“Mulai lagi penyakit ngelamunnya,” sindir Bu Sarah sembari meleparkan bantal sofa ke arah putra semata wayangnya itu.
“Ck! Ibu ni ngagetin terus. Udah tahu lagi parnoan gini,” balas Arkan lalu mendengkus kesal.
“Ya kalau udah tau kondisi lagi kaya gini jangan ngelamun lah, Arkan! Jangan dibiasain hal yang nggak baik kaya gitu,” seru Bu Sarah yang kembali memperingati.
“Arkan bukan ngelamun, Bu. Tapi, emang lagi mikirin hal itu. Apa lagi kemarin Arkan udah liat itu pocong pake mata kepala Arkan sendiri. Gimana kalau malem ini andong itu dateng lagi ke sini buat jemput Ar...”
Belum sempat Arkan menyelesaikan perkataannya dengan cepat Bu Sarah langsung membungkam mulut anaknya itu dengan telapak tangannya, “jangan ngawur ngomongnya, Arkan!” sentaknya seraya melayangkan tatapan tajamnya.
“Ya sudah kalau gitu besok kita ke rumah Bude aja, untuk beberapa saat tinggal di sana dulu sampai teror ini mereda,” sahut Bapak lalu menghela napas panjang.
“Ya kalau mereda, lah kalau enggak. Memang kita mau terus-terusan di sana, Pak? Bapak juga dua hari lagi udah balik ke Jakarta buat kerja, untung aja Arkan lagi libur kuliah. Lah kalau enggak ya Ibu bakal sendirian,” seloroh Bu Sarah sembari menatap suaminya dengan lesu.
Bu Sarah tak memeliki sanak saudara lagi di desa ini. Ini juga rumah yang mereka tempati adalah peninggalan orangtuanya yang sudah meninggal sejak Arkan masih dalam kandungan.
“Iya, Pak. Kalau semua warga cuma diem dan ketakutan kaya gini tanpa cari solusi ya masalah ini nggak akan mereda,” sahut Arkan sembari sesekali menoleh ke arah pintu dan jendela. Ada perasaan cemas yang tidak bisa ia sembunyikan, apalagi semalam jendela kamarnya sudah diketuk. Segala kemungkinan-kemungkinan buruk terus saja berputar di kepala Arkan.
Bapak bangkit dari sofa dan berjalan menghampiri Arkan yang tengah duduk di lantai. Wajah ketakutan anak lelakinya itu membuat Bapak pun ikut gundah dan tak tenang. Namun, memangnya apa yang bisa dilakukan? Andong pocong itu bukan maling ataupun rampok yang bisa ditangkap dengan tangan manusia.
Tangan Bapak memanjang, merangkul pundak Arkan sembari tersenyum tipis, “setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, Arkan. Tapi ini bukan perkara yang mudah, semua warga juga pasti ingin teror ini segera hilang.”
“Semoga keluarga kita selalu dilindungi dan bisa bareng-bareng dalam waktu yang lama, ya. Ibu bener-bener takut,” ucap Ibu seraya menatap suami dan anaknya dengan nanar.
Andong pocong benar-benar membuat seluruh warga resah dan begitu takut jika sampai salah satu dari anggota keluarga mereka menjadi korban dari sosok itu.
Dan untung saja malam ini di rumah mereka aman-aman saja, tidak lagi terdengar suara gemerincing andong ataupun suara ketukan jendela dan pintu. Namun ternyata di rumah ujung desa ditemukan jenazah seorang wanita berumur 22 tahun dalam keadaan telungkup di depan kamar mandi yang berada di belakang rumahnya.
Di siang hari itu juga setelah pulang melayat Arkan dan orangtuanya segera bergegas untuk pergi ke rumah bude, kakak dari Bapak yang tinggal di desa sebelah.
Akan tetapi, sesampainya mereka di sana ternyata teror andong pocong itu juga sudah sampai. Bahkan pada pagi hari ini sudah ditemukan 3 orang yang meninggal dalam keadaan telungkup, mata terbelalak dan mulut terbuka.
“Gimana, Pak? Ternyata di sini juga sama aja,” bisik Ibu lirih.
“Kita menginap aja dulu malam ini di sini, lebih rame juga biar nggak terlalu ketakutan,” balas Bapak.
“Kayaknya memang teror andong pocong ini udah kesebar ke mana-mana, desa-desa sebelah itu juga udah banyak korban berjatuhan. Kalau di sini emang baru mulai sekarang, tapi serem banget lah kalau kaya gini,” seloroh Bima, sepupu Arkan yang sudah berumur 21 tahun.
Mereka tengah duduk di kamar Bima sembari memandang keluar jendela.
“Padahal aku mau nginap di sini itu karena mau ngindarin andong pocong itu, tapi ternyata di sini malah baru di mulai,” balas Arkan.
“Emang baru hari ini ada korban, tapi malem-malem sebelumnya juga warga udah diperingati buat nggak keluar malem dan buka jendela atau pun pintu kalau ada yang ngetuk. Tapi, ya gitu deh. Masih banyak yang nggak percaya dan akhirnya mereka yang jadi korban,” papar Bima, lalu menyesep sebatang rokok yang ia selipkan diantara telunjuk dan jari tengahnya.
Siang itu mereka habisnya dengan perbincangan mengenai andong pocong tersebut. Tak ada satu solusi pun yang di dapat dalam isi obrolan itu. Mereka semua juga bingung dan hendak meminta tolong kepada siapa juga tidak tahu.
Hingga mahgrib pun tiba, semua warga dan termasuk Bude juga mengunci semua pintu dan jendela. Mereka melaksanakan salat berjamaah di rumah saja karena tak ada yang berani keluar jika matahari sudah tenggelam.
Malam itu suasana pun sangat hening, tidak ada kendaraan yang berlalu lalang seperti hari-hari biasanya. Bahkan suara burung atau sekedar jangkrik dan hewan-hewan lainnya pun tak ada yang terdengar. Malam ini begitu sunyi dan hawa pun begitu sangat berbeda.
Tak ada lagi yang berani membahas tentang pocong andong itu, mereka takut jika dibicarakan pada petang hari seperti ini sosok menyeramkan itu akan datang dan mengetuk pintu rumah mereka. Walau perasaan gusar tak menentu, mereka semua berusaha untuk tetap tenang sembari menikmati secangkir teh buatan Bude dan beberapa camilan.
Waktu masih menunjukan pukul sembilan malam, belum ada yang mengantuk kecuali simbah yang sudah terlelap setelah selesai melaksanakan salat isya. Bahkan malam ini saja simbah tak tidur di kamar seperti biasanya, karena setelah kejadian menggemparkan tentang pocong andong ini seluruh keluarga Bude tidur bersama di ruang keluarga.
“Eh, suara siapa itu? Dengar enggak?” seru Bima sembari memegang daun telinganya, menajamkan indra pendengaran untuk memastikan apa yang telah ia dengar tadi.
“Suara apa to, Bim? Jangan nakut-nakutin, ya!” sahut Susan, Kakak Bima yang sedari tadi terus saja merangkul lengan Bude.
“Iya itu ada yang minta tolong sambil gedor-gedor pintu warga,” imbuh Pakde.
“Tolong!!! Tolong!!! Tolong saya, Bu... Pak! Tolong buka pintunya,” teriak seseorang itu masih terdengar samar-samar. Namun, makin ke sini suaranya semakin jelas dan gedoran pintu pun juga semakin terdengar keras.
Sepertinya seseorang itu tengah menggedor pintu-pintu warga namun, tidak ada yang berani membukakannya. Hingga beberapa saat kemudian giliran pintu rumah Bude pun juga di ketuk dengan keras.
“Pak, tolong!!!"
Tok... Tok... Tok...
“Tolong, Pak... Bu...! TOLONG SAYA!!!!” pekik seseorang itu semakin kencang.
Semua orang yang ada di rumah Bude pun seketika langsung terdiam dan pandangan mereka terus tertuju pada pintu yang tengah bergetar-getar akibat ketukan keras itu.
“Bu, aku takut,” ucap Susan dengan suara bergetar sembari terus merangkul lengan Bude dengan semakin erat.
“Jangan ada yang bukain!” Larang Pakde sembari menggeleng keras.
Lagi dan lagi pintu itu terus saja diketuk dengan ritme yang semakin cepat, “TOLONG!!! TOLONG, BU... PAK!!!!”
“Udah bukain aja, Pak. Ada yang minta tolong itu. Manusia itu manusia,” seru Bude dengan dahi yang berkerut-kerut.
Akhirnya setelah beberapa detik Pakde pun segera mengeceknya dari sela tirai jendelanya, dan benar saja ternyata itu bukan pocong. Lalu, dengan cepat Pakde pun langsung membukakan pintu dan mempersilahkan seseorang dengan wajah yang sudah banjir keringat itu untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Ya Allah, Pak Yadi,” seloroh Bude nampak tersentak melihat kondisi wajah tetangganya itu yang sudah sangat memucat dengan bibir yang bergetar hebat.
“Ayo-ayo masuk dulu, Pak,” ucap Pakde mempersilahkan dan kembali menutup pintu.
Bude langsung ke belakang mengambilkan segelas air untuk Pak Yadi, “ini Pak diminum dulu.
Dengan tangan yang masih bergetar Pak Yadi menerima segelas air itu dan segera menengguknya sampai habis. Setelahnya beliau tampak menghela napas panjang sembari memegangi dadanya.
“Ada apa, Pak? Kenapa malem-malem teriak dan gedor-gedor rumah warga kaya gitu?” tanya Pakde dengan hati-hati.
Pak Yadi bercerita bahwa dirinya tadi baru saja pulang dari desa sebelah karena ada urusan pekerjaan dan tahu-tahu sewaktu di jalan menggunakan motor ia berpapasan dengan andong di depannya. Di situ ia sudah deg-degan sebenarnya, karena rumor andong pocong.
Tapi, bagaimana? Posisinya berlawan, Pak Yadi memang hendak pulang ke arah sana dan si andongnya ini hendak menuju ke arah sebaliknya. Dan sewaktu mereka sudah bersebelahan Pak Yudi ini baru melihatnya Pak Yadi dibuat terhenyak karena ternyata di andong itu tidak ada yang mengendarai dan yang duduk di kursi depan itu adalah ‘pocong’ .
“Seketika itu juga saya langsung ngebut, Pak... Bu... Saya sampe jatoh dan langsung teriak. Motor aja saya tinggal di jalan sana karena udah nggak mikir lagi dan tanpar pikir-pikir lagi saya juga langsung gedor-gedor rumah warga buat minta tolong. Saya mau ngungsi malem ini,” jelas Pak Yadi seraya mengedarkan pandangannya pada semua orang yang ada di rumah Bude.
“Ntar masalah motor diurusin besok pagi aja, Pak. Lagian di desa kita juga aman dari maling-malingan,” ucap Pakde.
“Iya memang aman dari maling, Pak. Tapi justru ada pocong-pocongan begini jatohnya lebih ngeri, soalnya nggak bisa ditangkep sama kita-kita orang ini. Mana mukanya itu bener-bener serem, Pak. Gosong...” papar Pak Yadi sembari bergidik ngeri kala mengingatnya.
“Ya udah kamu nginep di sini aja dulu sampe besok pagi, Pak Yadi,” balas Pakde
“Malem ini juga kita semua tidur di ruang keluarga, tapi kasurnya udah full. Jadi, Pak Yadi gelaran tikar di ruang tamu aja, ya,” imbuh Bude.
“Iya, Bu. Nggak papa, udah ngebolehin saya nginep di sini aja udah Alhamdulillah banget. Apa lagi dari tadi gedor-gedor pintu juga nggak ada yang ngebukain. Untuk Ibu sama Bapak mau ngebukain, kalau enggak saya bener-bener nggak tahu lagi harus gimana.”
“Para warga juga mungkin pada ketakutan, Pak. Makanya nggak ada yang berani bukain pintu, awalnya tadi aja saya juga takut kok.”
Setelah perbincangan itu, akhirnya mereka pun segera bersiap-siap untuk beristirahat. Namun, belum juga mereka terlelap dan Pak Yadi juga masih berdiri untuk menggelar tikar. Tiba-tiba mereka semua mendengar suara gemerincing andong dan yang membuat tubuh mereka semua semakin menegang adalah ketika suara gemerincing itu berhenti tepat di rumah mereka.
Dan tak lama kemudian, pintu pun diketuk.
Tok... Tok... Tok...
Dengan posisi pintu yang berada tepat di belakang punggung Pak Yudi.
Seketika itu juga Pakde langsung meletakkan jari telunjuknya ke bibir untuk memberi isyarat pada semua orang agar diam dan tak menimbulkan suara sedikit pun. Mendadak semuanya tak ada yang berani bergerak dan Pak Yadi pun masih tetap stay di tempatnya dengan posisi duduk membelakangi pintu. Arkan dan Bima sesekali saling beradu pandang sebelum pada akhirnya terus fokus menatap ke arah pintu. Sedangkan Bapak kini justru berjalan pelan ke arah Pak Yadi yang masih mematung, seolah tahu bahwa Pak Yadi memang sedang merasa sangat ketakutan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Bapak langsung menarik lengan Pak Yadi untuk menjauh dari pintu dan duduk bersama dengan yang lainnya. Pintu terus saja diketuk, bahkan kalau Arkan tidak salah menghitung ketukan itu ada kalau sampai sepuluh kali. Kalau pun itu yang mengetuk adalah tetangga atau pun manusia yang mengetuk pastinya bakalan ada yang mengucapakan sesuatu, assalamualaikum atau apa lah semacam Pak Yadi tadi. Ta
Pakde dan Bima segera menghampiri Bapak. Memeriksa napas di hidung beliau dan nadinya. Namun, Bapak sudah tidak lagi bernyawa. Kemudian dengan perlahan Pakde menutup kedua mata Bapak yang masih terbuka lebar itu, tetapi sayangnya mulut yang juga masih terbuka itu sudah tidak dapat tertutup. “Innalillahi wa innalillahi rajiun...” gumam Pakde lirih sembari mengusap dadanya pelan. Ia tak menyangka jika adik iparnya akan meninggal dalam keadaan seperti ini. Ibu benar-benar menangis histeris sembari memeluk erat tubuh Bapak, sedangkan Arkan masih terdiam mematung di ambang pintu. Kepalanya menggeleng pelan, ia seolah tak mampu mencerna kejadian yang terjadi begitu cepat ini. Dadanya bergemuruh dan berharap ini semua hanya sebuah mimpi buruk semata. “Pak!!!” Suara isak tangis Ibu membuat tubuh Arkan semakin melemas dengan kedua matanya yang mulai memanas. Perlahan Bude dan Susan menghampiri Ibu yang masih terus terisak dalam tangisnya sa
“Mending kamu nginep aja dulu di rumahku, Ar...” seru Zaidan sembari memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Arkan menggeleng pelan sembari menggendong tasnya, “nggak deh aku pulang aja, ini juga masih jam 8, kan. Berani lah.” Zaidan menghela napas panjang lesu hingga kedua bahunya luruh, “bukannya masalah berani atau enggak, tapi kan di desa sebelah itu lagi ada rumor mistis begini. Aku khawatir aja kalau kamu pulang malem-malem gini.” “Ehhh...” Arkan memukul ringan bahu Zaidan sembari terkekeh kecil, “jaman sekarang masih aja percaya tahayul, Dan... Dan. Nggak ada enggak, udah ya aku pulang dulu. Tadi belum izin ibu juga kalau mau nginep, ntar malah dicariin.” “Ibumu ya bakal lebih khawatir lagi kalau kamu pulang di jam segini, tapi terserah deh. Pokoknya aku udah ngingetin, ya. Kalau nanti ada apa-apa nggak tanggung jawab aku.” “Hm, iya-iya. Aman,” balas Arkan sembari bangkit dari duduknya dan segera mengendarai motorny
Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, akan tetapi Arkan sama sekali belum bisa terlelap. Ia masih terbayang dengan wujud menyeramkan pocong itu. Pikirannya terus saja beputar-putar mengingat tentang hal apapun yang bersangkutan dengan pocong andong itu. Di saat Arkan semakin hanyut dalam fikirannya sendiri ia mendengar suara kerincing andong, “tumben-tumbennya ada ada andong lewat sini jam segini,” dan di dengar-dengar lagi ternyata suara kincringan yang semula jauh itu semakin terdengar jelas seperti andong itu sudah berhenti di sebelah kamarnya. Hingga tiba-tiba saja jendela kamar diketuk yang membuatnya langsung terperanjat dan duduk dari tidurnya. Arkan terdiam, ia kembali memasang indra pendengarannya dengan baik. Namun, ternyata lagi-lagi suara ketukan itu masih ada hingga membuat dadanya berdetak dengan sangat cepat. Kedua tangannya mengencengkram seprai kuat sembari terus menatap ke arah jendela. Nyalinya seketika langsung menciut