enjoy reading ...
Akhirnya semalam kami saling perang dingin karena Lois yang bersikap jual mahal dan aku yang menuntut dia untuk membuka sedikit hatinya. Alhasil, karena melihatku terus mengintil padanya yang akan berangkat kerja karena tidak mau ditinggal di kontrakan sendirian, akhirnya aku dibawa ke kontrakan lamanya. Sepanjang perjalanan di atas motor, kami saling diam. Tidak ada adegan memeluk tubuhnya dari belakang seperti kemarin karena kesal dengan sikapnya yang menggantung perasaanku. Ia tidak mau menceraikanku tapi masih mau bersamaku. Tidak mau memaafkanku tapi tidak kunjung menceraikanku. Apa dia tidak bisa membandingkan mana ekspresi serius orang yang tulus dengan orang yang membual? Kesal bukan?! Usai menurunkanku dari motornya di depan kontrakan lama, Lois segera memacu motornya tanpa mengucap salam, berpamitan, atau sekedar berucap basa basi apapun. Dia langsung menarik stang gas dan meninggalkanku sendirian di tepi jalan kontrakannya dengan hati geram. Kakiku sampai berhentak di a
Pak Wahyu tersenyum sekilas lalu menatapku. "Ehm ... Lois itu ya ... orang lain, Mbak. Memangnya dia siapa saya?" Jawaban Pak Wahyu sama sekali tidak membuat dahagaku melega. Yang ada aku semakin penasaran dengan jawabannya yang terkesan ganjil. "Kalau begitu, kenapa Pak Wahyu manggil Lois dengan sebutan Den Mas?" "Oh ya?" Justru Pak Wahyu malah balik bertanya dan itu membuatku makin diliputi kebingungan. "Iya, Pak. Bapak memanggil Lois dengan sebutan Den Mas malam itu. Saya masih ingat." "Ah, mana mungkin, Mbak. Saya baru kali pertama itu bertemu Lois ya malam itu. Mungkin Mbak salah orang." Kepalaku menggeleng bingung dengan sejuta tanya tanpa jawaban. Hingga tidak tahu harus bertanya apa lagi. "Udah ya, Mbak. Jam makan siangnya hampir habis. Saya pamit dulu." Belum sampai Pak Wahyu berdiri, aku kembali membuka suara. "Pak, saya menemukan kartu ATM hitam di laci Lois atas nama Raden Mas Renjana L. Hartadi. Bukankah itu nama putra Pak Presdir? Kalau Lois tidak ada hubun
"Maafkan aku, Tuhan." Dengan memejamkan mata, aku menusukkan jarum pentul itu ke lengan kiri dan membuat robekan disana hingga kulitku mengeluarkan darah disepanjang luka yang kugoreskan secara sadar. Ya, aku melukai diri sendiri hanya untuk membuat Lois melihatku. Aku tahu ini berlebihan, tapi aku benar-benar ingin membuat Lois tidak lagi berhubungan dengan RIly. Dia harus tahu jika aku tidak main-main dengan kesungguhan hati ini jika ingin memperbaiki rumah tangga kami. Pikirku, mungkin darah ini akan menjadi bukti yang setara dengan luka yang pernah kutorehkan di hati Lois. Luka yang tidak berdarah dan sampai sekarang masih terasa menyakitkan bagi Lois. Darah sudah menetes ke lantai lalu aku membuang jarum itu keluar jendela kamar. Dengan langkah seakan-akan lemas, aku menghampiri Lois yang ada di teras kontrakan. "Lois, tolong aku," ucapku lirih. Lois yang sedang menelfon Rily langsung menoleh padaku. Tetes demi tetes darah dari tanganku menodai lantai kontrakan kami. Jika L
"Ly, besok jangan lupa, ya?! Ke Bandung.""Baik, Pak."Pak Rudy mengingatkan agendaku esok hari untuk pergi ke pabrik produksi sigaret kantor ini yang berada di Bandung."Tapi, Pak, surat tugasnya masih atas nama Gia.""Nggak masalah. Cuma pekara surat tugas aja."Rencananya esok berangkat pagi pulang sore hari menggunakan mobil yang sudah disewakan kantor. Syukurlah tidak menginap karena aku tidak kenal akrab dengan rekan kerja yang berada di divisi yang lain.Ketika jam pulang kerja sudah berdenting, aku sengaja tidak segera pulang karena ingin membuat Lois bertanya-tanya. Karena biasanya aku pulang kerja tepat waktu. Sengaja aku ingin tahu apa ia akan membuka blokir nomerku lalu menghubungiku atau tidak. Dan disinilah aku berada, di kos-kosan Gia, sahabat sekaligus rekan kerjaku. "Apa ide lo kali ini berhasil, Ly?" tanya Gia sambil menyuguhkan sekotak makanan ringan padaku yang duduk di lantai kamar kosnya yang nyaman ini. "Semoga berhasil, Gi. Karena ini kali pertama gue senek
Sebelum ke ruang rapat, kami satu rombongan diajak oleh supervisor untuk melihat bagaimana proses produksi sigaret. Lautan manusia sebanyak ini didominasi oleh perempuan-perempuan tangguh berseragam kerja warna kuning berlengan pendek. Memakai hairnet dan masker dengan tatapan fokus pada jemari tangan mereka yang sedang mencetak batang demi batang sigaret. "Ini gedung pertama. Masih ada sepuluh gedung lagi." Terang supervisor yang rambutnya mulai ditumbuhi uban. "Apa?!" Aku terkejut mendengarnya. “Pabrik sigaret ini terbesar kedua di negara kita. Wajar jika memiliki banyak gedung dan anak cabang penyimpanan tembakau di luar daerah.” Lalu kami diajak melihat bagaimana proses produksi sigaret dan mencermati hal-hal kecil yang menimbulkan permasalahan. Kemudian dilanjutkan ke bagian penyimpanan tembakau dan pengepakan sigaret siap kirim. Tidak semua gedung dikunjungi, hanya tiga gedung saja sebagai penambah wawasan kami yang berada di kantor pusat. Itu saja membutuhkan waktu selama
Persetan dengan panggilan Pak Prasetyo. Aku tetap berlari keluar ruang rapat untuk mengejar Lois. Suamiku itu berjalan cepat di lorong gedung lalu aku memanggilnya dengan suara lantang. "Lois! Tunggu!" Langkah suamiku itu terhenti lalu menoleh ke arahku yang berlari ke arahnya. Dengan nafas naik turun aku berhenti tepat di hadapannya yang menatap serius. "Aku ... butuh penjelasan," ucapku sambil menetralkan degub jantung. "Gimana caranya kamu bisa sampai kemari?" "Aku disuruh Pak Rudy gantiin Gia."Tanpa menjawab apapun, Lois berbalik badan akan pergi meninggalkanku. Tapi dengan cepat tanganku meraih pergelangan tangan kanannya. "Jangan pergi dulu. Aku butuh penjelasan, Lois."Telunjuk Lois mengarah ke arah belakangku."Silahkan kembali ke ruang rapat. Kamu itu karyawan perusahaan ini. Dan apapun yang kita lakukan di dalam kantor atau pabrik ini, harus dijalankan secara profesional. Jangan campurin masalah pribadi dengan pekerjaan.""Aku tahu. Tapi apa salahnya kalau minta waktu
“Mbak yang duduk di ujung belakang, apa ada saran yang bisa anda utarakan?” Pandanganku masih tertuju pada Lois yang sedang berdiri di depan sana sambil membaca dokumen yang tadi dibawa. Sungguh, suamiku itu sangat mempesona dengan kaca mata bening yang dikenakan. Aku tidak menduga jika ia bisa setampan ini hingga sanggup mengalihkan duniaku. Padahal dulu aku masih ingat sekali jika sangat membenci dan jijik menjadi istrinya. Tapi kini aku seakan tidak bisa berpaling dan hidup tanpa Lois. Dia adalah separuh nyawaku dan semoga saja Tuhan mewujudkan harapanku untuk membuat Lois memaafkan segala kesalahanku di masa lalu. “Mbak?” Lamunan tentang masa depan bersama Lois dan membayangkan memiliki anak dengannya membuat senyumku tidak pudar sedari tadi. Bahkan apa yang ia jelaskan sejak tadi tentang kinerja perusahaan sigaret ini tidak masuk sama sekali ke dalam otakku. Sepertinya semua panca indraku terlalu sibuk mengkhayalkan tentang Lois. Lalu sebuah tepukan di tangan membuatku ters
"Mbak, kenapa jongkok sama nangis disini?" Aku menoleh dengan derai air mata lalu mengusapnya dengan cepat. Menghentikan isakan karena malu dipergoki petugas office girls yang akan membersihkan lantai. "Maaf, permisi."Sepanjang jalan menuju tempat dimana rekan-rekan kerja berada, aku terus mengusap air mata dan menghentikan isak tangis. "Aku harus kuat! Harus kuat!"Setibanya di sana, rekan-rekan terlihat masih sibuk berswafoto. Lalu tidak berapa lama, kami bersiap kembali ke dalam mini bus. Tapi ada beberapa rekan berhenti di dekat helikopter perusahaan yang masih diam terparkir gagah. Mereka berswafoto kembali dengan background alat transportasi udara private milik keluarga Hartadi itu. "Ya ampun, gimana ya rasanya naik helikopter lalu disupirin sama pilotnya?" celetuk Adelia. "Ya enak lah, Del. Yang bisa naik ini cuma keluarga Hartadi dan jajaran direksi doang," jawab teman satu circle-nya."Pak Lubis tiap hari naik ini kalau kesini. Ya ampun, putra mahkota keluarga Hartadi e