Share

Pocong Andong Penjemput Jiwa
Pocong Andong Penjemput Jiwa
Penulis: Desi Diah Pangesti

Bab 1. Beradu Pandang Dengan Sosok Pocong

           “Mending kamu nginep aja dulu di rumahku, Ar...” seru Zaidan sembari memasukan buku-bukunya ke dalam tas.

           Arkan menggeleng pelan sembari menggendong tasnya, “nggak deh aku pulang aja, ini juga masih jam 8, kan. Berani lah.”

           Zaidan menghela napas panjang lesu hingga kedua bahunya luruh, “bukannya masalah berani atau enggak, tapi kan di desa sebelah itu lagi ada rumor mistis begini. Aku khawatir aja kalau kamu pulang malem-malem gini.”

            “Ehhh...” Arkan memukul ringan bahu Zaidan sembari terkekeh kecil, “jaman sekarang masih aja percaya tahayul, Dan... Dan. Nggak ada enggak, udah ya aku pulang dulu. Tadi belum izin ibu juga kalau mau nginep, ntar malah dicariin.”

          “Ibumu ya bakal lebih khawatir lagi kalau kamu pulang di jam segini, tapi terserah deh. Pokoknya aku udah ngingetin, ya. Kalau nanti ada apa-apa nggak tanggung jawab aku.”

           “Hm, iya-iya. Aman,” balas Arkan sembari bangkit dari duduknya dan segera mengendarai motornya.

            Di sepanjang perjalanan benar-benar tidak orang yang berlalu lalang, bahkan beberapa pos ronda yang Arkan lewati pun sepi tak ada satu orang pun yang berjaga. Apalagi rumah-rumah warga sekitar juga sudah tutup semua, padahal hari-hari sebelumnya ada saja beberapa orang yang duduk-duduk di teras rumah atau pun sekedar nongkrong di warung.

            Akan tetapi, malam ini benar-benar sepi. Warung pun juga tidak ada yang buka. Sebenarnya Arkan memang tak percaya dengan rumor-rumor yang tengah beredar di desa sebelah, makanya ia masih saja berani keluar di malam hari seperti ini tanpa harus takut walau sang ibu sudah memperingatinya.

          “Kenapa sih semua bisa percaya gitu aja sama rumor nggak jelas ini, namanya orang meninggal yang pasti udah takdir. Mana ada pocong andong pocong andong penjemput jiwa. Zaman udah modern gini juga masih aja percaya hal yang nggak logis,” gumam Arkan lirih sembari memperhatikan sekelilingnya.

           Sebenarnya sedari keluar dari rumah Zaidan ia sudah merasakan bahwa suhu dingin malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Dingin malam ini seolah mampu menusuk tulang dan bahkan membuat bulu-bulunya berdiri.

         “Hm, tumben dingin banget,” gumamnya lagi saat sudah sampai di depan rumahnya.

           Arkan yang hendak turun dari motornya itu seketika terbelalak dengan mulut yang terbuka lebar. Mendadak saat itu juga sekujur tubuhnya meremang dan tak ada satu bagian yang dapat digerakan. Jangankan menutup mulutnya, mengedipkan kedua matanya saja ia tak mampu.

            Bagaimana tidak, kini kedua retinanya tengah beradu pandang dengan sosok pocong bermata merah menyala dan wajah yang berdarah-darah. Pocong itu berdiri tepat di teras rumah kosong yang sudah berminggu-minggu ini kosong karena pemiliknya memilih pindah akibat udara di desa mereka sudah tercemar dengan gas setelah semburan panas lumpur lapindo yang telah menenggelamkan beberapa desa-desa sebelah.

           “Arkan!!!” teriak Bu Sarah sembari mengguncang bahu anaknya itu.

            “Hah?” Lelaki itu langsung terperanjat dan beberapa kali mengerjapkan matanya. Kini pandangannya sudah beralih pada Bu sarah yang tengah menatapnya dengan heran.

           “Dibilang jangan pulang malem bandel kamu ini. Udah sampe rumah juga bukannya langsung masuk malah ngelamun, cepet masuk sana!” seloroh Bu Sarah dan tanpa pikir panjang lagi Arkan segera memasukkan motornya.

            Dadanya bergerak naik turun dengan cepat, ia masih teringat jelas dengan sosok pocong yang tadi ia lihat. Ini adalah pengalaman pertamanya melihat hal semacam itu, hal yang tak pernah ia duga-duga kalau keberadaan sosok seperti itu memang benar adanya.

            “Sial banget malem ini, padahal biasanya juga nggak ada apa-apa,” gumam Arkan sembari menuangkan air ke dalam gelas, ia memegangnya dengan erat sembari terus berpikir dengan apa yang baru saja menimpanya.

            “Apa itu pocong yang dimaksud sama warga, ya?” batinnya gundah, jelas saja saat ini ia benar-benar takut jika rumor yang tengah beredar itu memang benar-benar nyata. Siapa saja yang melihat pocong andong itu pasti akan meninggal, “kalau emang bener, terus nasibku gimana?” keluhnya dalam hati dengan perasaan cemas, was-was dan sangat takut.

            Tak bisa ia pungkiri, melihat hal semacam itu bahkan sampai beradu pandang sampai beberapa menit lamanya itu mampu membuat sekujur tubuhnya melemas. Arkan saja baru menyadari bahkan kini ia merasa lesu dan tak bertenaga. Apa lagi ini adalah pengalaman pertamanya dan berharap kalau kejadian paling sial yang pernah terjadi kepadanya hari ini cukup sekali saja ia alami.

             Bugh!

              “Sshhh... Ibu, apa-apaan sih?” ringis Arkan mengusap-usap dadanya yang baru saja dipukul lumayan keras oleh Bu Sarah.

              “Dibilang jangan ngelamun! Kamu bisa nggak sih Ibu bilangin, Arkan?!” Bu Sarah menatap Arkan dengan tajam, “kalau Ibu ngelarang itu berarti ya nggak baik dan itu demi kebaikan kamu. Emangnya kamu mau kesambet?”

              Arkan langsung mengerdikkan kedua bahunya, “his, ya nggak maul ah, Bu. Ibu ini malah doain yang enggak-enggak buat anaknya,” balasnya kesal.

             “Ya lagian kamu ngapain coba dari tadi ngelamun kaya gitu, apalagi tadi di depan rumah. Udah lah malem-malem, pake segala acara ngelamun. Kan emang bener bisa aja kesambet, Arkan. Bukannya doain, tapi Ibu itu ngasih tau,” papar Bu Sarah, lalu menarik lengah Arkan dan membawanya duduk di ruang keluarga.

             “Pokoknya Ibu nggak mau tau, ya. Ini terakhir kalinya Ibu liat kamu pulang malem, nggak ada lagi pulang sebelum mahgrib. Desa kita ini lagi nggak aman, Ibu itu khawatir, Arkan. Takut banget kalau sampai kamu itu kenapa-kenapa.” Kali ini Bu Sarah berbicara dengan intonasi yang lebih rendah sembari menatap Arkan dengan lekat.

            Kalau biasanya anak laki-laki berusia 18 tahun itu akan acuh tak acuh kali ini ia benar-benar mendengarkan dan memperhatikan Ibunya. Karena, baru beberapa menit yang lalu saja ia sudah ditampar dengan kejadian yang mampu juga membuatnya merasakan apa itu arti takut akan hal-hal mistis seperti itu.

           “Iya, Arkan. Kalaupun kamu nggak percaya sama rumor-rumor itu seenggaknya nurut aja sama Ibu buat nggak pulang malem. Paling nggak sampai semuanya mereda,” sahut Bapak yang baru saja keluar dari dalam kamar.

           Arkan melipat kedua bibirnya ke dalam, mendongakkan kepalanya menatap Bapaknya sebentar. Lalu, pandangannya pun kini jatuh ke bawah. Dengan suara pelan Arkan berkata, “Arkan percaya kok, Pak.” Ia kembali mengangkat wajahnya, menatap Bu Sarah dengan dada yang bergerak naik turun lagi dengan cepat karena rasa takut itu kembali menyeruak.

           “Tadi Arkan liat pocong di teras rumah kosong itu. Arkan jadi takut kalau bakalan dijemput juga kaya cerita-cerita warga.”

            “His, kamu ini. Kan Ibu juga udah ngengetin kamu berkali-kali, kamu nggak nurut sih,” seloroh Bu Sarah, “udah sekarang kamu ambil wudhu terus solat isya. Abis itu kita ngaji bareng dan semoga nggak akan ada apa-apa.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status