Sesaat Mbah Kandar terdiam, kemudian beliau menghela napas pelan dan akhirnya membalas perkataan Mila, "wajar saja jika para tetanggamu lebih memilih untuk mengungsi, Nduk. Mereka takut jika akhirnya akan menjadi korban, tetapi memangnya mereka hanya ingin terus bersembunyi tanpa bertindak? Kematian adalah takdir yang nggak bisa dihindari."Mila mengernyitkan dahinya seraya menoleh sekilas ke arah Bima dan Arkan.Memang apa yg bisa para warga di desa Mila lakukan? Mereka semua hanya orang biasa, jelas saja tak ada yang mampu untuk mengatasinya. Jalan terbaik bagi mereka hanyalah dengan cara pergi meninggalkan desa, untuk sementara atau bahkan selamanya.“Iya, Mbah. Memang kematian adalah rahasia Sang Ilahi, tapi jika kematian penduduk disebabkan oleh hal semacam ini apakah ini disebut dengan takdir juga? Mereka belum waktunya meninggal, tapi dibuat meninggal secara paksa untuk dijadikan tumbal," sahut
Para tetangga berbodong-bondong menuju rumah Arkan setelah mendengar teriakan Mila meminta tolong.Salah satu dari mereka langsung memanggilkan dokter dan polisi. Sedangkan yang lainnya membantu mengurus pemakaman Susan.Tak ada yang tahu apa kejadian yang telah menimpa keluarga ini semalam hingga membuat Susan sampai kehilangan nyawa seperti ini."Apa yang terjadi semalam di desa kita ini, Bude? Ke mana ibu saya?" tanya Arkan yang tengah terduduk lemas sembari menyenderkan kepalanya di dinding ruang tamu.Bu Listri mengusap-usap lembut lengan Arkan sembari berkata, "saya nggak tau ke mana ibumu, Arkan. Saya kira semalam semua keluargamu pergi dari rumah ini saat ujan mulai deras. Karena pagi hari ini mobilmu udah nggak di rumah.""Semalam desa kita diguyur hujan deras disertai angin kencang, Arkan. Tapi, hari ini alhamdulillah nggak ada korban andong pocong. Eh, te
“Simbah...” Bibir Arkan bergetar dengan tatapan nanar. Lelaki itu langsung mengangkat tubuh rentan Simbah untuk mengeluarkannya dari dalam lemari dan segera membaringkan-nya di atas kasur. Napas Arkan tersengal-sengal, kedua matanya memanas melihat Simbah yang tak sadarkan diri. Namun, untungnya ia masih bisa menghela napas lega karena ternyata Simbah tak bernasib sama dengan almarhum Susan. Akan tetapi, kedua bibir wanita rentan ini sangat memucat. Sepertinya Simbah sudah kehabisan napas karena terlalu lama berjongkok di dalam lemari. “Apa yang sebenarnya terjadi, Simbah?
“Mending kamu nginep aja dulu di rumahku, Ar...” seru Zaidan sembari memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Arkan menggeleng pelan sembari menggendong tasnya, “nggak deh aku pulang aja, ini juga masih jam 8, kan. Berani lah.” Zaidan menghela napas panjang lesu hingga kedua bahunya luruh, “bukannya masalah berani atau enggak, tapi kan di desa sebelah itu lagi ada rumor mistis begini. Aku khawatir aja kalau kamu pulang malem-malem gini.” “Ehhh...” Arkan memukul ringan bahu Zaidan sembari terkekeh kecil, “jaman sekarang masih aja percaya tahayul, Dan... Dan. Nggak ada enggak, udah ya aku pulang dulu. Tadi belum izin ibu juga kalau mau nginep, ntar malah dicariin.” “Ibumu ya bakal lebih khawatir lagi kalau kamu pulang di jam segini, tapi terserah deh. Pokoknya aku udah ngingetin, ya. Kalau nanti ada apa-apa nggak tanggung jawab aku.” “Hm, iya-iya. Aman,” balas Arkan sembari bangkit dari duduknya dan segera mengendarai motorny
Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, akan tetapi Arkan sama sekali belum bisa terlelap. Ia masih terbayang dengan wujud menyeramkan pocong itu. Pikirannya terus saja beputar-putar mengingat tentang hal apapun yang bersangkutan dengan pocong andong itu. Di saat Arkan semakin hanyut dalam fikirannya sendiri ia mendengar suara kerincing andong, “tumben-tumbennya ada ada andong lewat sini jam segini,” dan di dengar-dengar lagi ternyata suara kincringan yang semula jauh itu semakin terdengar jelas seperti andong itu sudah berhenti di sebelah kamarnya. Hingga tiba-tiba saja jendela kamar diketuk yang membuatnya langsung terperanjat dan duduk dari tidurnya. Arkan terdiam, ia kembali memasang indra pendengarannya dengan baik. Namun, ternyata lagi-lagi suara ketukan itu masih ada hingga membuat dadanya berdetak dengan sangat cepat. Kedua tangannya mengencengkram seprai kuat sembari terus menatap ke arah jendela. Nyalinya seketika langsung menciut
“Mulai lagi penyakit ngelamunnya,” sindir Bu Sarah sembari meleparkan bantal sofa ke arah putra semata wayangnya itu. “Ck! Ibu ni ngagetin terus. Udah tahu lagi parnoan gini,” balas Arkan lalu mendengkus kesal. “Ya kalau udah tau kondisi lagi kaya gini jangan ngelamun lah, Arkan! Jangan dibiasain hal yang nggak baik kaya gitu,” seru Bu Sarah yang kembali memperingati. “Arkan bukan ngelamun, Bu. Tapi, emang lagi mikirin hal itu. Apa lagi kemarin Arkan udah liat itu pocong pake mata kepala Arkan sendiri. Gimana kalau malem ini andong itu dateng lagi ke sini buat jemput Ar...” Belum sempat Arkan menyelesaikan perkataannya dengan cepat Bu Sarah langsung membungkam mulut anaknya itu dengan telapak tangannya, “jangan ngawur ngomongnya, Arkan!” sentaknya seraya melayangkan tatapan tajamnya. “Ya sudah kalau gitu besok kita ke rumah Bude aja, untuk beberapa saat tinggal di sana dulu sampai teror ini mereda,” sahut Bapak lalu menghel
Seketika itu juga Pakde langsung meletakkan jari telunjuknya ke bibir untuk memberi isyarat pada semua orang agar diam dan tak menimbulkan suara sedikit pun. Mendadak semuanya tak ada yang berani bergerak dan Pak Yadi pun masih tetap stay di tempatnya dengan posisi duduk membelakangi pintu. Arkan dan Bima sesekali saling beradu pandang sebelum pada akhirnya terus fokus menatap ke arah pintu. Sedangkan Bapak kini justru berjalan pelan ke arah Pak Yadi yang masih mematung, seolah tahu bahwa Pak Yadi memang sedang merasa sangat ketakutan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Bapak langsung menarik lengan Pak Yadi untuk menjauh dari pintu dan duduk bersama dengan yang lainnya. Pintu terus saja diketuk, bahkan kalau Arkan tidak salah menghitung ketukan itu ada kalau sampai sepuluh kali. Kalau pun itu yang mengetuk adalah tetangga atau pun manusia yang mengetuk pastinya bakalan ada yang mengucapakan sesuatu, assalamualaikum atau apa lah semacam Pak Yadi tadi. Ta
Pakde dan Bima segera menghampiri Bapak. Memeriksa napas di hidung beliau dan nadinya. Namun, Bapak sudah tidak lagi bernyawa. Kemudian dengan perlahan Pakde menutup kedua mata Bapak yang masih terbuka lebar itu, tetapi sayangnya mulut yang juga masih terbuka itu sudah tidak dapat tertutup. “Innalillahi wa innalillahi rajiun...” gumam Pakde lirih sembari mengusap dadanya pelan. Ia tak menyangka jika adik iparnya akan meninggal dalam keadaan seperti ini. Ibu benar-benar menangis histeris sembari memeluk erat tubuh Bapak, sedangkan Arkan masih terdiam mematung di ambang pintu. Kepalanya menggeleng pelan, ia seolah tak mampu mencerna kejadian yang terjadi begitu cepat ini. Dadanya bergemuruh dan berharap ini semua hanya sebuah mimpi buruk semata. “Pak!!!” Suara isak tangis Ibu membuat tubuh Arkan semakin melemas dengan kedua matanya yang mulai memanas. Perlahan Bude dan Susan menghampiri Ibu yang masih terus terisak dalam tangisnya sa
“Simbah...” Bibir Arkan bergetar dengan tatapan nanar. Lelaki itu langsung mengangkat tubuh rentan Simbah untuk mengeluarkannya dari dalam lemari dan segera membaringkan-nya di atas kasur. Napas Arkan tersengal-sengal, kedua matanya memanas melihat Simbah yang tak sadarkan diri. Namun, untungnya ia masih bisa menghela napas lega karena ternyata Simbah tak bernasib sama dengan almarhum Susan. Akan tetapi, kedua bibir wanita rentan ini sangat memucat. Sepertinya Simbah sudah kehabisan napas karena terlalu lama berjongkok di dalam lemari. “Apa yang sebenarnya terjadi, Simbah?
Para tetangga berbodong-bondong menuju rumah Arkan setelah mendengar teriakan Mila meminta tolong.Salah satu dari mereka langsung memanggilkan dokter dan polisi. Sedangkan yang lainnya membantu mengurus pemakaman Susan.Tak ada yang tahu apa kejadian yang telah menimpa keluarga ini semalam hingga membuat Susan sampai kehilangan nyawa seperti ini."Apa yang terjadi semalam di desa kita ini, Bude? Ke mana ibu saya?" tanya Arkan yang tengah terduduk lemas sembari menyenderkan kepalanya di dinding ruang tamu.Bu Listri mengusap-usap lembut lengan Arkan sembari berkata, "saya nggak tau ke mana ibumu, Arkan. Saya kira semalam semua keluargamu pergi dari rumah ini saat ujan mulai deras. Karena pagi hari ini mobilmu udah nggak di rumah.""Semalam desa kita diguyur hujan deras disertai angin kencang, Arkan. Tapi, hari ini alhamdulillah nggak ada korban andong pocong. Eh, te
Sesaat Mbah Kandar terdiam, kemudian beliau menghela napas pelan dan akhirnya membalas perkataan Mila, "wajar saja jika para tetanggamu lebih memilih untuk mengungsi, Nduk. Mereka takut jika akhirnya akan menjadi korban, tetapi memangnya mereka hanya ingin terus bersembunyi tanpa bertindak? Kematian adalah takdir yang nggak bisa dihindari."Mila mengernyitkan dahinya seraya menoleh sekilas ke arah Bima dan Arkan.Memang apa yg bisa para warga di desa Mila lakukan? Mereka semua hanya orang biasa, jelas saja tak ada yang mampu untuk mengatasinya. Jalan terbaik bagi mereka hanyalah dengan cara pergi meninggalkan desa, untuk sementara atau bahkan selamanya.“Iya, Mbah. Memang kematian adalah rahasia Sang Ilahi, tapi jika kematian penduduk disebabkan oleh hal semacam ini apakah ini disebut dengan takdir juga? Mereka belum waktunya meninggal, tapi dibuat meninggal secara paksa untuk dijadikan tumbal," sahut
Waktu tengah menunjukan pukul 9 dini hari. Sebelum berangkat ke rumah mbah Kandar mereka menyempatkan untuk bertakziah ke rumah tetangga Mila. Ternyata semalam warga desa sini yang meninggal mencapai sembilang orang dengan 5 diantaranya meninggal akibat kesambar petir dan 4 lainnya meninggal tak wajar karena kedatangan pocong andong yang membuat warga semakin dibuat ketakutan. Hingga akhirnya pada hari ini juga mereka berbondong-bondong pindah ke pengusian di luar kabupaten karena sudah tak ada pilihan lain lagi. Para warga sudah tidak mampu lagi untuk bertahan di rumah mereka karena teror yang semakin gencar hingga yang tak keluar dari dalam rumah pun bisa menjadi korbannya. Sudah banyak beberapa orang pintar yang berusaha untuk menghentikannya, namun belum ada satu pun yang berhasil. Bahkan beberapa ustad yang ikut serta mencoba untuk menghentikannya pun belum ada yang mampu. Entah harus menggunakan cara seperti apa lagi untuk menghentikan se
Arkan mengerjapkan matanya perlahan saat sinar cahaya pagi masuk dari sela-sela jendela. Sembarai berseringai kecil karena merasa tubuhnya redam remuk dan rasa perih dibagian lengannya. Lelaki itu pun merasakan tenggorokannya yang kering kerontang hingga terasa sangat perih saat ia menelan ludah. “Kamu udah bangun.” Bima yang sejak semalam terus duduk di sebelah Arkan itu pun segera mengambilkan segelas air putih, lalu membantu adik sepupunya itu duduk. Wajah Arkan terlihat begitu pucat, ia juga merasa tubuhnya sangat lemas tak bertenaga. “Minum dulu!” Bima memberikan segelas air dan Arkan menerimanya sembari tangan kiri memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa bisa tiba-tiba sudah berada di dalam rumah apa lagi matahari sudah terbit. Padahal seingatnya semalam ia dan Mila masih berada di luar dalam kondisi yang cukup meneganggkan saat tak sengaja kedua retinanya beradu tatap den
Begitu keluar dari rumah Mila, tubuh Bima menenggang hebat dengan degup jantung yang semakin terpompa dengan cepat. Tak mungkin ia tak merasa takut, justru ini adalah momen yang paling menakutkan dalam hidupnya. “Bagaimana mungkin?!” gumamnya lirih saat melihat tak hanya satu andong saja yang tengah terparkir di jalanan. Ada sekitar 5 andong yang berhenti di beberapa rumah warga yang sudah jelas suara teriakan itu pastinya berasal dari rumah mereka. “Allahuakbar!” Bima menggeleng tak percaya, “kenapa jadi banyak kaya gini?” dan seketika itu juga tubuhnya meremang karena mendengar suara gemerincing andong dari belakang tubuhnya. Suara itu kian mendekat dan terus mendekat hingga suaranya semakin terdengar jelas. Namun, tiba-tiba saja suara gemerincing itu berhenti tetapi suara teriakan minta tolong dan tangis histeris masih terdengar. Hilangnya suara gemerincing andong itu bukan berarti membuat Bima sedikit lebih tenang, namun justru membuatnya
Mila yang tengah membawa nampan berisikan dua mangkuk mie tak sengaja mendengar percakapan kedua pemuda ini. Gadis cantik dengan jilbab coklat yang menjulur hingga menutup dada itu masih terdiam di ambang pintu dengan tatapan sendu. “Eh, Mba Mila,” seloroh Bima yang baru saja menyadari keberadaan gadis itu. Mendengar namanya disebut Mila yang tadinya masih terdiam langsung berjalan ke arah mereka sembari meletakan nampan yang ia bawa sembari tersenyum ramah. “Ini mas makan dulu, hujan-hujan gini enaknya makan yang anget-anget, kan,” ucap Mila mempersilahkan. Kemudian ia memutar tubuhnya untuk mengambil gelas dan air yang ada di atas meja ruang tamunya. Lain halnya dengan Bima yang langsung menyambar mangkuk di hadapannya. Arkan justru menatap Mila dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu dengar pembicaraan kami tadi, ya?” seru Arkan yang seolah cemas jika ada orang lain yang tahu akan rencananya ini. Karena saat ini dirinya h
Sebungkus garam dapur sudah berserakan di tanah, andai kata pun diambil dan dipunguti pastinya hanya tinggal sedikit saja. Apa lagi harus balik ke rumah Mbah Kandar, itu tidak mungkin. Karena hari sudah semakin sore dan mereka sudah di tengah perjalanan. Sebenarnya bisa saja Bima kembali ke sana untuk meminta garam yang baru, tetapi ia juga sudah diburu waktu karena menghindari pulang ketika siang sudah berganti dengan malam. “Kenapa, Mas?” tanya lelaki itu lagi yang tampak keheranan melihat Bima frustasi. Bima langsung menggeleng pelan sembari menampakan serentetan giginya, “nggak papa, Pak. Itu saya mau ke sana dulu ngambil sebotol air. Itu air zam-zam, Pak. Sayang kalau sampai nggak diminum,” balasnya tanpa mau memberitahu yang sebenarnya. Bukannya apa, Bima hanya tengah berjaga-jaga saja. Ia belum tahu siapa dukun yang tengah ia cari-cari dan bukannya mau seudzon juga. Ia hanya waspada dan tidak sembarang memberitahu orang lain yang ta
Mbah Kandar bangkit dari duduknya, tanpa menjawab pertanyaan Arkan terlebih dahulu beliau langsung masuk ke dalam rumah hingga membuat Arkan dan Bima pun saling pandang. Mereka berdua bingung kenapa Mbah Kandar tiba-tiba langsung masuk begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, ternyata beberapa saat kemudian beliau kembali keluar dengan membawa sebotol air jernih dan sebungkus garam dapur. “Setelah kalian pulang dari sini, langsung sebarkan garam ini ke seluruh rumah kalian. Garam dapur ini sudah Mbah doakan dan semoga jin apa pun yang akan dikirimkan nanti ke rumah kalian tidak akan ada yang bisa masuk,” ucap Mbah Kandar setelah meletakan apa yang tengah beliau bawa di atas meja. Arkan mengangguk pelan dengan pandangan yang masih tertuju pada garam dapur dan sebotol air itu, kemudian ia bertanya kepada Mbah Kandar, “lalu, air di botol ini untuk apa?” tangannya memanjang untuk mengambil benda yang tengah ia tanyakan.