Seketika itu juga Pakde langsung meletakkan jari telunjuknya ke bibir untuk memberi isyarat pada semua orang agar diam dan tak menimbulkan suara sedikit pun. Mendadak semuanya tak ada yang berani bergerak dan Pak Yadi pun masih tetap stay di tempatnya dengan posisi duduk membelakangi pintu.
Arkan dan Bima sesekali saling beradu pandang sebelum pada akhirnya terus fokus menatap ke arah pintu. Sedangkan Bapak kini justru berjalan pelan ke arah Pak Yadi yang masih mematung, seolah tahu bahwa Pak Yadi memang sedang merasa sangat ketakutan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Bapak langsung menarik lengan Pak Yadi untuk menjauh dari pintu dan duduk bersama dengan yang lainnya.
Pintu terus saja diketuk, bahkan kalau Arkan tidak salah menghitung ketukan itu ada kalau sampai sepuluh kali. Kalau pun itu yang mengetuk adalah tetangga atau pun manusia yang mengetuk pastinya bakalan ada yang mengucapakan sesuatu, assalamualaikum atau apa lah semacam Pak Yadi tadi. Tapi, nyatanya ini tidak ada sepatah kata pun dari seseorang yang berada di luar sana.
Jadi, selama itu posisi mereka tetap saja terdiam tanpa mengeluarkan suara sampai tak terdengar lagi suara ketukan pintu dan tahu-tahu suara lonceng atau gemerincing tadi kembali terdengar. Seperti sedang berjalan menjauh dari rumah Bude.
Kemudian, setelah itu Pakde pun berjalan ke arah jendela untuk mengintip dan ternyata sudah tidak apa-apa lagi di luar.
“Udah aman,” ucap Pakde Lirih, lalu menghela napas lega.
“Alhamdulillah...”
Semua orang pun lemas begitu juga dengan Simbah yang sedari tadi hanya duduk terdiam di atas kasur busa. Beliau nampak tengah menggeleng kecil lalu menyenderkan tubuhnya ke dinding dengan dahi yang masih berkerut-kerut.
Arkan yang beberapa saat ini memang sedang memperhatikan Simbah itu pun perlahan menghampirinya lalu berkata dengan lembut sembari tersenyum tipis, “Simbah kenapa? Tidur lagi aja, udah aman sekarang.”
“Iya, Mak. Tidur lagi aja masih jam segini,” imbuh Bude.
“Ono opo yo iki? Selama Simbah hidup ya baru lo ini ono hal-hal begini,” ucap Simbah pelan.
“Belum ada yang tahu, Mak. Para warga juga bingung ini mau bagaimana, apalagi permasalahannya ini sama hal ghaib. Biasanya yang bisa mengehentikan begini ya orang yang paham dan ngerti juga sama hal-hal mistis kaya gini,” balas Pakde.
“Apa nggak ada ustad yang bisa nanganin ini semua?” sahut Susan sembari memeluk tubuhnya sendiri, suaranya lirih karena tubuhnya sedari tadi terasa sangat lemas setelah mendengar gemerincing suara andong dan ketukan pintu yang tak berhenti-henti.
“Loh kamu nggak tau, Mbak? Tadi pagi yang ditemuin meninggal nggak jauh dari surau itu kan ustad sobirin sama keponakannya,” balas Bima lalu menoleh ke arah Bude, “terus sama yang satu lagi siapa, Bu?” tanyanya seraya mengernyitkan kedua matanya.
Bude tampak menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Bima, “Danang, anaknya pak ahmad yang kerja di toko sembako. Pagi-pagi ditemuin warga udah nggak bernyawa di jalan gang besar, mana kaki sebelahnya ketimpah montor. Katanya juga wajarnya berdarah-darah karena kegasruk aspal,” papar Bude dan lagi-lagi menghela napas panjang.
“Simbah itu dulu punya temen yang sodaranya bisa nyembuh-nyembuhin orang ketempelan atau sekedar ngebersihin rumah. Tinggalnya di desa deket berbatasan, tapi yo Simbah nggak tau orangnya masih ada atau enggak,” tutur Simbah dengan pandangan lurus ke depan.
“Orang pinter, Mbah? Dukun gitu maksudnya?” sahut Bima dengan suara yang lumayan keras.
Namun, dengan cepat Bude langsung memukul kepala Bima menggunakan bantal, “suaramu itu lo, Bim! Nggak usah kenceng-keceng ngapa ngomomongnya! Andongnya ntar dateng lagi gimana?!” sentak Bude lalu mengdengkus dan menatap Bima dengan tajam.
“Ih... Ibu ngomongnya jangan gitu, ah! Bener dateng ntar.” Susah menggucang lengan Bude dengan ekspresi ketakutannya.
“Ya adek kamu itu, kalo ngomong kaya toa masjid,” gerutu Bude, sedangkan Bima yang diomeli hanya menghela napas sembari memutar bola matanya malas.
“Bukan dukun to, Le. Dia cuma manusia biasa kaya kita, tapi sama Gusti Allah dikasi kelebihan buat bisa bantu orang-orang yang lagi kesusahan. Banyak ngerti tentang hal ghoib karena beliau bisa melihat apa yang nggak bisa dilihat sama mata manusia biasa,” jelas Simbah sembari menatap cucunya itu dengan tatapan teduhnya.
“Ya udah, mending minta tolong sama sodaranya Simbah itu aja,” sahut Arkan.
“Kan Simbah udah bilang, nggak tahu beliau masih hidup atau enggak. Lagian rumor tentang andong pocong ini kan udah dari dua minggu yang lalu, kalau pun beliau emang masih ada dan sanggup buat nyelesaiin persoalan ini seharusnya andong-andong pocong ini udah nggak ada lagi. Tapi, nyatanya masih to.”
“Besok kasih tahu aja alamatnya temen Simbah, biar Arkan sama Mas Bima yang ke sana buat mastiin beliau masih ada atau enggak,” balas Arkan.
“Ehh... aku?” Bima menunjuk ke arah wajahnya sendiri dengan mimik wajah yang sulit diartikan.
“Ya iya lah, Mas. Masa sama Mba Susan, jelas aja nggak mau,” ucap Arkan seraya menoleh ke arah Susan yang langsung menggelengkan kepalanya.
“Iya sama kamu lah, Bim. Usaha kan ini namanya, emang mau apa terus-terusan kaya gini tiap malem? Apa lagi rumah kita kan udah diketuk. Kata warga juga setiap rumah yang udah pernah diketuk itu nggak akan bisa lepas gitu aja, malah denger-denger juga itu pocong andong bakalan terus dateng sampe ada korban yang jatuh di rumah itu,” seloroh Susan panjang lebar sembari bergidik ngeri.
Terdengar suara helaan napas Pak Yadi yang sedari tadi hanya duduk terdiam dengan wajah pucatnya, “maaf ya, Mba Susan. Rumah Mba diketuk ini pasti gara-gara saya, kan tadi saya udah sempet liat itu pocong. Mungkin pocong itu ke sini ya karena mau ngincer saya. Besok kalau saya udah balik ke rumah pasti malemnya pocong itu udah nggak akan ngetuk di sini lagi dan bakalan ngetuk pintu di rumah saya,” jelas Pak Yadi lesu.
Malam itu perbincangan pun terus berlanjut sampai keesokan paginya karena mereka semua sama sekali tidak ada yang bisa tertidur. Dan sama halnya dengan kemarin, hari ini pun ternyata juga ada lagi dua orang ditemukan dalam keadaan telungkup. Salah satu dari mereka ditemukan di area persawahan.
Hingga akhirnya sinar matahari pun kembali redup dan bergantikan dengan bulan di tengah suasana malam yang sudah kembali tiba. Dengan kesunyian dan keresahan para warga yang kini menjadi teman mereka saat gelap sudah datang.
Awalnya semua mengira bahwa malam ini rumah Bude tidak akan ada lagi suara gemerincing andong dan juga ketukan pintu. Namun, ternyata dugaan mereka salah. Malam itu suara ketukan pintu masih saja terus terdengar hingga membuat mereka semua ketakukan. Tak ada lagi yang berani bergerak dan bersuara sedikit pun. Kecuali Arkan dan Bima yang sedari tadi sudah tertidur lelap hingga tak mendengar suara-suara mengganggu pendengaran itu.
Padahal mereka kira andong pocong itu tidak akan datang lagi kalau Pak Yadi sudah tidak ada di rumah mereka. Akan tetapi, ternyata tidak. Hingga akhirnya, pada pagi harinya semua yang ada di rumah Bude bergantian untuk menginap saja di rumah Bapak.
Awalnya Simbah menolak dan tetep kekeh ingin di rumah saja karena merasa tidak kuat di perjalanan. Tetapi, Buda dan Bapak terus berusaha membujuknya. Hingga akhirnya beliau mau dan siang harinya mereka segera berangkat menggunakan mobil Bapak.
Sesampainya di rumah Bapak segera pergi menimbrung bersama beberapa warga yang tampak sedang berbincang-bincang di teras rumah tetangganya.
“Loh, Pak Hasan mboyong keluarganya ke sini, ya. Udah dua malam ini emang di desa kita aman, Pak. Nggak ada yang meninggal dan nggak ada yang denger gemerincing andong. Tapi, ya emang masih dilarang buat keluar malem karena kondisi juga belum bisa dipastikan bener-bener aman,” ucap Pak Gunawan.
“Jadi, semenjak saya pergi ke rumah orangtua saya justru udah aman ya di sini, Pak. Malahan di sana yang baru mulai dan korban-korban yang berjatuhan lebih banyak dari desa kita ini. Sekali meninggal bisa sampe dua atau bahkan tiga orang,” papar Bapak yang kini sudah duduk di antara para warga yang lain.
Obrolan demi obrolan terus berlanjut hingga adzan ashar berkumandang semua orang pun bubar. Bapak sedikit bisa bernapas lega mendengar kabar dari warga bahwa desa mereka dua hari ini sudah aman dan saat sudah sampai di rumah beliau pun segera menyampaikan hal itu kepada keluarganya.
“Beneran dua hari ini desa kita bener-bener aman, Pak?” tanya Bu Sarah sembari meletakan napan berisikan teh dan juga beberapa camilan.
Setelah menunaikan salat isya berjamaah di rumah mereka semua berkumpul di ruang tamu untuk menikmati hidangan yang sudah dibuat oleh Bude dan Bu Sarah sejak sore hari tadi.
“Ya kalau kata Pak Gunawan sama tetangga ya gitu, Bu. Waktu kita nggak ada justru udah aman dan justru tempat Bude yang baru. Seakan kita kemarin itu justru ngikutin di mana teror itu lagi menyebar,” jawab Bapak yang kemudian menyeruput secangkir tehnya.
“Tapi, kok malam ini justru aku ngerasa kalau hawanya itu lebih nggak enak, ya,” ucap Bima seraya mengusap tengkuknya dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
“Sama, Mas. Aku juga ngerasa kalau malem ini lebih mencengkan, apalagi setelah denger kabar dari Bapak tadi.” Arkan menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan sebelum akhirnya kembali melanjutkan perkataannya, “soalnya, aku udah pernah liat itu sosok. Jangan-jangan desa ini aman dua hari ya karena aku incerannya lagi nggak ada di sini,” suara Arkan terdengar semakin lirih dan sangat pelan.
“Kamu itu ngomong apa sih, Arkan?! Nggak ada kaya gitu, udah to kamu jangan mikir aneh-aneh!” sentak Bu Sarah, tapi ia bisa melihat jelas kecemasan di wajah putranya itu. Kemudian dengan perlahan beliau pun mengampiri anaknya dan segera merangkul bahunya.
“Berpikir positif, Le! Kita semua ada di sini dan insyaallah yang pikirkan itu nggak ada yang terjadi,” lanjutnya dengan senyuman tipis di bibirnya.
Baru saja Arkan hendak menjawab perkataan Ibunya itu, tetapi mendadak semua terdiam kaku kala mendengar suara gemerincing yang sudah tidak asing lagi di telinga mereka. Jantung Arkan seakan berpacu lebih cepat apalagi saat suara gemerincing itu berhenti tepat di hadapan rumah mereka.
Belum juga reda rasa takut itu kini justru mereka dibuat terkejut dengan suara gedoran pintu yang terdengar teramat keras. Sangat berbeda dengan suara ketukan pintu di malam-malam sebelumnya. Sampai akhirnya---
Brak!!!
Pintu terbuka dengan lebarnya padahal sudah dalam posisi terkunci.
Keringat dingin di dahi Arkan semakin bercucuran, tubuhnya melemas tak mampu menopang tubuhnya sendiri hingga akhirnya ia dan Bu Sarah terduduk di lantai.
Tapi, saat di lihat di luar tidak apa-apa sewaktu pintu terbuka. Namun, di depan rumah tepatnya di depan teras sana ada andong nongkrong dan tidak ada yang mengendarainya.
Bude sama Bu Sarah sempat teriak, sementara Bapak dan Pakde mencoba menutup itu pintu yang tadi terbuka dengan sendirinya.
Sewaktu sudah ditutup dan dikunci, Arkan melihat ada bayangan pocong di jendela. Jadi, jendelanya itu memang pakai horden tipis tapi nerawang dan di sana ada siluet pocong. Saat itu juga Arkan langsung menunjuk ke arah jendela dengan kedua matanya yang terbelalak.
Dan semua orang juga langsung melihat ke arah sana, “astagfirullahal’adzim,” ribu itu di dalam rumah sampai semuanya berteriak-teriak denga keras.
Semula pocong itu memang hanya berdiam diri saja di sana, namun tiba-tiba jalan. Jalan mengitari rumah sampai ke jendela sebelah-sebelah dan akhirnya ke belakang di area dapur. Dan di situ pocong itu menjedotkan kepalanya ke jendela.
Dok... Dok... Dok...
Bapak yang mungkin kesal lama-lama karena semua orang juga udah nangis ketakutan dengan si pocong ini akhirnya membuka pintu. Keluar dan nyamperin itu pocong.
Melihat itu pun Bu Sarah langsung berteriak, “JANGAN, PAK!!! JANGAN!!!!”
Tapi, Bapak sudah terlanjur keluar dan jalan menuju pocong itu ke daerah belakang dekat dapur. Sewaktu sudah berhadap-hadapan dengan pocongnya Bapak seperti terdiam lalu jatuh. Seketika itu juga siluet pocong menghilang dan saat itu juga semua orang langsung keluar. Melihat Bapak yang sudah terkelungkup di lantai, sementara andong pocong yang ada di depan teras rumah tadi tahu-tahu juga sudah tidak ada.
Bu Sarah langsung menepuk-nepuk pipi Bapak tapi tidak bangun-bangun. Sekujur tubuhnya sudah kaku.
“Pak! Ya Allah, Pak,” teriak Bu Sarah histeris dengan pipi yang sudah banjir air mata.
Pakde dan Bima segera menghampiri Bapak. Memeriksa napas di hidung beliau dan nadinya. Namun, Bapak sudah tidak lagi bernyawa. Kemudian dengan perlahan Pakde menutup kedua mata Bapak yang masih terbuka lebar itu, tetapi sayangnya mulut yang juga masih terbuka itu sudah tidak dapat tertutup. “Innalillahi wa innalillahi rajiun...” gumam Pakde lirih sembari mengusap dadanya pelan. Ia tak menyangka jika adik iparnya akan meninggal dalam keadaan seperti ini. Ibu benar-benar menangis histeris sembari memeluk erat tubuh Bapak, sedangkan Arkan masih terdiam mematung di ambang pintu. Kepalanya menggeleng pelan, ia seolah tak mampu mencerna kejadian yang terjadi begitu cepat ini. Dadanya bergemuruh dan berharap ini semua hanya sebuah mimpi buruk semata. “Pak!!!” Suara isak tangis Ibu membuat tubuh Arkan semakin melemas dengan kedua matanya yang mulai memanas. Perlahan Bude dan Susan menghampiri Ibu yang masih terus terisak dalam tangisnya sa
“Mending kamu nginep aja dulu di rumahku, Ar...” seru Zaidan sembari memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Arkan menggeleng pelan sembari menggendong tasnya, “nggak deh aku pulang aja, ini juga masih jam 8, kan. Berani lah.” Zaidan menghela napas panjang lesu hingga kedua bahunya luruh, “bukannya masalah berani atau enggak, tapi kan di desa sebelah itu lagi ada rumor mistis begini. Aku khawatir aja kalau kamu pulang malem-malem gini.” “Ehhh...” Arkan memukul ringan bahu Zaidan sembari terkekeh kecil, “jaman sekarang masih aja percaya tahayul, Dan... Dan. Nggak ada enggak, udah ya aku pulang dulu. Tadi belum izin ibu juga kalau mau nginep, ntar malah dicariin.” “Ibumu ya bakal lebih khawatir lagi kalau kamu pulang di jam segini, tapi terserah deh. Pokoknya aku udah ngingetin, ya. Kalau nanti ada apa-apa nggak tanggung jawab aku.” “Hm, iya-iya. Aman,” balas Arkan sembari bangkit dari duduknya dan segera mengendarai motorny
Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, akan tetapi Arkan sama sekali belum bisa terlelap. Ia masih terbayang dengan wujud menyeramkan pocong itu. Pikirannya terus saja beputar-putar mengingat tentang hal apapun yang bersangkutan dengan pocong andong itu. Di saat Arkan semakin hanyut dalam fikirannya sendiri ia mendengar suara kerincing andong, “tumben-tumbennya ada ada andong lewat sini jam segini,” dan di dengar-dengar lagi ternyata suara kincringan yang semula jauh itu semakin terdengar jelas seperti andong itu sudah berhenti di sebelah kamarnya. Hingga tiba-tiba saja jendela kamar diketuk yang membuatnya langsung terperanjat dan duduk dari tidurnya. Arkan terdiam, ia kembali memasang indra pendengarannya dengan baik. Namun, ternyata lagi-lagi suara ketukan itu masih ada hingga membuat dadanya berdetak dengan sangat cepat. Kedua tangannya mengencengkram seprai kuat sembari terus menatap ke arah jendela. Nyalinya seketika langsung menciut
“Mulai lagi penyakit ngelamunnya,” sindir Bu Sarah sembari meleparkan bantal sofa ke arah putra semata wayangnya itu. “Ck! Ibu ni ngagetin terus. Udah tahu lagi parnoan gini,” balas Arkan lalu mendengkus kesal. “Ya kalau udah tau kondisi lagi kaya gini jangan ngelamun lah, Arkan! Jangan dibiasain hal yang nggak baik kaya gitu,” seru Bu Sarah yang kembali memperingati. “Arkan bukan ngelamun, Bu. Tapi, emang lagi mikirin hal itu. Apa lagi kemarin Arkan udah liat itu pocong pake mata kepala Arkan sendiri. Gimana kalau malem ini andong itu dateng lagi ke sini buat jemput Ar...” Belum sempat Arkan menyelesaikan perkataannya dengan cepat Bu Sarah langsung membungkam mulut anaknya itu dengan telapak tangannya, “jangan ngawur ngomongnya, Arkan!” sentaknya seraya melayangkan tatapan tajamnya. “Ya sudah kalau gitu besok kita ke rumah Bude aja, untuk beberapa saat tinggal di sana dulu sampai teror ini mereda,” sahut Bapak lalu menghel