enjoy reading ... maaf updatenya telat. Author benar-benar sibuk empat hari ini. Mulai besok, update udah normal kembali.
Raden Mas Renjana L. Hartadi. Atau biasa dipanggil Den Mas Lubis. Itu adalah nama putra Pak Presdir yang konon kata rekan-rekan kerja suka ke kantor dengan pakaian santai. Datang menggunakan motor dan tiba ketika para rekan kerja sudah masuk agar wajahnya tidak terlalu dikenali. Jika aku tidak mengenal siapa putra Pak Presdir, itu hal yang wajar karena baru beberapa bulan bekerja di sini. Dari pada penasaran dengan tampang putra Pak Presdir yang sudah berangkat dengan Pak Presdir menggunakan helikopter menuju Bandung, lebih baik aku fokus bekerja. Namun di tengah-tengah bekerja, aku teringat akan percakapan Lois dan asisten Bu Dirut semalam dan ucapan Pak Rudy tadi pagi. “Den Mas Lubis?” Ingatanku juga kembali ke pesan dari kontak ‘Widianto Kantor’ yang dikirim ke nomer Lois. Dia menyebut nama ‘Den Mas’, ‘Romo’, dan ‘Kantor’. Jujur, itu sangat mengganggu pikiran. Mengapa ada kebetulan yang sama? Tapi apakah benar ada kebetulan yang sama? “Gi, boleh tanya nggak?” Saat ini, bert
"Mending kamu buruan mandi. Bau!"Lois kembali menatap buku berbahasa Inggris itu usai berucap sedikit kasar dan mengacuhkanku. Sadar jika bauku kurang sedap usai seharian bekerja. Lalu aku menuruti ucapannya untuk segera mandi.Sambil membawa baju ganti, aku kembali menatap Lois."Aku nggak ngira. Selain pandai main gitar dan biola, ternyata kamu jago Bahasa Inggris juga, Lois."Bukannya senang mendengar sanjungan dariku, dia justru menutup buku itu dan meraih gitarnya. Lalu pikiranku berkelana ke kejadian hari ini saat di kantor. "Oh ya, Lois. Apa kamu percaya kalau ada kebetulan yang sempurna?" Tanpa menatapku dan sambil memetik senar gitar, dia membuka suara dengan ekspresi acuh."Kebetulan apa?" "Kamu mirip seseorang."Jemari kanannya yang memetik gitar terhenti seketika lalu kedua matanya menatapku dengan sorot tajam. Masih dengan posisi duduk bersila dan memangku gitar."Siapa?" Tanpa pikir panjang, aku mengutarakan penilaian. "Putra Pak Presdir. Namanya Den Mas Lubis."Lo
Aku segera menekan tombol hijau pada kontak Lois yang ada di ponsel Nathasya. Panggilanku terhubung namun tidak ada jawaban darinya. Hingga panggilan kuulangi sampai tiga kali. Mengabaikan tatapan heran Nathasya yang melihatku secemas ini karena mencari Lois. "Sialan! Nggak diangkat! Kemana sih Lois ini?!" geramku. Sambil menatap layar ponsel Nathasya yang menunjukkan riwayat panggilanku ke nomer Lois. Lalu muncul sebuah ide yang tidak ada salahnya jika dicoba lebih dulu. "Nath, sekarang telfon cowok lo. Malam ini dia dan Lois kerja di cafe mana? Cepetan!" Aku mengambil tangan Nathasya dan mengangsurkan ponselnya dengan ekspresi menuntut. "Lo tuh ada masalah apa sih sama Kak Lois, Ly?!" "Udahlah, Nath. Buruan telfon cowok lo! Nanti gue pasti bilang ada masalah apa sama Lois." Dengan menghela nafas kasar, Nathasya menuruti permintaanku dengan wajah sedikit kesal. Dia segera mencari kontak kekasihnya lalu menghidupkan loudspeaker ponsel agar aku juga bisa mendengarnya. "Halo,
"Lois!" aku memanggil suamiku itu dengan suara lantang dengan penekanan. Tetiba saja, usai memanggil namanya, jantungku berdetak cepat hingga menimbulkan sensasi beku yang membuat tubuhku seperti dialiri air es. Hingga membuat suhu kedua telapak tangan dan kakiku menjadi dingin dan lembab. Lois, Rily, dan ketiga teman lelakinya yang lain langsung menoleh ke arahku dan Nathasya yang berdiri tidak jauh dari mereka. Ketika mataku dan Lois saling memandang, ada raut keterkejutan yang menghiasi wajah suamiku itu. Mungkin dia tidak menyangka jika aku berada di cafe tempatnya bekerja malam ini hingga larut. Jika Lois memandangku dengan tatapan tidak menyangka, maka berbeda dengan Rily, mantan kekasihnya, yang sudah memakai helm itu menatapku dengan sorot bertanya lalu ia menoleh ke arah Lois. Tapi tidak dengan ketiga teman Lois yang pernah melihatku sebelumnya. Bahkan aku berani jamin mereka masih tahu siapa aku ini dalam kehidupan Lois. Lois hanya berdiri dengan sorot tertegun menatap
"Kamu benar-benar sialan, Lois! Bajingan! Penipu! Apa ini caramu balas dendam, heh?! Kamu udah nikah sama perempuan itu tapi masih ngajak aku jalan! Kamu mau bikin aku kayak pelakor?! Asal kamu tahu, pecundang! Laki-laki di dunia ini bukan cuma kamu, Lois!" Telunjuk Rily mengarah ke Lois berulang kali dengan teriakan dan derai air mata. Parkiran cafe ini menjadi saksi pengakuan pernikahanku dengan Lois dihadapan mantan kekasihnya. Rily murka dan bersedih hati karena Lois memberi harapan lebih padahal statusnya sudah menjadi suamiku. Lalu pertanyaan kembali berseliweran di otakku. Bukankah dulu Lois pernah berkata jika hubungannya dengan Rily sebatas teman? Tidak lebih. Tapi mengapa sekarang Rily mengakui hal yang berbeda dengan apa yang Lois katakan? Ya Tuhan, cinta segitiga itu benar-benar menyakitkan. "Tenangin dirimu, Ril! Dengerin aku dulu dan jangan berteriak histeris kayak gini! Malu dilihat banyak orang!" ucap Lois tegas. Kemudian Lois mengulurkan gitarnya pada Handi l
Hati istri mana yang tidak hancur ketika suami yang dicintai mengaku tidak mencintainya? Meski aku ini mantan istri durhaka, namun perjuangan untuk mengembalikan kepercayaan suami dan memperbaiki pernikahan kami bukanlah isapan jempol semata. Aku serius ingin membuat Lois kembali seperti awal kami menikah. Memperlakukanku dengan baik. Dan aku akan membayar ketidakbecusanku sebagai istri di masa lalu dengan mengabdi penuh padanya. Masa bodoh dengan gengsi karena menjadi istri seorang seniman yang tidak terkenal. Yang pekerjaannya berpindah-pindah dari satu café ke café yang lain untuk menghibur pengunjung dengan grup band-nya. “Aku akan berusaha mengembalikan kepingan hubungan pernikahan kita yang udah hancur, Lois. Tapi tolong kasih aku waktu untuk memperbaikinya.” Lois menatapku dengan ekspresi dipenuhi emosi tertahan. “Apa sebenarnya tujuanmu, heh?!” “Nggak ada tujuan apapun selain aku ingin memperbaiki pernikahan kita, Lois. Aku mau jadi istrimu seutuhnya.” Kemudian Lois ter
Pelipis bagian kiriku berdarah dan bengkak hingga mengeluarkan warna biru kehitaman.Beruntung Gia dan Nina segera membawaku ke pusat kesehatan terdekat untuk mendapat penanganan. “Ly, mending lo balik pulang aja dari pada maksa terus kerja,” Gia menyarankan. Aku meringis sambil memegangi pelipis yang sudah diberi pertolongan pertama oleh petugas medis. “Iya, Gi. Kepala gue juga rasanya kayak berputar-putar,” akuku.Kemudian Nina datang membawa sekantong plastik berisi obat dan kuitansi penebusan perawatanku. “Ntar soal izin, biar kita yang urusin, Ly.”Kemudian aku menatap wajah keduanya dengan mata sedikit menyipit. “Gi, Nin, gue nggak seperti yang adik gue bilang di rumah makan tadi. Gue bisa jelasin ke kalian kalau gue bukan perempuan jalang atau nggak bener.” Bagaimanapun, mereka harus tahu jika fitnah tentangku yang Vela teriakkan di rumah makan tadi adalah kebohongan. Aku tidak mau kedua sahabat baikku itu menjauh seperti saat di kantor lama. Keduanya saling tatap dengan
Apa yang kemarin Vela lakukan hingga membuat keningku bengkak seperti ini sebenarnya bisa dilaporkan ke polisi karena masuk ranah tindak pidana. Hanya saja aku enggan memperpanjang masalah ini karena hanya akan menguras waktu, emosi, dan ... kantong. Malam ini, usai makan bersama, Lois bergegas berganti baju karena harus bekerja di cafe untuk menghibur para pengunjung. Penampilannya sangat klemis dan wangi. Aku berani jamin jika Rily melihatnya pasti akan luluh dan memaafkan kebohongan Lois yang sudah menyembunyikan identitas pernikahan kami. "Lois, apa kamu mau jemput Rily dulu?" tanyaku sambil duduk bersila di lantai kamar. Sedang Lois sedang berkaca sambil menyisir rambut. Bukannya menjawab, dia diam saja seperti tidak mendengar apapun pertanyaanku. "Lois?" "Jangan pernah datang ke cafe kayak kemarin. Aku sama yang lain lagi kerja. Ingat itu baik-baik!" Kemudian ia meletakkan sisir lalu mengambil gitarnya yang terbungkus kain hitam itu tersandar di dekat lemari baju. Tanpa ber