“Ka-kamu masih hidup?” Bibir Bude merekah dengan lebarnya.
Beliau berjalan perlahan ke arah lelaki yang ia anggap Pak Hasan itu. Jujur saja saat ini beliau merasa sangat senang dan sekaligus haru. Karena melihat adik laki-lakinya yang sekarang ini bisa berdiri tegap membelakangi dirinya padahal baru beberapa menit yang lalu telah dinyatakan meninggal oleh suaminya sendiri.
“Pasti tadi suami Mba salah kan, Hasan. Alhamdulillah banget kamu nggak jadi korban pocong itu.” Kedua sudut mata Bude mulai berair karena beliau merasa sangat terharu.
Namun, seperkian detik kemudian saat Bude sudah hampir sangat dekat dengan adik laki-lakinya itu. Beliau kembali mencium aroma busuk yang menyeruak rongga hidungnya hingga membuat Bude tak sanggup lagi untuk menahannya.
Huekkk...
Dengan cepat Bude langsung berlari kembali ke dalam kamar mandi sembari menutup mulutnya. Bau busuk itu benar-benar membuat isi perut Bude keluar semua hingga membuat kepala beliau sangat pusing. Aroma busuk bercampur gosong itu berhasil mengaduk-aduk perut Bude.
Setelah dirasa semua isi perutnya sudah keluar dan tubuh Bude melemas beliau segera membersihkan kamar mandi yang kotor itu. Kemudian, dengan langkah gontai akibat pusing yang tengah melanda kepalanya beliau kembali keluar dari dalam kamar mandi itu.
Namun, seketika itu juga napasnya tercekat. Tubuhnya menengang kaku saat melihat sosok laki-laki yang beliau kira adik laki-lakinya itu kini tengah menghadap ke arahnya dengan wajah hitam legam dan mata merah menyalanya.
“Mbak Yu! Tulung aku, Mbak!!!” pekik sosok seperti Pak Hasan itu yang tiba-tiba sudah berdiri tepat di hadapan Bude.
Napas Bude semakin tersengal-sengal, pandangannya buram dan akhirnya beliau pun jatuh tersungkur di kamar mandi.
“Ibu masih ngapain di belakang, Bu Lastri? Kok dari tadi nggak balik-balik ke sini?” tanya Bima setelah menengguk habis segelas kopinya.
“Oh iya, ya. Tadi kayanya masuk kamar mandi, mungkin mau buang hajat. Tapi, udah mau satu jam gini kok nggak ke sini-sini,” balas Bu Lastri.
Beliau hendak bangkit dari duduknya untuk memeriksa Bude, namun Bima sudah lebih dulu bangkit sembari berkata, “biar saya aja, Bu.”
“Oh iya silahkan, Nak.”
Begitu sampai di dapur Bima tidak langsung melihat tubuh Bude yang sudah terkapar di kamar mandi. Namun, ia melihat lantai keramik dapur yang kotor dan basah. Dari titik depan kompor sampai pintu belakang.
“Itu apa sih?” Bima berjalan mendekat sembari mengernyitkan dahinya. Ia sedikit mengendus bau dari lantai kotor itu seraya memicingkan mata sebelahnya, “lumpur?”
“Kenapa ada lumpur di sini?” Bima berjokok memperhatikan lumpur itu dan saat tak sengaja kepalanya sedikit menoleh ke kanan ia sangat terkejut karena melihat Bude yang tengah tak sadarkan diri di dalam kamar mandi.
“IBU!” pekik Bima dan langsung bergegas menghampiri Bude.
Pakde, Pak Budi dan Bu Lastri yang mendengar suara Bima itu pun saling berpandangan beberapa detik. Mereka tampak keheranan hingga akhirnya Pakde pun langsung bangkit dan berjalan ke arah dapur.
Belum juga sampai di dapur Pakde sudah melihat Bima yang tengah mengendong tubuh Bude dengan pakaian yang basah.
“Astagfirullah! Ngopo, Lee?” Dengan cepat Pakde pun langsung membantu Bima untuk membawa tubuh Bude ke ruang keluarga.
“Nggak tau, Pak. Tadi waktu Bima ngecek ke dapur Ibu udah pingsan di kamar mandi. Mana di daput kotor sama lumpur lagi,” balas Bima setelah merebahkan tubuh Bude di atas sofa. Kemudian ia mengarahkan pandangannya pada Bu lastri, “itu tadi lumpur apa ya, Bu? Baunya nggak enak banget.”
Mendapat pertanyaan itu Bu Lastri justru mengernyitkan dahinya heran, “lumpur? Tadi waktu saya bikin kopi nggak ada lumpur kok.”
“Tapi sekarang ada, Bu. Di depan kompor sampe ke arah pintu belakang. Kaya keseret gitu lumpurnya, jadi memanjang,” jelas Bima.
“Udah-udah nggak usah dibahas persoalan lumpurnya. Kalau memang mau dibersihkan besok aja. Sekarang kita kumpul semua di sini dan jangan ada yang ke mana-mana lagi!” seru Pakde sembari sesekali mengedarkan pandangannya.
Sedangkan di tengah keributan-keributan itu Arkan masih tetap terdiam memandang jenazah Bapak seolah tak mendengarnya. Lain halnya dengan Susan, begitu mendengar suara Bima yang memekik tadi yang langsung keluar dari dalam kamar. Bahkan saat ini ia sudah berada di samping Bude sembari mengoleskan minyak kayu putih di hidung, kening dan telapak kaki beliau.
“Aduh... aku jadi bingung mau jagain yang mana. Itu di dalem Bulek juga belum siuman, eh sekarang Ibu justru pingsan juga. Mending ini Ibu dibawa ke kamar aja, Bim. Kasian juga itu Bulek nggak ada yang jagain,” sahut Susan resah.
Bagaimana ia tidak resah, malam ini adalah malam paling mencengkam sepanjang hidupnya. Di tambah lagi jam seolah berputar dengan sangat lambat. Padahal ia sudah sangat ingin matahari segera terbit dan melewati malam yang sama sekali tak mengenakan ini.
“Mba Susan ke dalem aja sama Bulek nggak papa. Sekalian Mba Susan istirahat kalau bisa! Biar Ibu di sini aja, kasian juga kalau gotong ke sana-sini, Mba,” balas Bima sembari memijat lembut kepala Bude.
Suasana malam ini benar-benar campur aduk. Takut, cemas, khawatir dan sedih karena kehilangan salah satu anggota keluarga bercampur menjadi satu.
“Gimana mau istirahat to, Bim. Keadaannya aja sama sekali nggak mendukung. Mau nutup mata aja Mba takut,” keluh Susan, lalu menghela napas lesu.
“Insya’allah nggak ada apa-apa lagi, Mba. Mba Susan masuk lagi aja ke kamar sama Mba Sarah, ya,” imbuh Bu Lastri sembari tersenyum ramah.
“Hmm, ya udah iya, Bu. Semoga nggak ada yang aneh-aneh lagi,” ucap Susan, lalu segera bangkit dan kembali masuk ke dalam kamar.
Pakde memperhatikan langkah anak perempuannya itu, namun saat Susan berjalan melawati pintu menuju ke dapur raut wajah beliau seketika berubah. Dengan cepat beliau langsung berjalan ke arah sana dan menutup pintunya sembari menghembuskan napas kasar.
“Ya Allah! Lindungi lah kamu,” gumamnya lirih.
“Ada apa, Pak?” tanya Pak Budi heran.
Pakde tak langsung menjawabnya. Kedua bola matanya bergerak ke sana ke mari seperti orang yang tengah gelisah. Kemudian, beliau mengunci pintu itu. Mencabut kuncinya dan memasukkannya ke dalam saku celana.
“Kita harus apa ini? Di dalem rumah pun kayanya tetap nggak aman!” ucap Bapak yang membuat Arkan yang awalnya masih terdiam mematung menatap jenazah Bapaknya itu pun langsung menolehkan kepalanya.
“Kenapa, Pakde? Apa pocong sialan itu dateng lagi?”
“Hust, Arkan! Jangan ngomong sembarangan!” sentak Bima sembari menatap Arkan dengan tajam.
“Udah jangan pada ribut! Jangan ada yang bersuara lagi! Ayo baca doa!” seloroh Bapak dan langsung duduk di sebelah Arkan. Beliau memejamkan kedua matanya sembari membaca ayat kursi.
Sedangkan Bu Lastri yang tiba-tiba rasa takut menyelimuti dirinya langsung berpindah tempat duduk menjadi di sebelah suaminya. Suara semilir angin di luar rumah nampak begitu kencang hingga membuat tirai-tirai jendela bergerak-gerak karena angin masuk dari fentilasi udara.
Angin semakin berhembus dengan kencangnya, disertai suara gemericik hujan yang mulai turun mengguyur desa malam ini membuat suasana semakin mencekam. Apa lagi suara menggelegar petir yang saling bersahut-sahutan. “Susan,” panggil Bu Sarah lirih sembari menatap Susan yang tengah duduk bersender pada dinding sembari memeluk erat tubuhnya sendiri. Begitu mendengar namanya dipanggil Susan langsung menoleh dan tersenyum lega melihat Bu Sarah yang sudah siuman, “Bulek udah sadar.” “Istirahat aja dulu, Bulek! Ini masih jam 12, apa lagi hujan gini,” lanjutnya sembari menarik selimut sampai menutupi kedua bahu Bu Sarah. “Simbah gimana, Susan?” “Simbah tidur di kamar Arkan, Bulek. Setelah salat isya dan dikasi obat tidur, Simbah ya belum bangun. Nggak tahu besok pagi gimana kalau tahu Om Hasan udah nggak ada. Semoga aja jantung Simbah kuat,” ungkap Susan sembari menatap sendu ke arah Bu Sarah yang masih terbaring dengan bibir pucat
Belum ada tanda-tanda suara gedoran itu akan berhenti. Sebenarnya Pakde ingin ke dapur untuk mengambil segelas air untuk dibacakan doa dan dicipratkan ke beberapa pintu. Namun, sayangnya dapur pun tengah dalam kondisi yang tidak aman. Jadi, mau tidak mau mereka semua semalaman ini tetap terjaga dalam kondisi yang amat sangat mencekam sampai menjelang subuh. Hujan pun ikut reda bersamaan dengan suara gedoran pintu yang sudah tidak lagi terdengar. “Mas Bima,” panggil Arkan yang membuat sang empunya langsung menoleh, “suara memekik semalem yang memperingatkan kita untuk nggak ikut campur, justru bikin aku yakin kalau semua yang udah terjadi dan menimpa desa kita memang ada campur tangan manusia.” “Belum bisa dipastikan juga, Arkan. Tapi, aku juga heran. Suara itu tiba-tiba muncul waktu aku bilang akan cari solusinya besok. Hebat banget ya bisa denger, padahal telinganya kebungkus mori,” balas Bima ketus seraya memutar bola matanya malas.
“Sebelumnya saya bener-bener minta maaf, tapi di sini kami memang udah bener-bener buntu mau minta tolong sama siapa. Semalam saya baru aja kehilangan bapak dan sampai pagi di teror sama pocong-pocong itu. Makanya kami ke sini, Mbah. Karena kami pikir Simbah bisa bantu, tapi kalau memang nggak bisa kami juga nggak bisa memaksakannya,” papar Arkan yang kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mbah Kandar tampak menghela napas berat beberapa kali, menatap dan menelisik wajah Arkan yang terlihat jelas tengah menyimpan kesedihan dan sebuah dendam mendalam di dalam dirinya. Lalu, beberapa saat kemudian beliau mengarahkan tangannya ke dalam rumah untuk memberikan isyarat kepada Nur agar masuk saja ke dalam. Awalnya Nur enggan, namun Mbah Kandar mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. Seolah memberitahu bahwa semua akan baik-baik saja hingga akhirnya Nur terpaksa melangkah masuk ke dalam dan tak ikut campur. “Iya, Lee. Saya tahu yang sedang k
Mbah Kandar bangkit dari duduknya, tanpa menjawab pertanyaan Arkan terlebih dahulu beliau langsung masuk ke dalam rumah hingga membuat Arkan dan Bima pun saling pandang. Mereka berdua bingung kenapa Mbah Kandar tiba-tiba langsung masuk begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, ternyata beberapa saat kemudian beliau kembali keluar dengan membawa sebotol air jernih dan sebungkus garam dapur. “Setelah kalian pulang dari sini, langsung sebarkan garam ini ke seluruh rumah kalian. Garam dapur ini sudah Mbah doakan dan semoga jin apa pun yang akan dikirimkan nanti ke rumah kalian tidak akan ada yang bisa masuk,” ucap Mbah Kandar setelah meletakan apa yang tengah beliau bawa di atas meja. Arkan mengangguk pelan dengan pandangan yang masih tertuju pada garam dapur dan sebotol air itu, kemudian ia bertanya kepada Mbah Kandar, “lalu, air di botol ini untuk apa?” tangannya memanjang untuk mengambil benda yang tengah ia tanyakan.
Sebungkus garam dapur sudah berserakan di tanah, andai kata pun diambil dan dipunguti pastinya hanya tinggal sedikit saja. Apa lagi harus balik ke rumah Mbah Kandar, itu tidak mungkin. Karena hari sudah semakin sore dan mereka sudah di tengah perjalanan. Sebenarnya bisa saja Bima kembali ke sana untuk meminta garam yang baru, tetapi ia juga sudah diburu waktu karena menghindari pulang ketika siang sudah berganti dengan malam. “Kenapa, Mas?” tanya lelaki itu lagi yang tampak keheranan melihat Bima frustasi. Bima langsung menggeleng pelan sembari menampakan serentetan giginya, “nggak papa, Pak. Itu saya mau ke sana dulu ngambil sebotol air. Itu air zam-zam, Pak. Sayang kalau sampai nggak diminum,” balasnya tanpa mau memberitahu yang sebenarnya. Bukannya apa, Bima hanya tengah berjaga-jaga saja. Ia belum tahu siapa dukun yang tengah ia cari-cari dan bukannya mau seudzon juga. Ia hanya waspada dan tidak sembarang memberitahu orang lain yang ta
Mila yang tengah membawa nampan berisikan dua mangkuk mie tak sengaja mendengar percakapan kedua pemuda ini. Gadis cantik dengan jilbab coklat yang menjulur hingga menutup dada itu masih terdiam di ambang pintu dengan tatapan sendu. “Eh, Mba Mila,” seloroh Bima yang baru saja menyadari keberadaan gadis itu. Mendengar namanya disebut Mila yang tadinya masih terdiam langsung berjalan ke arah mereka sembari meletakan nampan yang ia bawa sembari tersenyum ramah. “Ini mas makan dulu, hujan-hujan gini enaknya makan yang anget-anget, kan,” ucap Mila mempersilahkan. Kemudian ia memutar tubuhnya untuk mengambil gelas dan air yang ada di atas meja ruang tamunya. Lain halnya dengan Bima yang langsung menyambar mangkuk di hadapannya. Arkan justru menatap Mila dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu dengar pembicaraan kami tadi, ya?” seru Arkan yang seolah cemas jika ada orang lain yang tahu akan rencananya ini. Karena saat ini dirinya h
Begitu keluar dari rumah Mila, tubuh Bima menenggang hebat dengan degup jantung yang semakin terpompa dengan cepat. Tak mungkin ia tak merasa takut, justru ini adalah momen yang paling menakutkan dalam hidupnya. “Bagaimana mungkin?!” gumamnya lirih saat melihat tak hanya satu andong saja yang tengah terparkir di jalanan. Ada sekitar 5 andong yang berhenti di beberapa rumah warga yang sudah jelas suara teriakan itu pastinya berasal dari rumah mereka. “Allahuakbar!” Bima menggeleng tak percaya, “kenapa jadi banyak kaya gini?” dan seketika itu juga tubuhnya meremang karena mendengar suara gemerincing andong dari belakang tubuhnya. Suara itu kian mendekat dan terus mendekat hingga suaranya semakin terdengar jelas. Namun, tiba-tiba saja suara gemerincing itu berhenti tetapi suara teriakan minta tolong dan tangis histeris masih terdengar. Hilangnya suara gemerincing andong itu bukan berarti membuat Bima sedikit lebih tenang, namun justru membuatnya
Arkan mengerjapkan matanya perlahan saat sinar cahaya pagi masuk dari sela-sela jendela. Sembarai berseringai kecil karena merasa tubuhnya redam remuk dan rasa perih dibagian lengannya. Lelaki itu pun merasakan tenggorokannya yang kering kerontang hingga terasa sangat perih saat ia menelan ludah. “Kamu udah bangun.” Bima yang sejak semalam terus duduk di sebelah Arkan itu pun segera mengambilkan segelas air putih, lalu membantu adik sepupunya itu duduk. Wajah Arkan terlihat begitu pucat, ia juga merasa tubuhnya sangat lemas tak bertenaga. “Minum dulu!” Bima memberikan segelas air dan Arkan menerimanya sembari tangan kiri memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa bisa tiba-tiba sudah berada di dalam rumah apa lagi matahari sudah terbit. Padahal seingatnya semalam ia dan Mila masih berada di luar dalam kondisi yang cukup meneganggkan saat tak sengaja kedua retinanya beradu tatap den
-Flashback On-“Apa nggak papa ini kita dobrak pintu rumah ini, kalau sampai ada tetangganya yang dengar bagaimana?” ucap Anto, lelaki berbaju hitam dengan tubuh kekar seraya melihat ke sekeliling untuk memastikan keadaan benar-benar aman.“Hujannya deras, suara petir juga bersahut-sahutan. Nggak mungkin bakal ada yang denger,” balas Jaja yang berdiri di belakang lelaki paruh baya.“Cepat dobrak!” ucapnya dengan lantang.“Ta-tapi, Mbah Kandar. Dua pemuda yang salah satunya Mbah bilang punya khodam singa putih bukannya mereka juga sudah pulang ke rumah, nanti kita mati kalau harus berhadapan dengan khodamnya,” keluh Anto takut.“Mereka nggak bisa pulang, masih kejebak di desa sebelah. Tapi mungkin dia malam ini dia bakal ngebrantas semua pocong penjemput tumbal. Makanya kita nggak punya banyak waktu, ambil keris kecil itu di dalam rumah ini. Itu salah satu pusaka peninggalan leluhurnya yang sampai saat ini masih di simpan oleh keluarganya. Mereka orang bodoh yang nggak tahu cara penggu
“Simbah...” Bibir Arkan bergetar dengan tatapan nanar. Lelaki itu langsung mengangkat tubuh rentan Simbah untuk mengeluarkannya dari dalam lemari dan segera membaringkan-nya di atas kasur. Napas Arkan tersengal-sengal, kedua matanya memanas melihat Simbah yang tak sadarkan diri. Namun, untungnya ia masih bisa menghela napas lega karena ternyata Simbah tak bernasib sama dengan almarhum Susan. Akan tetapi, kedua bibir wanita rentan ini sangat memucat. Sepertinya Simbah sudah kehabisan napas karena terlalu lama berjongkok di dalam lemari. “Apa yang sebenarnya terjadi, Simbah?
Para tetangga berbodong-bondong menuju rumah Arkan setelah mendengar teriakan Mila meminta tolong.Salah satu dari mereka langsung memanggilkan dokter dan polisi. Sedangkan yang lainnya membantu mengurus pemakaman Susan.Tak ada yang tahu apa kejadian yang telah menimpa keluarga ini semalam hingga membuat Susan sampai kehilangan nyawa seperti ini."Apa yang terjadi semalam di desa kita ini, Bude? Ke mana ibu saya?" tanya Arkan yang tengah terduduk lemas sembari menyenderkan kepalanya di dinding ruang tamu.Bu Listri mengusap-usap lembut lengan Arkan sembari berkata, "saya nggak tau ke mana ibumu, Arkan. Saya kira semalam semua keluargamu pergi dari rumah ini saat ujan mulai deras. Karena pagi hari ini mobilmu udah nggak di rumah.""Semalam desa kita diguyur hujan deras disertai angin kencang, Arkan. Tapi, hari ini alhamdulillah nggak ada korban andong pocong. Eh, te
Sesaat Mbah Kandar terdiam, kemudian beliau menghela napas pelan dan akhirnya membalas perkataan Mila, "wajar saja jika para tetanggamu lebih memilih untuk mengungsi, Nduk. Mereka takut jika akhirnya akan menjadi korban, tetapi memangnya mereka hanya ingin terus bersembunyi tanpa bertindak? Kematian adalah takdir yang nggak bisa dihindari."Mila mengernyitkan dahinya seraya menoleh sekilas ke arah Bima dan Arkan.Memang apa yg bisa para warga di desa Mila lakukan? Mereka semua hanya orang biasa, jelas saja tak ada yang mampu untuk mengatasinya. Jalan terbaik bagi mereka hanyalah dengan cara pergi meninggalkan desa, untuk sementara atau bahkan selamanya.“Iya, Mbah. Memang kematian adalah rahasia Sang Ilahi, tapi jika kematian penduduk disebabkan oleh hal semacam ini apakah ini disebut dengan takdir juga? Mereka belum waktunya meninggal, tapi dibuat meninggal secara paksa untuk dijadikan tumbal," sahut
Waktu tengah menunjukan pukul 9 dini hari. Sebelum berangkat ke rumah mbah Kandar mereka menyempatkan untuk bertakziah ke rumah tetangga Mila. Ternyata semalam warga desa sini yang meninggal mencapai sembilang orang dengan 5 diantaranya meninggal akibat kesambar petir dan 4 lainnya meninggal tak wajar karena kedatangan pocong andong yang membuat warga semakin dibuat ketakutan. Hingga akhirnya pada hari ini juga mereka berbondong-bondong pindah ke pengusian di luar kabupaten karena sudah tak ada pilihan lain lagi. Para warga sudah tidak mampu lagi untuk bertahan di rumah mereka karena teror yang semakin gencar hingga yang tak keluar dari dalam rumah pun bisa menjadi korbannya. Sudah banyak beberapa orang pintar yang berusaha untuk menghentikannya, namun belum ada satu pun yang berhasil. Bahkan beberapa ustad yang ikut serta mencoba untuk menghentikannya pun belum ada yang mampu. Entah harus menggunakan cara seperti apa lagi untuk menghentikan se
Arkan mengerjapkan matanya perlahan saat sinar cahaya pagi masuk dari sela-sela jendela. Sembarai berseringai kecil karena merasa tubuhnya redam remuk dan rasa perih dibagian lengannya. Lelaki itu pun merasakan tenggorokannya yang kering kerontang hingga terasa sangat perih saat ia menelan ludah. “Kamu udah bangun.” Bima yang sejak semalam terus duduk di sebelah Arkan itu pun segera mengambilkan segelas air putih, lalu membantu adik sepupunya itu duduk. Wajah Arkan terlihat begitu pucat, ia juga merasa tubuhnya sangat lemas tak bertenaga. “Minum dulu!” Bima memberikan segelas air dan Arkan menerimanya sembari tangan kiri memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa bisa tiba-tiba sudah berada di dalam rumah apa lagi matahari sudah terbit. Padahal seingatnya semalam ia dan Mila masih berada di luar dalam kondisi yang cukup meneganggkan saat tak sengaja kedua retinanya beradu tatap den
Begitu keluar dari rumah Mila, tubuh Bima menenggang hebat dengan degup jantung yang semakin terpompa dengan cepat. Tak mungkin ia tak merasa takut, justru ini adalah momen yang paling menakutkan dalam hidupnya. “Bagaimana mungkin?!” gumamnya lirih saat melihat tak hanya satu andong saja yang tengah terparkir di jalanan. Ada sekitar 5 andong yang berhenti di beberapa rumah warga yang sudah jelas suara teriakan itu pastinya berasal dari rumah mereka. “Allahuakbar!” Bima menggeleng tak percaya, “kenapa jadi banyak kaya gini?” dan seketika itu juga tubuhnya meremang karena mendengar suara gemerincing andong dari belakang tubuhnya. Suara itu kian mendekat dan terus mendekat hingga suaranya semakin terdengar jelas. Namun, tiba-tiba saja suara gemerincing itu berhenti tetapi suara teriakan minta tolong dan tangis histeris masih terdengar. Hilangnya suara gemerincing andong itu bukan berarti membuat Bima sedikit lebih tenang, namun justru membuatnya
Mila yang tengah membawa nampan berisikan dua mangkuk mie tak sengaja mendengar percakapan kedua pemuda ini. Gadis cantik dengan jilbab coklat yang menjulur hingga menutup dada itu masih terdiam di ambang pintu dengan tatapan sendu. “Eh, Mba Mila,” seloroh Bima yang baru saja menyadari keberadaan gadis itu. Mendengar namanya disebut Mila yang tadinya masih terdiam langsung berjalan ke arah mereka sembari meletakan nampan yang ia bawa sembari tersenyum ramah. “Ini mas makan dulu, hujan-hujan gini enaknya makan yang anget-anget, kan,” ucap Mila mempersilahkan. Kemudian ia memutar tubuhnya untuk mengambil gelas dan air yang ada di atas meja ruang tamunya. Lain halnya dengan Bima yang langsung menyambar mangkuk di hadapannya. Arkan justru menatap Mila dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu dengar pembicaraan kami tadi, ya?” seru Arkan yang seolah cemas jika ada orang lain yang tahu akan rencananya ini. Karena saat ini dirinya h
Sebungkus garam dapur sudah berserakan di tanah, andai kata pun diambil dan dipunguti pastinya hanya tinggal sedikit saja. Apa lagi harus balik ke rumah Mbah Kandar, itu tidak mungkin. Karena hari sudah semakin sore dan mereka sudah di tengah perjalanan. Sebenarnya bisa saja Bima kembali ke sana untuk meminta garam yang baru, tetapi ia juga sudah diburu waktu karena menghindari pulang ketika siang sudah berganti dengan malam. “Kenapa, Mas?” tanya lelaki itu lagi yang tampak keheranan melihat Bima frustasi. Bima langsung menggeleng pelan sembari menampakan serentetan giginya, “nggak papa, Pak. Itu saya mau ke sana dulu ngambil sebotol air. Itu air zam-zam, Pak. Sayang kalau sampai nggak diminum,” balasnya tanpa mau memberitahu yang sebenarnya. Bukannya apa, Bima hanya tengah berjaga-jaga saja. Ia belum tahu siapa dukun yang tengah ia cari-cari dan bukannya mau seudzon juga. Ia hanya waspada dan tidak sembarang memberitahu orang lain yang ta