“Mending kamu nginep aja dulu di rumahku, Ar...” seru Zaidan sembari memasukan buku-bukunya ke dalam tas.
Arkan menggeleng pelan sembari menggendong tasnya, “nggak deh aku pulang aja, ini juga masih jam 8, kan. Berani lah.”
Zaidan menghela napas panjang lesu hingga kedua bahunya luruh, “bukannya masalah berani atau enggak, tapi kan di desa sebelah itu lagi ada rumor mistis begini. Aku khawatir aja kalau kamu pulang malem-malem gini.”
“Ehhh...” Arkan memukul ringan bahu Zaidan sembari terkekeh kecil, “jaman sekarang masih aja percaya tahayul, Dan... Dan. Nggak ada enggak, udah ya aku pulang dulu. Tadi belum izin ibu juga kalau mau nginep, ntar malah dicariin.”
“Ibumu ya bakal lebih khawatir lagi kalau kamu pulang di jam segini, tapi terserah deh. Pokoknya aku udah ngingetin, ya. Kalau nanti ada apa-apa nggak tanggung jawab aku.”
“Hm, iya-iya. Aman,” balas Arkan sembari bangkit dari duduknya dan segera mengendarai motornya.
Di sepanjang perjalanan benar-benar tidak orang yang berlalu lalang, bahkan beberapa pos ronda yang Arkan lewati pun sepi tak ada satu orang pun yang berjaga. Apalagi rumah-rumah warga sekitar juga sudah tutup semua, padahal hari-hari sebelumnya ada saja beberapa orang yang duduk-duduk di teras rumah atau pun sekedar nongkrong di warung.
Akan tetapi, malam ini benar-benar sepi. Warung pun juga tidak ada yang buka. Sebenarnya Arkan memang tak percaya dengan rumor-rumor yang tengah beredar di desa sebelah, makanya ia masih saja berani keluar di malam hari seperti ini tanpa harus takut walau sang ibu sudah memperingatinya.
“Kenapa sih semua bisa percaya gitu aja sama rumor nggak jelas ini, namanya orang meninggal yang pasti udah takdir. Mana ada pocong andong pocong andong penjemput jiwa. Zaman udah modern gini juga masih aja percaya hal yang nggak logis,” gumam Arkan lirih sembari memperhatikan sekelilingnya.
Sebenarnya sedari keluar dari rumah Zaidan ia sudah merasakan bahwa suhu dingin malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Dingin malam ini seolah mampu menusuk tulang dan bahkan membuat bulu-bulunya berdiri.
“Hm, tumben dingin banget,” gumamnya lagi saat sudah sampai di depan rumahnya.
Arkan yang hendak turun dari motornya itu seketika terbelalak dengan mulut yang terbuka lebar. Mendadak saat itu juga sekujur tubuhnya meremang dan tak ada satu bagian yang dapat digerakan. Jangankan menutup mulutnya, mengedipkan kedua matanya saja ia tak mampu.
Bagaimana tidak, kini kedua retinanya tengah beradu pandang dengan sosok pocong bermata merah menyala dan wajah yang berdarah-darah. Pocong itu berdiri tepat di teras rumah kosong yang sudah berminggu-minggu ini kosong karena pemiliknya memilih pindah akibat udara di desa mereka sudah tercemar dengan gas setelah semburan panas lumpur lapindo yang telah menenggelamkan beberapa desa-desa sebelah.
“Arkan!!!” teriak Bu Sarah sembari mengguncang bahu anaknya itu.
“Hah?” Lelaki itu langsung terperanjat dan beberapa kali mengerjapkan matanya. Kini pandangannya sudah beralih pada Bu sarah yang tengah menatapnya dengan heran.
“Dibilang jangan pulang malem bandel kamu ini. Udah sampe rumah juga bukannya langsung masuk malah ngelamun, cepet masuk sana!” seloroh Bu Sarah dan tanpa pikir panjang lagi Arkan segera memasukkan motornya.
Dadanya bergerak naik turun dengan cepat, ia masih teringat jelas dengan sosok pocong yang tadi ia lihat. Ini adalah pengalaman pertamanya melihat hal semacam itu, hal yang tak pernah ia duga-duga kalau keberadaan sosok seperti itu memang benar adanya.
“Sial banget malem ini, padahal biasanya juga nggak ada apa-apa,” gumam Arkan sembari menuangkan air ke dalam gelas, ia memegangnya dengan erat sembari terus berpikir dengan apa yang baru saja menimpanya.
“Apa itu pocong yang dimaksud sama warga, ya?” batinnya gundah, jelas saja saat ini ia benar-benar takut jika rumor yang tengah beredar itu memang benar-benar nyata. Siapa saja yang melihat pocong andong itu pasti akan meninggal, “kalau emang bener, terus nasibku gimana?” keluhnya dalam hati dengan perasaan cemas, was-was dan sangat takut.
Tak bisa ia pungkiri, melihat hal semacam itu bahkan sampai beradu pandang sampai beberapa menit lamanya itu mampu membuat sekujur tubuhnya melemas. Arkan saja baru menyadari bahkan kini ia merasa lesu dan tak bertenaga. Apa lagi ini adalah pengalaman pertamanya dan berharap kalau kejadian paling sial yang pernah terjadi kepadanya hari ini cukup sekali saja ia alami.
Bugh!
“Sshhh... Ibu, apa-apaan sih?” ringis Arkan mengusap-usap dadanya yang baru saja dipukul lumayan keras oleh Bu Sarah.
“Dibilang jangan ngelamun! Kamu bisa nggak sih Ibu bilangin, Arkan?!” Bu Sarah menatap Arkan dengan tajam, “kalau Ibu ngelarang itu berarti ya nggak baik dan itu demi kebaikan kamu. Emangnya kamu mau kesambet?”
Arkan langsung mengerdikkan kedua bahunya, “his, ya nggak maul ah, Bu. Ibu ini malah doain yang enggak-enggak buat anaknya,” balasnya kesal.
“Ya lagian kamu ngapain coba dari tadi ngelamun kaya gitu, apalagi tadi di depan rumah. Udah lah malem-malem, pake segala acara ngelamun. Kan emang bener bisa aja kesambet, Arkan. Bukannya doain, tapi Ibu itu ngasih tau,” papar Bu Sarah, lalu menarik lengah Arkan dan membawanya duduk di ruang keluarga.
“Pokoknya Ibu nggak mau tau, ya. Ini terakhir kalinya Ibu liat kamu pulang malem, nggak ada lagi pulang sebelum mahgrib. Desa kita ini lagi nggak aman, Ibu itu khawatir, Arkan. Takut banget kalau sampai kamu itu kenapa-kenapa.” Kali ini Bu Sarah berbicara dengan intonasi yang lebih rendah sembari menatap Arkan dengan lekat.
Kalau biasanya anak laki-laki berusia 18 tahun itu akan acuh tak acuh kali ini ia benar-benar mendengarkan dan memperhatikan Ibunya. Karena, baru beberapa menit yang lalu saja ia sudah ditampar dengan kejadian yang mampu juga membuatnya merasakan apa itu arti takut akan hal-hal mistis seperti itu.
“Iya, Arkan. Kalaupun kamu nggak percaya sama rumor-rumor itu seenggaknya nurut aja sama Ibu buat nggak pulang malem. Paling nggak sampai semuanya mereda,” sahut Bapak yang baru saja keluar dari dalam kamar.
Arkan melipat kedua bibirnya ke dalam, mendongakkan kepalanya menatap Bapaknya sebentar. Lalu, pandangannya pun kini jatuh ke bawah. Dengan suara pelan Arkan berkata, “Arkan percaya kok, Pak.” Ia kembali mengangkat wajahnya, menatap Bu Sarah dengan dada yang bergerak naik turun lagi dengan cepat karena rasa takut itu kembali menyeruak.
“Tadi Arkan liat pocong di teras rumah kosong itu. Arkan jadi takut kalau bakalan dijemput juga kaya cerita-cerita warga.”
“His, kamu ini. Kan Ibu juga udah ngengetin kamu berkali-kali, kamu nggak nurut sih,” seloroh Bu Sarah, “udah sekarang kamu ambil wudhu terus solat isya. Abis itu kita ngaji bareng dan semoga nggak akan ada apa-apa.”
Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, akan tetapi Arkan sama sekali belum bisa terlelap. Ia masih terbayang dengan wujud menyeramkan pocong itu. Pikirannya terus saja beputar-putar mengingat tentang hal apapun yang bersangkutan dengan pocong andong itu. Di saat Arkan semakin hanyut dalam fikirannya sendiri ia mendengar suara kerincing andong, “tumben-tumbennya ada ada andong lewat sini jam segini,” dan di dengar-dengar lagi ternyata suara kincringan yang semula jauh itu semakin terdengar jelas seperti andong itu sudah berhenti di sebelah kamarnya. Hingga tiba-tiba saja jendela kamar diketuk yang membuatnya langsung terperanjat dan duduk dari tidurnya. Arkan terdiam, ia kembali memasang indra pendengarannya dengan baik. Namun, ternyata lagi-lagi suara ketukan itu masih ada hingga membuat dadanya berdetak dengan sangat cepat. Kedua tangannya mengencengkram seprai kuat sembari terus menatap ke arah jendela. Nyalinya seketika langsung menciut
“Mulai lagi penyakit ngelamunnya,” sindir Bu Sarah sembari meleparkan bantal sofa ke arah putra semata wayangnya itu. “Ck! Ibu ni ngagetin terus. Udah tahu lagi parnoan gini,” balas Arkan lalu mendengkus kesal. “Ya kalau udah tau kondisi lagi kaya gini jangan ngelamun lah, Arkan! Jangan dibiasain hal yang nggak baik kaya gitu,” seru Bu Sarah yang kembali memperingati. “Arkan bukan ngelamun, Bu. Tapi, emang lagi mikirin hal itu. Apa lagi kemarin Arkan udah liat itu pocong pake mata kepala Arkan sendiri. Gimana kalau malem ini andong itu dateng lagi ke sini buat jemput Ar...” Belum sempat Arkan menyelesaikan perkataannya dengan cepat Bu Sarah langsung membungkam mulut anaknya itu dengan telapak tangannya, “jangan ngawur ngomongnya, Arkan!” sentaknya seraya melayangkan tatapan tajamnya. “Ya sudah kalau gitu besok kita ke rumah Bude aja, untuk beberapa saat tinggal di sana dulu sampai teror ini mereda,” sahut Bapak lalu menghel
Seketika itu juga Pakde langsung meletakkan jari telunjuknya ke bibir untuk memberi isyarat pada semua orang agar diam dan tak menimbulkan suara sedikit pun. Mendadak semuanya tak ada yang berani bergerak dan Pak Yadi pun masih tetap stay di tempatnya dengan posisi duduk membelakangi pintu. Arkan dan Bima sesekali saling beradu pandang sebelum pada akhirnya terus fokus menatap ke arah pintu. Sedangkan Bapak kini justru berjalan pelan ke arah Pak Yadi yang masih mematung, seolah tahu bahwa Pak Yadi memang sedang merasa sangat ketakutan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Bapak langsung menarik lengan Pak Yadi untuk menjauh dari pintu dan duduk bersama dengan yang lainnya. Pintu terus saja diketuk, bahkan kalau Arkan tidak salah menghitung ketukan itu ada kalau sampai sepuluh kali. Kalau pun itu yang mengetuk adalah tetangga atau pun manusia yang mengetuk pastinya bakalan ada yang mengucapakan sesuatu, assalamualaikum atau apa lah semacam Pak Yadi tadi. Ta
Pakde dan Bima segera menghampiri Bapak. Memeriksa napas di hidung beliau dan nadinya. Namun, Bapak sudah tidak lagi bernyawa. Kemudian dengan perlahan Pakde menutup kedua mata Bapak yang masih terbuka lebar itu, tetapi sayangnya mulut yang juga masih terbuka itu sudah tidak dapat tertutup. “Innalillahi wa innalillahi rajiun...” gumam Pakde lirih sembari mengusap dadanya pelan. Ia tak menyangka jika adik iparnya akan meninggal dalam keadaan seperti ini. Ibu benar-benar menangis histeris sembari memeluk erat tubuh Bapak, sedangkan Arkan masih terdiam mematung di ambang pintu. Kepalanya menggeleng pelan, ia seolah tak mampu mencerna kejadian yang terjadi begitu cepat ini. Dadanya bergemuruh dan berharap ini semua hanya sebuah mimpi buruk semata. “Pak!!!” Suara isak tangis Ibu membuat tubuh Arkan semakin melemas dengan kedua matanya yang mulai memanas. Perlahan Bude dan Susan menghampiri Ibu yang masih terus terisak dalam tangisnya sa