Seketika itu juga Pakde langsung meletakkan jari telunjuknya ke bibir untuk memberi isyarat pada semua orang agar diam dan tak menimbulkan suara sedikit pun. Mendadak semuanya tak ada yang berani bergerak dan Pak Yadi pun masih tetap stay di tempatnya dengan posisi duduk membelakangi pintu.
Arkan dan Bima sesekali saling beradu pandang sebelum pada akhirnya terus fokus menatap ke arah pintu. Sedangkan Bapak kini justru berjalan pelan ke arah Pak Yadi yang masih mematung, seolah tahu bahwa Pak Yadi memang sedang merasa sangat ketakutan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Bapak langsung menarik lengan Pak Yadi untuk menjauh dari pintu dan duduk bersama dengan yang lainnya.
Pintu terus saja diketuk, bahkan kalau Arkan tidak salah menghitung ketukan itu ada kalau sampai sepuluh kali. Kalau pun itu yang mengetuk adalah tetangga atau pun manusia yang mengetuk pastinya bakalan ada yang mengucapakan sesuatu, assalamualaikum atau apa lah semacam Pak Yadi tadi. Tapi, nyatanya ini tidak ada sepatah kata pun dari seseorang yang berada di luar sana.
Jadi, selama itu posisi mereka tetap saja terdiam tanpa mengeluarkan suara sampai tak terdengar lagi suara ketukan pintu dan tahu-tahu suara lonceng atau gemerincing tadi kembali terdengar. Seperti sedang berjalan menjauh dari rumah Bude.
Kemudian, setelah itu Pakde pun berjalan ke arah jendela untuk mengintip dan ternyata sudah tidak apa-apa lagi di luar.
“Udah aman,” ucap Pakde Lirih, lalu menghela napas lega.
“Alhamdulillah...”
Semua orang pun lemas begitu juga dengan Simbah yang sedari tadi hanya duduk terdiam di atas kasur busa. Beliau nampak tengah menggeleng kecil lalu menyenderkan tubuhnya ke dinding dengan dahi yang masih berkerut-kerut.
Arkan yang beberapa saat ini memang sedang memperhatikan Simbah itu pun perlahan menghampirinya lalu berkata dengan lembut sembari tersenyum tipis, “Simbah kenapa? Tidur lagi aja, udah aman sekarang.”
“Iya, Mak. Tidur lagi aja masih jam segini,” imbuh Bude.
“Ono opo yo iki? Selama Simbah hidup ya baru lo ini ono hal-hal begini,” ucap Simbah pelan.
“Belum ada yang tahu, Mak. Para warga juga bingung ini mau bagaimana, apalagi permasalahannya ini sama hal ghaib. Biasanya yang bisa mengehentikan begini ya orang yang paham dan ngerti juga sama hal-hal mistis kaya gini,” balas Pakde.
“Apa nggak ada ustad yang bisa nanganin ini semua?” sahut Susan sembari memeluk tubuhnya sendiri, suaranya lirih karena tubuhnya sedari tadi terasa sangat lemas setelah mendengar gemerincing suara andong dan ketukan pintu yang tak berhenti-henti.
“Loh kamu nggak tau, Mbak? Tadi pagi yang ditemuin meninggal nggak jauh dari surau itu kan ustad sobirin sama keponakannya,” balas Bima lalu menoleh ke arah Bude, “terus sama yang satu lagi siapa, Bu?” tanyanya seraya mengernyitkan kedua matanya.
Bude tampak menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Bima, “Danang, anaknya pak ahmad yang kerja di toko sembako. Pagi-pagi ditemuin warga udah nggak bernyawa di jalan gang besar, mana kaki sebelahnya ketimpah montor. Katanya juga wajarnya berdarah-darah karena kegasruk aspal,” papar Bude dan lagi-lagi menghela napas panjang.
“Simbah itu dulu punya temen yang sodaranya bisa nyembuh-nyembuhin orang ketempelan atau sekedar ngebersihin rumah. Tinggalnya di desa deket berbatasan, tapi yo Simbah nggak tau orangnya masih ada atau enggak,” tutur Simbah dengan pandangan lurus ke depan.
“Orang pinter, Mbah? Dukun gitu maksudnya?” sahut Bima dengan suara yang lumayan keras.
Namun, dengan cepat Bude langsung memukul kepala Bima menggunakan bantal, “suaramu itu lo, Bim! Nggak usah kenceng-keceng ngapa ngomomongnya! Andongnya ntar dateng lagi gimana?!” sentak Bude lalu mengdengkus dan menatap Bima dengan tajam.
“Ih... Ibu ngomongnya jangan gitu, ah! Bener dateng ntar.” Susah menggucang lengan Bude dengan ekspresi ketakutannya.
“Ya adek kamu itu, kalo ngomong kaya toa masjid,” gerutu Bude, sedangkan Bima yang diomeli hanya menghela napas sembari memutar bola matanya malas.
“Bukan dukun to, Le. Dia cuma manusia biasa kaya kita, tapi sama Gusti Allah dikasi kelebihan buat bisa bantu orang-orang yang lagi kesusahan. Banyak ngerti tentang hal ghoib karena beliau bisa melihat apa yang nggak bisa dilihat sama mata manusia biasa,” jelas Simbah sembari menatap cucunya itu dengan tatapan teduhnya.
“Ya udah, mending minta tolong sama sodaranya Simbah itu aja,” sahut Arkan.
“Kan Simbah udah bilang, nggak tahu beliau masih hidup atau enggak. Lagian rumor tentang andong pocong ini kan udah dari dua minggu yang lalu, kalau pun beliau emang masih ada dan sanggup buat nyelesaiin persoalan ini seharusnya andong-andong pocong ini udah nggak ada lagi. Tapi, nyatanya masih to.”
“Besok kasih tahu aja alamatnya temen Simbah, biar Arkan sama Mas Bima yang ke sana buat mastiin beliau masih ada atau enggak,” balas Arkan.
“Ehh... aku?” Bima menunjuk ke arah wajahnya sendiri dengan mimik wajah yang sulit diartikan.
“Ya iya lah, Mas. Masa sama Mba Susan, jelas aja nggak mau,” ucap Arkan seraya menoleh ke arah Susan yang langsung menggelengkan kepalanya.
“Iya sama kamu lah, Bim. Usaha kan ini namanya, emang mau apa terus-terusan kaya gini tiap malem? Apa lagi rumah kita kan udah diketuk. Kata warga juga setiap rumah yang udah pernah diketuk itu nggak akan bisa lepas gitu aja, malah denger-denger juga itu pocong andong bakalan terus dateng sampe ada korban yang jatuh di rumah itu,” seloroh Susan panjang lebar sembari bergidik ngeri.
Terdengar suara helaan napas Pak Yadi yang sedari tadi hanya duduk terdiam dengan wajah pucatnya, “maaf ya, Mba Susan. Rumah Mba diketuk ini pasti gara-gara saya, kan tadi saya udah sempet liat itu pocong. Mungkin pocong itu ke sini ya karena mau ngincer saya. Besok kalau saya udah balik ke rumah pasti malemnya pocong itu udah nggak akan ngetuk di sini lagi dan bakalan ngetuk pintu di rumah saya,” jelas Pak Yadi lesu.
Malam itu perbincangan pun terus berlanjut sampai keesokan paginya karena mereka semua sama sekali tidak ada yang bisa tertidur. Dan sama halnya dengan kemarin, hari ini pun ternyata juga ada lagi dua orang ditemukan dalam keadaan telungkup. Salah satu dari mereka ditemukan di area persawahan.
Hingga akhirnya sinar matahari pun kembali redup dan bergantikan dengan bulan di tengah suasana malam yang sudah kembali tiba. Dengan kesunyian dan keresahan para warga yang kini menjadi teman mereka saat gelap sudah datang.
Awalnya semua mengira bahwa malam ini rumah Bude tidak akan ada lagi suara gemerincing andong dan juga ketukan pintu. Namun, ternyata dugaan mereka salah. Malam itu suara ketukan pintu masih saja terus terdengar hingga membuat mereka semua ketakukan. Tak ada lagi yang berani bergerak dan bersuara sedikit pun. Kecuali Arkan dan Bima yang sedari tadi sudah tertidur lelap hingga tak mendengar suara-suara mengganggu pendengaran itu.
Padahal mereka kira andong pocong itu tidak akan datang lagi kalau Pak Yadi sudah tidak ada di rumah mereka. Akan tetapi, ternyata tidak. Hingga akhirnya, pada pagi harinya semua yang ada di rumah Bude bergantian untuk menginap saja di rumah Bapak.
Awalnya Simbah menolak dan tetep kekeh ingin di rumah saja karena merasa tidak kuat di perjalanan. Tetapi, Buda dan Bapak terus berusaha membujuknya. Hingga akhirnya beliau mau dan siang harinya mereka segera berangkat menggunakan mobil Bapak.
Sesampainya di rumah Bapak segera pergi menimbrung bersama beberapa warga yang tampak sedang berbincang-bincang di teras rumah tetangganya.
“Loh, Pak Hasan mboyong keluarganya ke sini, ya. Udah dua malam ini emang di desa kita aman, Pak. Nggak ada yang meninggal dan nggak ada yang denger gemerincing andong. Tapi, ya emang masih dilarang buat keluar malem karena kondisi juga belum bisa dipastikan bener-bener aman,” ucap Pak Gunawan.
“Jadi, semenjak saya pergi ke rumah orangtua saya justru udah aman ya di sini, Pak. Malahan di sana yang baru mulai dan korban-korban yang berjatuhan lebih banyak dari desa kita ini. Sekali meninggal bisa sampe dua atau bahkan tiga orang,” papar Bapak yang kini sudah duduk di antara para warga yang lain.
Obrolan demi obrolan terus berlanjut hingga adzan ashar berkumandang semua orang pun bubar. Bapak sedikit bisa bernapas lega mendengar kabar dari warga bahwa desa mereka dua hari ini sudah aman dan saat sudah sampai di rumah beliau pun segera menyampaikan hal itu kepada keluarganya.
“Beneran dua hari ini desa kita bener-bener aman, Pak?” tanya Bu Sarah sembari meletakan napan berisikan teh dan juga beberapa camilan.
Setelah menunaikan salat isya berjamaah di rumah mereka semua berkumpul di ruang tamu untuk menikmati hidangan yang sudah dibuat oleh Bude dan Bu Sarah sejak sore hari tadi.
“Ya kalau kata Pak Gunawan sama tetangga ya gitu, Bu. Waktu kita nggak ada justru udah aman dan justru tempat Bude yang baru. Seakan kita kemarin itu justru ngikutin di mana teror itu lagi menyebar,” jawab Bapak yang kemudian menyeruput secangkir tehnya.
“Tapi, kok malam ini justru aku ngerasa kalau hawanya itu lebih nggak enak, ya,” ucap Bima seraya mengusap tengkuknya dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
“Sama, Mas. Aku juga ngerasa kalau malem ini lebih mencengkan, apalagi setelah denger kabar dari Bapak tadi.” Arkan menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan sebelum akhirnya kembali melanjutkan perkataannya, “soalnya, aku udah pernah liat itu sosok. Jangan-jangan desa ini aman dua hari ya karena aku incerannya lagi nggak ada di sini,” suara Arkan terdengar semakin lirih dan sangat pelan.
“Kamu itu ngomong apa sih, Arkan?! Nggak ada kaya gitu, udah to kamu jangan mikir aneh-aneh!” sentak Bu Sarah, tapi ia bisa melihat jelas kecemasan di wajah putranya itu. Kemudian dengan perlahan beliau pun mengampiri anaknya dan segera merangkul bahunya.
“Berpikir positif, Le! Kita semua ada di sini dan insyaallah yang pikirkan itu nggak ada yang terjadi,” lanjutnya dengan senyuman tipis di bibirnya.
Baru saja Arkan hendak menjawab perkataan Ibunya itu, tetapi mendadak semua terdiam kaku kala mendengar suara gemerincing yang sudah tidak asing lagi di telinga mereka. Jantung Arkan seakan berpacu lebih cepat apalagi saat suara gemerincing itu berhenti tepat di hadapan rumah mereka.
Belum juga reda rasa takut itu kini justru mereka dibuat terkejut dengan suara gedoran pintu yang terdengar teramat keras. Sangat berbeda dengan suara ketukan pintu di malam-malam sebelumnya. Sampai akhirnya---
Brak!!!
Pintu terbuka dengan lebarnya padahal sudah dalam posisi terkunci.
Keringat dingin di dahi Arkan semakin bercucuran, tubuhnya melemas tak mampu menopang tubuhnya sendiri hingga akhirnya ia dan Bu Sarah terduduk di lantai.
Tapi, saat di lihat di luar tidak apa-apa sewaktu pintu terbuka. Namun, di depan rumah tepatnya di depan teras sana ada andong nongkrong dan tidak ada yang mengendarainya.
Bude sama Bu Sarah sempat teriak, sementara Bapak dan Pakde mencoba menutup itu pintu yang tadi terbuka dengan sendirinya.
Sewaktu sudah ditutup dan dikunci, Arkan melihat ada bayangan pocong di jendela. Jadi, jendelanya itu memang pakai horden tipis tapi nerawang dan di sana ada siluet pocong. Saat itu juga Arkan langsung menunjuk ke arah jendela dengan kedua matanya yang terbelalak.
Dan semua orang juga langsung melihat ke arah sana, “astagfirullahal’adzim,” ribu itu di dalam rumah sampai semuanya berteriak-teriak denga keras.
Semula pocong itu memang hanya berdiam diri saja di sana, namun tiba-tiba jalan. Jalan mengitari rumah sampai ke jendela sebelah-sebelah dan akhirnya ke belakang di area dapur. Dan di situ pocong itu menjedotkan kepalanya ke jendela.
Dok... Dok... Dok...
Bapak yang mungkin kesal lama-lama karena semua orang juga udah nangis ketakutan dengan si pocong ini akhirnya membuka pintu. Keluar dan nyamperin itu pocong.
Melihat itu pun Bu Sarah langsung berteriak, “JANGAN, PAK!!! JANGAN!!!!”
Tapi, Bapak sudah terlanjur keluar dan jalan menuju pocong itu ke daerah belakang dekat dapur. Sewaktu sudah berhadap-hadapan dengan pocongnya Bapak seperti terdiam lalu jatuh. Seketika itu juga siluet pocong menghilang dan saat itu juga semua orang langsung keluar. Melihat Bapak yang sudah terkelungkup di lantai, sementara andong pocong yang ada di depan teras rumah tadi tahu-tahu juga sudah tidak ada.
Bu Sarah langsung menepuk-nepuk pipi Bapak tapi tidak bangun-bangun. Sekujur tubuhnya sudah kaku.
“Pak! Ya Allah, Pak,” teriak Bu Sarah histeris dengan pipi yang sudah banjir air mata.
Pakde dan Bima segera menghampiri Bapak. Memeriksa napas di hidung beliau dan nadinya. Namun, Bapak sudah tidak lagi bernyawa. Kemudian dengan perlahan Pakde menutup kedua mata Bapak yang masih terbuka lebar itu, tetapi sayangnya mulut yang juga masih terbuka itu sudah tidak dapat tertutup. “Innalillahi wa innalillahi rajiun...” gumam Pakde lirih sembari mengusap dadanya pelan. Ia tak menyangka jika adik iparnya akan meninggal dalam keadaan seperti ini. Ibu benar-benar menangis histeris sembari memeluk erat tubuh Bapak, sedangkan Arkan masih terdiam mematung di ambang pintu. Kepalanya menggeleng pelan, ia seolah tak mampu mencerna kejadian yang terjadi begitu cepat ini. Dadanya bergemuruh dan berharap ini semua hanya sebuah mimpi buruk semata. “Pak!!!” Suara isak tangis Ibu membuat tubuh Arkan semakin melemas dengan kedua matanya yang mulai memanas. Perlahan Bude dan Susan menghampiri Ibu yang masih terus terisak dalam tangisnya sa
“Ka-kamu masih hidup?” Bibir Bude merekah dengan lebarnya. Beliau berjalan perlahan ke arah lelaki yang ia anggap Pak Hasan itu. Jujur saja saat ini beliau merasa sangat senang dan sekaligus haru. Karena melihat adik laki-lakinya yang sekarang ini bisa berdiri tegap membelakangi dirinya padahal baru beberapa menit yang lalu telah dinyatakan meninggal oleh suaminya sendiri. “Pasti tadi suami Mba salah kan, Hasan. Alhamdulillah banget kamu nggak jadi korban pocong itu.” Kedua sudut mata Bude mulai berair karena beliau merasa sangat terharu. Namun, seperkian detik kemudian saat Bude sudah hampir sangat dekat dengan adik laki-lakinya itu. Beliau kembali mencium aroma busuk yang menyeruak rongga hidungnya hingga membuat Bude tak sanggup lagi untuk menahannya. Huekkk... Dengan cepat Bude langsung berlari kembali ke dalam kamar mandi sembari menutup mulutnya. Bau busuk itu benar-benar membuat isi perut Bude keluar semua hingga membuat kepala
Angin semakin berhembus dengan kencangnya, disertai suara gemericik hujan yang mulai turun mengguyur desa malam ini membuat suasana semakin mencekam. Apa lagi suara menggelegar petir yang saling bersahut-sahutan. “Susan,” panggil Bu Sarah lirih sembari menatap Susan yang tengah duduk bersender pada dinding sembari memeluk erat tubuhnya sendiri. Begitu mendengar namanya dipanggil Susan langsung menoleh dan tersenyum lega melihat Bu Sarah yang sudah siuman, “Bulek udah sadar.” “Istirahat aja dulu, Bulek! Ini masih jam 12, apa lagi hujan gini,” lanjutnya sembari menarik selimut sampai menutupi kedua bahu Bu Sarah. “Simbah gimana, Susan?” “Simbah tidur di kamar Arkan, Bulek. Setelah salat isya dan dikasi obat tidur, Simbah ya belum bangun. Nggak tahu besok pagi gimana kalau tahu Om Hasan udah nggak ada. Semoga aja jantung Simbah kuat,” ungkap Susan sembari menatap sendu ke arah Bu Sarah yang masih terbaring dengan bibir pucat
Belum ada tanda-tanda suara gedoran itu akan berhenti. Sebenarnya Pakde ingin ke dapur untuk mengambil segelas air untuk dibacakan doa dan dicipratkan ke beberapa pintu. Namun, sayangnya dapur pun tengah dalam kondisi yang tidak aman. Jadi, mau tidak mau mereka semua semalaman ini tetap terjaga dalam kondisi yang amat sangat mencekam sampai menjelang subuh. Hujan pun ikut reda bersamaan dengan suara gedoran pintu yang sudah tidak lagi terdengar. “Mas Bima,” panggil Arkan yang membuat sang empunya langsung menoleh, “suara memekik semalem yang memperingatkan kita untuk nggak ikut campur, justru bikin aku yakin kalau semua yang udah terjadi dan menimpa desa kita memang ada campur tangan manusia.” “Belum bisa dipastikan juga, Arkan. Tapi, aku juga heran. Suara itu tiba-tiba muncul waktu aku bilang akan cari solusinya besok. Hebat banget ya bisa denger, padahal telinganya kebungkus mori,” balas Bima ketus seraya memutar bola matanya malas.
“Sebelumnya saya bener-bener minta maaf, tapi di sini kami memang udah bener-bener buntu mau minta tolong sama siapa. Semalam saya baru aja kehilangan bapak dan sampai pagi di teror sama pocong-pocong itu. Makanya kami ke sini, Mbah. Karena kami pikir Simbah bisa bantu, tapi kalau memang nggak bisa kami juga nggak bisa memaksakannya,” papar Arkan yang kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mbah Kandar tampak menghela napas berat beberapa kali, menatap dan menelisik wajah Arkan yang terlihat jelas tengah menyimpan kesedihan dan sebuah dendam mendalam di dalam dirinya. Lalu, beberapa saat kemudian beliau mengarahkan tangannya ke dalam rumah untuk memberikan isyarat kepada Nur agar masuk saja ke dalam. Awalnya Nur enggan, namun Mbah Kandar mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. Seolah memberitahu bahwa semua akan baik-baik saja hingga akhirnya Nur terpaksa melangkah masuk ke dalam dan tak ikut campur. “Iya, Lee. Saya tahu yang sedang k
Mbah Kandar bangkit dari duduknya, tanpa menjawab pertanyaan Arkan terlebih dahulu beliau langsung masuk ke dalam rumah hingga membuat Arkan dan Bima pun saling pandang. Mereka berdua bingung kenapa Mbah Kandar tiba-tiba langsung masuk begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, ternyata beberapa saat kemudian beliau kembali keluar dengan membawa sebotol air jernih dan sebungkus garam dapur. “Setelah kalian pulang dari sini, langsung sebarkan garam ini ke seluruh rumah kalian. Garam dapur ini sudah Mbah doakan dan semoga jin apa pun yang akan dikirimkan nanti ke rumah kalian tidak akan ada yang bisa masuk,” ucap Mbah Kandar setelah meletakan apa yang tengah beliau bawa di atas meja. Arkan mengangguk pelan dengan pandangan yang masih tertuju pada garam dapur dan sebotol air itu, kemudian ia bertanya kepada Mbah Kandar, “lalu, air di botol ini untuk apa?” tangannya memanjang untuk mengambil benda yang tengah ia tanyakan.
Sebungkus garam dapur sudah berserakan di tanah, andai kata pun diambil dan dipunguti pastinya hanya tinggal sedikit saja. Apa lagi harus balik ke rumah Mbah Kandar, itu tidak mungkin. Karena hari sudah semakin sore dan mereka sudah di tengah perjalanan. Sebenarnya bisa saja Bima kembali ke sana untuk meminta garam yang baru, tetapi ia juga sudah diburu waktu karena menghindari pulang ketika siang sudah berganti dengan malam. “Kenapa, Mas?” tanya lelaki itu lagi yang tampak keheranan melihat Bima frustasi. Bima langsung menggeleng pelan sembari menampakan serentetan giginya, “nggak papa, Pak. Itu saya mau ke sana dulu ngambil sebotol air. Itu air zam-zam, Pak. Sayang kalau sampai nggak diminum,” balasnya tanpa mau memberitahu yang sebenarnya. Bukannya apa, Bima hanya tengah berjaga-jaga saja. Ia belum tahu siapa dukun yang tengah ia cari-cari dan bukannya mau seudzon juga. Ia hanya waspada dan tidak sembarang memberitahu orang lain yang ta
Mila yang tengah membawa nampan berisikan dua mangkuk mie tak sengaja mendengar percakapan kedua pemuda ini. Gadis cantik dengan jilbab coklat yang menjulur hingga menutup dada itu masih terdiam di ambang pintu dengan tatapan sendu. “Eh, Mba Mila,” seloroh Bima yang baru saja menyadari keberadaan gadis itu. Mendengar namanya disebut Mila yang tadinya masih terdiam langsung berjalan ke arah mereka sembari meletakan nampan yang ia bawa sembari tersenyum ramah. “Ini mas makan dulu, hujan-hujan gini enaknya makan yang anget-anget, kan,” ucap Mila mempersilahkan. Kemudian ia memutar tubuhnya untuk mengambil gelas dan air yang ada di atas meja ruang tamunya. Lain halnya dengan Bima yang langsung menyambar mangkuk di hadapannya. Arkan justru menatap Mila dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu dengar pembicaraan kami tadi, ya?” seru Arkan yang seolah cemas jika ada orang lain yang tahu akan rencananya ini. Karena saat ini dirinya h
-Flashback On-“Apa nggak papa ini kita dobrak pintu rumah ini, kalau sampai ada tetangganya yang dengar bagaimana?” ucap Anto, lelaki berbaju hitam dengan tubuh kekar seraya melihat ke sekeliling untuk memastikan keadaan benar-benar aman.“Hujannya deras, suara petir juga bersahut-sahutan. Nggak mungkin bakal ada yang denger,” balas Jaja yang berdiri di belakang lelaki paruh baya.“Cepat dobrak!” ucapnya dengan lantang.“Ta-tapi, Mbah Kandar. Dua pemuda yang salah satunya Mbah bilang punya khodam singa putih bukannya mereka juga sudah pulang ke rumah, nanti kita mati kalau harus berhadapan dengan khodamnya,” keluh Anto takut.“Mereka nggak bisa pulang, masih kejebak di desa sebelah. Tapi mungkin dia malam ini dia bakal ngebrantas semua pocong penjemput tumbal. Makanya kita nggak punya banyak waktu, ambil keris kecil itu di dalam rumah ini. Itu salah satu pusaka peninggalan leluhurnya yang sampai saat ini masih di simpan oleh keluarganya. Mereka orang bodoh yang nggak tahu cara penggu
“Simbah...” Bibir Arkan bergetar dengan tatapan nanar. Lelaki itu langsung mengangkat tubuh rentan Simbah untuk mengeluarkannya dari dalam lemari dan segera membaringkan-nya di atas kasur. Napas Arkan tersengal-sengal, kedua matanya memanas melihat Simbah yang tak sadarkan diri. Namun, untungnya ia masih bisa menghela napas lega karena ternyata Simbah tak bernasib sama dengan almarhum Susan. Akan tetapi, kedua bibir wanita rentan ini sangat memucat. Sepertinya Simbah sudah kehabisan napas karena terlalu lama berjongkok di dalam lemari. “Apa yang sebenarnya terjadi, Simbah?
Para tetangga berbodong-bondong menuju rumah Arkan setelah mendengar teriakan Mila meminta tolong.Salah satu dari mereka langsung memanggilkan dokter dan polisi. Sedangkan yang lainnya membantu mengurus pemakaman Susan.Tak ada yang tahu apa kejadian yang telah menimpa keluarga ini semalam hingga membuat Susan sampai kehilangan nyawa seperti ini."Apa yang terjadi semalam di desa kita ini, Bude? Ke mana ibu saya?" tanya Arkan yang tengah terduduk lemas sembari menyenderkan kepalanya di dinding ruang tamu.Bu Listri mengusap-usap lembut lengan Arkan sembari berkata, "saya nggak tau ke mana ibumu, Arkan. Saya kira semalam semua keluargamu pergi dari rumah ini saat ujan mulai deras. Karena pagi hari ini mobilmu udah nggak di rumah.""Semalam desa kita diguyur hujan deras disertai angin kencang, Arkan. Tapi, hari ini alhamdulillah nggak ada korban andong pocong. Eh, te
Sesaat Mbah Kandar terdiam, kemudian beliau menghela napas pelan dan akhirnya membalas perkataan Mila, "wajar saja jika para tetanggamu lebih memilih untuk mengungsi, Nduk. Mereka takut jika akhirnya akan menjadi korban, tetapi memangnya mereka hanya ingin terus bersembunyi tanpa bertindak? Kematian adalah takdir yang nggak bisa dihindari."Mila mengernyitkan dahinya seraya menoleh sekilas ke arah Bima dan Arkan.Memang apa yg bisa para warga di desa Mila lakukan? Mereka semua hanya orang biasa, jelas saja tak ada yang mampu untuk mengatasinya. Jalan terbaik bagi mereka hanyalah dengan cara pergi meninggalkan desa, untuk sementara atau bahkan selamanya.“Iya, Mbah. Memang kematian adalah rahasia Sang Ilahi, tapi jika kematian penduduk disebabkan oleh hal semacam ini apakah ini disebut dengan takdir juga? Mereka belum waktunya meninggal, tapi dibuat meninggal secara paksa untuk dijadikan tumbal," sahut
Waktu tengah menunjukan pukul 9 dini hari. Sebelum berangkat ke rumah mbah Kandar mereka menyempatkan untuk bertakziah ke rumah tetangga Mila. Ternyata semalam warga desa sini yang meninggal mencapai sembilang orang dengan 5 diantaranya meninggal akibat kesambar petir dan 4 lainnya meninggal tak wajar karena kedatangan pocong andong yang membuat warga semakin dibuat ketakutan. Hingga akhirnya pada hari ini juga mereka berbondong-bondong pindah ke pengusian di luar kabupaten karena sudah tak ada pilihan lain lagi. Para warga sudah tidak mampu lagi untuk bertahan di rumah mereka karena teror yang semakin gencar hingga yang tak keluar dari dalam rumah pun bisa menjadi korbannya. Sudah banyak beberapa orang pintar yang berusaha untuk menghentikannya, namun belum ada satu pun yang berhasil. Bahkan beberapa ustad yang ikut serta mencoba untuk menghentikannya pun belum ada yang mampu. Entah harus menggunakan cara seperti apa lagi untuk menghentikan se
Arkan mengerjapkan matanya perlahan saat sinar cahaya pagi masuk dari sela-sela jendela. Sembarai berseringai kecil karena merasa tubuhnya redam remuk dan rasa perih dibagian lengannya. Lelaki itu pun merasakan tenggorokannya yang kering kerontang hingga terasa sangat perih saat ia menelan ludah. “Kamu udah bangun.” Bima yang sejak semalam terus duduk di sebelah Arkan itu pun segera mengambilkan segelas air putih, lalu membantu adik sepupunya itu duduk. Wajah Arkan terlihat begitu pucat, ia juga merasa tubuhnya sangat lemas tak bertenaga. “Minum dulu!” Bima memberikan segelas air dan Arkan menerimanya sembari tangan kiri memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa bisa tiba-tiba sudah berada di dalam rumah apa lagi matahari sudah terbit. Padahal seingatnya semalam ia dan Mila masih berada di luar dalam kondisi yang cukup meneganggkan saat tak sengaja kedua retinanya beradu tatap den
Begitu keluar dari rumah Mila, tubuh Bima menenggang hebat dengan degup jantung yang semakin terpompa dengan cepat. Tak mungkin ia tak merasa takut, justru ini adalah momen yang paling menakutkan dalam hidupnya. “Bagaimana mungkin?!” gumamnya lirih saat melihat tak hanya satu andong saja yang tengah terparkir di jalanan. Ada sekitar 5 andong yang berhenti di beberapa rumah warga yang sudah jelas suara teriakan itu pastinya berasal dari rumah mereka. “Allahuakbar!” Bima menggeleng tak percaya, “kenapa jadi banyak kaya gini?” dan seketika itu juga tubuhnya meremang karena mendengar suara gemerincing andong dari belakang tubuhnya. Suara itu kian mendekat dan terus mendekat hingga suaranya semakin terdengar jelas. Namun, tiba-tiba saja suara gemerincing itu berhenti tetapi suara teriakan minta tolong dan tangis histeris masih terdengar. Hilangnya suara gemerincing andong itu bukan berarti membuat Bima sedikit lebih tenang, namun justru membuatnya
Mila yang tengah membawa nampan berisikan dua mangkuk mie tak sengaja mendengar percakapan kedua pemuda ini. Gadis cantik dengan jilbab coklat yang menjulur hingga menutup dada itu masih terdiam di ambang pintu dengan tatapan sendu. “Eh, Mba Mila,” seloroh Bima yang baru saja menyadari keberadaan gadis itu. Mendengar namanya disebut Mila yang tadinya masih terdiam langsung berjalan ke arah mereka sembari meletakan nampan yang ia bawa sembari tersenyum ramah. “Ini mas makan dulu, hujan-hujan gini enaknya makan yang anget-anget, kan,” ucap Mila mempersilahkan. Kemudian ia memutar tubuhnya untuk mengambil gelas dan air yang ada di atas meja ruang tamunya. Lain halnya dengan Bima yang langsung menyambar mangkuk di hadapannya. Arkan justru menatap Mila dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu dengar pembicaraan kami tadi, ya?” seru Arkan yang seolah cemas jika ada orang lain yang tahu akan rencananya ini. Karena saat ini dirinya h
Sebungkus garam dapur sudah berserakan di tanah, andai kata pun diambil dan dipunguti pastinya hanya tinggal sedikit saja. Apa lagi harus balik ke rumah Mbah Kandar, itu tidak mungkin. Karena hari sudah semakin sore dan mereka sudah di tengah perjalanan. Sebenarnya bisa saja Bima kembali ke sana untuk meminta garam yang baru, tetapi ia juga sudah diburu waktu karena menghindari pulang ketika siang sudah berganti dengan malam. “Kenapa, Mas?” tanya lelaki itu lagi yang tampak keheranan melihat Bima frustasi. Bima langsung menggeleng pelan sembari menampakan serentetan giginya, “nggak papa, Pak. Itu saya mau ke sana dulu ngambil sebotol air. Itu air zam-zam, Pak. Sayang kalau sampai nggak diminum,” balasnya tanpa mau memberitahu yang sebenarnya. Bukannya apa, Bima hanya tengah berjaga-jaga saja. Ia belum tahu siapa dukun yang tengah ia cari-cari dan bukannya mau seudzon juga. Ia hanya waspada dan tidak sembarang memberitahu orang lain yang ta