Merebut hati Lois kembali itu tidak mudah. Apalagi sudah ada mantan kekasihnya yang selama ini cukup akrab dengannya, Rily. Selain mantan, ia juga berperan sebagai vokalis di grup band yang beranggotakan Lois. Itu membuat intensitas pertemuan keduanya terjalin lebih mudah. Lengkap sekali, seperti wadah bertemu tutupnya. Rily, gadis itu sering memamerkan kedekatannya dengan Lois melalui status whasap yang pernah kulihat dari ponsel Nathasya. Meski Lois kala itu berkata jika dia berhubungan dengan Rily tidak lebih dari partner kerja karena menghargai status pernikahan kami, tetap saja kini aku merasakan kecemburuan. Ya, Lois menghargai status pernikahan kami meski tidak ada cinta di dalamnya. Dia tidak mau dicap sebagai suami tidak tahu diri karena menjalin hubungan dengan mantan kekasih padahal sudah beristri. Namun, aku yang tidak peka karena belum menyadari pentingnya Lois dalam hidup, justru bersikap acuh kala itu. Dan sekarang, aku menarik kembali sikap dan segala ucapanku di ma
"Bukan siapa-siapa, Ril!" Tut ... tut ... tut ... Sambungan telfon kami diputus oleh Lois. Mungkin mantan kekasihnya hendak meraih ponsel Lois lalu ia memilih mematikan sambungan. Mataku menatap nanar ponsel Nathasya yang berada dalam genggaman. Lalu segera menegakkan kepala agar air mata ini tidak luruh. Sumpah! Sakit sekali rasanya ketika mengetahui Lois sedang bersama Rily, mantan kekasihnya. Walau itu tidak salah, namun aku merasa sangat terbuang. Mungkin seperti inilah rasa sakit yang Lois terima ketika aku meninggalkannya kemarin. "Ly?" Kemudian aku mengusap air mata yang belum luruh lalu berbalik badan. "Thanks, Nath, buat ponselnya. Gue cabut," ucapku lalu mengangsurkan ponsel Nathasya. "Ly, lo kenapa --- " Tanpa mendengar kelanjutan ucapan Nathasya, aku segera pergi dari kosnya dengan hati bergemuruh sedih. Aku telah kehilangan Lois. Suami terbaik yang selama ini tidak pernah meminta imbalan kala menjaga atau membantu menguak rahasia dibalik fitnah video syurku.
“Lois?” sapaku sekali lagi dengan membalas tatapan matanya intens. Dia hampir tidak berkedip kala menatapku. Lalu tangannya mendorong tubuhku masuk ke kamar kemudian menutup pintunya dengan cepat. “Lois, kenapa?” tanyaku keheranan. Tangannya mencengkeram kasar lalu memojokkan tubuhku ke dinding. Tatapannya mulai berubah tajam kala kami sedekat ini. “Apa tujuanmu tiba-tiba tidur di kamarku tanpa izin, Lilyah?!” tanyanya dengan suara pelan namun tegas. Sebenarnya aku mulai ketakutan ketika Lois berubah seperti ini. Lebih tepatnya takut jika ia menambah sakit hatiku yang sudah ada. “A … aku … pengen bicara sama kamu, Lois. Hubungan kita … masih belum selesai.” “Belum selesai? Tapi siapa kemarin yang bilang kalau masih ada rasa sama Ishak, heh?! Siapa yang bilang kalau Ishak sungguh-sungguh kali ini, heh?! Siapa?!!” bentak Lois. Aku terperanjat dan mata mulai berkaca-kaca. Wanita mana yang tidak ingin menangis kala dibentak oleh lelaki yang dicintai? Sekalipun si lelaki itu membent
“Aku bukan anak durhaka atau tidak tahu terima kasih, Pa. Tapi perlu Papa tahu, kalau seorang anak perempuan harus mendahulukan suaminya di atas perintah orang lain. Sekalipun itu orang tua yang telah merawat dan membesarkannya.” “Aku nggak punya niatan durhaka atau melawan Papa dan Mama. Bagiku, kalian adalah segalanya. Tapi, apa aku harus menuruti perintah Papa kalau itu salah? Yang benar adalah aku akan membuat Papa mengetahui kebenarannya. Termasuk arti seorang Lois dalam kehidupanku.” Papa beranjak dari duduknya dengan memandangku sengit. “Keluar kamu dari rumah ini, Lilyah!” tangan kirinya menunjuk ke arah pintu ruang tamu. Ya Tuhan, aku kembali diusir oleh ayah kandungku karena melawan titahnya. “Papa tega ngusir aku lagi?” “Buat apa tinggal sama anak yang durhaka kayak kamu, heh?! Lihat mukamu aja, Papa merasa jijik!” ucapnya kasar dengan tangan berkacak pinggang. Kepalaku mengangguk dengan memasang wajah setenang mungkin, meski hati bergejolak. “Baiklah kalau itu mau P
"Selesai!" Berbekal nekat, akhirnya aku mengikuti saran Gia untuk mengejar Lois dengan sepenuh hati. Mengapa sepenuh hati? Jika aku melakukannya dengan hati bimbang karena masih memikirkan kenginan Papa, Mama, dan Ishak, maka hasilnya tidak akan maksimal. Sedangkan Rily, mantan kekasih Lois, saat ini juga memiliki kedekatan dengannya. Artinya, peluangku mendapatkan hati Lois terhalang oleh lawan yang kuat. Meski dulu Lois berkata jika hubungannya dengan Rily sebatas teman semata, namun jika hubungan pernikahan kami sedang dalam masa kritis seperti ini, bukan tidak mungkin hatinya bisa berpaling bukan? Jika sudah begitu, aku yang akan sengsara karena kehilangan Lois. Semua pakaianku telah masuk ke dalam koper besar. Beberapa minggu yang lalu aku baru kembali ke rumah masa kecil ini. Tapi sekarang, aku harus kembali meninggalkannya. Bedanya, jika dulu aku diusir dengan hati carut marut karena dipaksa berpisah dari Ishak, maka kali ini aku pergi tanpa kesedihan untuk menggapai kemba
"Oh, ya ampun ... maaf, Pak," ucap Lois sambil menepuk keningnya. "Malah saya tinggal ngobrol sama Mbak ini. Saya yang harusnya terima kasih karena udah dikasih buah tangan yang banyak. Padahal saya niatnya tulus ingin bantuin. Nggak mengharap imbalan," imbuhnya. Lois tiba-tiba bersikap sangat ramah pada asisten Bu Dirut yang berdiri bersama kami. Lalu menjabat tangan pria yang berusia hampir berkepala lima itu dengan kedua tangan dengan tubuh sedikit membungkuk. Asisten Bu Dirut juga ikut menunduk hingga kepala mereka berdua saling beradu. Hingga Lois mengaduh sedikit kesakitan lalu mengusap pucuk kepalanya sambil meringis. "Ya ampun, Den Mas. Maaf. Maafkan saya. Apa sangat sakit? Apa kita perlu ke rumah sakit?" tanya asisten itu dengan suara dan sikap cemas. "Nggak apa-apa kok, Pak. Kalau sudah selesai, Bapak boleh pulang." Lois segera memutar tubuh asisten itu meski wajahnya menampakkan kebingungan yang jelas. Lalu ia mendorong tubuh pria itu sedikit tergesa-gesa menuju sebu
Jika dulu setiap pagi Lois akan menyiapkan sarapan untuk kami lalu mengantarku berangkat bekerja, maka tidak dengan pagi ini.Begitu terdengar suara pintu diketuk, aku segera mengembalikan ponsel Lois ke tempat semula dan membuka pintu. Terlihat Lois berdiri menjulang tanpa membawa apapun padahal aku mengharapkan ia membawa sarapan.Dia berlalu begitu saja ke kamar lalu mengambil kunci motor dan ponselnya. "Aku pergi duluan," ucapnya acuh.Astaga, aku besar rasa dengan menganggapnya akan mengantarku berangkat bekerja."Jangan lupa kuncinya kamu taruh di angin-angin kayak biasanya," ucapnya tanpa menatap mataku.Ya Tuhan, ternyata Lois masih sangat marah namun masih berbaik hati memberi tumpangan tidur untukku.Mataku menatap punggungnya yang berjalan menuju tangga lalu menuruninya. Hati ini mencelos dan terasa sesak akibat sikap acuhnya, namun aku tetap berusaha tegar dan kuat. "Aku nggak boleh cengeng!" ucapku menyemangati diri sendiri. Usai meletakkan kunci di angin-angin kamar,
Raden Mas Renjana L. Hartadi. Atau biasa dipanggil Den Mas Lubis. Itu adalah nama putra Pak Presdir yang konon kata rekan-rekan kerja suka ke kantor dengan pakaian santai. Datang menggunakan motor dan tiba ketika para rekan kerja sudah masuk agar wajahnya tidak terlalu dikenali. Jika aku tidak mengenal siapa putra Pak Presdir, itu hal yang wajar karena baru beberapa bulan bekerja di sini. Dari pada penasaran dengan tampang putra Pak Presdir yang sudah berangkat dengan Pak Presdir menggunakan helikopter menuju Bandung, lebih baik aku fokus bekerja. Namun di tengah-tengah bekerja, aku teringat akan percakapan Lois dan asisten Bu Dirut semalam dan ucapan Pak Rudy tadi pagi. “Den Mas Lubis?” Ingatanku juga kembali ke pesan dari kontak ‘Widianto Kantor’ yang dikirim ke nomer Lois. Dia menyebut nama ‘Den Mas’, ‘Romo’, dan ‘Kantor’. Jujur, itu sangat mengganggu pikiran. Mengapa ada kebetulan yang sama? Tapi apakah benar ada kebetulan yang sama? “Gi, boleh tanya nggak?” Saat ini, bert