enjoy reading ...
"Lois brengsek!" umpatku sambil berjalan dan mengusap air mata yang meleleh tak karuan di pipi. Emosi yang tadi terpendam kini berubah menjadi isakan kecil tertahan begitu melenggang keluar dari kontrakan. Bahkan aku lupa memesan ojek online untuk mengantarku menuju kantor karena sibuk menguras habis emosi ini. Ciumannya di bibir masih terasa bebal meski berulang kali telah kuusap dengan tisyu hingga membuat hilang lipstick yang terpoles. Tidak ada rasa bahagia dicium suami sendiri, melainkan merasa sangat jijik. Maklum tidak ada cinta dihatiku untuk Lois.Hingga langkahku terhenti begitu melihat Ishak berdiri di dekat mobilnya yang gagah sambil menatap ke arahku. Sejak kapan dia berada di depan minimarket tempat biasanya ia menurunkanku? Dan mengapa dia ada disana?Apakah dia memiliki urusan dengan orang lain atau denganku?Ah ... mengapa aku besar rasa dengan menganggap Ishak datang untukku? Belum tentu ia datang untukku kan?!Toh sedari kemarin hingga pagi tadi ia tidak menghubung
Gia dan Nina menatapku dengan sorot terkejut begitu langkah cepat dan lebar kakiku menapaki lantai ruangan khusus staf customer service. Kemudian Gia menatap jam di pergelangan tangannya dan menatapku dengan sorot keheranan."Ly, lo telat setengah jam. Lo bangun kesiangan?" tanya Gia, teman satu staf customer service.Aku bergegas duduk di kursi kerja lalu menyalakan laptop kantor dengan cepat dan memasang headset. "Tapi, kok lo tetep bisa masuk kantor, Ly? Gue dulu ketinggalan lima menit aja nggak bisa masuk kantor lalu disuruh pulang. Besoknya kena tegur dan gaji dipotong," Nina menambahi.Aku menoleh lalu menatap keduanya bergantian degan sorot keheranan dan terkejut."Yang bener lo, Nin? Masak telat lima menit nggak dibolehin masuk?" Kepalanya menggeleng tegas. "Nggak sama sekali, Ly. Dan gue sekarang bingung kenapa lo yang telat setengah jam malah bisa masuk kantor?!" Tadi, setelah Ishak menurunkanku di depan pintu pagar kantor yang sudah dijaga dua satpam, tetiba saja mereka
Melawan restu itu perbuatan nekat! Dan belum tentu aku bisa meraih kebahagiaan selayaknya mereka yang mendapat restu. “Ly, kok bengong? Ada apa?” Kini Ishak tengah mengantarku pulang ke kontrakan usai bertamu dari rumah kedua orang tuaku. “Shak, apa kamu yakin hubungan pernikahan tanpa restu itu akan menemui kebahagiaan?” Dia tidak serta merta langsung menjawab namun ada jeda berpikir sejenak dengan tetap fokus mengemudikan mobil. “Kita cuma perlu berjuang bersama, Ly. Soal restu orang tua, biar itu jadi urusanku. Kamu nggak usah khawatir. Yang penting itu orang tuamu ngasih restu karena Papamu yang bakal jadi wali nikah.” Lalu ia tersenyum padaku namun tidak membuat hati ini melega. Masih saja ada ganjalan yang membuat aku meragu. “Shak, bukankah restu orang tua itu penting? Sekalipun kedua orang tuamu bukan jadi wali nikah, tapi nggak ada ceritanya pernikahan tanpa restu akan berakhir bahagia.” “Lalu, kalau kita saling mencintai, apa iya harus berpisah masalah restu yang alas
"Shak, aku takut," gumamku lirih begitu menatap pagar rumah orang tua Ishak. Ishak tersenyum tipis lalu mengambil tangan kananku dan meremasnya lembut. Seakan mengirimkan pesan dan semangat jika semua bisa dilalui bersama. "Nggak apa-apa, Ly. Ada aku. Kita cuma perlu yakin kalau bisa melalui ini semua dengan baik." Dua hari setelah pergi dari kontrakan yang biasa kutinggal bersama Lois, aku telah memutuskan untuk kembali tinggal bersama Mama dan Papa di rumah. Tanpa Vela diantara kami. Namun selama dua hari itu pula, aku tidak pernah sekalipun melupakan Lois. Semua hal yang dilakukan lelaki itu ketika tinggal bersamaku, masih terekam jelas dan hafal sekali alurnya. Rasa bersalah ini pun masih mendominasi tapi aku sadar diri bahwa kini kami tak ubah seperti orang lain. Lalu sekarang, Ishak mengajakku bertemu kedua orang tuanya tanpa membuat janji. Dengan alasan memberi kejutan. Padahal kedua orang tuanya tidak mau bertemu denganku karena pintu restu mereka untuk anak-anak Papa tida
Baru saja duduk di kursi kerja, Gia dan Nina justru baru saja kembali ke ruangan dengan tawa cekikikan. Bila tadi aku ke lantai lima untuk menghadap atasan, lantas kedua rekan kerjaku itu dari mana? "Ya ampun, ganteng maksimal. Gue mau dipacarin." "Lo kan udah punya laki, Nin. Kagak boleh!" sahut Gia. "Gue putusin laki gue demi putra Pak Presdir." "Masalahnya, emang putranya Pak Presdir mau sama lo?!" "Nggak tahu juga sih." Setelah keduanya duduk di kursi masing-masing, aku kembali bertanya-tanya tentang siapakah yang sedang mereka bicarakan? "Ngobrolin apaan, gaes?!" "Putra Pak Presdir, Ly. Ganteng dan ramah banget!" seru Nina dengan ekspresi teramat bahagia. "Oh ya? Beliau kesini ya?" Kepala Nina mengangguk, "Pakai kaos putih sama dikawal dua asisten." Lalu kepalaku berkelana ke kejadian beberapa waktu lalu saat berada di lantai lima tadi. Ketika aku akan memasuki ruangan atasan. Batinku baru saja menyadari jika tadi yang berpapasan denganku adalah putra Pak Presdir. Pant
"Nggak kenal!" ucap Lois dengan nada acuh. Kemudian ia menggandeng tangan perempuan itu untuk melewatiku begitu saja. Oh, benarkah jika perempuan itu adalah Rily? Namun tepat di sampingku langkah Lois dan perempuan itu terhenti. Reflek aku ikut menolehkan kepala lalu melihat Ishak yang berdiri di ujung pintu seraya menatap ke arah kami berdua. Kedua mata Ishak dan Lois saling beradu pandang sekian detik hingga perempuan itu kembali membuka suara. "Lois, ada apa lagi?" "Bukan apa-apa, Ril." Lalu Lois kembali melangkah dengan tangan tetap menggenggam erat tangan perempuan itu. Ternyata dia adalah Rily, mantan kekasih Lois sekaligus perempuan yang dekat dengannya belakangan ini. Aku hampir melupakan wajahnya karena sudah lama tidak bertemu ditambah dengan riasan cantik di wajah putihnya makin membuatku tidak mengenali wajahnya. Wajah dengan gurat bahagia Rily terpancar jelas sembari melangkah bersama Lois. Sedang Lois tetap berjalan dengan tatapan lurus ke depan. Dan aku memanda
"Udah siap?" Kepalaku mengangguk sambil menenteng sebuah clutch bag. "Om, Tante, kami jalan dulu." "Hati-hati, Shak. Jangan malam-malam pulangnya ya?" pesan Mama. "Iya, Tante." Kemudian aku dan Ishak bergantian mencium tangan Mama dan Papa usai berpamitan. Akhir pekan ini, Ishak mengajakku berwisata ke Bogor dengan alasan ingin menghabiskan banyak waktu bersama. Ishak merasa jika ada benteng pembatas yang membuat aku dan dia tidak bisa menyatu meski hati ini masih saling merindu. Dan rekreasi berdua adalah jawaban paling tepat untuk saling berbicara dari hati ke hati.Di dalam mobil, sudah Ishak menyiapkan makanan ringan dan minuman agar perjalanan kami menuju Bogor terasa menyenangkan. Aku hargai usaha Ishak karena aku sendiri juga tidak mau ada pembatas yang membuat hubungan kami tidak berjalan baik. Terlebih usai kami berdua bertemu Lois dan kekasihnya. Dan satu penghalang abadi yang membuat hubungan kami tidak bisa berjalan seperti pasangan pada umumnya. Tidak ada restu dar
Aku menatap jemari Ishak yang tidak lagi menggenggam tanganku seerat tadi. Ada apa dengannya? "Jadi, dari tadi yang bikin kamu nggak enjoy karena kepikiran Lois?" Kepalaku mengangguk pelan lalu menghela nafas perlahan. "Apa yang bikin kamu begitu kepikiran sama dia, Ly?" "Ada janji yang kuingkari. Ada kebaikan yang kubalas dengan keburukan." "Maksudnya apa, Ly?" "Aku ... bisa seperti saat ini itu karena Lois, Shak. Dan tempat ini ... kayak bikin aku ingat dia terus." Kemudian ekor mataku menatap personil anggota band. Mereka mulai menempati mini panggung yang disediakan untuk menghibur para pengunjung Kopi Daong. Reflek, kedua mataku tertuju pada seorang lelaki yang membawa gitar. Walau dia tidak mirip Lois, tapi itu cukup untuk membuat otakku membayangkan dia selalu. "Memangnya ada apa sama tempat ini, Ly?" Kemudian aku kembali menatap kedua mata Ishak. "Lois pernah ngajak aku kemari. Dan kita duduk di sebelah sana." Kemudian telunjukku mengarah ke kursi yang berada di b
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.