Pakde dan Bima segera menghampiri Bapak. Memeriksa napas di hidung beliau dan nadinya. Namun, Bapak sudah tidak lagi bernyawa. Kemudian dengan perlahan Pakde menutup kedua mata Bapak yang masih terbuka lebar itu, tetapi sayangnya mulut yang juga masih terbuka itu sudah tidak dapat tertutup.
“Innalillahi wa innalillahi rajiun...” gumam Pakde lirih sembari mengusap dadanya pelan. Ia tak menyangka jika adik iparnya akan meninggal dalam keadaan seperti ini.
Ibu benar-benar menangis histeris sembari memeluk erat tubuh Bapak, sedangkan Arkan masih terdiam mematung di ambang pintu. Kepalanya menggeleng pelan, ia seolah tak mampu mencerna kejadian yang terjadi begitu cepat ini. Dadanya bergemuruh dan berharap ini semua hanya sebuah mimpi buruk semata.
“Pak!!!” Suara isak tangis Ibu membuat tubuh Arkan semakin melemas dengan kedua matanya yang mulai memanas.
Perlahan Bude dan Susan menghampiri Ibu yang masih terus terisak dalam tangisnya saat Pakde bersama dengan Bima berusaha untuk membawa tubuh Bapak masuk ke dalam rumah.
“Mba! Suamiku, Mba.” Bu Sarah menyandarkan kepalanya di dada Bude saat beliau merangkulnya.
Bude juga sudah tak kuasa menahan tangisnya. Mereka berdua akhirnya saling berangkulan dan menangis tersedu-sedu.
“Ayo bawa Bulek Sarah masuk, Bu,” seru Susan sembari membantu Bu Sarah bangkit dan memapahnya masuk ke dalam rumah.
“Arrgghhh...!!! KELUAR LO POCONG SIALAN! KELUAR!” pekik Arkan sembari mengedarkan pandangannya dengan kedua tangan yang terkepal erat.
Dadanya begitu sesak dan air matanya sudah tak mampu lagi ia bendung. Dengan kedua sorot mata tajamnya dan napas yang memburu Arkan segera berlari ke arah depan untuk memeriksa andong yang tadinya sempat terparkir di depan rumahnya.
Namun, ternyata andong itu sudah tidak ada lagi. Kepergiannya pun juga tidak ada seorang pun yang tahu karena mereka semua tengah sibuk dengan Bapak.
Menyadari hal itu Bima langsung menyusul Arkan, “udah, Arkan! Nggak ada gunannya kamu mau teriak-teriak atau marah kaya gini. Besok kita harus cari orang yang dimaksud simbah. Semoga beliau bisa bantu biar nggak ada lagi korban-korban yang terus berjatuhan,” paparnya sembari merangkul pundak Arkan yang tengah bergetar karena lelaki itu tengah menangis tangisnya.
Ini pertama kalinya ia menangis dengan keadaan dada yang menyesakkan seperti ini. Arkan merasa dunianya tengah runtuh sebelah, bagaimana ia bisa hidup tanpa Bapak? Arkan merasa hidupnya akan sangat berat. Ia masing sangat membutuhkan sosok Bapak dan hal yang paling membuat dadanya terasa berat adalah bagaimana cara kepergian Bapak yang tidak sewajarnya.
“Dia ambil Bapak, Mas!” ucap Arkan dengan napas yang tersengal-sengal seraya menatap Bima dengan kedua mata merah berairnya, “sebenernya ini semua apa?! Desa-desa kita ini salah apa sampai pocong sialan itu membantai warga dan keluarga kita kaya gini?!” lanjutnya dengan intonasi suara yang semakin meninggi.
“Kita cari jawabannya besok sama-sama, ya. Aku juga nggak ihklas Om Hasan pergi dengan cara kaya gini.”
Arkan mengangguk kepalanya, lalu mereka berdua kembali masuk ke dalam rumah untuk membantu Pakde mengurus jenazah Bapak.
Sebenarnya para tetangga kanan-kiri juga mendengar kegaduhan yang ada. Namun, tak ada seorang pun dari mereka yang berani keluar rumah kecuali tetangga sebelah yang anaknya juga telah menjadi korban pertama di desa mereka ini.
Ibu sudah semakin tak terkendali lagi, beliau terus saja menangis sembari menyebut nama Bapak dengan kondisi mata yang tertutup. Tubuhnya melemas seolah tak ada tenaga sedikit pun dengan Bude yang masih terus merangkul dan mencoba menenangkannya.
“Astagfirullah! Istighfar, Sarah! Istighfar!” seru Bude sembari menepuk-nepuk ringan pipi Ibu.
“Ataghfirullah... as-astaghfiru-llah,” ucap lirih dengan terbata-bata sebelum akhirnya beliau pun jatuh pingsan.
“Bu...” Arkan langsung menghampirinya, menepuk-nepuk ringan pipi Ibunya. Namun, karena tetap tak kunjung sadar akhirnya ia pun mengendong tubuh malaikat tak bersayapnya dan satu-satunya harta dunia yang masih ia punyai ini masuk ke dalam kamar.
Dengan perasaan yang campur aduk dan sudah tidak karuannya lagi ia menatap wajah Ibunya itu sembari meletakkannya di atas kasur dengan perlahan.
“Arkan bakal selalu jagain, Ibu. Arkan juga nggak akan terus-terusan tinggal diam kaya gini. Hal gila ini harus dihentikan, Bu! Harus!” gumam Arkan lirih, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
Demi apa pun ia sangat membenci pocong itu atau pun segala hal apa pun yang bersangkutan dengannya. Ia tahu kalau kematian adalah sebuah takdir Ilahi yang tidak mampu dihindari. Namun, kalau Bapaknya meninggal dengan cara yang tidak wajar seperti ini apakah bisa dinamakan dengan takdir Ilahi juga?
Entah lah, sekarang ini kepala Arkan benar-benar tidak bisa berfikir dengan jernih.
“Kamu di luar aja sama yang lain, Arkan! Biar Mba yang jagain Bulek Sarah di sini,” seru Susan yang baru saja masuk.
Arkan hanya mengangguk pelan dengan kepalanya yang tertunduk kemudian kembali keluar. Pemandangan di luar kamar justru semakin membuat hancur. Hancur berkeping-keping saat melihat jenazah Bapak yang sudah terbujur kaku di atas meja dan tertutup kain jarik.
“Sebenernya kalau mau dimadikan sekarang juga bisa, tapi sayangnya nggak ada yang bisa keluar buat beli perlengkapan almarhum,” ucap Pak Budi, tetangga sebelah yang kini tengah berdiri tepat di sebelah jenazah Bapak.
“Iya, Pak. Semua dilakukan besok saja nggak apa-apa. Lagi pula kondisinya juga lagi kayak gini,” balas Pakde.
“Nggak papa kan, Arkan?” Pakde menoleh ka arah Arkan yang tengah duduk di lantai dengan pandangan lurus ke arah jenazah.
Hanya anggukan kepala saja yang Arkan berikan sebagai jawabannya. Karena ia masih mencerna musibah yang datang tanpa aba-aba ini. Kejadian tak terduga yang akan terus ia ingat sampai kapan pun.
Padahal baru beberapa hari yang lalu ia masih bisa berkumpul di ruang keluarga ini bersama dengan Bapak dan Ibu. Apalagi pada saat itu Bapak mengatakan kalau semua permasalahan yang ada di desa mereka ini pastinya akan ada jalan keluar.
Namun, nyatanya sebelum jalan keluar itu ada Bapak justru sudah pergi meninggalkan dunia dan rumah penuh kenangan ini untuk selama-lamanya.
“Saya akan tetep di sini bantu nemenin jaga, Pak,” ucap Pak Budi sembari tersenyum tipis.
“Iya, Pak. Terima kasih banyak, tetangga yang lain juga nggak ada yang berani datang sekarang,” balas Pakde, lalu menghela napas lesu.
Mendengar hal itu Bude dan Bu lastri, suami Pak Budi pun segera ke belakang untuk membuat kopi. Malam ini pasti akan terasa sangat panjang karena setelah kejadian tadi pastinya tidak ada dari mereka yang bisa memejamkan mata untuk terlelap.
Apa lagi wajah sosok pocong yang hitam legam dengan kedua mata merah nyalangnya masih sangat teringat jelas di kepala Bude.
“Saya jadi nggak betah tinggal di desa sendiri kalau kondisinya masih terus begini, Bu,” seru Bu Lastri sembari menuangkan gula dan kopi.
Sedangkan Bude yang tengah menunggu panci kecil di tangannya penuh dengan air itu pun ikut mengiyakan pernyataan Bu Lastri, “sama, Bu. Saya dan keluarga saya juga sama-sama nggak betahnya. Apa lagi setelah salah satu dari kami ikut menjadi korbannya. Tapi, mau pindah ke mana juga kami belum ada pandangan.”
“Saya juga nggak punya sodara di luar kota, Bu. Mau pindah dan beli rumah baru nggak punya duit. Mau jual rumah juga mana ada yang mau beli kan, Bu.”
“Kalau semburan lumpur lapindo nggak berhenti juga jelas aja bakalan sampai melebar ke desa ini dan sekitarnya, Bu. Pemerintah memang harus segera mencari solusinya. Mungkin dengan cara membuatkan rumah susun untuk semua warga.”
“Tapi, rasanya tinggal di rumah susun pasti akan sangat nggak nyaman untuk kita yang udah terbiasa tinggal di desa kaya gini, Bu. Walau rumah saya nggak mewah, ya seenggaknya masih bisa leluasa karena pastinya nggak sesempit rumah susun yang cuma ada satu kamar,” keluh Bu Listri merasa sangat sedih.
“Semoga segera ada solusi terbaiknya, Bu. Apa lagi soal teror andong ini.”
“Aamiin, Bu. Aamiin.”
Setelah perbincangan itu pun Bude merasa ingin buang air kecil. Oleh karena itu, tanpa mengucapkan apa-apa lagi kepada Bu Listri beliau segera masuk ke dalam kamar mandi.
Kemudian saat hendak membuka pintu Bude mencium aroma busuk yang menusuk indra penciumannya hingga membuatnya langsung merasa mual. Dan tak beberapa lama kemudian disusul dengan bau gosong.
“Ehh... bau apa ini, Bu Listri?” seru Bude setelah membuka pintu. Posisi kamar mandi di rumah Arkan ini memang berada di dalam dapur, jadi otomatis saat baru keluar pemandangan pertama yang ada di depan mata adalah sebuah kompor bertungku dua yang tadi digunakan Bude untuk merebus air.
Namun, panci itu sudah tidak ada. Begitu juga dengan Bu Listri, sepertinya airnya sudah matang dan beliau segera menuangkannya ke dalam gelas. Lalu, membawanya ke ruang keluarga.
Sedangkan di dapur ini yang Bude lihat adalah sosok laki-laki yang perawakannya tak asing. Lelaki itu kini tengah berdiri menghadap kompor dan artinya tengah membelakangi Bude.
Melihat itu Bude cukup terhenyak, dahinya berkerut keheranan.
“Ha-Hasan...” gumam Bude lirih dan masih terdiam mematung di tempatnya.
“Mending kamu nginep aja dulu di rumahku, Ar...” seru Zaidan sembari memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Arkan menggeleng pelan sembari menggendong tasnya, “nggak deh aku pulang aja, ini juga masih jam 8, kan. Berani lah.” Zaidan menghela napas panjang lesu hingga kedua bahunya luruh, “bukannya masalah berani atau enggak, tapi kan di desa sebelah itu lagi ada rumor mistis begini. Aku khawatir aja kalau kamu pulang malem-malem gini.” “Ehhh...” Arkan memukul ringan bahu Zaidan sembari terkekeh kecil, “jaman sekarang masih aja percaya tahayul, Dan... Dan. Nggak ada enggak, udah ya aku pulang dulu. Tadi belum izin ibu juga kalau mau nginep, ntar malah dicariin.” “Ibumu ya bakal lebih khawatir lagi kalau kamu pulang di jam segini, tapi terserah deh. Pokoknya aku udah ngingetin, ya. Kalau nanti ada apa-apa nggak tanggung jawab aku.” “Hm, iya-iya. Aman,” balas Arkan sembari bangkit dari duduknya dan segera mengendarai motorny
Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, akan tetapi Arkan sama sekali belum bisa terlelap. Ia masih terbayang dengan wujud menyeramkan pocong itu. Pikirannya terus saja beputar-putar mengingat tentang hal apapun yang bersangkutan dengan pocong andong itu. Di saat Arkan semakin hanyut dalam fikirannya sendiri ia mendengar suara kerincing andong, “tumben-tumbennya ada ada andong lewat sini jam segini,” dan di dengar-dengar lagi ternyata suara kincringan yang semula jauh itu semakin terdengar jelas seperti andong itu sudah berhenti di sebelah kamarnya. Hingga tiba-tiba saja jendela kamar diketuk yang membuatnya langsung terperanjat dan duduk dari tidurnya. Arkan terdiam, ia kembali memasang indra pendengarannya dengan baik. Namun, ternyata lagi-lagi suara ketukan itu masih ada hingga membuat dadanya berdetak dengan sangat cepat. Kedua tangannya mengencengkram seprai kuat sembari terus menatap ke arah jendela. Nyalinya seketika langsung menciut
“Mulai lagi penyakit ngelamunnya,” sindir Bu Sarah sembari meleparkan bantal sofa ke arah putra semata wayangnya itu. “Ck! Ibu ni ngagetin terus. Udah tahu lagi parnoan gini,” balas Arkan lalu mendengkus kesal. “Ya kalau udah tau kondisi lagi kaya gini jangan ngelamun lah, Arkan! Jangan dibiasain hal yang nggak baik kaya gitu,” seru Bu Sarah yang kembali memperingati. “Arkan bukan ngelamun, Bu. Tapi, emang lagi mikirin hal itu. Apa lagi kemarin Arkan udah liat itu pocong pake mata kepala Arkan sendiri. Gimana kalau malem ini andong itu dateng lagi ke sini buat jemput Ar...” Belum sempat Arkan menyelesaikan perkataannya dengan cepat Bu Sarah langsung membungkam mulut anaknya itu dengan telapak tangannya, “jangan ngawur ngomongnya, Arkan!” sentaknya seraya melayangkan tatapan tajamnya. “Ya sudah kalau gitu besok kita ke rumah Bude aja, untuk beberapa saat tinggal di sana dulu sampai teror ini mereda,” sahut Bapak lalu menghel
Seketika itu juga Pakde langsung meletakkan jari telunjuknya ke bibir untuk memberi isyarat pada semua orang agar diam dan tak menimbulkan suara sedikit pun. Mendadak semuanya tak ada yang berani bergerak dan Pak Yadi pun masih tetap stay di tempatnya dengan posisi duduk membelakangi pintu. Arkan dan Bima sesekali saling beradu pandang sebelum pada akhirnya terus fokus menatap ke arah pintu. Sedangkan Bapak kini justru berjalan pelan ke arah Pak Yadi yang masih mematung, seolah tahu bahwa Pak Yadi memang sedang merasa sangat ketakutan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Bapak langsung menarik lengan Pak Yadi untuk menjauh dari pintu dan duduk bersama dengan yang lainnya. Pintu terus saja diketuk, bahkan kalau Arkan tidak salah menghitung ketukan itu ada kalau sampai sepuluh kali. Kalau pun itu yang mengetuk adalah tetangga atau pun manusia yang mengetuk pastinya bakalan ada yang mengucapakan sesuatu, assalamualaikum atau apa lah semacam Pak Yadi tadi. Ta