enjoy reading ...
"Udah siap?" Kepalaku mengangguk sambil menenteng sebuah clutch bag. "Om, Tante, kami jalan dulu." "Hati-hati, Shak. Jangan malam-malam pulangnya ya?" pesan Mama. "Iya, Tante." Kemudian aku dan Ishak bergantian mencium tangan Mama dan Papa usai berpamitan. Akhir pekan ini, Ishak mengajakku berwisata ke Bogor dengan alasan ingin menghabiskan banyak waktu bersama. Ishak merasa jika ada benteng pembatas yang membuat aku dan dia tidak bisa menyatu meski hati ini masih saling merindu. Dan rekreasi berdua adalah jawaban paling tepat untuk saling berbicara dari hati ke hati.Di dalam mobil, sudah Ishak menyiapkan makanan ringan dan minuman agar perjalanan kami menuju Bogor terasa menyenangkan. Aku hargai usaha Ishak karena aku sendiri juga tidak mau ada pembatas yang membuat hubungan kami tidak berjalan baik. Terlebih usai kami berdua bertemu Lois dan kekasihnya. Dan satu penghalang abadi yang membuat hubungan kami tidak bisa berjalan seperti pasangan pada umumnya. Tidak ada restu dar
Aku menatap jemari Ishak yang tidak lagi menggenggam tanganku seerat tadi. Ada apa dengannya? "Jadi, dari tadi yang bikin kamu nggak enjoy karena kepikiran Lois?" Kepalaku mengangguk pelan lalu menghela nafas perlahan. "Apa yang bikin kamu begitu kepikiran sama dia, Ly?" "Ada janji yang kuingkari. Ada kebaikan yang kubalas dengan keburukan." "Maksudnya apa, Ly?" "Aku ... bisa seperti saat ini itu karena Lois, Shak. Dan tempat ini ... kayak bikin aku ingat dia terus." Kemudian ekor mataku menatap personil anggota band. Mereka mulai menempati mini panggung yang disediakan untuk menghibur para pengunjung Kopi Daong. Reflek, kedua mataku tertuju pada seorang lelaki yang membawa gitar. Walau dia tidak mirip Lois, tapi itu cukup untuk membuat otakku membayangkan dia selalu. "Memangnya ada apa sama tempat ini, Ly?" Kemudian aku kembali menatap kedua mata Ishak. "Lois pernah ngajak aku kemari. Dan kita duduk di sebelah sana." Kemudian telunjukku mengarah ke kursi yang berada di b
"Kalau Lois belum ngucapin talak, maka sampai kapanpun, kamu nggak akan bisa menikah sama Ishak, Ly. Lalu, gimana sama surat menyurat perceraianmu kalau Lois aja udah memblokir nomormu?" Astaga, aku melupakan satu hal ini. Mana mungkin bisa aku melupakan satu hal paling krusial itu jika akan kembali pada Ishak? Dan dari mana aku bisa mencari keberadaan Lois jika nomerku saja sudah diblokir? *** Obrolanku dengan Mama semalam sebenarnya cukup membuat kepikiran. Bagaimana tidak, aku sendiri tidak yakin jika sudah diceraikan Lois atau belum. Lalu hatiku masih ragu jika melanjutkan hubungan bersama Ishak karena terhalang restu orang tuanya. Akhirnya, aku sendiri yang dilema. "Ly, udah sampai," Ishak berucap ketika mobilnya telah terparkir di depan kantorku. Sedari tadi aku melamun dengan menatap dashboard mobilnya. "Oh, iya," lalu tanganku membuka sabuk pengaman dan bersiap meraih tas kerja yang kuletakkan di dekat kaki. "Ly, apa kamu masih kepikiran Lois?" Aku menatap Ishak yang
"Percuma, Gi. Gue nggak punya foto bareng sama dia." "Ah, bohong lo, Ly." "Sumpah. Ngapain gue bohongin lo?" Akhirnya Gia mengembalikan ponselku ke dalam tas lalu kembali menatapku yang sudah fokus dengan laptop yang menyala. Namun detik kemudian panggilan dari Ishak membuat ponselku kembali bergetar. "Jangan diangkat, Gi!" seruku ketika Gia akan kembali mengambil ponselku. "Gue cuma ngetes, Ly." "Maksudnya?" "Lo ogah-ogahan angkat telfon babang mantan. Dan jawaban gue tetap sama, lo udah jatuh cinta sama yang baru. Jadi, mending lo balik kanan lalu tinggalin babang mantan. Dari pada hubungan kalian terlalu jauh lalu lo nyesel." *** Sepulang kerja, tanpa menunggu jawaban dariku, Ishak sudah menunggu di halaman depan kantor. Mobil gagahnya terparkir jelas disana namun aku kembali tidak merasakan debaran cinta. "Ya Tuhan, apa benar gue cinta sama Lois? Secepat itukah gue ngelupain Ishak?" gumamku sembari menatap mobil Ishak dari lobby kantor. Lalu aku menghela nafas panjang da
"Benar ini 'kan kontrakan lama Lois, Ly?" tanya Ishak usai memarkir mobilnya di tepi jalan yang berseberangan dengan kontrakan Lois. Kemudian aku menoleh ke kanan lalu memastikan bangunan itu lalu mengangguk pelan. Namun mataku tidak berpaling ketika menatap jendela lantai dua yang sedikit terbuka. Itu adalah kamar Lois. Kamar yang pernah kutempati beberapa kali saat dia meninggalkanku untuk bekerja. "Kita kesana?" Tidak mau berdebat dengan Ishak, akhirnya aku menuruti apa yang menjadi keinginannya. Walau sebenarnya hati ini berat untuk bertemu Lois dengan Ishak bersamaku. Aku masih memiliki urat malu namun paksaan Ishak membuatku menyerah. Usai melepas kunci sabuk pengaman, kami keluar dari mobil. Dengan cepat Ishak mengamit tanganku ketika akan menyebrang. Namun bukannya senang ia perlakukan seperti ini, aku terus merasa tidak nyaman hingga langkah kami tiba di depan gerbang kontrakannya. "Kontrakannya jelek banget," ucap Ishak lirih. Di teras kontrakan berjajar motor-motor pa
"Aku nggak bisa lanjutin hubungan kita, Shak. Kamu ... kayak orang lain bagiku. Aku jatuh cinta sama Ishak yang baik, lembut, santun, dan bijak. Bukan Ishak yang arogan kayak gini."Reflek cekalan tangan Ishak di kerah kemeja flanel Lois mengendur lalu aku menatap Lois dengan sorot penyesalan. Ingin rasanya aku berucap maaf namun kelu lidah ini untuk berkata. "Ly, apa kamu bilang? Kamu nggak mau lanjutin hubungan kita yang udah terjalin sedekat ini?" tanya Ishak dengan sorot tertegun. Kepalaku mengangguk pelan. "Maaf, Shak. Getaran di hatiku juga udah nggak ada lagi buat kamu. Semuanya terasa biasa aja."Giliran kedua tangan Ishak memegang kedua pundakku lalu aku menepisnya. "Aku pikir ketika kita kembali lagi kayak dulu, lalu aku bisa bahagia. Aku pikir dengan kita melanjutkan hubungan pertunangan yang sempat kandas, nanti kita akan berbahagia seperti bayanganku. Tapi ternyata nggak.""Kita cuma perlu menghabiskan waktu bersama lagi, Ly. Sering quality time bersama biar perasaanm
Merebut hati Lois kembali itu tidak mudah. Apalagi sudah ada mantan kekasihnya yang selama ini cukup akrab dengannya, Rily. Selain mantan, ia juga berperan sebagai vokalis di grup band yang beranggotakan Lois. Itu membuat intensitas pertemuan keduanya terjalin lebih mudah. Lengkap sekali, seperti wadah bertemu tutupnya. Rily, gadis itu sering memamerkan kedekatannya dengan Lois melalui status whasap yang pernah kulihat dari ponsel Nathasya. Meski Lois kala itu berkata jika dia berhubungan dengan Rily tidak lebih dari partner kerja karena menghargai status pernikahan kami, tetap saja kini aku merasakan kecemburuan. Ya, Lois menghargai status pernikahan kami meski tidak ada cinta di dalamnya. Dia tidak mau dicap sebagai suami tidak tahu diri karena menjalin hubungan dengan mantan kekasih padahal sudah beristri. Namun, aku yang tidak peka karena belum menyadari pentingnya Lois dalam hidup, justru bersikap acuh kala itu. Dan sekarang, aku menarik kembali sikap dan segala ucapanku di ma
"Bukan siapa-siapa, Ril!" Tut ... tut ... tut ... Sambungan telfon kami diputus oleh Lois. Mungkin mantan kekasihnya hendak meraih ponsel Lois lalu ia memilih mematikan sambungan. Mataku menatap nanar ponsel Nathasya yang berada dalam genggaman. Lalu segera menegakkan kepala agar air mata ini tidak luruh. Sumpah! Sakit sekali rasanya ketika mengetahui Lois sedang bersama Rily, mantan kekasihnya. Walau itu tidak salah, namun aku merasa sangat terbuang. Mungkin seperti inilah rasa sakit yang Lois terima ketika aku meninggalkannya kemarin. "Ly?" Kemudian aku mengusap air mata yang belum luruh lalu berbalik badan. "Thanks, Nath, buat ponselnya. Gue cabut," ucapku lalu mengangsurkan ponsel Nathasya. "Ly, lo kenapa --- " Tanpa mendengar kelanjutan ucapan Nathasya, aku segera pergi dari kosnya dengan hati bergemuruh sedih. Aku telah kehilangan Lois. Suami terbaik yang selama ini tidak pernah meminta imbalan kala menjaga atau membantu menguak rahasia dibalik fitnah video syurku.