enjoy reading ...
“Untuk ngasih lo penjelasan kalau gue ini istri sahnya Lois. Dan udah seharusnya lo nggak genit-genit sama suami gue!” ucapku tegas dengan menatapnya intens. Jika Rily bisa menunjukkan taringnya, maka aku pun sama. “Gue nggak genit! Tapi emang Lois dan gue masih saling cinta!” “Oh ya? Masih saling cinta ya? Mau tahu satu kebenaran lain tentang hubungan gue sama Lois?” tantangku. Rily mengerutkan alisnya sambil menatapku tajam. “Semalam, dia telaten banget ngobatin kaki gue yang lecet. Dibantuin jalan sampai apa-apa gue nggak boleh sendiri. Apa itu yang namanya Lois mencintai lo?” Kepalaku menggeleng dengan senyum remeh lalu bersedekap sambil menatapnya. Biarlah aku mencampur kebenaran dengan kebohongan untuk menyelamatkan rumah tangga. “Habis diobatin, aku peluk dia eraaaaattt banget, Ril,” ucapku sambil memeluk diri sendiri, “Dan lo tahu, Lois nggak nolak sama sekali. Ya ampun, gue jadi pengen senyum-senyum sendiri.” Ekspresi wajah Rily berubah emosional dan merah padam karena
"Malam, Eyang."Si nenek kaya raya yang tadi sore kuselamatkan dari kemalangan itu berada di sebelahku. Ditemani perawat yang mendorong kursi rodanya. "Mbak sakit apa?" Haruskah aku menjawab jujur jika baru saja menemui psikiater?Ah, tidak. Psikiater itu identik dengan orang yang tidak baik-baik saja mentalnya. "Ehm ... cuma terlambat datang bulan saja, Eyang.""Kamu hamil mungkin."Aku tersenyum canggung menanggapi ucapan beliau. Lagi pula mana mungkin aku hamil. Disentuh Lois saja tidak apalagi bercinta. "Totalnya dua ratus lima puluh ribu rupiah, Mbak," kasir rumah sakit bersuara setelah menjumlah biaya pemeriksaanku hari ini. Aku segera mengeluarkan dompet namun urung mengeluarkan uang."Biar aku yang bayar, Mbak. Hitung-hitung ucapan terimakasih karena kamu tadi nolongin aku."Aku menatap Eyang kaya raya itu dengan tatapan sungkan. Kemudian perawat pribadinya mengeluarkan sebuah kartu ATM berwarna emas lalu mengulurkannya pada petugas kasir rumah sakit."Makasih banyak, Ey
Begitu tiba di depan kontrakan lama Lois, aku segera turun dari motor maticnya. Dengan kepala masih terbungkus helm, aku memberi satu perhatian kecil pada suamiku itu. "Hati-hati, Lois. Aku masuk dulu." Harapanku, dengan perhatian kecil itu akan menghasilkan satu hal besar. Khususnya hubungan pernikahan kami semoga tidak lagi sedingin dan sekaku ini. Sebenarnya aku ingin meminta tangannya untuk kucium. Namun hatiku berkata jika itu masih terlalu cepat untuk Lois. Dia tidak bersikap dingin saja itu sudah lebih dari cukup. Baru dapat dua langkah, kemudian Lois membuka suara dengan posisi masih di atas motor matic. "Aku pulang cepat." Kepalaku menoleh dengan ekspresi bingung. "Pulang cepat? Memangnya kenapa?" "Apa kamu suka aku pulang selalu larut malam?" Aku tertegun tidak percaya dengan ucapannya lalu tersenyum kaku dengan perasaan bahagia bercampur bingung. Perubahan sikap Lois itu cepat sekali dan tidak bisa ditebak kemana arahnya. "Oh ... nggak gitu, Lois. Aku ... ehm
“Woi, Pak Sopir! Minggir! Saya mau lewat nih!” Teriakan pengemudi ojek online yang akan mengantarku menuju kantor terdengar memekik karena ada sebuah mobil sedan hitam tiba-tiba menghalangi jalan kami. Mobil itu seperti sengaja dibuat berhenti melintang di hadapan motor yang kami tumpangi. “Budek sopirnya!” gerutu pengemudi ojek online. Lalu dari pintu belakang sebelah kiri, keluarlah lelaki berpakaian jas hitam rapi. Dengan gaya santai namun tetap berkelas, lelaki itu berjalan mendekati kami. Seketika jantungku berdegub kencang dengan kedua mata membola menatap sosoknya yang berjalan dengan wajah tenang.Begitu berada di sebelah pengemudi ojek online, dia membuka suara. “Maaf, penumpang anda saya ambil.”Kemudian ia mengeluarkan dompet dan mengangsurkan selembar uang berwarna merah pada pengemudi ojek itu. “Ambil aja sebagai ucapan maaf saya karena meminta penumpang anda untuk turun.”Pengemudi ojek tertegun menatap selembar uang berwarna merah itu lalu melirik ke arahku. Karen
Lois menoleh ke kanan dan kiri lalu menarik lenganku cepat menuju parkiran. Kebetulan mobilnya terparkir paling pojok. “Aduh, Lois, sakit!” protesku ketika tangannya mencengkeram lengan kiriku sambil berjalan. Tapi Lois tidak menggubris. Dia tetap menarik lenganku dengan langkah lebar. Aku yang memakai sepatu dengan heels lima centimeter akhirnya berjalan sedikit terseok-seok. “Lois, sakit!” “Diem!” ucapnya tegas. Kemudian Lois memojokkanku di dinding dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya terlihat tidak bersahabat ketika aku mengusap lengan yang terasa panas akibat cengkeramannya. “Ngapain kamu pakai acara ngalangin jalanku, heh?!” tanyanya dengan kedua alis menukik. Kentara sekali jika Lois sedang kesal karena ulahku. “Aku … cuma pengen tahu kamu mau kemana, Lois,” akuku dengan suara lirih. Kedua mataku menyorot Lois sendu agar amarahnya tidak membumbung tinggi. “Norak!” “Maaf,” ucapku dengan kepala tertunduk. “Jangan pernah sekali-kali kamu bersi
“Lilyah? Ngapain kamu di sini?” Aku segera berbalik badan lalu membungkuk hormat pada Pak Rudy, atasanku di bagian customer service. “Pagi …, Pak,” ucapku terbata dan salah tingkah. Kemudian mata Pak Rudy menatap keluar jendela kaca. “Oh … mau lihat si putra mahkota berangkat ke Bandung?” Hanya senyum meringis yang bisa kutunjukkan sembari melirik ke arah baling-balik helikopter yang mulai berputar cepat. Kemudian Pak Rudy terkekeh, “Rata-rata pegawai single perempuan di kantor ini emang hobi lihatin Den Mas Lubis berangkat naik helikopter.” “I … iya, Pak,” akuku. “Orangnya sederhana banget. Kayak bukan anaknya Pak Presdir. Siapa nyangka kalau dia itu punya harta ratusan milyar?” “Ehm … kalau boleh tahu, kenapa ya Den Mas Lubis kayak gitu, Pak?” “Kata-katanya sih biar merakyat aja. Tapi agak nggak logis sih jawabannya. Masak iya orang dikasih hidup enak malah mintanya susah?” Kepalaku mengangguk pelan sambil ikut memikirkan jawabannya. “Tapi, beliau emang sederhana, Pak. Ny
"Buruan, Ly!" Lois membuatku tergesa-gesa sekali dengan teriakannya. "Dikit lagi, Lois!" Lalu aku menyemprotkan parfum di baju dan segera menyambar clutch bag berisi ponsel dan dompet. Di teras kontrakan, Lois sudah bersiap dengan penampilan super santainya usai mandi dan berganti pakaian. Mengenakan kaos oblong warna putih dengan sweater warna hijau muda, celana pendek selutut, dan sandal. Usai mengunci pintu, aku segera memasang helm lalu duduk di jok belakang sambil berpegangan di kedua pinggang Lois. Senyum ini tidak bisa kutahan ketika Lois membiarkan aku berpengangan di kedua pinggangnya. Merasa menang dan berada di atas Rily. Di malam yang baru menunjukkan pukul setengah tujuh, Lois mengajakku pergi entah kemana. Motor matic-nya bergerak lincah membelah kepadatan ibu kota hingga aku menyadari kemana dia akan mengajakku pergi malam ini. "Lho? Kok ke arah Bogor, Lois?" "Udah diem aja." Lalu Lois menambah kecepatan motor matic putihnya. Otomatis tanganku tidak lagi berpeg
"Eh ... u ... ucapan yang mana, Lois?" tanyaku gugup. "Kebiasaan cewek kalau udah ketangkap basah selalu pura-pura nggak tahu." Lois menatapku dengan sorot datar nan tajam hingga aku kesusahan menelan saliva ini. Terasa sangat bodoh jika harus mengakui tindakan konyolku yang sering mencium bibirnya secara diam-diam saat ia terlelap. Kesannya aku ini seperti perempuan minim harga diri, padahal apa salahnya mencium suami sendiri? "Emangnya yang mana sih, Lois? Aku beneran nggak tahu ucapan yang mana?" lebih baik terus pura-pura tidak tahu. "Masih pura-pura ya?" "Lha kan aku emang tadi ngobrol sama mbak resepsionis dan mbak pantry itu tentang banyak hal." Lois melangkah mendekat dengan tatapan tidak bersahabatnya kemudian menyenggol sedikit pundakku. "Terserah!" Lalu ia membuka pintu villa yang kami tempati dan keluar begitu saja. Sadar jika belum sepenuhnya berani berada di ruangan seorang diri, aku segera mengejar Lois. "Lois! Tunggu! Aku nggak berani sendirian!" Aku ber