enjoy reading ...
"Mbak, kenapa jongkok sama nangis disini?" Aku menoleh dengan derai air mata lalu mengusapnya dengan cepat. Menghentikan isakan karena malu dipergoki petugas office girls yang akan membersihkan lantai. "Maaf, permisi."Sepanjang jalan menuju tempat dimana rekan-rekan kerja berada, aku terus mengusap air mata dan menghentikan isak tangis. "Aku harus kuat! Harus kuat!"Setibanya di sana, rekan-rekan terlihat masih sibuk berswafoto. Lalu tidak berapa lama, kami bersiap kembali ke dalam mini bus. Tapi ada beberapa rekan berhenti di dekat helikopter perusahaan yang masih diam terparkir gagah. Mereka berswafoto kembali dengan background alat transportasi udara private milik keluarga Hartadi itu. "Ya ampun, gimana ya rasanya naik helikopter lalu disupirin sama pilotnya?" celetuk Adelia. "Ya enak lah, Del. Yang bisa naik ini cuma keluarga Hartadi dan jajaran direksi doang," jawab teman satu circle-nya."Pak Lubis tiap hari naik ini kalau kesini. Ya ampun, putra mahkota keluarga Hartadi e
"Butuh tumpangan?" Langkahku yang tertatih itu terhenti lalu kepalaku menoleh ke sumber suara. Dadaku seperti mencelos melihat kedatangannya yang mendadak dengan kedua mata membelalak sempurna. Tuhan, inikah yang namanya pertolonganMu secepat kilat? Kau datangkan dia saat aku hampir dibatas kemampuan. Ada rasa bahagia bercampur haru karena doaku terkabul begitu cepat. Sekaligus tidak menyangka jika ia benar-benar ada di hadapanku saat ini. "Lois?" Lois tiba-tiba datang dengan motor matic putih miliknya. Memakai jaket denim yang nampak usang tapi aku pernah secara tidak sengaja memergoki merk pembuatnya. Jaket yang diproduksi beberapa buah saja dari desainer ternama negeri Paman Sam dan dibanderol dengan harga jutaan rupiah. Sekilas seperti jaket murahan, namun cukup mahal. Sama seperti dirinya jika sudah kembali ke Jakarta. Lois seperti lelaki setengah pengangguran yang berprofesi sebagai gitaris band indie dengan bayaran tak seberapa. Padahal ketika ia pergi ke Bandung posisin
"Maaf, ganggu, kirain udah tidur." Aku segera melepas tangan dari rahang Lois dan kami reflek saling menjauh. "Ya udah lanjutin aja. Soalnya udah tengah malam gini kok pintu kontrakan kalian masih terbuka. Aku pikir ketiduran. Maaf, Ly. Silahkan dilanjut." Mbak Indri, tetangga kontrakanku langsung pergi begitu saja usai mengganggu aktivitas romantis kami yang hampir saja mencapai puncaknya. Andai aku sudah menutup pintu lebih dulu mungkin aktivitas romantisku dengan Lois bisa berlanjut malam ini. "Aku ... mandi dulu." Lois segera beranjak dengan membawa kantong plastik berisi obat-obatan lalu menuju kamar mandi. Sedang aku hanya terduduk sendiri di ruang tamu. Aktivitas romantis itu benar-benar terputus karena kecerobohan kami. "Belum rezeki. Hampir aja aku berhasil nyium Lois." Aku menghela nafas lalu memandangi pintu yang masih terbuka. "Gara-gara pintu doang." Selanjutnya aku tersenyum geli membayangkan wajah Lois yang bersemu malu karena Mbak Indri memergoki kami. "
“Untuk ngasih lo penjelasan kalau gue ini istri sahnya Lois. Dan udah seharusnya lo nggak genit-genit sama suami gue!” ucapku tegas dengan menatapnya intens. Jika Rily bisa menunjukkan taringnya, maka aku pun sama. “Gue nggak genit! Tapi emang Lois dan gue masih saling cinta!” “Oh ya? Masih saling cinta ya? Mau tahu satu kebenaran lain tentang hubungan gue sama Lois?” tantangku. Rily mengerutkan alisnya sambil menatapku tajam. “Semalam, dia telaten banget ngobatin kaki gue yang lecet. Dibantuin jalan sampai apa-apa gue nggak boleh sendiri. Apa itu yang namanya Lois mencintai lo?” Kepalaku menggeleng dengan senyum remeh lalu bersedekap sambil menatapnya. Biarlah aku mencampur kebenaran dengan kebohongan untuk menyelamatkan rumah tangga. “Habis diobatin, aku peluk dia eraaaaattt banget, Ril,” ucapku sambil memeluk diri sendiri, “Dan lo tahu, Lois nggak nolak sama sekali. Ya ampun, gue jadi pengen senyum-senyum sendiri.” Ekspresi wajah Rily berubah emosional dan merah padam karena
"Malam, Eyang."Si nenek kaya raya yang tadi sore kuselamatkan dari kemalangan itu berada di sebelahku. Ditemani perawat yang mendorong kursi rodanya. "Mbak sakit apa?" Haruskah aku menjawab jujur jika baru saja menemui psikiater?Ah, tidak. Psikiater itu identik dengan orang yang tidak baik-baik saja mentalnya. "Ehm ... cuma terlambat datang bulan saja, Eyang.""Kamu hamil mungkin."Aku tersenyum canggung menanggapi ucapan beliau. Lagi pula mana mungkin aku hamil. Disentuh Lois saja tidak apalagi bercinta. "Totalnya dua ratus lima puluh ribu rupiah, Mbak," kasir rumah sakit bersuara setelah menjumlah biaya pemeriksaanku hari ini. Aku segera mengeluarkan dompet namun urung mengeluarkan uang."Biar aku yang bayar, Mbak. Hitung-hitung ucapan terimakasih karena kamu tadi nolongin aku."Aku menatap Eyang kaya raya itu dengan tatapan sungkan. Kemudian perawat pribadinya mengeluarkan sebuah kartu ATM berwarna emas lalu mengulurkannya pada petugas kasir rumah sakit."Makasih banyak, Ey
Begitu tiba di depan kontrakan lama Lois, aku segera turun dari motor maticnya. Dengan kepala masih terbungkus helm, aku memberi satu perhatian kecil pada suamiku itu. "Hati-hati, Lois. Aku masuk dulu." Harapanku, dengan perhatian kecil itu akan menghasilkan satu hal besar. Khususnya hubungan pernikahan kami semoga tidak lagi sedingin dan sekaku ini. Sebenarnya aku ingin meminta tangannya untuk kucium. Namun hatiku berkata jika itu masih terlalu cepat untuk Lois. Dia tidak bersikap dingin saja itu sudah lebih dari cukup. Baru dapat dua langkah, kemudian Lois membuka suara dengan posisi masih di atas motor matic. "Aku pulang cepat." Kepalaku menoleh dengan ekspresi bingung. "Pulang cepat? Memangnya kenapa?" "Apa kamu suka aku pulang selalu larut malam?" Aku tertegun tidak percaya dengan ucapannya lalu tersenyum kaku dengan perasaan bahagia bercampur bingung. Perubahan sikap Lois itu cepat sekali dan tidak bisa ditebak kemana arahnya. "Oh ... nggak gitu, Lois. Aku ... ehm
“Woi, Pak Sopir! Minggir! Saya mau lewat nih!” Teriakan pengemudi ojek online yang akan mengantarku menuju kantor terdengar memekik karena ada sebuah mobil sedan hitam tiba-tiba menghalangi jalan kami. Mobil itu seperti sengaja dibuat berhenti melintang di hadapan motor yang kami tumpangi. “Budek sopirnya!” gerutu pengemudi ojek online. Lalu dari pintu belakang sebelah kiri, keluarlah lelaki berpakaian jas hitam rapi. Dengan gaya santai namun tetap berkelas, lelaki itu berjalan mendekati kami. Seketika jantungku berdegub kencang dengan kedua mata membola menatap sosoknya yang berjalan dengan wajah tenang.Begitu berada di sebelah pengemudi ojek online, dia membuka suara. “Maaf, penumpang anda saya ambil.”Kemudian ia mengeluarkan dompet dan mengangsurkan selembar uang berwarna merah pada pengemudi ojek itu. “Ambil aja sebagai ucapan maaf saya karena meminta penumpang anda untuk turun.”Pengemudi ojek tertegun menatap selembar uang berwarna merah itu lalu melirik ke arahku. Karen
Lois menoleh ke kanan dan kiri lalu menarik lenganku cepat menuju parkiran. Kebetulan mobilnya terparkir paling pojok. “Aduh, Lois, sakit!” protesku ketika tangannya mencengkeram lengan kiriku sambil berjalan. Tapi Lois tidak menggubris. Dia tetap menarik lenganku dengan langkah lebar. Aku yang memakai sepatu dengan heels lima centimeter akhirnya berjalan sedikit terseok-seok. “Lois, sakit!” “Diem!” ucapnya tegas. Kemudian Lois memojokkanku di dinding dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya terlihat tidak bersahabat ketika aku mengusap lengan yang terasa panas akibat cengkeramannya. “Ngapain kamu pakai acara ngalangin jalanku, heh?!” tanyanya dengan kedua alis menukik. Kentara sekali jika Lois sedang kesal karena ulahku. “Aku … cuma pengen tahu kamu mau kemana, Lois,” akuku dengan suara lirih. Kedua mataku menyorot Lois sendu agar amarahnya tidak membumbung tinggi. “Norak!” “Maaf,” ucapku dengan kepala tertunduk. “Jangan pernah sekali-kali kamu bersi