enjoy reading ...
"Lois, jangan pergi. Aku mohon," ucapku dengan menatapnya penuh permohonan. "Kalau kamu pergi, aku sama siapa? Gimana sama autophobiaku? Please, Lois. Tolong jangan tinggalin aku." Kemudian aku berlutut sambil mengatupkan kedua tangan di sampingnya yang sedang memasukkan pakaian ke dalam tas besar itu. "Aku bukan memanfaatin kamu, tapi aku aku nggak punya orang terdekat lagi selain kamu. Kamu bebas nyuruh aku mau kayak apa untuk nebus kesalahan fatal yang kulakukan tapi jangan tinggalin aku. Please," mohonku lagi dengan mata berkaca-kaca. Lois menatapku dengan sorot tajamnya lalu menutup resleting tas besar itu. Dia tetap berdiri menjulang di depanku yang masih bersimpuh di lantai. "Kemasi barangmu!" titah Lois. Mataku membulat lebar dan menatapnya dengan sorot hancur. Apakah dia benar-benar akan menyuruhku pergi? Mengusirku yang sudah diusir oleh Papa? "Lois, aku --- " "Ke-ma-si ba-rang-mu!" ucapnya penuh penekanan disetiap suku katanya. "Tapi --- " "Sepuluh menit! Aku t
Atasan memberi izin untuk beristirahat selama satu hari pasca insiden yang membuat pelipis kiriku berdarah akibat ulah Vela. Jadi pagi ini aku bebas ingin bangun pukul sembilan pun tidak menjadi masalah. Namun, apa salahnya jika aku tetap bangun pagi lalu belajar menjadi istri yang baik untuk Lois?Aku rasa itu tidak ada salahnya. Bergegas aku mandi agar Lois tidak jijik. Lalu berganti pakaian yang sedap dipandang mata namun tetap santai kemudian mengganti perban di pelipis dengan yang baru sambil mengoleskan salepnya. Tanpa menunggu Lois bangun, aku segera mengambil sapu untuk membersihkan lantai kontrakan kami. Maklum, semalam dia begadang hingga tengah malam di teras kontrakan dengan memetik senar gitarnya. Usai berkata jika dia memiliki hati seorang perempuan yang harus dijaga, aku menanggapinya dengan senyum kecut. Meski pada kenyataannya sangat terluka, namun aku tidak akan menyerah untuk memperjuangkan hati Lois kembali. Bertepatan dengan aku menyuguhkan segelas air putih
Akhirnya semalam kami saling perang dingin karena Lois yang bersikap jual mahal dan aku yang menuntut dia untuk membuka sedikit hatinya. Alhasil, karena melihatku terus mengintil padanya yang akan berangkat kerja karena tidak mau ditinggal di kontrakan sendirian, akhirnya aku dibawa ke kontrakan lamanya. Sepanjang perjalanan di atas motor, kami saling diam. Tidak ada adegan memeluk tubuhnya dari belakang seperti kemarin karena kesal dengan sikapnya yang menggantung perasaanku. Ia tidak mau menceraikanku tapi masih mau bersamaku. Tidak mau memaafkanku tapi tidak kunjung menceraikanku. Apa dia tidak bisa membandingkan mana ekspresi serius orang yang tulus dengan orang yang membual? Kesal bukan?! Usai menurunkanku dari motornya di depan kontrakan lama, Lois segera memacu motornya tanpa mengucap salam, berpamitan, atau sekedar berucap basa basi apapun. Dia langsung menarik stang gas dan meninggalkanku sendirian di tepi jalan kontrakannya dengan hati geram. Kakiku sampai berhentak di a
Pak Wahyu tersenyum sekilas lalu menatapku. "Ehm ... Lois itu ya ... orang lain, Mbak. Memangnya dia siapa saya?" Jawaban Pak Wahyu sama sekali tidak membuat dahagaku melega. Yang ada aku semakin penasaran dengan jawabannya yang terkesan ganjil. "Kalau begitu, kenapa Pak Wahyu manggil Lois dengan sebutan Den Mas?" "Oh ya?" Justru Pak Wahyu malah balik bertanya dan itu membuatku makin diliputi kebingungan. "Iya, Pak. Bapak memanggil Lois dengan sebutan Den Mas malam itu. Saya masih ingat." "Ah, mana mungkin, Mbak. Saya baru kali pertama itu bertemu Lois ya malam itu. Mungkin Mbak salah orang." Kepalaku menggeleng bingung dengan sejuta tanya tanpa jawaban. Hingga tidak tahu harus bertanya apa lagi. "Udah ya, Mbak. Jam makan siangnya hampir habis. Saya pamit dulu." Belum sampai Pak Wahyu berdiri, aku kembali membuka suara. "Pak, saya menemukan kartu ATM hitam di laci Lois atas nama Raden Mas Renjana L. Hartadi. Bukankah itu nama putra Pak Presdir? Kalau Lois tidak ada hubun
"Maafkan aku, Tuhan." Dengan memejamkan mata, aku menusukkan jarum pentul itu ke lengan kiri dan membuat robekan disana hingga kulitku mengeluarkan darah disepanjang luka yang kugoreskan secara sadar. Ya, aku melukai diri sendiri hanya untuk membuat Lois melihatku. Aku tahu ini berlebihan, tapi aku benar-benar ingin membuat Lois tidak lagi berhubungan dengan RIly. Dia harus tahu jika aku tidak main-main dengan kesungguhan hati ini jika ingin memperbaiki rumah tangga kami. Pikirku, mungkin darah ini akan menjadi bukti yang setara dengan luka yang pernah kutorehkan di hati Lois. Luka yang tidak berdarah dan sampai sekarang masih terasa menyakitkan bagi Lois. Darah sudah menetes ke lantai lalu aku membuang jarum itu keluar jendela kamar. Dengan langkah seakan-akan lemas, aku menghampiri Lois yang ada di teras kontrakan. "Lois, tolong aku," ucapku lirih. Lois yang sedang menelfon Rily langsung menoleh padaku. Tetes demi tetes darah dari tanganku menodai lantai kontrakan kami. Jika L
"Ly, besok jangan lupa, ya?! Ke Bandung.""Baik, Pak."Pak Rudy mengingatkan agendaku esok hari untuk pergi ke pabrik produksi sigaret kantor ini yang berada di Bandung."Tapi, Pak, surat tugasnya masih atas nama Gia.""Nggak masalah. Cuma pekara surat tugas aja."Rencananya esok berangkat pagi pulang sore hari menggunakan mobil yang sudah disewakan kantor. Syukurlah tidak menginap karena aku tidak kenal akrab dengan rekan kerja yang berada di divisi yang lain.Ketika jam pulang kerja sudah berdenting, aku sengaja tidak segera pulang karena ingin membuat Lois bertanya-tanya. Karena biasanya aku pulang kerja tepat waktu. Sengaja aku ingin tahu apa ia akan membuka blokir nomerku lalu menghubungiku atau tidak. Dan disinilah aku berada, di kos-kosan Gia, sahabat sekaligus rekan kerjaku. "Apa ide lo kali ini berhasil, Ly?" tanya Gia sambil menyuguhkan sekotak makanan ringan padaku yang duduk di lantai kamar kosnya yang nyaman ini. "Semoga berhasil, Gi. Karena ini kali pertama gue senek
Sebelum ke ruang rapat, kami satu rombongan diajak oleh supervisor untuk melihat bagaimana proses produksi sigaret. Lautan manusia sebanyak ini didominasi oleh perempuan-perempuan tangguh berseragam kerja warna kuning berlengan pendek. Memakai hairnet dan masker dengan tatapan fokus pada jemari tangan mereka yang sedang mencetak batang demi batang sigaret. "Ini gedung pertama. Masih ada sepuluh gedung lagi." Terang supervisor yang rambutnya mulai ditumbuhi uban. "Apa?!" Aku terkejut mendengarnya. “Pabrik sigaret ini terbesar kedua di negara kita. Wajar jika memiliki banyak gedung dan anak cabang penyimpanan tembakau di luar daerah.” Lalu kami diajak melihat bagaimana proses produksi sigaret dan mencermati hal-hal kecil yang menimbulkan permasalahan. Kemudian dilanjutkan ke bagian penyimpanan tembakau dan pengepakan sigaret siap kirim. Tidak semua gedung dikunjungi, hanya tiga gedung saja sebagai penambah wawasan kami yang berada di kantor pusat. Itu saja membutuhkan waktu selama
Persetan dengan panggilan Pak Prasetyo. Aku tetap berlari keluar ruang rapat untuk mengejar Lois. Suamiku itu berjalan cepat di lorong gedung lalu aku memanggilnya dengan suara lantang. "Lois! Tunggu!" Langkah suamiku itu terhenti lalu menoleh ke arahku yang berlari ke arahnya. Dengan nafas naik turun aku berhenti tepat di hadapannya yang menatap serius. "Aku ... butuh penjelasan," ucapku sambil menetralkan degub jantung. "Gimana caranya kamu bisa sampai kemari?" "Aku disuruh Pak Rudy gantiin Gia."Tanpa menjawab apapun, Lois berbalik badan akan pergi meninggalkanku. Tapi dengan cepat tanganku meraih pergelangan tangan kanannya. "Jangan pergi dulu. Aku butuh penjelasan, Lois."Telunjuk Lois mengarah ke arah belakangku."Silahkan kembali ke ruang rapat. Kamu itu karyawan perusahaan ini. Dan apapun yang kita lakukan di dalam kantor atau pabrik ini, harus dijalankan secara profesional. Jangan campurin masalah pribadi dengan pekerjaan.""Aku tahu. Tapi apa salahnya kalau minta waktu