Enjoy reading ...
Melawan restu itu perbuatan nekat! Dan belum tentu aku bisa meraih kebahagiaan selayaknya mereka yang mendapat restu. “Ly, kok bengong? Ada apa?” Kini Ishak tengah mengantarku pulang ke kontrakan usai bertamu dari rumah kedua orang tuaku. “Shak, apa kamu yakin hubungan pernikahan tanpa restu itu akan menemui kebahagiaan?” Dia tidak serta merta langsung menjawab namun ada jeda berpikir sejenak dengan tetap fokus mengemudikan mobil. “Kita cuma perlu berjuang bersama, Ly. Soal restu orang tua, biar itu jadi urusanku. Kamu nggak usah khawatir. Yang penting itu orang tuamu ngasih restu karena Papamu yang bakal jadi wali nikah.” Lalu ia tersenyum padaku namun tidak membuat hati ini melega. Masih saja ada ganjalan yang membuat aku meragu. “Shak, bukankah restu orang tua itu penting? Sekalipun kedua orang tuamu bukan jadi wali nikah, tapi nggak ada ceritanya pernikahan tanpa restu akan berakhir bahagia.” “Lalu, kalau kita saling mencintai, apa iya harus berpisah masalah restu yang alas
"Shak, aku takut," gumamku lirih begitu menatap pagar rumah orang tua Ishak. Ishak tersenyum tipis lalu mengambil tangan kananku dan meremasnya lembut. Seakan mengirimkan pesan dan semangat jika semua bisa dilalui bersama. "Nggak apa-apa, Ly. Ada aku. Kita cuma perlu yakin kalau bisa melalui ini semua dengan baik." Dua hari setelah pergi dari kontrakan yang biasa kutinggal bersama Lois, aku telah memutuskan untuk kembali tinggal bersama Mama dan Papa di rumah. Tanpa Vela diantara kami. Namun selama dua hari itu pula, aku tidak pernah sekalipun melupakan Lois. Semua hal yang dilakukan lelaki itu ketika tinggal bersamaku, masih terekam jelas dan hafal sekali alurnya. Rasa bersalah ini pun masih mendominasi tapi aku sadar diri bahwa kini kami tak ubah seperti orang lain. Lalu sekarang, Ishak mengajakku bertemu kedua orang tuanya tanpa membuat janji. Dengan alasan memberi kejutan. Padahal kedua orang tuanya tidak mau bertemu denganku karena pintu restu mereka untuk anak-anak Papa tida
Baru saja duduk di kursi kerja, Gia dan Nina justru baru saja kembali ke ruangan dengan tawa cekikikan. Bila tadi aku ke lantai lima untuk menghadap atasan, lantas kedua rekan kerjaku itu dari mana? "Ya ampun, ganteng maksimal. Gue mau dipacarin." "Lo kan udah punya laki, Nin. Kagak boleh!" sahut Gia. "Gue putusin laki gue demi putra Pak Presdir." "Masalahnya, emang putranya Pak Presdir mau sama lo?!" "Nggak tahu juga sih." Setelah keduanya duduk di kursi masing-masing, aku kembali bertanya-tanya tentang siapakah yang sedang mereka bicarakan? "Ngobrolin apaan, gaes?!" "Putra Pak Presdir, Ly. Ganteng dan ramah banget!" seru Nina dengan ekspresi teramat bahagia. "Oh ya? Beliau kesini ya?" Kepala Nina mengangguk, "Pakai kaos putih sama dikawal dua asisten." Lalu kepalaku berkelana ke kejadian beberapa waktu lalu saat berada di lantai lima tadi. Ketika aku akan memasuki ruangan atasan. Batinku baru saja menyadari jika tadi yang berpapasan denganku adalah putra Pak Presdir. Pant
"Nggak kenal!" ucap Lois dengan nada acuh. Kemudian ia menggandeng tangan perempuan itu untuk melewatiku begitu saja. Oh, benarkah jika perempuan itu adalah Rily? Namun tepat di sampingku langkah Lois dan perempuan itu terhenti. Reflek aku ikut menolehkan kepala lalu melihat Ishak yang berdiri di ujung pintu seraya menatap ke arah kami berdua. Kedua mata Ishak dan Lois saling beradu pandang sekian detik hingga perempuan itu kembali membuka suara. "Lois, ada apa lagi?" "Bukan apa-apa, Ril." Lalu Lois kembali melangkah dengan tangan tetap menggenggam erat tangan perempuan itu. Ternyata dia adalah Rily, mantan kekasih Lois sekaligus perempuan yang dekat dengannya belakangan ini. Aku hampir melupakan wajahnya karena sudah lama tidak bertemu ditambah dengan riasan cantik di wajah putihnya makin membuatku tidak mengenali wajahnya. Wajah dengan gurat bahagia Rily terpancar jelas sembari melangkah bersama Lois. Sedang Lois tetap berjalan dengan tatapan lurus ke depan. Dan aku memanda
"Udah siap?" Kepalaku mengangguk sambil menenteng sebuah clutch bag. "Om, Tante, kami jalan dulu." "Hati-hati, Shak. Jangan malam-malam pulangnya ya?" pesan Mama. "Iya, Tante." Kemudian aku dan Ishak bergantian mencium tangan Mama dan Papa usai berpamitan. Akhir pekan ini, Ishak mengajakku berwisata ke Bogor dengan alasan ingin menghabiskan banyak waktu bersama. Ishak merasa jika ada benteng pembatas yang membuat aku dan dia tidak bisa menyatu meski hati ini masih saling merindu. Dan rekreasi berdua adalah jawaban paling tepat untuk saling berbicara dari hati ke hati.Di dalam mobil, sudah Ishak menyiapkan makanan ringan dan minuman agar perjalanan kami menuju Bogor terasa menyenangkan. Aku hargai usaha Ishak karena aku sendiri juga tidak mau ada pembatas yang membuat hubungan kami tidak berjalan baik. Terlebih usai kami berdua bertemu Lois dan kekasihnya. Dan satu penghalang abadi yang membuat hubungan kami tidak bisa berjalan seperti pasangan pada umumnya. Tidak ada restu dar
Aku menatap jemari Ishak yang tidak lagi menggenggam tanganku seerat tadi. Ada apa dengannya? "Jadi, dari tadi yang bikin kamu nggak enjoy karena kepikiran Lois?" Kepalaku mengangguk pelan lalu menghela nafas perlahan. "Apa yang bikin kamu begitu kepikiran sama dia, Ly?" "Ada janji yang kuingkari. Ada kebaikan yang kubalas dengan keburukan." "Maksudnya apa, Ly?" "Aku ... bisa seperti saat ini itu karena Lois, Shak. Dan tempat ini ... kayak bikin aku ingat dia terus." Kemudian ekor mataku menatap personil anggota band. Mereka mulai menempati mini panggung yang disediakan untuk menghibur para pengunjung Kopi Daong. Reflek, kedua mataku tertuju pada seorang lelaki yang membawa gitar. Walau dia tidak mirip Lois, tapi itu cukup untuk membuat otakku membayangkan dia selalu. "Memangnya ada apa sama tempat ini, Ly?" Kemudian aku kembali menatap kedua mata Ishak. "Lois pernah ngajak aku kemari. Dan kita duduk di sebelah sana." Kemudian telunjukku mengarah ke kursi yang berada di b
"Kalau Lois belum ngucapin talak, maka sampai kapanpun, kamu nggak akan bisa menikah sama Ishak, Ly. Lalu, gimana sama surat menyurat perceraianmu kalau Lois aja udah memblokir nomormu?" Astaga, aku melupakan satu hal ini. Mana mungkin bisa aku melupakan satu hal paling krusial itu jika akan kembali pada Ishak? Dan dari mana aku bisa mencari keberadaan Lois jika nomerku saja sudah diblokir? *** Obrolanku dengan Mama semalam sebenarnya cukup membuat kepikiran. Bagaimana tidak, aku sendiri tidak yakin jika sudah diceraikan Lois atau belum. Lalu hatiku masih ragu jika melanjutkan hubungan bersama Ishak karena terhalang restu orang tuanya. Akhirnya, aku sendiri yang dilema. "Ly, udah sampai," Ishak berucap ketika mobilnya telah terparkir di depan kantorku. Sedari tadi aku melamun dengan menatap dashboard mobilnya. "Oh, iya," lalu tanganku membuka sabuk pengaman dan bersiap meraih tas kerja yang kuletakkan di dekat kaki. "Ly, apa kamu masih kepikiran Lois?" Aku menatap Ishak yang
"Percuma, Gi. Gue nggak punya foto bareng sama dia." "Ah, bohong lo, Ly." "Sumpah. Ngapain gue bohongin lo?" Akhirnya Gia mengembalikan ponselku ke dalam tas lalu kembali menatapku yang sudah fokus dengan laptop yang menyala. Namun detik kemudian panggilan dari Ishak membuat ponselku kembali bergetar. "Jangan diangkat, Gi!" seruku ketika Gia akan kembali mengambil ponselku. "Gue cuma ngetes, Ly." "Maksudnya?" "Lo ogah-ogahan angkat telfon babang mantan. Dan jawaban gue tetap sama, lo udah jatuh cinta sama yang baru. Jadi, mending lo balik kanan lalu tinggalin babang mantan. Dari pada hubungan kalian terlalu jauh lalu lo nyesel." *** Sepulang kerja, tanpa menunggu jawaban dariku, Ishak sudah menunggu di halaman depan kantor. Mobil gagahnya terparkir jelas disana namun aku kembali tidak merasakan debaran cinta. "Ya Tuhan, apa benar gue cinta sama Lois? Secepat itukah gue ngelupain Ishak?" gumamku sembari menatap mobil Ishak dari lobby kantor. Lalu aku menghela nafas panjang da