Pakde dan Bima segera menghampiri Bapak. Memeriksa napas di hidung beliau dan nadinya. Namun, Bapak sudah tidak lagi bernyawa. Kemudian dengan perlahan Pakde menutup kedua mata Bapak yang masih terbuka lebar itu, tetapi sayangnya mulut yang juga masih terbuka itu sudah tidak dapat tertutup.
“Innalillahi wa innalillahi rajiun...” gumam Pakde lirih sembari mengusap dadanya pelan. Ia tak menyangka jika adik iparnya akan meninggal dalam keadaan seperti ini.
Ibu benar-benar menangis histeris sembari memeluk erat tubuh Bapak, sedangkan Arkan masih terdiam mematung di ambang pintu. Kepalanya menggeleng pelan, ia seolah tak mampu mencerna kejadian yang terjadi begitu cepat ini. Dadanya bergemuruh dan berharap ini semua hanya sebuah mimpi buruk semata.
“Pak!!!” Suara isak tangis Ibu membuat tubuh Arkan semakin melemas dengan kedua matanya yang mulai memanas.
Perlahan Bude dan Susan menghampiri Ibu yang masih terus terisak dalam tangisnya saat Pakde bersama dengan Bima berusaha untuk membawa tubuh Bapak masuk ke dalam rumah.
“Mba! Suamiku, Mba.” Bu Sarah menyandarkan kepalanya di dada Bude saat beliau merangkulnya.
Bude juga sudah tak kuasa menahan tangisnya. Mereka berdua akhirnya saling berangkulan dan menangis tersedu-sedu.
“Ayo bawa Bulek Sarah masuk, Bu,” seru Susan sembari membantu Bu Sarah bangkit dan memapahnya masuk ke dalam rumah.
“Arrgghhh...!!! KELUAR LO POCONG SIALAN! KELUAR!” pekik Arkan sembari mengedarkan pandangannya dengan kedua tangan yang terkepal erat.
Dadanya begitu sesak dan air matanya sudah tak mampu lagi ia bendung. Dengan kedua sorot mata tajamnya dan napas yang memburu Arkan segera berlari ke arah depan untuk memeriksa andong yang tadinya sempat terparkir di depan rumahnya.
Namun, ternyata andong itu sudah tidak ada lagi. Kepergiannya pun juga tidak ada seorang pun yang tahu karena mereka semua tengah sibuk dengan Bapak.
Menyadari hal itu Bima langsung menyusul Arkan, “udah, Arkan! Nggak ada gunannya kamu mau teriak-teriak atau marah kaya gini. Besok kita harus cari orang yang dimaksud simbah. Semoga beliau bisa bantu biar nggak ada lagi korban-korban yang terus berjatuhan,” paparnya sembari merangkul pundak Arkan yang tengah bergetar karena lelaki itu tengah menangis tangisnya.
Ini pertama kalinya ia menangis dengan keadaan dada yang menyesakkan seperti ini. Arkan merasa dunianya tengah runtuh sebelah, bagaimana ia bisa hidup tanpa Bapak? Arkan merasa hidupnya akan sangat berat. Ia masing sangat membutuhkan sosok Bapak dan hal yang paling membuat dadanya terasa berat adalah bagaimana cara kepergian Bapak yang tidak sewajarnya.
“Dia ambil Bapak, Mas!” ucap Arkan dengan napas yang tersengal-sengal seraya menatap Bima dengan kedua mata merah berairnya, “sebenernya ini semua apa?! Desa-desa kita ini salah apa sampai pocong sialan itu membantai warga dan keluarga kita kaya gini?!” lanjutnya dengan intonasi suara yang semakin meninggi.
“Kita cari jawabannya besok sama-sama, ya. Aku juga nggak ihklas Om Hasan pergi dengan cara kaya gini.”
Arkan mengangguk kepalanya, lalu mereka berdua kembali masuk ke dalam rumah untuk membantu Pakde mengurus jenazah Bapak.
Sebenarnya para tetangga kanan-kiri juga mendengar kegaduhan yang ada. Namun, tak ada seorang pun dari mereka yang berani keluar rumah kecuali tetangga sebelah yang anaknya juga telah menjadi korban pertama di desa mereka ini.
Ibu sudah semakin tak terkendali lagi, beliau terus saja menangis sembari menyebut nama Bapak dengan kondisi mata yang tertutup. Tubuhnya melemas seolah tak ada tenaga sedikit pun dengan Bude yang masih terus merangkul dan mencoba menenangkannya.
“Astagfirullah! Istighfar, Sarah! Istighfar!” seru Bude sembari menepuk-nepuk ringan pipi Ibu.
“Ataghfirullah... as-astaghfiru-llah,” ucap lirih dengan terbata-bata sebelum akhirnya beliau pun jatuh pingsan.
“Bu...” Arkan langsung menghampirinya, menepuk-nepuk ringan pipi Ibunya. Namun, karena tetap tak kunjung sadar akhirnya ia pun mengendong tubuh malaikat tak bersayapnya dan satu-satunya harta dunia yang masih ia punyai ini masuk ke dalam kamar.
Dengan perasaan yang campur aduk dan sudah tidak karuannya lagi ia menatap wajah Ibunya itu sembari meletakkannya di atas kasur dengan perlahan.
“Arkan bakal selalu jagain, Ibu. Arkan juga nggak akan terus-terusan tinggal diam kaya gini. Hal gila ini harus dihentikan, Bu! Harus!” gumam Arkan lirih, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
Demi apa pun ia sangat membenci pocong itu atau pun segala hal apa pun yang bersangkutan dengannya. Ia tahu kalau kematian adalah sebuah takdir Ilahi yang tidak mampu dihindari. Namun, kalau Bapaknya meninggal dengan cara yang tidak wajar seperti ini apakah bisa dinamakan dengan takdir Ilahi juga?
Entah lah, sekarang ini kepala Arkan benar-benar tidak bisa berfikir dengan jernih.
“Kamu di luar aja sama yang lain, Arkan! Biar Mba yang jagain Bulek Sarah di sini,” seru Susan yang baru saja masuk.
Arkan hanya mengangguk pelan dengan kepalanya yang tertunduk kemudian kembali keluar. Pemandangan di luar kamar justru semakin membuat hancur. Hancur berkeping-keping saat melihat jenazah Bapak yang sudah terbujur kaku di atas meja dan tertutup kain jarik.
“Sebenernya kalau mau dimadikan sekarang juga bisa, tapi sayangnya nggak ada yang bisa keluar buat beli perlengkapan almarhum,” ucap Pak Budi, tetangga sebelah yang kini tengah berdiri tepat di sebelah jenazah Bapak.
“Iya, Pak. Semua dilakukan besok saja nggak apa-apa. Lagi pula kondisinya juga lagi kayak gini,” balas Pakde.
“Nggak papa kan, Arkan?” Pakde menoleh ka arah Arkan yang tengah duduk di lantai dengan pandangan lurus ke arah jenazah.
Hanya anggukan kepala saja yang Arkan berikan sebagai jawabannya. Karena ia masih mencerna musibah yang datang tanpa aba-aba ini. Kejadian tak terduga yang akan terus ia ingat sampai kapan pun.
Padahal baru beberapa hari yang lalu ia masih bisa berkumpul di ruang keluarga ini bersama dengan Bapak dan Ibu. Apalagi pada saat itu Bapak mengatakan kalau semua permasalahan yang ada di desa mereka ini pastinya akan ada jalan keluar.
Namun, nyatanya sebelum jalan keluar itu ada Bapak justru sudah pergi meninggalkan dunia dan rumah penuh kenangan ini untuk selama-lamanya.
“Saya akan tetep di sini bantu nemenin jaga, Pak,” ucap Pak Budi sembari tersenyum tipis.
“Iya, Pak. Terima kasih banyak, tetangga yang lain juga nggak ada yang berani datang sekarang,” balas Pakde, lalu menghela napas lesu.
Mendengar hal itu Bude dan Bu lastri, suami Pak Budi pun segera ke belakang untuk membuat kopi. Malam ini pasti akan terasa sangat panjang karena setelah kejadian tadi pastinya tidak ada dari mereka yang bisa memejamkan mata untuk terlelap.
Apa lagi wajah sosok pocong yang hitam legam dengan kedua mata merah nyalangnya masih sangat teringat jelas di kepala Bude.
“Saya jadi nggak betah tinggal di desa sendiri kalau kondisinya masih terus begini, Bu,” seru Bu Lastri sembari menuangkan gula dan kopi.
Sedangkan Bude yang tengah menunggu panci kecil di tangannya penuh dengan air itu pun ikut mengiyakan pernyataan Bu Lastri, “sama, Bu. Saya dan keluarga saya juga sama-sama nggak betahnya. Apa lagi setelah salah satu dari kami ikut menjadi korbannya. Tapi, mau pindah ke mana juga kami belum ada pandangan.”
“Saya juga nggak punya sodara di luar kota, Bu. Mau pindah dan beli rumah baru nggak punya duit. Mau jual rumah juga mana ada yang mau beli kan, Bu.”
“Kalau semburan lumpur lapindo nggak berhenti juga jelas aja bakalan sampai melebar ke desa ini dan sekitarnya, Bu. Pemerintah memang harus segera mencari solusinya. Mungkin dengan cara membuatkan rumah susun untuk semua warga.”
“Tapi, rasanya tinggal di rumah susun pasti akan sangat nggak nyaman untuk kita yang udah terbiasa tinggal di desa kaya gini, Bu. Walau rumah saya nggak mewah, ya seenggaknya masih bisa leluasa karena pastinya nggak sesempit rumah susun yang cuma ada satu kamar,” keluh Bu Listri merasa sangat sedih.
“Semoga segera ada solusi terbaiknya, Bu. Apa lagi soal teror andong ini.”
“Aamiin, Bu. Aamiin.”
Setelah perbincangan itu pun Bude merasa ingin buang air kecil. Oleh karena itu, tanpa mengucapkan apa-apa lagi kepada Bu Listri beliau segera masuk ke dalam kamar mandi.
Kemudian saat hendak membuka pintu Bude mencium aroma busuk yang menusuk indra penciumannya hingga membuatnya langsung merasa mual. Dan tak beberapa lama kemudian disusul dengan bau gosong.
“Ehh... bau apa ini, Bu Listri?” seru Bude setelah membuka pintu. Posisi kamar mandi di rumah Arkan ini memang berada di dalam dapur, jadi otomatis saat baru keluar pemandangan pertama yang ada di depan mata adalah sebuah kompor bertungku dua yang tadi digunakan Bude untuk merebus air.
Namun, panci itu sudah tidak ada. Begitu juga dengan Bu Listri, sepertinya airnya sudah matang dan beliau segera menuangkannya ke dalam gelas. Lalu, membawanya ke ruang keluarga.
Sedangkan di dapur ini yang Bude lihat adalah sosok laki-laki yang perawakannya tak asing. Lelaki itu kini tengah berdiri menghadap kompor dan artinya tengah membelakangi Bude.
Melihat itu Bude cukup terhenyak, dahinya berkerut keheranan.
“Ha-Hasan...” gumam Bude lirih dan masih terdiam mematung di tempatnya.
“Ka-kamu masih hidup?” Bibir Bude merekah dengan lebarnya. Beliau berjalan perlahan ke arah lelaki yang ia anggap Pak Hasan itu. Jujur saja saat ini beliau merasa sangat senang dan sekaligus haru. Karena melihat adik laki-lakinya yang sekarang ini bisa berdiri tegap membelakangi dirinya padahal baru beberapa menit yang lalu telah dinyatakan meninggal oleh suaminya sendiri. “Pasti tadi suami Mba salah kan, Hasan. Alhamdulillah banget kamu nggak jadi korban pocong itu.” Kedua sudut mata Bude mulai berair karena beliau merasa sangat terharu. Namun, seperkian detik kemudian saat Bude sudah hampir sangat dekat dengan adik laki-lakinya itu. Beliau kembali mencium aroma busuk yang menyeruak rongga hidungnya hingga membuat Bude tak sanggup lagi untuk menahannya. Huekkk... Dengan cepat Bude langsung berlari kembali ke dalam kamar mandi sembari menutup mulutnya. Bau busuk itu benar-benar membuat isi perut Bude keluar semua hingga membuat kepala
Angin semakin berhembus dengan kencangnya, disertai suara gemericik hujan yang mulai turun mengguyur desa malam ini membuat suasana semakin mencekam. Apa lagi suara menggelegar petir yang saling bersahut-sahutan. “Susan,” panggil Bu Sarah lirih sembari menatap Susan yang tengah duduk bersender pada dinding sembari memeluk erat tubuhnya sendiri. Begitu mendengar namanya dipanggil Susan langsung menoleh dan tersenyum lega melihat Bu Sarah yang sudah siuman, “Bulek udah sadar.” “Istirahat aja dulu, Bulek! Ini masih jam 12, apa lagi hujan gini,” lanjutnya sembari menarik selimut sampai menutupi kedua bahu Bu Sarah. “Simbah gimana, Susan?” “Simbah tidur di kamar Arkan, Bulek. Setelah salat isya dan dikasi obat tidur, Simbah ya belum bangun. Nggak tahu besok pagi gimana kalau tahu Om Hasan udah nggak ada. Semoga aja jantung Simbah kuat,” ungkap Susan sembari menatap sendu ke arah Bu Sarah yang masih terbaring dengan bibir pucat
Belum ada tanda-tanda suara gedoran itu akan berhenti. Sebenarnya Pakde ingin ke dapur untuk mengambil segelas air untuk dibacakan doa dan dicipratkan ke beberapa pintu. Namun, sayangnya dapur pun tengah dalam kondisi yang tidak aman. Jadi, mau tidak mau mereka semua semalaman ini tetap terjaga dalam kondisi yang amat sangat mencekam sampai menjelang subuh. Hujan pun ikut reda bersamaan dengan suara gedoran pintu yang sudah tidak lagi terdengar. “Mas Bima,” panggil Arkan yang membuat sang empunya langsung menoleh, “suara memekik semalem yang memperingatkan kita untuk nggak ikut campur, justru bikin aku yakin kalau semua yang udah terjadi dan menimpa desa kita memang ada campur tangan manusia.” “Belum bisa dipastikan juga, Arkan. Tapi, aku juga heran. Suara itu tiba-tiba muncul waktu aku bilang akan cari solusinya besok. Hebat banget ya bisa denger, padahal telinganya kebungkus mori,” balas Bima ketus seraya memutar bola matanya malas.
“Sebelumnya saya bener-bener minta maaf, tapi di sini kami memang udah bener-bener buntu mau minta tolong sama siapa. Semalam saya baru aja kehilangan bapak dan sampai pagi di teror sama pocong-pocong itu. Makanya kami ke sini, Mbah. Karena kami pikir Simbah bisa bantu, tapi kalau memang nggak bisa kami juga nggak bisa memaksakannya,” papar Arkan yang kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mbah Kandar tampak menghela napas berat beberapa kali, menatap dan menelisik wajah Arkan yang terlihat jelas tengah menyimpan kesedihan dan sebuah dendam mendalam di dalam dirinya. Lalu, beberapa saat kemudian beliau mengarahkan tangannya ke dalam rumah untuk memberikan isyarat kepada Nur agar masuk saja ke dalam. Awalnya Nur enggan, namun Mbah Kandar mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. Seolah memberitahu bahwa semua akan baik-baik saja hingga akhirnya Nur terpaksa melangkah masuk ke dalam dan tak ikut campur. “Iya, Lee. Saya tahu yang sedang k
Mbah Kandar bangkit dari duduknya, tanpa menjawab pertanyaan Arkan terlebih dahulu beliau langsung masuk ke dalam rumah hingga membuat Arkan dan Bima pun saling pandang. Mereka berdua bingung kenapa Mbah Kandar tiba-tiba langsung masuk begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, ternyata beberapa saat kemudian beliau kembali keluar dengan membawa sebotol air jernih dan sebungkus garam dapur. “Setelah kalian pulang dari sini, langsung sebarkan garam ini ke seluruh rumah kalian. Garam dapur ini sudah Mbah doakan dan semoga jin apa pun yang akan dikirimkan nanti ke rumah kalian tidak akan ada yang bisa masuk,” ucap Mbah Kandar setelah meletakan apa yang tengah beliau bawa di atas meja. Arkan mengangguk pelan dengan pandangan yang masih tertuju pada garam dapur dan sebotol air itu, kemudian ia bertanya kepada Mbah Kandar, “lalu, air di botol ini untuk apa?” tangannya memanjang untuk mengambil benda yang tengah ia tanyakan.
Sebungkus garam dapur sudah berserakan di tanah, andai kata pun diambil dan dipunguti pastinya hanya tinggal sedikit saja. Apa lagi harus balik ke rumah Mbah Kandar, itu tidak mungkin. Karena hari sudah semakin sore dan mereka sudah di tengah perjalanan. Sebenarnya bisa saja Bima kembali ke sana untuk meminta garam yang baru, tetapi ia juga sudah diburu waktu karena menghindari pulang ketika siang sudah berganti dengan malam. “Kenapa, Mas?” tanya lelaki itu lagi yang tampak keheranan melihat Bima frustasi. Bima langsung menggeleng pelan sembari menampakan serentetan giginya, “nggak papa, Pak. Itu saya mau ke sana dulu ngambil sebotol air. Itu air zam-zam, Pak. Sayang kalau sampai nggak diminum,” balasnya tanpa mau memberitahu yang sebenarnya. Bukannya apa, Bima hanya tengah berjaga-jaga saja. Ia belum tahu siapa dukun yang tengah ia cari-cari dan bukannya mau seudzon juga. Ia hanya waspada dan tidak sembarang memberitahu orang lain yang ta
Mila yang tengah membawa nampan berisikan dua mangkuk mie tak sengaja mendengar percakapan kedua pemuda ini. Gadis cantik dengan jilbab coklat yang menjulur hingga menutup dada itu masih terdiam di ambang pintu dengan tatapan sendu. “Eh, Mba Mila,” seloroh Bima yang baru saja menyadari keberadaan gadis itu. Mendengar namanya disebut Mila yang tadinya masih terdiam langsung berjalan ke arah mereka sembari meletakan nampan yang ia bawa sembari tersenyum ramah. “Ini mas makan dulu, hujan-hujan gini enaknya makan yang anget-anget, kan,” ucap Mila mempersilahkan. Kemudian ia memutar tubuhnya untuk mengambil gelas dan air yang ada di atas meja ruang tamunya. Lain halnya dengan Bima yang langsung menyambar mangkuk di hadapannya. Arkan justru menatap Mila dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu dengar pembicaraan kami tadi, ya?” seru Arkan yang seolah cemas jika ada orang lain yang tahu akan rencananya ini. Karena saat ini dirinya h
Begitu keluar dari rumah Mila, tubuh Bima menenggang hebat dengan degup jantung yang semakin terpompa dengan cepat. Tak mungkin ia tak merasa takut, justru ini adalah momen yang paling menakutkan dalam hidupnya. “Bagaimana mungkin?!” gumamnya lirih saat melihat tak hanya satu andong saja yang tengah terparkir di jalanan. Ada sekitar 5 andong yang berhenti di beberapa rumah warga yang sudah jelas suara teriakan itu pastinya berasal dari rumah mereka. “Allahuakbar!” Bima menggeleng tak percaya, “kenapa jadi banyak kaya gini?” dan seketika itu juga tubuhnya meremang karena mendengar suara gemerincing andong dari belakang tubuhnya. Suara itu kian mendekat dan terus mendekat hingga suaranya semakin terdengar jelas. Namun, tiba-tiba saja suara gemerincing itu berhenti tetapi suara teriakan minta tolong dan tangis histeris masih terdengar. Hilangnya suara gemerincing andong itu bukan berarti membuat Bima sedikit lebih tenang, namun justru membuatnya
-Flashback On-“Apa nggak papa ini kita dobrak pintu rumah ini, kalau sampai ada tetangganya yang dengar bagaimana?” ucap Anto, lelaki berbaju hitam dengan tubuh kekar seraya melihat ke sekeliling untuk memastikan keadaan benar-benar aman.“Hujannya deras, suara petir juga bersahut-sahutan. Nggak mungkin bakal ada yang denger,” balas Jaja yang berdiri di belakang lelaki paruh baya.“Cepat dobrak!” ucapnya dengan lantang.“Ta-tapi, Mbah Kandar. Dua pemuda yang salah satunya Mbah bilang punya khodam singa putih bukannya mereka juga sudah pulang ke rumah, nanti kita mati kalau harus berhadapan dengan khodamnya,” keluh Anto takut.“Mereka nggak bisa pulang, masih kejebak di desa sebelah. Tapi mungkin dia malam ini dia bakal ngebrantas semua pocong penjemput tumbal. Makanya kita nggak punya banyak waktu, ambil keris kecil itu di dalam rumah ini. Itu salah satu pusaka peninggalan leluhurnya yang sampai saat ini masih di simpan oleh keluarganya. Mereka orang bodoh yang nggak tahu cara penggu
“Simbah...” Bibir Arkan bergetar dengan tatapan nanar. Lelaki itu langsung mengangkat tubuh rentan Simbah untuk mengeluarkannya dari dalam lemari dan segera membaringkan-nya di atas kasur. Napas Arkan tersengal-sengal, kedua matanya memanas melihat Simbah yang tak sadarkan diri. Namun, untungnya ia masih bisa menghela napas lega karena ternyata Simbah tak bernasib sama dengan almarhum Susan. Akan tetapi, kedua bibir wanita rentan ini sangat memucat. Sepertinya Simbah sudah kehabisan napas karena terlalu lama berjongkok di dalam lemari. “Apa yang sebenarnya terjadi, Simbah?
Para tetangga berbodong-bondong menuju rumah Arkan setelah mendengar teriakan Mila meminta tolong.Salah satu dari mereka langsung memanggilkan dokter dan polisi. Sedangkan yang lainnya membantu mengurus pemakaman Susan.Tak ada yang tahu apa kejadian yang telah menimpa keluarga ini semalam hingga membuat Susan sampai kehilangan nyawa seperti ini."Apa yang terjadi semalam di desa kita ini, Bude? Ke mana ibu saya?" tanya Arkan yang tengah terduduk lemas sembari menyenderkan kepalanya di dinding ruang tamu.Bu Listri mengusap-usap lembut lengan Arkan sembari berkata, "saya nggak tau ke mana ibumu, Arkan. Saya kira semalam semua keluargamu pergi dari rumah ini saat ujan mulai deras. Karena pagi hari ini mobilmu udah nggak di rumah.""Semalam desa kita diguyur hujan deras disertai angin kencang, Arkan. Tapi, hari ini alhamdulillah nggak ada korban andong pocong. Eh, te
Sesaat Mbah Kandar terdiam, kemudian beliau menghela napas pelan dan akhirnya membalas perkataan Mila, "wajar saja jika para tetanggamu lebih memilih untuk mengungsi, Nduk. Mereka takut jika akhirnya akan menjadi korban, tetapi memangnya mereka hanya ingin terus bersembunyi tanpa bertindak? Kematian adalah takdir yang nggak bisa dihindari."Mila mengernyitkan dahinya seraya menoleh sekilas ke arah Bima dan Arkan.Memang apa yg bisa para warga di desa Mila lakukan? Mereka semua hanya orang biasa, jelas saja tak ada yang mampu untuk mengatasinya. Jalan terbaik bagi mereka hanyalah dengan cara pergi meninggalkan desa, untuk sementara atau bahkan selamanya.“Iya, Mbah. Memang kematian adalah rahasia Sang Ilahi, tapi jika kematian penduduk disebabkan oleh hal semacam ini apakah ini disebut dengan takdir juga? Mereka belum waktunya meninggal, tapi dibuat meninggal secara paksa untuk dijadikan tumbal," sahut
Waktu tengah menunjukan pukul 9 dini hari. Sebelum berangkat ke rumah mbah Kandar mereka menyempatkan untuk bertakziah ke rumah tetangga Mila. Ternyata semalam warga desa sini yang meninggal mencapai sembilang orang dengan 5 diantaranya meninggal akibat kesambar petir dan 4 lainnya meninggal tak wajar karena kedatangan pocong andong yang membuat warga semakin dibuat ketakutan. Hingga akhirnya pada hari ini juga mereka berbondong-bondong pindah ke pengusian di luar kabupaten karena sudah tak ada pilihan lain lagi. Para warga sudah tidak mampu lagi untuk bertahan di rumah mereka karena teror yang semakin gencar hingga yang tak keluar dari dalam rumah pun bisa menjadi korbannya. Sudah banyak beberapa orang pintar yang berusaha untuk menghentikannya, namun belum ada satu pun yang berhasil. Bahkan beberapa ustad yang ikut serta mencoba untuk menghentikannya pun belum ada yang mampu. Entah harus menggunakan cara seperti apa lagi untuk menghentikan se
Arkan mengerjapkan matanya perlahan saat sinar cahaya pagi masuk dari sela-sela jendela. Sembarai berseringai kecil karena merasa tubuhnya redam remuk dan rasa perih dibagian lengannya. Lelaki itu pun merasakan tenggorokannya yang kering kerontang hingga terasa sangat perih saat ia menelan ludah. “Kamu udah bangun.” Bima yang sejak semalam terus duduk di sebelah Arkan itu pun segera mengambilkan segelas air putih, lalu membantu adik sepupunya itu duduk. Wajah Arkan terlihat begitu pucat, ia juga merasa tubuhnya sangat lemas tak bertenaga. “Minum dulu!” Bima memberikan segelas air dan Arkan menerimanya sembari tangan kiri memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa bisa tiba-tiba sudah berada di dalam rumah apa lagi matahari sudah terbit. Padahal seingatnya semalam ia dan Mila masih berada di luar dalam kondisi yang cukup meneganggkan saat tak sengaja kedua retinanya beradu tatap den
Begitu keluar dari rumah Mila, tubuh Bima menenggang hebat dengan degup jantung yang semakin terpompa dengan cepat. Tak mungkin ia tak merasa takut, justru ini adalah momen yang paling menakutkan dalam hidupnya. “Bagaimana mungkin?!” gumamnya lirih saat melihat tak hanya satu andong saja yang tengah terparkir di jalanan. Ada sekitar 5 andong yang berhenti di beberapa rumah warga yang sudah jelas suara teriakan itu pastinya berasal dari rumah mereka. “Allahuakbar!” Bima menggeleng tak percaya, “kenapa jadi banyak kaya gini?” dan seketika itu juga tubuhnya meremang karena mendengar suara gemerincing andong dari belakang tubuhnya. Suara itu kian mendekat dan terus mendekat hingga suaranya semakin terdengar jelas. Namun, tiba-tiba saja suara gemerincing itu berhenti tetapi suara teriakan minta tolong dan tangis histeris masih terdengar. Hilangnya suara gemerincing andong itu bukan berarti membuat Bima sedikit lebih tenang, namun justru membuatnya
Mila yang tengah membawa nampan berisikan dua mangkuk mie tak sengaja mendengar percakapan kedua pemuda ini. Gadis cantik dengan jilbab coklat yang menjulur hingga menutup dada itu masih terdiam di ambang pintu dengan tatapan sendu. “Eh, Mba Mila,” seloroh Bima yang baru saja menyadari keberadaan gadis itu. Mendengar namanya disebut Mila yang tadinya masih terdiam langsung berjalan ke arah mereka sembari meletakan nampan yang ia bawa sembari tersenyum ramah. “Ini mas makan dulu, hujan-hujan gini enaknya makan yang anget-anget, kan,” ucap Mila mempersilahkan. Kemudian ia memutar tubuhnya untuk mengambil gelas dan air yang ada di atas meja ruang tamunya. Lain halnya dengan Bima yang langsung menyambar mangkuk di hadapannya. Arkan justru menatap Mila dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu dengar pembicaraan kami tadi, ya?” seru Arkan yang seolah cemas jika ada orang lain yang tahu akan rencananya ini. Karena saat ini dirinya h
Sebungkus garam dapur sudah berserakan di tanah, andai kata pun diambil dan dipunguti pastinya hanya tinggal sedikit saja. Apa lagi harus balik ke rumah Mbah Kandar, itu tidak mungkin. Karena hari sudah semakin sore dan mereka sudah di tengah perjalanan. Sebenarnya bisa saja Bima kembali ke sana untuk meminta garam yang baru, tetapi ia juga sudah diburu waktu karena menghindari pulang ketika siang sudah berganti dengan malam. “Kenapa, Mas?” tanya lelaki itu lagi yang tampak keheranan melihat Bima frustasi. Bima langsung menggeleng pelan sembari menampakan serentetan giginya, “nggak papa, Pak. Itu saya mau ke sana dulu ngambil sebotol air. Itu air zam-zam, Pak. Sayang kalau sampai nggak diminum,” balasnya tanpa mau memberitahu yang sebenarnya. Bukannya apa, Bima hanya tengah berjaga-jaga saja. Ia belum tahu siapa dukun yang tengah ia cari-cari dan bukannya mau seudzon juga. Ia hanya waspada dan tidak sembarang memberitahu orang lain yang ta