku, ya? Ya Allah...” batin Arkan, tapi dengan cepat ia langsung menggelengkan kepalanya dan berusaha untuk menepis segala fikiran negatif itu.
Setelah kejadian hari ini semua orang pada kehebohan panik. Memperingatkan anak-anak mereka untuk jangan membuka pintu ataupun jendela saat malam tiba. Kalau ada yang mengetuk jangan pernah ada yang membukakannya dan mulai dari itu keadaan desa mulai semakin mencekam.
Kecemasan dan ketakutan yang semula memang sudah ada itu justru kini semakin lebih kuat lagi. Para warga sudah banyak yang tak berani keluar rumah lebih dari jam lima sore hari. Bahkan ada yang lebih memilih untuk mengungsi ke rumah saudaranya yang desanya lebih jauh.
Menambah suasana malam yang semakin sepi karena warga desa juga semakin sedikit. Apa lagi tidak ada yang berani keluar rumah. Benar-benar sudah seperti desa mati. Karena warga di desa percaya bahwa hal ini bukan lah sesuatu yang bisa ditangkap dengan tangan manusia.
Bahkan di malam ini saja para warga yang melaksanakan tahlilan di rumah tetangga Arkan lebih memilih untuk menginap saja, keculai tetangga sebelah kanan dan kiri. Karena memang warga yang datang tidak sebanyak hari-hari sebelum adanya teror andong pocong ini. Warga memang benar-benar merasa ketakutan yang teramat besar, apalagi mereka tidak tahu harus melakukan hal apa untuk menghadapi perkara ini.
“Malem ini tidur di kamar Ibu sama Bapak lagi aja,” seru Bapak yang tengah terduduk di sofa ruang keluarga.
Arkan hanya mengangguk ringan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia masih terus merasa terancam karena sebelumnya sudah pernah melihat pocong di rumah kosong. Hal itu membuatnya jadi terus ketakutan, karena dia berfikiran bahwa target selanjutnya adalah dirinya.
Kenapa hal semacam ini bisa sampai ada di desanya? Hal yang sama sekali tak mampu dicerna dengan akal sehat manusia biasa. Padahal warga desa juga sedang susah karena lumpur lapindo sudah terus saja meluap hingga sampai menenggelamkan rumah-rumah di desa sebelah. Yang mungkin saja bisa sampai meleber ke desanya jika lumpur lapindo itu terus saja meluap.
Namun, justru ditambah dengan hal mencekam dan menakutkan yang membuat warga semakin tak bisa melewati malam dengan tenang.
“Mulai lagi penyakit ngelamunnya,” sindir Bu Sarah sembari meleparkan bantal sofa ke arah putra semata wayangnya itu. “Ck! Ibu ni ngagetin terus. Udah tahu lagi parnoan gini,” balas Arkan lalu mendengkus kesal. “Ya kalau udah tau kondisi lagi kaya gini jangan ngelamun lah, Arkan! Jangan dibiasain hal yang nggak baik kaya gitu,” seru Bu Sarah yang kembali memperingati. “Arkan bukan ngelamun, Bu. Tapi, emang lagi mikirin hal itu. Apa lagi kemarin Arkan udah liat itu pocong pake mata kepala Arkan sendiri. Gimana kalau malem ini andong itu dateng lagi ke sini buat jemput Ar...” Belum sempat Arkan menyelesaikan perkataannya dengan cepat Bu Sarah langsung membungkam mulut anaknya itu dengan telapak tangannya, “jangan ngawur ngomongnya, Arkan!” sentaknya seraya melayangkan tatapan tajamnya. “Ya sudah kalau gitu besok kita ke rumah Bude aja, untuk beberapa saat tinggal di sana dulu sampai teror ini mereda,” sahut Bapak lalu menghel
Seketika itu juga Pakde langsung meletakkan jari telunjuknya ke bibir untuk memberi isyarat pada semua orang agar diam dan tak menimbulkan suara sedikit pun. Mendadak semuanya tak ada yang berani bergerak dan Pak Yadi pun masih tetap stay di tempatnya dengan posisi duduk membelakangi pintu. Arkan dan Bima sesekali saling beradu pandang sebelum pada akhirnya terus fokus menatap ke arah pintu. Sedangkan Bapak kini justru berjalan pelan ke arah Pak Yadi yang masih mematung, seolah tahu bahwa Pak Yadi memang sedang merasa sangat ketakutan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Bapak langsung menarik lengan Pak Yadi untuk menjauh dari pintu dan duduk bersama dengan yang lainnya. Pintu terus saja diketuk, bahkan kalau Arkan tidak salah menghitung ketukan itu ada kalau sampai sepuluh kali. Kalau pun itu yang mengetuk adalah tetangga atau pun manusia yang mengetuk pastinya bakalan ada yang mengucapakan sesuatu, assalamualaikum atau apa lah semacam Pak Yadi tadi. Ta
Pakde dan Bima segera menghampiri Bapak. Memeriksa napas di hidung beliau dan nadinya. Namun, Bapak sudah tidak lagi bernyawa. Kemudian dengan perlahan Pakde menutup kedua mata Bapak yang masih terbuka lebar itu, tetapi sayangnya mulut yang juga masih terbuka itu sudah tidak dapat tertutup. “Innalillahi wa innalillahi rajiun...” gumam Pakde lirih sembari mengusap dadanya pelan. Ia tak menyangka jika adik iparnya akan meninggal dalam keadaan seperti ini. Ibu benar-benar menangis histeris sembari memeluk erat tubuh Bapak, sedangkan Arkan masih terdiam mematung di ambang pintu. Kepalanya menggeleng pelan, ia seolah tak mampu mencerna kejadian yang terjadi begitu cepat ini. Dadanya bergemuruh dan berharap ini semua hanya sebuah mimpi buruk semata. “Pak!!!” Suara isak tangis Ibu membuat tubuh Arkan semakin melemas dengan kedua matanya yang mulai memanas. Perlahan Bude dan Susan menghampiri Ibu yang masih terus terisak dalam tangisnya sa
“Mending kamu nginep aja dulu di rumahku, Ar...” seru Zaidan sembari memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Arkan menggeleng pelan sembari menggendong tasnya, “nggak deh aku pulang aja, ini juga masih jam 8, kan. Berani lah.” Zaidan menghela napas panjang lesu hingga kedua bahunya luruh, “bukannya masalah berani atau enggak, tapi kan di desa sebelah itu lagi ada rumor mistis begini. Aku khawatir aja kalau kamu pulang malem-malem gini.” “Ehhh...” Arkan memukul ringan bahu Zaidan sembari terkekeh kecil, “jaman sekarang masih aja percaya tahayul, Dan... Dan. Nggak ada enggak, udah ya aku pulang dulu. Tadi belum izin ibu juga kalau mau nginep, ntar malah dicariin.” “Ibumu ya bakal lebih khawatir lagi kalau kamu pulang di jam segini, tapi terserah deh. Pokoknya aku udah ngingetin, ya. Kalau nanti ada apa-apa nggak tanggung jawab aku.” “Hm, iya-iya. Aman,” balas Arkan sembari bangkit dari duduknya dan segera mengendarai motorny